Jam kegiatan kami setiap hari dimulai pukul 09.30 sampai
18.00. Itulah pada umumnya jam kerja di Singapura. Sebenarnya tidak terlalu
berbeda dengan di Indonesia, karena di sini ada selisih waktu satu jam lebih
cepat. Waktu shubuh adalah 05.31, dhuhur 12.48, dan seterusnya, selisih waktu
sekitar satu jam.
Kegiatan kami dilaksanakan di Kantor THF. Namun di antara
lima hari tersebut, ada kesempatan bagi kami untuk melakukan observasi ke
NIE-NTU pada hari ketiga, dan ke Fajar Secondary School di hari keempat. Ada
tugas-tugas juga yang harus kami selesaikan selama kegiatan. Hari pertama kami
diminta presentasi praktik PPG di lembaga masing-masing, dan berdasarkan hasil
diskusi, observasi, wawancara pada hari-hari berikutnya, kami harus
mempresentasikan model PPG ideal di hari terakhir.
Pagi ini, setelah overview program, Prof. S. Gopinathan
memberikan presentasinya tentang “building a high performing education system
in Singapore and the contribution of teacher education and teachers. Prof.
Gopi, begitu panggilan akrabnya, saat ini menjadi academic advisor di THF.
Beliau merupakan guru besar dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National
University of Singapura. Pernah menjabat sebagai dekan School of Education di
NIE-NTU, Singapore. THF sendiri adalah organisasi nirlaba yang berbasis pada
Singapore Foundation yang bertujuan untuk memberikan kontribusinya pada
pembangunan berkelanjutan di Asia.
Menarik sekali presentasi Prof. Gopi. Gambaran tentang
bagaimana Singapura sebagai negara kecil dengan minim sumber daya ini bisa
menjadi negara terdepan di Asia. Sistem pendidikan di Singapura diakui dunia
sebagai sistem pendidikan terbaik di Asia. Coba cek skor Singapura untuk PISA
dan TIMSS. Hampir selalu mengungguli negara-negara Asean yang lain. Singapura
meyakini bahwa kemajuan dalam bidang pendidikan akan mendongkrak bidang-bidang
yang lain. Petumbuhan ekonomi di Singapura sungguh pesat dan peran pendidikan
sangat sentral dalam hal ini.
Di Singapura, guru disiapkan dengan begitu rapi. Tujuan
pendidikan guru adalah untuk menyiapkan mahasiswa calon guru (student teacher)
dengan pedagogi dan landasan kependidikan yang kuat untuk pembelajaran yang efektif serta
spesialisasi pengetahuan akademik (sucject knowledge) sedikitnya pada satu
disiplin. Jalur pendidikan guru terspesialisasi meliputi primary (SD),
secondary (SMP/SMA), dan junior college (JC). Program penyiapan guru pemula
atau ITP (Initial Teacher Preparation Programmes) memiliki beberapa jalur untuk
student teachers dari berbagai latar belakang pendidikan. Ada tiga jalur, yaitu
Bachelor in Arts/Science (BA/BSC), Postgraduate Dploma in Education (PGDE), dan
Diploma Education. Program pertama durasinya empat tahun, merupakan jalur untuk
menjadi guru SD atau SMP/SMA. Mahasiswa berasal dari lulusan secondary school.
Program yang kedua duarasinya 16 bulan sampai 2 tahun, disiapkan untuk mereka
yang ingin menjadi guru SD, SMP/SMA, dan JC. Mahasiswa berasal dari lulusan
program bachelor dari berbagai bidang ilmu. Sedangkan program ketiga, durasinya
1-2 tahun, disiapkan untuk calon guru SD dan SMP/SMA. Mahasiswa juga berasal
dari lulusan secondary school. Khusus untuk proram ini, disiapkan bagi calon
guru bidang bahasa, seni, musik, dan ilmu keluarga (home economics).
