Pages

Senin, 03 Desember 2018

MENGUNJUNGI EROPA 2: SCHONBRUNN PALACE

Kami mempunyai libur sehari sebelum kegiatan besok. Seharusnya kami gunakan untuk beristirahat, memulihkan kondisi setelah perjalanan jauh dan terserang jetlag. Namun tentu saja kami tidak ingin melewatkan waktu yang sempit ini hanya untuk tidur-tiduran dan menikmati kehangatan apartemen.
Hari ini, suhu Vienna pada posisi nol derajat Celcius. Salju tipis menutupi halaman, ujung-ujung daun, jalan-jalan. Usai menyantap sarapan, kami berempat bergegas menuju Spar Gourmet, tempat pertemuan kami dengan Bu Ira. Bu Ira yang manis dan baik hati itu sudah membawakan kami empat tiket untuk bepergian sehari ini, masing-masing seharga 8€. Bepergian di Vienna, sebagaimana di negara-negara maju yang lain, dengan menumpang transportasi publik, sangatlah murah dan nyaman. Bus dan train tersedia ke jurusan mana pun dan dengan jadwal yang sangat tepat.
Tujuan pertama kami adalah Schonbrunn Palace. Istana Schönbrunn (Jerman: Schloss Schönbrunn [ʃøːnˈbʁʊn]) adalah kediaman musim panas utama milik penguasa Habsburg, terletak di Hietzing. Istana Baroque seluas 1.441 kamar adalah salah satu monumen arsitektur, budaya, dan sejarah yang paling penting di negara ini. Sejak pertengahan 1950-an, bangunan itu telah menjadi daya tarik wisata utama. Sejarah istana dan kebunnya yang luas membentang lebih dari 300 tahun, mencerminkan selera, minat, dan aspirasi raja-raja Habsburg.
Tak heran jika ribuan orang tumpah di tempat wisata yang sangat mengagumkan ini. Kami menikmati taman labirin yang pohon-pohonnya meranggas, hamparan taman bunga yang tertutup salju, sambil membayangkan betapa hijau dan berwarnanya jika musim telah berganti. Bukit yang berada di ujung halaman belakang istana, dan kolam yang biru sekali dengan puluhan angsa yang sedang berenang. Beningnya air memantulkan patung-patung di tepian kolam dan kerimbunan pepohonan. Dari kejauhan, gedung istana yang luas dan panjang nampak begitu kokoh dan anggun. Subhanallah. Indahnya tak terkatakan. Meski suhu begitu membekukan, namun kekaguman kami pada keindahan yang membentang di depan mata seolah tak mampu menyurutkan kaki kami untuk segera menjauh.
Namun kami harus menghemat waktu. Hari begitu cepat berjalan. Tujuan kami selanjutnya adalah wisata belanja. Bu Ira membawa kami ke sebuah tempat belanja bernama Stephanplatz, sebuah tempat yang sungguh menyenangkan. Mau beli apa saja ayuk. Coklat, gantungan kunci, magnet-magnet untuk kulkas, apa saja, ada, dan harganya, tentu saja, tidak usah dicek dalam rupiah. Bisa-bisa tidak jadi beli apa pun. Jadi belanja sajalah. Rileks sajalah. Yang penting tidak menangis habis belanja karena kehabisan uang.
Belum puas sebenarnya kami di Stephanplatz, namun masih ada satu tempat yang wajib kami kunjungi. Sebenarnya bukan kami, lebih tepatnya, saya. Ya, karena ini urusannya dengan pesanan Arga, anak saya. Dia meminta saya membelikan casing cello. Coba, pinternya anak zaman now ‘ngerjain’ emaknya. Nah, meski yang punya kepentingan hanya saya, namun karena kami tak mungkin terpisah pada saat ini (kecuali kalau mau ‘get lost’), kami pun menumpang kereta ke arah Modling. Ke sebuah toko musik bernama ‘Vienna Viollin & Accessories’. Ternyata letak toko sudah di luar kota, sudah di luar jangkauan tiket kami. Jadi saat pulang, kami harus beli tiket lagi sebesar 11€ untuk berlima.
Untungnya, toko musik itu lokasinya persis di depan stasiun kereta. Hanya dengan menyeberang jalan, kami sudah mencapainya. Tampak depannya persis seperti gambar di web yang dikirim Arga. Seorang wanita setengah baya yang begitu elegan menyambut kami dan bertanya ramah “can I help you?”. Saya langsung to the point. Menanyakan casing cello yang dia punya, dan berapa harganya. Lantas seorang laki-laki, rupanya dia yang lebih paham tetang per-casing-an dan per-cello-an, membantu saya memilih casing cello impian Arga. Tak mau repot, saya telepon Arga, dan saya minta dia bicara langsung dengan pemilik toko. Sambil menunjukkan macam-macam casing cello dengan video call, Arga akhirnya menjatuhkan pilihan pada salah satu casing berwarna pastel dengan aksen hitam. Murah, kata Arga. Hanya sekitar 3,5 juta rupiah. Di Indonesia, kata Arga lagi, sekitar 5 juta rupiah. Oke. Selisih sekitar 1,5 juta rupiah, dan saya harus menenteng casing cello itu dari Modling ke apartemen kami. Tentu saja naik kereta. Untung di Vienna. Syah-syah saja orang tua seperti saya menenteng alat musik meski hanya casing-nya. Bukankah Vienna kota musik? Hiks. Menghibur diri.
Siang di Vienna terasa begitu cepat. Jam 16.00-an hari sudah mulai gelap. Maghrib sekitar pukul 16.30. Shubuh sekitar pukul 05.30. Kegiatan pagi umumnya dimulai pukul 09.00 atau 08.30, saat hari sudah mulai terang. Hanya sekitar enam sampai tujuh jam kami menikmati terang. Selebihnya temaram dan gelap. Dan dalam temaram lampu-lampu kota yang sudah mulai menyala, kami menikmati Vienna yang semakin cantik jelita. Pulang kembali ke peraduan.

Wien, 28 November 2018

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...