Kami mempunyai libur sehari sebelum
kegiatan besok. Seharusnya kami gunakan untuk beristirahat, memulihkan kondisi
setelah perjalanan jauh dan terserang jetlag. Namun tentu saja kami tidak ingin
melewatkan waktu yang sempit ini hanya untuk tidur-tiduran dan menikmati
kehangatan apartemen.
Hari ini, suhu Vienna pada posisi nol
derajat Celcius. Salju tipis menutupi halaman, ujung-ujung daun, jalan-jalan. Usai
menyantap sarapan, kami berempat bergegas menuju Spar Gourmet, tempat pertemuan
kami dengan Bu Ira. Bu Ira yang manis dan baik hati itu sudah membawakan kami empat
tiket untuk bepergian sehari ini, masing-masing seharga 8€. Bepergian di
Vienna, sebagaimana di negara-negara maju yang lain, dengan menumpang transportasi
publik, sangatlah murah dan nyaman. Bus dan train tersedia ke jurusan mana pun
dan dengan jadwal yang sangat tepat.
Tujuan pertama kami adalah Schonbrunn
Palace. Istana Schönbrunn (Jerman: Schloss Schönbrunn
[ʃøːnˈbʁʊn]) adalah kediaman musim panas utama milik penguasa Habsburg, terletak di Hietzing. Istana Baroque seluas 1.441 kamar
adalah salah satu monumen arsitektur, budaya, dan sejarah yang paling penting
di negara ini. Sejak pertengahan 1950-an, bangunan itu telah menjadi daya tarik wisata utama. Sejarah istana dan kebunnya
yang luas membentang lebih dari 300 tahun, mencerminkan selera, minat, dan
aspirasi raja-raja Habsburg.
Tak heran jika ribuan orang tumpah di
tempat wisata yang sangat mengagumkan ini. Kami menikmati taman labirin yang
pohon-pohonnya meranggas, hamparan taman bunga yang tertutup salju, sambil
membayangkan betapa hijau dan berwarnanya jika musim telah berganti. Bukit yang
berada di ujung halaman belakang istana, dan kolam yang biru sekali dengan
puluhan angsa yang sedang berenang. Beningnya air memantulkan patung-patung di
tepian kolam dan kerimbunan pepohonan. Dari kejauhan, gedung istana yang luas
dan panjang nampak begitu kokoh dan anggun. Subhanallah. Indahnya tak
terkatakan. Meski suhu begitu membekukan, namun kekaguman kami pada keindahan
yang membentang di depan mata seolah tak mampu menyurutkan kaki kami untuk
segera menjauh.
Namun kami harus menghemat waktu. Hari
begitu cepat berjalan. Tujuan kami selanjutnya adalah wisata belanja. Bu Ira
membawa kami ke sebuah tempat belanja bernama Stephanplatz, sebuah tempat yang
sungguh menyenangkan. Mau beli apa saja ayuk. Coklat, gantungan kunci,
magnet-magnet untuk kulkas, apa saja, ada, dan harganya, tentu saja, tidak usah
dicek dalam rupiah. Bisa-bisa tidak jadi beli apa pun. Jadi belanja sajalah.
Rileks sajalah. Yang penting tidak menangis habis belanja karena kehabisan
uang.
Belum puas sebenarnya kami di
Stephanplatz, namun masih ada satu tempat yang wajib kami kunjungi. Sebenarnya
bukan kami, lebih tepatnya, saya. Ya, karena ini urusannya dengan pesanan Arga,
anak saya. Dia meminta saya membelikan casing cello. Coba, pinternya anak zaman
now ‘ngerjain’ emaknya. Nah, meski yang punya kepentingan hanya saya, namun
karena kami tak mungkin terpisah pada saat ini (kecuali kalau mau ‘get lost’),
kami pun menumpang kereta ke arah Modling. Ke sebuah toko musik bernama ‘Vienna
Viollin & Accessories’. Ternyata letak toko sudah di luar kota, sudah di
luar jangkauan tiket kami. Jadi saat pulang, kami harus beli tiket lagi sebesar
11€ untuk berlima.
Untungnya, toko musik itu lokasinya
persis di depan stasiun kereta. Hanya dengan menyeberang jalan, kami sudah
mencapainya. Tampak depannya persis seperti gambar di web yang dikirim Arga. Seorang
wanita setengah baya yang begitu elegan menyambut kami dan bertanya ramah “can
I help you?”. Saya langsung to the point. Menanyakan casing cello yang dia
punya, dan berapa harganya. Lantas seorang laki-laki, rupanya dia yang lebih
paham tetang per-casing-an dan per-cello-an, membantu saya memilih casing cello
impian Arga. Tak mau repot, saya telepon Arga, dan saya minta dia bicara
langsung dengan pemilik toko. Sambil menunjukkan macam-macam casing cello
dengan video call, Arga akhirnya menjatuhkan pilihan pada salah satu casing
berwarna pastel dengan aksen hitam. Murah, kata Arga. Hanya sekitar 3,5 juta
rupiah. Di Indonesia, kata Arga lagi, sekitar 5 juta rupiah. Oke. Selisih
sekitar 1,5 juta rupiah, dan saya harus menenteng casing cello itu dari Modling
ke apartemen kami. Tentu saja naik kereta. Untung di Vienna. Syah-syah saja
orang tua seperti saya menenteng alat musik meski hanya casing-nya. Bukankah
Vienna kota musik? Hiks. Menghibur diri.
Siang di Vienna terasa begitu cepat.
Jam 16.00-an hari sudah mulai gelap. Maghrib sekitar pukul 16.30. Shubuh
sekitar pukul 05.30. Kegiatan pagi umumnya dimulai pukul 09.00 atau 08.30, saat
hari sudah mulai terang. Hanya sekitar enam sampai tujuh jam kami menikmati
terang. Selebihnya temaram dan gelap. Dan dalam temaram lampu-lampu kota yang
sudah mulai menyala, kami menikmati Vienna yang semakin cantik jelita. Pulang
kembali ke peraduan.
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...