Tibalah hari ini, yang
sesungguhnya menjadi alasan kami datang ke Vienna. Menjadi peserta sekaligus
penyaji makalah pada konferensi internasional pendidikan. Acara konferensi
digelar di University College for Agrarian and Environmental
Pedagogy, alamatnya di Angermayergasse 1, 1130 Vienna,
Austria. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari
apartemen kami. Tapi dengan kondisi udara yang minus 3 derajat Celcius, no way,
kami lebih memilih naik uber. Hanya perlu ongkos 9€ dan kami
aman dari terpaan cuaca dingin yang begitu ramah tapi membekukan.
Kegiatan ini merupakan kerja bareng
antara Erasmus, ProfEsus, dan empat organisasi yang lain. Salah satunya adalah
IFHE (International Federation of Home Economics). Kami berempat menjadi bagian
dari IFHE ini, sebagai member. Peserta yang lain adalah para guru, kepala
sekolah, dosen, peneliti, dan pengamat pendidikan, yang datang dari 23 negara.
Keren. Kegiatan yang hanya diikuti tidak lebih dari 100 orang ini, mampu
menyedot peserta dari 23 negara. Semuanya berkulit putih, kecuali kami berempat
dan tiga teman kami dari Zambia. Tapi wajah-wajah Asia bertebaran, begitu juga
wajah Timur Tengah dan India. Kehadiran kami semua ditandai dengan 23 bendera
kecil yang berjajar di bagian depan ruang konferensi.
Konferensi dibuka oleh rektor, yang
menyampaikan welcome speech-nya dalam Bahasa Jerman. Sebagian besar narasumber
berbicara dalam Bahasa Jerman, dan sebagian besar dari kami para peserta
menggunakan translater dengan pilihan Bahasa Inggris dan Jerman. Acara demi
acara disusun dengan begitu apik dan efisien. Sejak kami datang, kami disambut
oleh panitia yang membantu kami melepaskan mantel, memandu menandatangani
daftar hadir, dan menunjukkan di mana ruang konferensi, di mana toilet, di mana
ruang break. Ajaibnya, mereka yang
kami kira panitia itu ternyata sekaligus menjadi orang-orang penting, termasuk
para narasumber. Anne Fox, yang menjaga dan membagikan translater, bahkan
pemilik perusahaan pelatihan dan konsultan pendidikan yang berkedudukan di
Denmark. Sini Temiseva, dari Laurea
University of Applied Science, Finland, salah satu orang kunci “Laurea” yang
menjadi salah satu supporter konferensi ini, adalah orang yang menjaga daftar
hadir. Anne Lauveberg, salah satu
perwakilan penting dari IFHE, sibuk mengantarkan mikrofon pada para penanya,
dan menggeser-geser flip-chart di depan. Luar biasa efisiennya mereka. Saya
bayangkan orang-orang itu adalah dekan, ketua lembaga, direktur, kalau di
Indonesia. Namun saya tidak bisa membayangkan orang-orang penting di Tanah Air
itu akan mau melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mereka.
Hari pertama kami diskusi tentang “Education
in the Anthropocene”. Kata kuncinya adalah “climate change cannot be negotiated
- a new “green deal” for sustainable development”. Prof. Dr. Kai NIEBERT,
Professor for Science and Sustainability Education, University Zürich, Switzerland,
menyajikan topik tersebut dengan sangat menarik. Anthropocene sendiri dimaknai
sebagai periode waktu di mana aktivitas manusia
memiliki dampak lingkungan terhadap bumi yang dianggap sebagai usia geologis yang berbeda. Sebagian besar
ilmuwan setuju bahwa tangan manusia telah mempengaruhi pemanasan iklim bumi sejak revolusi industri - beberapa bahkan berpendapat bahwa kita hidup
dalam zaman geologi baru, dijuluki Anthropocene. Dampak kemanusiaan di bumi sekarang sangat besar. Tujuan Sustainable
Development Goals (SDGs) yang
utama adalah menjadikan dunia yang lebih hijau, sehat dan lebih setara pada
tahun 2030. Prof. Kai Niebert dalam presentasinya mengeksplorasi pertanyaan
bagaimana pendidikan bisa menghadapi tantangan Anthropocene. Jawaban kritisnya adalah pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan serta
peluang dan hasil penelitian di
bidang didaktik.
Tidak kalah menariknya adalah topik
tentang “Pedagogy for Sustainable Development”, dengan kata kunci “empowering
learners for transformation processes in every-day life, in businesses and in
social communities”. Penyajinya adalah Prof. David SELBY, founding director of
sustainability frontiers and adjunct professor at Mountain Saint Vincent
University, Halifax, Canada. Prof David Selby
melihat 'sindrom multi-krisis' yang dihadapi dunia, sebelum mempertanyakan
apakah pendidikan keberlanjutan saat ini
menawarkan respon yang cukup transformatif (memberdayakan, transgresif dan
restoratif). Dia akan terus mengusulkan kurikulum dan pedagogi tersebut
untuk memperdalam dan memperluas apa yang kita
pelajari, bagaimana kita belajar, dan apa yang
kita lakukan dengan pembelajaran kita.
