Nama kegiatan ini adalah International Education Conference
2018. Dengan tema “enabling-provocation-reflection. Education 4.0-Promotion of
Sustainable Development through Innovative Teaching”. Tema yang menarik dan aktual.
Konferensi pendidikan, dengan kata kunci education-4.0, yang semua orang pada
saat ini sedang membincangkannya. Ditambah dengan “suntainable development dan
innovative teaching’, lengkaplah. Kalau ini makanan, sepertinya ini makanan
yang mengandung semua unsur nutrisi untuk diet sehat. Tidak hanya sehat, tapi
juga lezat.
Saya menerima informasi tentang kegiatan ini melalui email.
Sebagai anggota dari International Federation of Home Economics (IFHE), saya
selalu menerima informasi apa pun terkait dengan kegiatan IFHE. Baik kegiatan
yang dilaksanakan secara periodik maupun kegiatan insidental. Juga newsletter
yang diterbitkan setap bulan.
Begitu menerima informasi kegiatan, saya langsung bagi ke
grup whattsapp FPS-PTBI (Forum Program Studi-Pendidikan Tata Boga Indonesia).
Kebetulan saya ketua forum ini, dan tujuan saya membagi informasi tersebut
adalah supaya ada banyak anggota forum yang tertarik. Ternyata saya belum
terlalu beruntung. Tidak ada satu pun anggota asosiasi yang merespon positif.
Sekadar “ayo, ayo”, tapi sepertinya belum serius. Maka saya melakukan provokasi
pada teman-teman sendiri. Berhasil. Tiga kolega, dua dari Jurusan PKK, yaitu
Dr. Meda Wahini, M.Si dan Dr. Sri Handajani, S.Pd., M.Kes, berhasil
terprovokasi. Satu lagi dari Program Studi Pendidkan Teknologi Informasi (PTI),
Setya Chendra Wibawa, S.Pd, M.T, juga sangat berminat. Meskipun home base-nya
ada di Prodi PTI, tapi separuh jiwanya ada di jurusan PKK, karena dia pengajar
beberapa mata kuliah di Prodi Tata Boga, Tata Busana, dan Tata Rias. Tema
konferensi juga sangat cocok dengannya. Satu lagi, saya membutuhkan dia karena
dia sudah punya pengalaman menjelajah Eropa pada tahun 2014, saat mengikuti
Non-Degree Program di Jerman dan Paris. Dan, tentu saja, Mas Bowo, begitu saya
menyebutnya, karena termasuk orang yang sangat helpful, peduli, dan ‘nggak
itungan’. Tipe orang muda seperti itu sangatah cocok untuk ‘ngemong’ emak-emak
seperti kami ini.
Maka kami pun mulai megurus semua uborampe bersama. Mas Bowo
menjadi andalan kami. Menjadi narahubung dengan Kantor Urusan Internasional
Unesa dan rektorat untuk surat izin rektor, surat izin sekretariat negara,
untuk visa, tiket, tukar duit, dan banyak hal. Saya menjadi narahubung dengan
panitia di Vienna, untuk urusan artikel, jadwal presentasi, dan sertifikat.
Alhamdulilah, semua siap pada waktunya.
Vienna hujan salju saat pertama kali kami menginjakkan kaki
di kota yang eksotis ini. Di pagi hari, setelah kami menempuh perjalanan hampir
dua puluh jam. Di mata saya, Vienna ibarat seorang gadis cantik yang anggun dan
kharismatik. Salju tipis yang jatuh satu per satu, angin dingin yang bertiup
keras membekukan tuang-belulang, membuat kami seperti seorang pemuda yang
sedang tergugu karena ketakjubannya pada sosok gadis jelita namun berparas dingin.
Dalam terpaan cuaca yang begitu ekstrim, kami menembus Vienna, menumpang sebuah
mobil van, dari Vienna International Airport menuju apartemen kami di bilangan
Veitingergasse 67. Sekitar 45 menit perjalanan.
Hari pertama ini, kami membiarkan jetlag menguasai. Mata
serasa berat dan tubuh lunglai. Kami hanya perlu memastikan, ada toko bahan
makanan di dekat-dekat apartemen kami. Belum sempat kami memastikan hal itu,
sebuah sapaan yang masuk di facebook message saya membuat saya seperti
menemukan durian runtuh. Bu Ira Darmawanti, dosen Psikologi Unesa,
memperkenalka dirinya sebagai mahasiswa S3 Vienna University. Wow. Allah
menyediakan guide bagi kami. Bahkan
sore itu juga, Bu Ira tiba-tiba muncul di apartemen kami bersama suaminya, Pak
Rozi, dosen Universitas Diponegoro. Membawakan kami roti dan jeruk.
Subhanallah. Andaikata semua orang di dunia ini sebaik mereka, pasti tidak akan
ada penderitaan karena kelaparan.
Bersama bu Ira dan Pak Rozi, malam ini juga, saya dan Mas
Bowo dipandu menuju supermarket. Lengkap dengan mantel tebal dan kaus tangan
yang membalut tubuh lelah kami. Menembus dinginnya malam menapaki jalanan yang
sepi. Badan saya agak menggigil dan karena tidak mau ambil risiko, saya
lingkarkan scarf saya menutupi mulut dan hidung. Kami menemukan Spar Gourmet.
Tidak terlalu jauh. Jaraknya hanya sekitar Kampus Unesa Ketintang ke Wonokromo.
Jauh ya?
Saya juga dibantu Bu Ira membeli krem untuk wajah di apotek
di depan gourmet. Wajah saya sudah kesakitan sejak pertama kali tiba di Vienna
pagi tadi. Suhu ekstrim seperti membekukan pori-pori wajah dan mengeriputkan
kulit. Setelah itu kami berbelanja: kentang, telur, roti, buah, sayur, untuk
logistik selama seminggu. Tidak terlalu mahal. Hanya sekitar 50€.
Satu €
saat ini sekitar Rp.16.500,-. Patungan empat orang, entenglah.
Kami juga membawa bekal dari Surabaya. Beras, mie instan,
sambal pecel, sambal-sambal botol, kering kentang, bumbu instan, santan instan,
dan berbagai minuman. Pendek kata, lengkap. Kami seperti pasukan tidak berani
mati dan tidak berani lapar. Setidaknya malam ini kami bisa tidur nyenyak
karena yakin logistik kami sudah aman.
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...