Pages

Sabtu, 27 Oktober 2018

Immersion 2: Guru untuk Keberlangsungan Generasi


Jam kegiatan kami setiap hari dimulai pukul 09.30 sampai 18.00. Itulah pada umumnya jam kerja di Singapura. Sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan di Indonesia, karena di sini ada selisih waktu satu jam lebih cepat. Waktu shubuh adalah 05.31, dhuhur 12.48, dan seterusnya, selisih waktu sekitar satu jam.

Kegiatan kami dilaksanakan di Kantor THF. Namun di antara lima hari tersebut, ada kesempatan bagi kami untuk melakukan observasi ke NIE-NTU pada hari ketiga, dan ke Fajar Secondary School di hari keempat. Ada tugas-tugas juga yang harus kami selesaikan selama kegiatan. Hari pertama kami diminta presentasi praktik PPG di lembaga masing-masing, dan berdasarkan hasil diskusi, observasi, wawancara pada hari-hari berikutnya, kami harus mempresentasikan model PPG ideal di hari terakhir.

Pagi ini, setelah overview program, Prof. S. Gopinathan memberikan presentasinya tentang “building a high performing education system in Singapore and the contribution of teacher education and teachers. Prof. Gopi, begitu panggilan akrabnya, saat ini menjadi academic advisor di THF. Beliau merupakan guru besar dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapura. Pernah menjabat sebagai dekan School of Education di NIE-NTU, Singapore. THF sendiri adalah organisasi nirlaba yang berbasis pada Singapore Foundation yang bertujuan untuk memberikan kontribusinya pada pembangunan berkelanjutan di Asia.

Menarik sekali presentasi Prof. Gopi. Gambaran tentang bagaimana Singapura sebagai negara kecil dengan minim sumber daya ini bisa menjadi negara terdepan di Asia. Sistem pendidikan di Singapura diakui dunia sebagai sistem pendidikan terbaik di Asia. Coba cek skor Singapura untuk PISA dan TIMSS. Hampir selalu mengungguli negara-negara Asean yang lain. Singapura meyakini bahwa kemajuan dalam bidang pendidikan akan mendongkrak bidang-bidang yang lain. Petumbuhan ekonomi di Singapura sungguh pesat dan peran pendidikan sangat sentral dalam hal ini.

Di Singapura, guru disiapkan dengan begitu rapi. Tujuan pendidikan guru adalah untuk menyiapkan mahasiswa calon guru (student teacher) dengan pedagogi dan landasan kependidikan yang kuat  untuk pembelajaran yang efektif serta spesialisasi pengetahuan akademik (sucject knowledge) sedikitnya pada satu disiplin. Jalur pendidikan guru terspesialisasi meliputi primary (SD), secondary (SMP/SMA), dan junior college (JC). Program penyiapan guru pemula atau ITP (Initial Teacher Preparation Programmes) memiliki beberapa jalur untuk student teachers dari berbagai latar belakang pendidikan. Ada tiga jalur, yaitu Bachelor in Arts/Science (BA/BSC), Postgraduate Dploma in Education (PGDE), dan Diploma Education. Program pertama durasinya empat tahun, merupakan jalur untuk menjadi guru SD atau SMP/SMA. Mahasiswa berasal dari lulusan secondary school. Program yang kedua duarasinya 16 bulan sampai 2 tahun, disiapkan untuk mereka yang ingin menjadi guru SD, SMP/SMA, dan JC. Mahasiswa berasal dari lulusan program bachelor dari berbagai bidang ilmu. Sedangkan program ketiga, durasinya 1-2 tahun, disiapkan untuk calon guru SD dan SMP/SMA. Mahasiswa juga berasal dari lulusan secondary school. Khusus untuk proram ini, disiapkan bagi calon guru bidang bahasa, seni, musik, dan ilmu keluarga (home economics).

