Pages

Rabu, 09 April 2014

Mamteng 5: Merawat NKRI

Ilugwa. Distrik ini merupakan salah satu dari lima distrik (kecamatan) di Mamteng. Empat kecamatan yang lain adalah Eragayam, Kelila, Kobakma, dan Megambilis. Kobakma adalah ibukota kabupaten. Dari kelima distrik tersebut, hanya Megambilis yang tidak digunakan sebagai wilayah pengabdian peserta SM-3T.

Mamteng sendiri merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008, bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Peresmian Kabupaten Mamteng dilakukan oleh Mendagri Mardiyanto pada tanggal 21 Juni 2008.

Kami tiba di SMPN Ilugwa pada sekitar 14.20 WIT. Disambut oleh lima sekawan: Faishol, Muslimin, Fuad, Udin, Nurhasan. Anak-anak muda itu begitu ceria. Melihat keceriaan mereka, kelelahan sepanjang perjalanan seperti menguap seketika. Dengan sepenuh hati kami bersalaman, sarat kerinduan. Keharuan menyeruak di dada saya. Sekitar tujuh bulan yang lalu kami melepas mereka untuk mengemban tugas ini, menjadi guru pengabdi di pedalaman Papua. Saat ini, kami bertemu lagi, dan semua dalam keadaan baik, sehat, penuh semangat. Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anak-anaknya sehat dan bersemangat?

Karena kami belum salat, kami minta izin untuk salat dulu. Di sebuah mes sekolah tempat tinggal mereka, kami bertiga, tanpa bu Lucia, salat berjamaah di salah satu kamar. Jama' takdim dhuhur dan ashar. Pak Prapto sebagai imamnya.

Selepas salat, setelah pak Prapto dan pak Beni keluar kamar, saya masih berlama-lama bersimpuh di atas sajadah. Saya mengamati isi kamar seluas sekitar 3x3 meter itu. Sebuah karpet yang mulai lusuh tergelar untuk menutupi lantainya. Di sisi kanan, kardus-kardus isi pakaian berjajar. Di sisi kiri, kardus-kardus isi bahan makanan dan buku-buku. Mi instan, minuman instan kemasan sachet seperti kopi dan teh, saus dan sambal botol, dan telur ayam. Tiga buah kasur busa tipis disandarkan di dinding kayu di samping jendela yang berkelambu lusuh. Di beberapa bagian dinding ada tulisan-tulisan penyemangat.

"Terima kasih Dikti, SM-3T, Unesa, Papua, Kab. Mamberamo T, Ilugwa." Itu bunyi salah satu tulisan. Di sisinya, berjajar tulisan bulan, mulai September 2013 sampai Agustus 2014. Tujuh bulan yang pertama sudah dicoret dengan spidol warna, menandakan tujuh bulan masa pengabdian yang sudah mereka lalui. Dengan demikian masih ada lima bulan lagi yang tersisa. Di sisi lain, tertulis: "Maju bersama membangun Ilugwa. 5 sahabat SM3T 2013".

Saya melipat mukena saya, memasukkannya ke tas. Mata saya berkabut. Di kamar yang sempit ini, mereka tidur bertiga. Jadi satu dengan bahan makanan, pakaian, dan buku-buku. Dua orang yang lain, tidur di kamar sebelah, kamar yang lebih sempit. 

Saya tidak sedang meratapi keadaan mereka. Tidak. Keadaan yang seperti ini masih terhitung jauh lebih baik dibanding dengan keadaan banyak kawan mereka yang pernah saya lihat di Sumba Timur. Saya sedang diliputi rasa haru, bangga, dan bersyukur, karena anak-anak muda itu telah mengambil keputusan yang tepat dalam hidup mereka. Menjalani masa pengabdian sebagai guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil seperti ini. Kesempatan ini akan memberinya banyak pengalaman lahir dan batin, membantu menempa dan mendewasakan jiwa mereka, melatih ketahanmalangan mereka. Tidak semua anak muda memiliki kesempatan emas semacam ini. Setidaknya, merekalah yang terpilih di antara ribuan anak muda yang menginginkan program tersebut. Hal itu dikarenakan mereka mampu menunjukkan kecerdasan, ketangguhan, dan komitmen. Selain itu, tentu saja, adalah takdir yang telah membawa mereka sampai di tempat ini.

