Pages

Sabtu, 01 Desember 2018

MENGUNJUNGI EROPA 1: WELCOME TO VIENNA

Nama kegiatan ini adalah International Education Conference 2018. Dengan tema “enabling-provocation-reflection. Education 4.0-Promotion of Sustainable Development through Innovative Teaching”. Tema yang menarik dan aktual. Konferensi pendidikan, dengan kata kunci education-4.0, yang semua orang pada saat ini sedang membincangkannya. Ditambah dengan “suntainable development dan innovative teaching’, lengkaplah. Kalau ini makanan, sepertinya ini makanan yang mengandung semua unsur nutrisi untuk diet sehat. Tidak hanya sehat, tapi juga lezat.
Saya menerima informasi tentang kegiatan ini melalui email. Sebagai anggota dari International Federation of Home Economics (IFHE), saya selalu menerima informasi apa pun terkait dengan kegiatan IFHE. Baik kegiatan yang dilaksanakan secara periodik maupun kegiatan insidental. Juga newsletter yang diterbitkan setap bulan.
Begitu menerima informasi kegiatan, saya langsung bagi ke grup whattsapp FPS-PTBI (Forum Program Studi-Pendidikan Tata Boga Indonesia). Kebetulan saya ketua forum ini, dan tujuan saya membagi informasi tersebut adalah supaya ada banyak anggota forum yang tertarik. Ternyata saya belum terlalu beruntung. Tidak ada satu pun anggota asosiasi yang merespon positif. Sekadar “ayo, ayo”, tapi sepertinya belum serius. Maka saya melakukan provokasi pada teman-teman sendiri. Berhasil. Tiga kolega, dua dari Jurusan PKK, yaitu Dr. Meda Wahini, M.Si dan Dr. Sri Handajani, S.Pd., M.Kes, berhasil terprovokasi. Satu lagi dari Program Studi Pendidkan Teknologi Informasi (PTI), Setya Chendra Wibawa, S.Pd, M.T, juga sangat berminat. Meskipun home base-nya ada di Prodi PTI, tapi separuh jiwanya ada di jurusan PKK, karena dia pengajar beberapa mata kuliah di Prodi Tata Boga, Tata Busana, dan Tata Rias. Tema konferensi juga sangat cocok dengannya. Satu lagi, saya membutuhkan dia karena dia sudah punya pengalaman menjelajah Eropa pada tahun 2014, saat mengikuti Non-Degree Program di Jerman dan Paris. Dan, tentu saja, Mas Bowo, begitu saya menyebutnya, karena termasuk orang yang sangat helpful, peduli, dan ‘nggak itungan’. Tipe orang muda seperti itu sangatah cocok untuk ‘ngemong’ emak-emak seperti kami ini.
Maka kami pun mulai megurus semua uborampe bersama. Mas Bowo menjadi andalan kami. Menjadi narahubung dengan Kantor Urusan Internasional Unesa dan rektorat untuk surat izin rektor, surat izin sekretariat negara, untuk visa, tiket, tukar duit, dan banyak hal. Saya menjadi narahubung dengan panitia di Vienna, untuk urusan artikel, jadwal presentasi, dan sertifikat. Alhamdulilah, semua siap pada waktunya.
Vienna hujan salju saat pertama kali kami menginjakkan kaki di kota yang eksotis ini. Di pagi hari, setelah kami menempuh perjalanan hampir dua puluh jam. Di mata saya, Vienna ibarat seorang gadis cantik yang anggun dan kharismatik. Salju tipis yang jatuh satu per satu, angin dingin yang bertiup keras membekukan tuang-belulang, membuat kami seperti seorang pemuda yang sedang tergugu karena ketakjubannya pada sosok gadis jelita namun berparas dingin. Dalam terpaan cuaca yang begitu ekstrim, kami menembus Vienna, menumpang sebuah mobil van, dari Vienna International Airport menuju apartemen kami di bilangan Veitingergasse 67. Sekitar 45 menit perjalanan.
Hari pertama ini, kami membiarkan jetlag menguasai. Mata serasa berat dan tubuh lunglai. Kami hanya perlu memastikan, ada toko bahan makanan di dekat-dekat apartemen kami. Belum sempat kami memastikan hal itu, sebuah sapaan yang masuk di facebook message saya membuat saya seperti menemukan durian runtuh. Bu Ira Darmawanti, dosen Psikologi Unesa, memperkenalka dirinya sebagai mahasiswa S3 Vienna University. Wow. Allah menyediakan guide bagi kami. Bahkan sore itu juga, Bu Ira tiba-tiba muncul di apartemen kami bersama suaminya, Pak Rozi, dosen Universitas Diponegoro. Membawakan kami roti dan jeruk. Subhanallah. Andaikata semua orang di dunia ini sebaik mereka, pasti tidak akan ada penderitaan karena kelaparan.
Bersama bu Ira dan Pak Rozi, malam ini juga, saya dan Mas Bowo dipandu menuju supermarket. Lengkap dengan mantel tebal dan kaus tangan yang membalut tubuh lelah kami. Menembus dinginnya malam menapaki jalanan yang sepi. Badan saya agak menggigil dan karena tidak mau ambil risiko, saya lingkarkan scarf saya menutupi mulut dan hidung. Kami menemukan Spar Gourmet. Tidak terlalu jauh. Jaraknya hanya sekitar Kampus Unesa Ketintang ke Wonokromo. Jauh ya?
Saya juga dibantu Bu Ira membeli krem untuk wajah di apotek di depan gourmet. Wajah saya sudah kesakitan sejak pertama kali tiba di Vienna pagi tadi. Suhu ekstrim seperti membekukan pori-pori wajah dan mengeriputkan kulit. Setelah itu kami berbelanja: kentang, telur, roti, buah, sayur, untuk logistik selama seminggu. Tidak terlalu mahal. Hanya sekitar 50€. Satu € saat ini sekitar Rp.16.500,-. Patungan empat orang, entenglah.
Kami juga membawa bekal dari Surabaya. Beras, mie instan, sambal pecel, sambal-sambal botol, kering kentang, bumbu instan, santan instan, dan berbagai minuman. Pendek kata, lengkap. Kami seperti pasukan tidak berani mati dan tidak berani lapar. Setidaknya malam ini kami bisa tidur nyenyak karena yakin logistik kami sudah aman.

Wien, 27 November 2018

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...