Pages

Jumat, 04 April 2014

Mamteng 4: Bendera-Bendera Partai, Wah Wah Wah.....(2)

Sepanjang perjalanan menuju Ilugwa, saya lebih banyak menikmati alam dan mengabadikannya dengan  tablet saya. Saya juga sibuk mengusili Lani yang kebetulan suka bercanda.
"Kakak, kenapa pilih jalan yang jelek begini? Pilih jalan yang baik to?"
Laki-laki 38 tahun itu tertawa. 
"Pilih jalan yang lurus-lurus saja, Kakak." Tambah saya.
"Yang lurus-lurus? Jadi ini lurus saja?" Dia menunjuk jalan berkelok-kelok di depannya. "Ini lurus saja?"
Kami seisi mobil tertawa sekaligus ngeri.
"Jangan Kak Lani, kasihan anak istri Kakak di Rumah." Kata Bu Lucia.
"Siapa tadi yang minta jalan lurus? Saya ikut saja to?"

Saya juga belajar sedikit-sedikit Bahasa Wamena. Satu, dua, tiga dan empat. Ambi, bere, bereambi, bereum bereo. Saat saya tanya apa untuk 'lima', Lani bilang "tidak ada lima, hanya sampai empat saja". Wah, jawaban ini jelas membuat saya penasaran. Lani mencoba menjelaskan, tapi terus-terang, entah karena lafal Lani yang kurang jelas, atau telinga saya yang tidak normal, saya tidak bisa memahami penjelasan Lani.

Tiba-tiba Lani menghentikan mobilnya. "Kenapa berhenti, Kakak?"
"Kita su sampai di perbatasan. Harus singgah dulu." Lani turun dari mobil. Kami semua mengikutinya.

Ternyata kami sudah tiba di perbatasan Jayawijaya-Mamteng. Di sebuah jalan yang agak lebar, yang di sisinya kita bisa parkir mobil dan duduk-duduk melepas penat setelah terkocok-kocok selama dua setengah jam lebih di dalam mobil. Namun alih-alih melepas penat dengan duduk-duduk, kami semua memilih memandangi suguhan alam yang begitu mempesona. Bukit-bukit yang indah, berpadu dengan langit Papua yang biru. Udara dingin dan sejuk melengkapi keindahannya. Kalau ada yang menganggu pemandangan indah itu, maaf, adalah bendera-bendera partai yang berbaris di salah satu sisi jalan.

Bendera-bendera partai memang menjadi pemandangan yang tak terpisahkan dari alam Papua sejak kami memulai perjalanan dari Wamena. Bendera-bendera itu, dengan warna-warninya yang beragam, berkibar-kibar ditiup angin, sekali lagi, maaf, menjadi sesuatu yang dalam pandangan saya, menodai keaslian alam. Barisan itu begitu asing di tengah-tengah kehijauan, kerimbunan, kemurnian, dan keaslian alam, masyarakat dan budayanya. Mungkin karena saya menyukai segala hal yang natural, melihat bendera-bendera bertebaran di mana-mana seperti itu, maaf lagi, sangat-sangat mengganggu kenikmatan saya dalam mengakrabi alam. Mereka sama sekali tidak menyatu dengan lingkungan.

Tapi tentu saja saya tidak bisa menyalahkan keadaan tersebut. Menjelang pesta demokrasi, semua partai sedang giat-giatnya melakukan sosialisasi, kampanye, dan berbagai upaya untuk menarik simpati masyarakat di mana pun. Pembelajaran politik sedang berlangsung. Meski, sejujurnya saya ragu, apakah masyarakat belajar sesuatu dari proses tersebut.

Bagi orang-orang pedalaman yang masih primitif ini, saya yakin, ini hanyalah saat di mana mereka bisa melihat hiburan berupa konvoi-konvoi dan yel-yel, panggung yang penuh pesta-pora, dan juga bagi-bagi hadiah berupa sembako dan bahkan rupiah, karena 'kebaikan hati' para aktor politik. Tidak hanya di pedalaman, bahkan di kota-kota besar pun, saya nyaris tidak bisa melihat ada sebuah proses pembelajaran politik, saat orang-orang baik itu tiba-tiba blusukan ke pasar-pasar membagikan sembako dan rupiah, menyapa para WTS di lokalisasi, bersalam pada para pasien di rumah sakit, bersurat pada masyarakat memohon doa restu, bersilaturahim ke para tokoh, menebar pesona di televisi, dan menyapa orang-orang dari lapisan mana pun dengan kata-kata manis penuh gula-gula. Saya justeru sedang menyaksikan sebuah sandiwara di panggung besar dengan para aktornya orang-orang besar dan melihat betapa besar hati, jiwa dan cita-cita mereka. Begitu besarnya sampai tak terbayangkan bagaimana mewujudkan semua itu.