Ya, Sang Takdir yang telah melukis hidup mereka. Siapa sangka, dalam usia muda mereka, ada kesempatan emas untuk terbang jauh dari tempat mana mereka berasal. Menyeberangi samudera luas, menembus hutan belantara, menuju titik paling timur Indonesia. Melihat Tanah Air yang begitu indah dan luas. Mengakrabi masyarakat dan budayanya yang begitu beragam. Menimba pengetahuan dan pemahaman akan arti indahnya keberagaman. Menghayati apa makna kebhinekaan. Membangun ke-Indonesiaan.

Dalam nuansa keberagaman seperti ini, saya jadi teringat salah satu istilah dalam pendidikan multikultural, yaitu melting pot. Dalam konsep ini, masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya, namun justeru karena adanya kesadaran tersebut, mereka dapat membina kerukunan hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya, tapi bila perlu, unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan, demi menciptakan persatuan dan kesatuan. 

Anak-anak muda itu tidak hanya membawa misi sebagai pendidik. Mereka, lebih jauh, sedang melakukan sebuah gerakan merawat NKRI. Wilayah-wilayah dengan masyarakat termarginalkan itu, yang nyaris tak tersentuh oleh pembangunan dalam segala bidang itu, adalah bagian dari NKRI. Namun kemiskinan dan keterbelakangan telah membodohkan mereka, dan kehadiran para guru muda itu adalah lentera-lentera yang akan memerangi kebodohan itu. 

Saya keluar kamar. Bergabung dengan para guru dan kepala sekolah yang sudah ada di halaman sekolah. Sayang sekali kami tidak bisa melihat proses pembelajaran, karena sekolah sudah tutup. Meski begitu, berdialog dengan PJS kepala sekolah, yaitu ibu Yapina, dan beberapa guru, serta beberapa siswa, cukup melegakan kami. Juga bertemu dengan kepala suku, bapak Iyoglogo, yang juga sebagai ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat). Semua menyampaikan kebahagiaannya karena kehadiran para guru SM-3T. Semua menginginkan supaya program ini terus berlanjut, dan SMPN Ilugwa tetap digunakan sebagai sekolah penugasan. 

Bapak Iyoglogo, juga menyampaikan kata-katanya. Selama sekitar tujuh menit dia berbicara, dan karena dia menggunakan bahasa setempat, saya hanya bisa menangkap dua kata saja dari kalimat-kalimatnya yang panjang, yaitu: guru dan sekolah. Selebihnya, saya dan tim monev yang lain, tidak paham. Namun Ibu Yapina berbaik hati untuk menerjemahkan kalimat-kalimat panjang itu. Intinya, bapak kepala suku sangat bangga pada guru-guru SM-3T. Menurutnya, banyak guru asli Papua yang ditugaskan di sekolah ini, namun mereka datang semaunya, bahkan ada yang tidak pernah hadir, tidak peduli pada anak-anak dan sekolah. Oleh sebab itu, bapak kepala suku merasa sangat sayang pada guru-guru muda itu, karena justeru merekalah yang menyayangi dan mencintai para siswa dan sekolah. Mereka juga bergaul baik dengan masyarakat, serta siap membantu melakukan apa saja. 

"Kami sayang pada guru-guru SM-3T, karena justeru merekalah yang mencintai anak-anak kami, lebih dari guru-guru asli di sini". Begitu penjelasan bu Yapina.

Saya mengangguk-angguk tanda mengerti. Sangat mengerti. Etos kerja para guru di daerah 3T, saya sudah sangat paham. Saya sudah menjelajah di banyak pelosok 3T, dan seperti apa kinerja para guru, terutama guru putra daerah, yang bahkan sudah PNS pun, betapa sangat amat memprihatinkan. Seperti penyakit, ketidakpedulian mereka sudah pada level kronis sekaligus akut. 

Saya mengangguk-anggukkan kepala kepada kepala suku, dan mengungkapkan rasa terima kasih saya lewat mata dan bahasa tubuh. Dia memahami ketulusan saya, ketulusan kami. Dia berkata, "wah, wah, wah...."

Ilugwa, 2 April 2014. 15.00 WIT

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...