Untuk struktur praktek profesi atau disebut praktikum, program BA/BSC melaksanakan empat kali praktikum, meliputi: 1) school experience/SE (2 minggu), dilaksanakan selama masa libur sebelum tahun kedua;  2) teaching assistantship/TA (5 minggu) dengan local/international TA, selama masa libur sebelum tahun ketiga; 3) TP1 (5 minggu), selama masa libur sebelum tahun keempat; dan 4) TP/TP2 (10 minggu), selama tahun keempat pada semester 2. Selanjutnya untuk program PGDE yang 16 bulan, struktur praktikumnya meliputi TA (4 minggu) dan TP 10 minggu. Selama TA, student teachers setiap minggu berada di sekolah 4 hari dan di sekolah 1 hari. Struktur ini memungkinkan terjadinya early exposure sedini mungkin dan terjadinya kegiatan refleksi yang terus-menerus sehingga terjadi penguatan berbagai aspek pedagogik dan konten serta aspek lain yang penting sebagai bekal menjadi guru profesional. Sedangkan untuk PGDE 2 tahun, praktikum meliputi TP1 (5 minggu) dan TP (10 minggu). Program terakhir, yaitu Dploma in Education, untuk program durasi 2 tahun, praktikumnya meliputi TP1 (5 minggu), TP2 (10 minggu). Sementara untuk program durasi 1 tahun, kegiatan praktikumnya hanya TP (10 minggu).

Yang cukup menarik, mahasiswa tidak dituntut untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam tanya jawab kami dengan para narasumber kegiatan dan juga saat di sekolah, PTK tidak menjadi bagian dari kurikulum penyiapan guru. Penguasaan mahasiswaa calon guru terhadap konten dan metodologinya, peningkatan pemahaman pada profesi guru, keterampilan memberi dorongan pada peserta didik, menjadi model kepribadian yang baik, adalah jauh lebih penting untuk terus-menerus diupayakan. Diperlukan energi yang besar untuk hal tersebut, dan oleh sebab itu, PTK tidak menjadi prioritas.

Singapura juga tidak mengenal ujian nasional (national exam) untuk pendidikan dan pelatihan calon guru. Ya, memang Singapura masih menerapkan ujian nasional untuk siswa, namun tidak untuk calon guru. Singapura percaya bahwa untuk menjadi guru memerlukan proses yang harus terus-menerus diasah, dilatihkan, dikembangkan. Ujian nasional bagi pendidikan dan pelatihan guru tidak terlalu bermakna untuk memastikan bahwa guru yang sudah lulus ujian secara otomatis memiliki kompetensi untuk menjadi guru. Kompetensi menjadi guru perlu dilatihkan dengan sabar, bila calon guru telah dirasa cukup bekal kompetensi, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat kompetensi. Bila calon guru dinilai belum memiliki kecakapan yang diharapkan, maka yang bersangkutan perlu diberikan waktu untuk meningkatkan kecakapan mereka sampai pada batas yang ditentukan.

Hari pertama ini, selain berbincang dengan Prof. Gopi, kami juga berbincang dengan narasumber lain yang tidak asing bagi kita, yaitu Prof. Muchlas Samani. Saat ini, selain sebagai guru besar Unesa, beliau juga menjadi ketua panitia nasional Ujian Kompetensi Mahasiswa PPG (UKMPPG). Beliau juga yang menjadi salah satu inisiator program PPG di Indonesia. Pengalamannya sebagai birokrat, termasuk menjadi ketua tim sertifikasi guru-dikti, wakil rektor bidang kerja sama Unesa, rektor  Unesa, dan juga sebagai direktur ketenagaan dikti, tidak ada yang meragukan pengalaman dan keluasan wawasannya tentang pendidikan guru.

Pada kesempatan ini, Prof Muchlas berbicara tentang “Indonesia’s education system”. Tentu saja fokusnya tetap pada sistem pendidikan dan pelatihan guru. Berbagai persoalan, kebijakan, dan inspirasi untuk pendidikan guru yang lebih baik. Indonesia yang begitu luar biasa disparitasnya, tentu tidak mudah untuk mengelolanya, termasuk dalam hal mengurus bidang pendidikan, khususnya bagaimana menyiapkan guru yang profesional. Terkait hal ini, Prof. Gopi amat sangat menyadari, dan rekomendasi yang diberikan adalah bagaimana Indonesia bisa menyiapkan dan menata guru sesuai dengan kebutuhan lokalitas masing-masing wilayah yang begitu beragam. Prof Gopi mengakui, tentu hal tersebut mudah untuk diucapkannya, tidak mudah untuk dirumuskan, lebih-lebih untuk diimplementasikan. Tapi semua harus mengarah ke sana, karena guru sangat menentukan kualitas generasi bangsa. Merujuk pada model Finlandia yang begitu fokus dalam meyiapkan guru, Prof. Gopi menegaskan: one generation will be lost if you don’t have good teachers. (Habis)

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...