Pages

Jumat, 14 Desember 2018

MENGUNJUNGI EROPA 4: KE BELANDA


Seperti mimpi, tiba-tiba kami sudah di Amsterdam. Bersama bu Sri Handajani, selepas konferensi sore tadi, kami langsung menumpang Uber menuju Vienna International Airport. Lantas pada sekitar pukul 20.30, kami menumpang pesawat easyJet menuju Amsterdam. Dua jam perjalanan kami tempuh nyaris dengan tidur pulas. Kelelahan setelah beraktifitas seharian, serta efek jetlag yang tak juga pergi, membuat kami benar-benar menikmati penerbangan ke Amsterdam dengan sangat nyaman. Saat tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, sekitar pukul 22.30, kondisi kami sudah jauh lebih segar.
Rob Van Erven, sahabat keluarga kami, yang menjadi alasan saya mengunjungi Belanda, sudah menunggu di depan pintu keluar bandara. Senang luar biasa rasanya hati saya bertemu Rob. Rob adalah teman kerja Mas Ayik, suami saya, di PT. Jacob. Dia konsultan di perusahaan tersebut. Sekitar setahun yang lalu, kontrak kerja dia selesai. Selama bekerja di Surabaya, keluarga kami adalah keluarganya. Dia memanggil ‘Ibu’ pada ibu kami. Bersepeda, camping, travelling, selalu bersama kami. Dia juga menjadi guru anak-anak yang belajar di rumah kami setiap malam. Bahkan dalam kondisi hujan pun, dia datang untuk menemui anak-anak. Saat Arga dan Lita menikah, dia juga menunggui di Ponorogo mulai dari persiapan dan ijab qabul di masjid. Oh ya, ke mana-mana, selama di Surabaya, Rob selalu bersepeda. Sepeda yang digunakannya juga sepeda kami. Sering sekali tiba-tiba dia datang di rumah pada minggu pagi, dan menikmati makan pagi bersama kami. Pernah juga suatu ketika, saat keluarga besarnya dari Belanda datang ke Surabaya, mereka semua berkumpul di rumah kami untuk menikmati makan malam. Pendek kata, Rob sudah menjadi bagian dari keluarga kami.
Sehari sebelum saya berangkat ke Vienna, Rob tiba-tiba menyapa saya. “Hi Luth, how is everything with you and Baskoro?” Lantas kami berbincang, dan saya juga katakan bahwa saya akan ke Vienna untuk mengikuti konferensi. “It’s close to us. One hour fly.” Katanya. Lantas saya katakan kalau sebenarnya saya ingin ke Belanda tapi tidak tahu bagaimana caranya. “Ok, I will see what I can do.”
Dengan bantuan Rob, akhirnya kami memperoleh tiket pesawat dari Vienna ke Amsterdam dan sebaliknya. Dengan harga tiket sekitar enam juta rupiah atau 334€. Tapi Rob bilang, “you do not need  to pay the ticket, you are part of our family.” O o….seperti mendapatkan durian runtuh lagi rasanya. Saya memaksa untuk membayar tiket dan Rob tetap menolak. Allah memang Maha Pemurah. Mimpi mengunjungi Negeri Kincir Angin tiba-tiba terwujud. Gratis lagi.
Perjalanan dari Schipol Airport di Amsterdam menuju Tilburg, kota tempat tinggal Rob, memerlukan waktu sekitar satu jam. Rob menyetir, saya duduk di sebelahnya, dan Bu Yani duduk di jok belakang. Tidur pulas lagi. Saya yang sudah mulai sangat mengantuk lagi, harus bertahan untuk menemani Rob membelah malam yang dingin dan sepi. Kami membincang apa saja, tentang keluarga, anak-anak, dan juga meninggalnya ibu kami. Nampak sekali betapa Rob sangat merindukan Indonesia, makanannya, dan orang-orangnya. Dia ingin suatu ketika bisa kembali.
Kami diinapkan di rumah Mom Ans, ibunya Rob. Seorang wanita 77 tahun yang masih cantik, sehat, yang saat kami datang, beliau sedang duduk di depan televisi sendirian. Mom Ans tinggal sendiri di rumah yang sangat nyaman sanyaman villa itu. Rumah Rob tidak terlalu jauh dari rumah Mom Ans. Dengan sepenuh hati Mom Ans memeluk saya, seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu putrinya. Begitu juga dengan Bu Yani, dipeluknya dengan sepenuh hati, meski ini pertama kali bertemu. Mom Ans memang pernah berkunjung ke rumah keluarga kami, sehingga dia merasa sangat dekat dengan saya. Dia bertanya tentang Mas Ayik, Arga, Lita, Ibu. Dia menawari kami minuman hangat dan memastikan kami sudah makan malam. Saya sendiri mengeluarkan oleh-oleh yang saya bawa, salah satunya adalah lenan rumah tangga karya siswa SMKN 3 Magelang. Mom Ans dan Rob senang sekali dan merasa surprised dengan oleh-oleh itu. Kami juga membawakan Rob kering kentang dan kering tempe serta sambal pecel kesukaannya. Rob jatuh cinta pada makanan Indonesia, dan dia senang sekali kami membawakannya makanan Indonesia meski hanya sedikit.