Untuk struktur praktek profesi atau disebut praktikum,
program BA/BSC melaksanakan empat kali praktikum, meliputi: 1) school
experience/SE (2 minggu), dilaksanakan selama masa libur sebelum tahun
kedua; 2) teaching assistantship/TA (5 minggu)
dengan local/international TA, selama masa libur sebelum tahun ketiga; 3) TP1
(5 minggu), selama masa libur sebelum tahun keempat; dan 4) TP/TP2 (10 minggu),
selama tahun keempat pada semester 2. Selanjutnya untuk program PGDE yang 16
bulan, struktur praktikumnya meliputi TA (4 minggu) dan TP 10 minggu. Selama
TA, student teachers setiap minggu berada di sekolah 4 hari dan di sekolah 1
hari. Struktur ini memungkinkan terjadinya early exposure sedini mungkin dan
terjadinya kegiatan refleksi yang terus-menerus sehingga terjadi penguatan
berbagai aspek pedagogik dan konten serta aspek lain yang penting sebagai bekal
menjadi guru profesional. Sedangkan untuk PGDE 2 tahun, praktikum meliputi TP1
(5 minggu) dan TP (10 minggu). Program terakhir, yaitu Dploma in Education,
untuk program durasi 2 tahun, praktikumnya meliputi TP1 (5 minggu), TP2 (10
minggu). Sementara untuk program durasi 1 tahun, kegiatan praktikumnya hanya TP
(10 minggu).
Yang cukup menarik, mahasiswa tidak dituntut untuk melakukan
penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam tanya jawab kami dengan para narasumber
kegiatan dan juga saat di sekolah, PTK tidak menjadi bagian dari kurikulum
penyiapan guru. Penguasaan mahasiswaa calon guru terhadap konten dan metodologinya,
peningkatan pemahaman pada profesi guru, keterampilan memberi dorongan pada
peserta didik, menjadi model kepribadian yang baik, adalah jauh lebih penting
untuk terus-menerus diupayakan. Diperlukan energi yang besar untuk hal
tersebut, dan oleh sebab itu, PTK tidak menjadi prioritas.
Singapura juga tidak mengenal ujian nasional (national exam)
untuk pendidikan dan pelatihan calon guru. Ya, memang Singapura masih
menerapkan ujian nasional untuk siswa, namun tidak untuk calon guru. Singapura
percaya bahwa untuk menjadi guru memerlukan proses yang harus terus-menerus
diasah, dilatihkan, dikembangkan. Ujian nasional bagi pendidikan dan pelatihan
guru tidak terlalu bermakna untuk memastikan bahwa guru yang sudah lulus ujian
secara otomatis memiliki kompetensi untuk menjadi guru. Kompetensi menjadi guru
perlu dilatihkan dengan sabar, bila calon guru telah dirasa cukup bekal
kompetensi, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat kompetensi. Bila
calon guru dinilai belum memiliki kecakapan yang diharapkan, maka yang
bersangkutan perlu diberikan waktu untuk meningkatkan kecakapan mereka sampai
pada batas yang ditentukan.
Hari pertama ini, selain berbincang dengan Prof. Gopi, kami
juga berbincang dengan narasumber lain yang tidak asing bagi kita, yaitu Prof.
Muchlas Samani. Saat ini, selain sebagai guru besar Unesa, beliau juga menjadi
ketua panitia nasional Ujian Kompetensi Mahasiswa PPG (UKMPPG). Beliau juga
yang menjadi salah satu inisiator program PPG di Indonesia. Pengalamannya
sebagai birokrat, termasuk menjadi ketua tim sertifikasi guru-dikti, wakil
rektor bidang kerja sama Unesa, rektor
Unesa, dan juga sebagai direktur ketenagaan dikti, tidak ada yang
meragukan pengalaman dan keluasan wawasannya tentang pendidikan guru.
Pada kesempatan ini, Prof Muchlas berbicara tentang “Indonesia’s
education system”. Tentu saja fokusnya tetap pada sistem pendidikan dan
pelatihan guru. Berbagai persoalan, kebijakan, dan inspirasi untuk pendidikan
guru yang lebih baik. Indonesia yang begitu luar biasa disparitasnya, tentu
tidak mudah untuk mengelolanya, termasuk dalam hal mengurus bidang pendidikan,
khususnya bagaimana menyiapkan guru yang profesional. Terkait hal ini, Prof.
Gopi amat sangat menyadari, dan rekomendasi yang diberikan adalah bagaimana
Indonesia bisa menyiapkan dan menata guru sesuai dengan kebutuhan lokalitas
masing-masing wilayah yang begitu beragam. Prof Gopi mengakui, tentu hal
tersebut mudah untuk diucapkannya, tidak mudah untuk dirumuskan, lebih-lebih
untuk diimplementasikan. Tapi semua harus mengarah ke sana, karena guru sangat menentukan
kualitas generasi bangsa. Merujuk pada model Finlandia yang begitu fokus dalam
meyiapkan guru, Prof. Gopi menegaskan: one generation will be lost if you don’t
have good teachers. (Habis)
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...