Ada 4 topik yang lain, satu
diantaranya disampaikan oleh Prof. Johanna MICHENTHALER, dari University
College for Agricultural and Environmental Education. Topik tersebut adalah
“Elements of the international ProfESus course: Discovering a Sustainable
Mindset - in future-thinking professionals“. Johanna mengungkapkan, “Pembelajarn dan penelitian saya berfokus pada nutrisi dan teknologi pangan, ilmu kesejahteraan keluarga, green pedagogy, subjek didaktik dan pengembangan sekolah. Sejak Oktober 2016 Johanna adalah ketua proyek Erasmus + internasional “ProfESus” dengan topik “Focus on Sustainability – Education for
Professionals in Household and guest-oriented Businesses”. Sebagai bagian
dari Proyek Uni Eropa ProfESus, konsep pelatihan guru internasional telah
dikembangkan dan diuji dalam 2
tahun terakhir. Kursus pembelajaran terpadu ini, yang dikembangkan sebagai
praktik terbaik, contoh untuk "Transformative
Sustainable Learning", disajikan secara rinci selama konferensi
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut,
pantaslah kalau peserta konferensi ini adalah dominan guru dan kepala sekolah.
Johanna sepertinya menjadi pemeran kunci pada konferensi ini, karena dia tampil hampir sepanjang waktu, termasuk menjadi moderator dan fasilitator dalam setiap diskusi. Mungkin karena dia adalah nyonya rumah, dan sekaligus sebagai Ketua ProFesus Project.
Oh ya, satu topik lagi yang sangat menarik di hari pertama ini adalah “Learning, to design the future, The didactic concept of Green Pedagogy and the use in vocational education”. Topik ini disampaikan oleh Prof. Wilhelm LINDER, dari University College for Agricultural and Environmental Education. Konsep didaktik dari green pedagogy digunakan dalam pendidikan kejuruan untuk pembangunan berkelanjutan. Salah satu aspek kunci di masa depan akan menjadi cara berpikir inovatif. Tetapi kompetensi apa yang dibutuhkan dan bagaimana hal ini bisa dikembangkan? Green pedagogy mencari jawaban bagaimana mengembangkan dan mengevaluasi pembelajaran.
Oh ya, satu topik lagi yang sangat menarik di hari pertama ini adalah “Learning, to design the future, The didactic concept of Green Pedagogy and the use in vocational education”. Topik ini disampaikan oleh Prof. Wilhelm LINDER, dari University College for Agricultural and Environmental Education. Konsep didaktik dari green pedagogy digunakan dalam pendidikan kejuruan untuk pembangunan berkelanjutan. Salah satu aspek kunci di masa depan akan menjadi cara berpikir inovatif. Tetapi kompetensi apa yang dibutuhkan dan bagaimana hal ini bisa dikembangkan? Green pedagogy mencari jawaban bagaimana mengembangkan dan mengevaluasi pembelajaran.
Kami mengikuti konferensi selama dua
hari, mulai dari pukul 09.00-17.00. Beberapa variasi interaksi digunakan dalam
konferensi, seperti diskusi kelompok, brainstorming, dan focus group
discussion. Hari terakhir, kami dibagi dalam grup-grup, dan grup tersebut
mengelompok sesuai dengan bahasa yang digunakan. Tentu saja pilihannya hanya
dua, Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. Setiap kelompok mendapatkan semacam worksheet yang dikemas dalam bentuk
studi kasus dan pemecahan masalah. Setelah itu setiap wakil kelompok
menyampaikan hasil diskusinya dan peserta saling menanggapi. Benar-benar bernas
dan mencerahkan.
Satu lagi yang menarik, tentu saja,
konsumsinya. Bukan karena ragam makanannya, bukan, karena makanannya bagi saya
tidak terlalu bervariasi. Juga bukan karena kelezatannya, karena bagi kami,
makanan yang disajikan sama sekali jauh dari lezat menurut selera kami. Namun
proses pengolahan dan penyajiannya yang dilakukan oleh siswa-siswa SMK. Para
siswa itu mengenalkan makanan yang disajikannya di depan para peserta
konferensi sebelum acara break. Guru
mereka mendampingi, dan membantu meyakinkan pada peserta konferensi bahwa
makanan yang disajikan adalah aman, dan tentu saja lezat. Saya teringat
mahasiswa kami kalau lagi melaksanakan gelar karya boga. Seperti itu jugalah
yang mereka lakukan. Mempromosikan makanan kreasi mereka sebelum dilakukan
penilaian oleh juri dan dilihat serta dicicipi para pengunjung. Untuk hal ini,
kita sepertinya jauh lebih keren deh.
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...