Malam itu kami pulas sekali tidur di kamar yang nyaman, di lantai dua. Begitu pulasnya sehingga kami bangun kesiangan esok harinya, sekitar pukul 07.00. Terpaksa mengqadha shalat shubuh. Dari jendela kamar, kami bisa melihat meja makan di lantai bawah yang sudah dipenuhi dengan berbagai makanan untuk breakfast. Wow. Mom Ans psti bangun pagi sekali untuk menyiapkan semuanya. Dan menariknya, Mom Ans sudah memasang lenan oleh-oleh saya menghiasi meja makan yang besar itu.
Kami menikmati makan pagi dengan menu ala Belanda. Bersama Rob, Margot (isteri Rob), dua anak gadis Rob (Sam dan Pip), dan tentu saja, Mom Ans. Sejak awal saya sudah berpesan pada Rob untuk tidak menyediakan makan berbahan ayam dan daging. Saya memesan hidangan dari sayuran, telur dan ikan saja. Dan benar. Di antara gundukan roti, beberapa jenis ikan tersaji. Tapi jangan bayangkan ikan goreng atau bakar. Apa lagi pepes atau penyet. O tidak. Yang kami temukan adalah ikan-ikan yang berbentuk lembaran, penampilannya seperti ikan mentah, namun sebenarnya dia sudah diasap. Saya sering menemukan ikan semacam itu di hotel-hotel di Indonesia, biasanya disajikan di antara salad dan hidangan appetizer yang lain. Saya sama sekali belum pernah menyentuhnya. Tidak tertarik. Tapi saat ini, saya harus konsekuen. Demi menghormati Mom Ans dan keluarga Rob, saya mengambil lembaran ikan itu, meletakkannya di antara roti keras yang sudah saya belah bagian tengahnya, dan mengunyahnya dengan nikmat.
Hari ini agenda kami adalah mengunjungi Velondam. Volendam adalah sebuah kota di Belanda Utara, 20 kilometer di utara Amsterdam. Kadang-kadang disebut "the pearl of the Zuiderzee" atau “mutiara dari Zuiderzee". Tempat ini merupakan tujuan wisata yang sangat populer. Lokasinya yang agak terpencil dan karakter penghuninya telah memberi Volendam suasana yang sangat spesifik. Tempat ini dulunya adalah daerah kantung Roma-Katolik di wilayah yang sebagian besar beragama Protestan. Dialek yang diucapkan di Volendam sangat khusus dan sulit dipahami bagi penutur bahasa Belanda standar. Volendam merupakan desa nelayan, dan meskipun sejak penutupan Zuiderzee pada tahun 1932 industri perikanan tidak seperti biasanya, kawasan pelabuhan yang ramai dengan banyak perahunya masih menjadi daya tarik utama. Dari tahun 1880-an, Volendam adalah tempat yang populer bagi para seniman. Tidak hanya musik, tapi juga karya lukisan dan karya seni lainnya.
Kostum tradisional Volendam adalah salah satu contoh pakaian kuno terkenal (klederdracht) di Belanda. Hanya segelintir orang memakainya dalam kehidupan sehari-hari mereka saat ini, tetapi karena penduduk setempat telah menyadari nilainya untuk pariwisata, mereka terus melestarikannya. Volendam juga terkenal dengan penyanyi dan musisi. Ada adegan musik Belanda yang berbasis di Volendam, yang menghasilkan gaya musik yang dikenal sebagai musik populer, dan beberapa penyanyi Belanda yang paling populer berasal dari kota ini.
Kami menikmati pantai, melihat proses pembuatan sepatu kayu khas Belanda, menimati coklat ‘hand-made’, menikmati keju, dan tentu saja, budaya Belanda. Rob, Margot, dan Sam bersama kami. Udara dingin luar biasa dan kami semua bermantel tebal, lengkap dengan sarung tangan dan penutup kepala. Beberapa kali kami harus singgah ke cafĂ© hanya sekadar untuk menghangatkan tubuh sambil minum coklat panas. Kami juga berfoto bersama dengan busana khas Belanda. Beberapa hidangan khas Belanda juga kami nikmati sambil mengusir dingin. Rob sekeluarga sepertinya ingin pengalaman hari ini menjadi sesuatu yang sangat berkesan bagi kami.
Namun hari begitu cepatnya berlalu. Tiba-tiba saja temaram sudah datang meski waktu masih menunjukkan sekitar pukul 16.00. Kami harus mengakhiri eksplorasi Velondam. Kami akan mencari restaurant halal food dalam perjalanan menuju Bandara Schipol. Saya dan Bu Yani akan kembali terbang ke Vienna dengan menumpang KLM pada pukul 20.30 nanti. Benar-benar seperti mimpi….
Esok pagi, kami harus sudah kembali ke Tanah Air. Membawa pulang pengalaman berharga. Membawa pulang harapan-harapan untuk pengembangan diri dan institusi. Untuk terus meningkatkan keilmuan dan networking. Semoga bisa terwujud dan memberi makna.
Belanda, 1 November 2018

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...