Pages

Jumat, 11 April 2014

Aarne Saluveer

Yogya mendung sore ini. Adzan maghrib baru saja berlalu. Saya keluar dari kamar Hotel Grand Quality, menarik tas koper kecil saya, turun ke lobi.

"Check out, mas." Saya menyerahkan kunci kamar ke resepsionis. "Masih ada teman di kamar, pulang besok".
"Baik, bu."
"Bisa pesan taksi ke bandara, mas?"
"Bisa, bu."

Tidak berapa lama, mobil tiba. Alphard hitam. Oh, ternyata saya tidak sendirian. Ada pria bule tinggi besar berambut panjang yang akan bersama saya.

"Pak, saya mau mampir sebentar ke Gudeg Yu Djum, hanya mbungkus saja, saget?" Tanya saya pada supir. Saya merasa perlu bertanya karena saya bukan penumpang satu-satunya di dalam mobil itu.
"Saget bu, tidak apa-apa. Kan kelewatan"

Maka mobil pun melaju. Meninggalkan hotel yang asri itu. Si bule ada di sebelah kanan saya. Begitu tiba di Gudeg Yu Djum, saya minta izin ke abang bule itu.

"Excuse me, I will buy gudeg. It only takes a minute."
Dia menatap saya.
"Okay..."
"Thank you."
"Sorry, what would you buy?" Dia bertanya, persis ketika saya mau turun.
"Gudeg."
"What is it?"
"Gudeg is traditional food of Yogyakarta."
Dia manggut-manggut.
Ternyata dia penasaran, dan mengikuti saya turun.
Di depan etalase, saya menjelaskan kepadanya makanan yang berjejer, ayam, telur, tahu, tempe, nangka muda, yang semua rasanya manis.

Saya memesan satu paket gudeg. Sepuluh butir telur, ayam bagian dada dan paha, sambal goreng krecek. Si bule mengamati mbak bakul menyiapkan pesanan saya. Dia juga bertanya, apakah saya akan membawa pulang gudeg itu, ke mana saya akan terbang, dan menanyakan berapa jam waktu yang diperlukan sampai tiba di Surabaya. Saya katakan kalau saya akan terbang dengan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit, dan oleh sebab itu, gudeg akan aman selama dalam perjalanan.

Karena dia sepertinya ingin mencicipi gudeg, saya menawarinya.
"Do yo want some? For yor dinner?"
"No no no, thank you."

Tentu saja saya tidak akan  memaksa. Tapi sejenak, dia bilang kalau dia tidak punya rupiah, dan apakah dia bisa membayar gudeg dengan Dollar Singapura. Spontan saya jawab, dia tidak perlu membayar, saya akan mentraktirnya. Dia menolak mentah-mentah. Maka saya tanyakan ke mbak bakul, apa bisa membayar dengan Dollar Singapura. Tentu saja, seperti yang saya duga, jawabnya tidak bisa. Kata mbak bakul, kalkulatornya tidak bisa ngitung.

Si bule pergi. Benar-benar tidak mau saya traktir. Bodohnya saya, harusnya saya menukar uang dollarnya dengan rupiah saya. Tak terpikir. Saya hanya berpikir, saya harus cepat-cepat, supaya tidak tertinggal pesawat. 

Tapi saya coba membelikan si Bule sekotak nasi gudeg. Dengan sedikit nasi dan paha ayam serta sebutir telur. Lengkap dengan sendok plastiknya. Spekulasi. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan makan sendiri gudeg itu. Tidak masalah.

Di mobil, begitu saya duduk, si Bule menjelaskan, kalau dia punya cukup uang, tapi dalam bentuk Dollar Singapura. Dia tadi akan membeli gudeg dengan uangnya sendiri, dan dia katakan, saya tidak perlu membelikan gudeg untuk dia.

Saya lihat dia mungkin agak tersinggung, atau khawatir saya menganggapnya tidak punya uang. Saya segera menyadari, spontanitas saya untuk mentraktirnya tadi mungkin tidak berkenan. Beda budaya. 

"Of course you have money. Sorry, it was a spontaneity. We used to do that..." Saya mencoba menjelaskan, sebelepotan apa pun kata-kata saya. Tapi nampaknya dia paham. Mengangguk-angguk tanda mengerti. 

Lantas saya mengeluarkan sekotak gudeg. 

"It's for you."
"No no no...." Dia menolak lagi.  Tangannya mobat-mabit lagi.  "Yo don't have to do it for me."

Saya tetap menyorongkan gudeg itu di depannya. Kepalang tanggung. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan berikan gudeg itu ke pak supir. 

"Come on, I bought this for you. Not because you have no money, of course you have a lot of money. It just a form of our kindness, Indonesian people, for you..."

Dia ragu-ragu.
"Come on..." Saya mulai main paksa. "Please...?"
Dia masih tetap ragu.

"The food is good. It's delicious. You may not like it because it tastes too sweet, but at least, you have ever tasted gudeg, traditional food of Yogyakarta. Please....?"

Dia menatap saya. Mungkin menyelidik ketulusan saya.

"Okay." Akhirnya diterimanya gudeg itu. "Thank you."
"You're welcome"
Lantas dia membuka dompetnya. Mencari-cari sesuatu. Sambil mengatakan kalau dia ingin memberikan sesuatu ke saya. Oh, ternyata dia mengambil sebuah kartu nama. Diserahkannya kartu nama itu ke saya.

Kami meneruskan ngobrol. Dia menceritakan tujuan kedatangannya ke Yogyakarta selama dua hari ini. Juga rencananya untuk meneruskan perjalannya besok ke Singapura. Ternyata dia pemusik. Dua hari ada event di Yogya, dua hari ada event di Singapura.
"So, you are a musician?" Tanya saya senang. Ingat Arga, anak saya,  yang suka musik.

Dia juga menanyakan tentang diri saya. Saya katakan kalau saya dosen, dan ke Yogyakarta dalam rangka menghadiri rapat. Dia tanya apa bidang saya. Waktu saya katakan 'food', dia jawab, pantas saya beli gudeg banyak. Saya jelaskan ke dia, "Ya, because, my husband and my son like gudeg very much."

"How many son do you have?" Tanyanya.
"One. Twenty two years old."
"Twenty two?" Dia seperti tidak percaya. Dia bilang, saya nampak terlalu muda untuk punya anak usia 22 tahun. 
"Really? Thank you."
Dia mengangguk-angguk sambil tertawa. Senang melihat tawanya.

Sayang waktu kami untuk mengobrol tidak banyak. Mobil sudah memasuki bandara. Saya harus bersiap turun. Si bule tidak ikut turun. Ternyata dia hanya ingin kota-kota saja, memanfaatkan waktunya sebelum besok terbang ke Singapura. 

Di ruang tunggu, saya membaca kartu nama si Bule. Namanya Aarne Saluveer. Oh, ternyata dia kepala sekolah sebuah sekolah musik. Principal of the Tallinn Music College. Alamat sekolah musik tersebut juga tertulis di kartu nama itu, di Estonia. Sekali lagi, saya ingat Arga. Entah kenapa, saya punya firasat, pertemuan saya dengan si Bule ini tidak akan berhenti sampai di sini. Siapa tahu Arga bisa belajar musik pada dia. Entahlah. Mungkin itu harapan saya saja. Tapi, ya, siapa tahu? 

Yogyakarta, 11 April 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...