Hanya selang beberapa menit kami berada di tempat itu, satu per satu tiba-tiba muncul para mama, papa, anak-anak, dari segala penjuru. Mereka bergerak pelan-pelan, beringsut mendekati kami, tersenyum malu-malu. Kami mengulurkan tangan, menjabat tangan-tangan mereka. Tangan-tangan itu, begitu kasar, kotor, dan di beberapa bagian ada luka. Baju mereka kotor, tubuh mereka kotor, sebagian dari mereka, hidungnya beringus. 

Dada saya sesak. Inikah orang-orang penghuni alam indah ini? Inikah pemilik kebun keladi, buah merah, sarang semut, dan segerombolan babi itu? Inikah mama-mama dan papa-papa yang merawat anak-anak ingusan itu setiap hari? Bagaimana mungkin mereka mengajarkan mengeja huruf A, B, C dan berhitung? Bagaimana mereka mengajarkan tentang hidup bersih dan sehat? Bagaimana mungkin?

Saya bersimpuh di sisi seorang anak berambut keriting yang menatap saya dengan takut-takut. Mata hitam dan bulunya yang lentik mengerjap-ngerjap. Saya lemparkan senyum termanis saya, dan mengulurkan sebuah gula-gula ke arahnya. Tangannya mengulur, sejenak setelah menyeka ingusnya. Diterimanya gula-gula itu. Pendar-pendar di matanya semakin indah. Jauh lebih indah dibanding lambaian bendera warna-warni di atas kepalanya. Begitu murni, begitu jujur, begitu bersahaja.

"Wah wah wah...."
Kata-kata itu meluncur dari para mama, papa, dan anak-anak itu saat kami membagikan wafer, gula-gula, dan sosis. "Wah" artinya terima kasih. Kalau kata-kata itu diulang-ulang, artinya terima kasih yang sangat dalam. Menurut Bu Perty, "wah" adalah bahasa asli daerah pegunungan, meliputi Wamena, Jayawijaya, Mamteng, Tolikara, Yalimo, Lani Jaya, Nduga, Yahokimo, Pegununan Bintang, Puncak, dan Pucak Jaya.

Sosis. Untuk jenis makanan yang terakhir ini, saya khawatir kami telah salah pilih. Kami telah menjadi korban iklan dan membelikan sosis yang tinggal makan itu untuk anak-anak pedalaman ini. Saya lupa jangan-jangan mereka tidak tahu ini makanan apa bukan, sementara mereka melihat televisi saja tidak pernah. Kalau gula-gula dan wafer, saya yakin, mereka tahu itu makanan enak. Tapi sosis? Itu selera anak-anak kota. Sangat kota. Jangan-jangan anak-anak ingusan ini malah tidak doyan sosis-sosis itu. Keladi dan ikan sungai pasti lebih nikmat dibanding gulungan-gulungan daging kenyal beraroma asap itu. 

Kami bersama orang-orang ramah itu beberapa saat. Lani dan Wakela memberikan rokok ke para papa. Saya dan teman-teman hanya sibuk melempar senyum saja pada mereka dan mengangguk-angguk ketika mereka mengatakan "wah, wah, wah." 

Ketika berpamit, kami kembali menyalami mereka. Menjabat erat tangan-tangan mereka meski tangan itu kotor, kasar dan penuh luka. Kami ingin, jabat erat tangan-tangan kami mampu mewakili kehangatan dan persaudaraan yang kami ingin tawarkan. Melalui sorot mata mereka, senyum mereka, saya tahu, mereka memahami maksud kami, menerima ketulusan kami. 

Kami memasuki mobil. Bersiap menuju Ilugwa. Mereka melepas kami dengan senyum manis. Menunjukkan gigi-gigi mereka yang sama sekali tidak putih. 

"Yogo....yogo..." Mereka melambai. Kami membalas lambaian mereka.
"Mereka bilang apa, Kak?" Tanya saya pada Lani.
"Yogo, artinya daah..."
Spontan saya melongokkan kepala ke arah orang-orang itu, melambaikan tangan dan berteriak. "Yogo, yogo...."

Sampai jumpa di Ilugwa....

Mamteng, 2 April 2014. 

Wassalam,
LN 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...