Pages

Jumat, 23 Januari 2015

Jatim Mengajar 3: Kemurnian Sukamade

Buah Naga di Taman Nasional Meru Betiri.
Sukamade. Orang mengenal tempat ini sebagai sebuah dusun dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Menurut data, TNMB memiliki luas mencapai 50.000 hektare. Nama Meru Betiri diambil dari nama gunung tertinggi, yaitu  Gunung (meru) Betiri. Tinggi gunung tersebut adalah 1.223 mdpl.

Sukamade juga terkenal karena pantainya yang lekat dengan berbagai jenis penyu, termasuk yang khas adalah penyu hijau. Meski telah dilestarikan dalam bentuk kawasan lindung sejak 1972, namun kabarnya hingga tahun 1979, telur penyu di Sukamade masih diburu oleh para pengumpul. Dan saat ini, pengumpulan, pemindahan anakan, dan penangkapan penyu dilarang keras, karena penyu hijau termasuk satwa yang dilindungi. 

Selain dapat melihat penyu, jika beruntung, kita juga bisa menyaksikan beberapa jenis binatang hutan, misalnya banteng, macan tutul, kijang, dan berbagai jenis monyet. Bahkan Eko Sumargo pernah melihat macan kumbang yang sedang menggaruk-garukkan kuku-kukunya di sebuah pohon. Burung merak, berbagai elang dan rangkong kabarnya juga masih sering terlihat. Flora seperti Rafflesia (bunga bangkai) juga ada. Saya sendiri sempat melihat Rafflesia yang sedang mekar dan menjelang layu, sehingga bau bangkainya tidak tercium, saat kami berjalan memasuki hutan-hutan menuju Teluk Hijau (Bay Green).  

Untuk mencapai Sukamade tidaklah mudah. Bagi Anda pemilik mobil jenis sedan atau jenis mobil keluarga yang lain, yang bukan tipe untuk offroad, sebaiknya tidak usah melakukan penjelajahan di rimba Meru Betiri hingga Pantai Sukamade. Setelah masuk pintu pos Meru Betiri, Anda akan berhadapan dengan jalan yang tak lagi beraspal. Bukan lagi jalan makadam, tapi jalan yang penuh bebatuan runcing. Bahkan, untuk sampai ke Pantai Sukamade, kita akan melewati lima anak sungai yang airnya setinggi lutut orang dewasa. Bila musim  hujan, anak sungai itu airnya meluap dan ketinggiannya bisa mencapai leher orang dewasa, bahkan bisa sampai setinggi mobil jeep. Itulah sebabnya kenapa hari ini kami tidak lagi bisa menumpang jeep untuk kembali pulang, melainkan harus naik sepeda motor dan rakit untuk menyeberangi sungai-sungai itu.

Dalam pandangan saya, keunikan Sukamade juga karena tempat ini merupakan sebuah perkampungan di tengah perkebunan yang sudah ada sejak puluhan bahan ratusan tahun silam. Rumah-rumah penduduk yang sederhana berbaris rapi di sepanjang kanan-kiri jalan tanah. Sebuah sekolah satu atap (satap) berdiri di antara rumah-rumah itu, berseberangan dengan masjid. Ada gereja tidak jauh dari mess perkebunan yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari sekolah dan masjid. Hamparan kebun buah naga melengkapi keindahan alamnya. Tanaman karet, mahoni, coklat, menjadi batas-batas kampung. Sungai kecil yang di sepanjang bantarannya dipenuhi dengan tanaman milik para penduduk kampung, menambah asri panorama.

Menurut cerita, perkebunan ini yang sudah ada sejak zaman Belanda, sejak tahun 1800-an. Menurut cerita juga, dusun ini dulu namanya Sukmailang, berubah menjadi Sukamati, dan akhirnya Sukamade. Kata Pak Mukhid, guru SDN Sarongan yang asli putra daerah Sukamade, pada zaman penjajahan dahulu, saat kerja rodi di tempat ini, banyak orang yang hilang, itulah makanya tempat ini dinamakan Sumailang dan Sukamati. Dikatakan juga, tempat ini sebagai kawasan paling angker dan tempatnya raja jin. Pernah terjadi satu kompi KKO hilang, dan ditemukan di Bandealit, daerah pesisir Jember Selatan, setelah 41 hari, dan semuanya dalam keadaan sehat walafiat. Penduduk percaya, mereka disembunyikan oleh para jin. Begitulah cerita itu beredar.  

Semalam, dalam guyuran gerimis, kami berjalan dari rumah Pak Kadis menuju mess perkebunan. Baru saja kami mendengar adzan isya dan lantunan suara anak-anak shalawatan, pada waktu yang hampir bersamaan, kami mendengar lantunan lagu-lagu rohani yang menggema dari arah gereja yang kami lintasi. Saya sempat mengintip dari pintu gereja yang dibiarkan terbuka, tidak lebih dari sepuluh orang di dalamnya, dengan seorang pendeta muda yang ada di mimbar.

Ada sekitar 300 KK di Sukamade, dan sekitar 1000 lebih jiwa. Mayoritas penduduk hidup dari berkebun dan bertani. Mereka tinggal di perkampungan di tengah perkebunan, dan semua kepala keluarga adalah pekerja perkebunan. Selain bekerja di perkebunan, mereka juga bertani di tegalan.

Tegalan mereka menghampar di sepanjang bibir sungai, mereka menyebutnya berem. Sebagai kawasan perkebunan, penduduk tidak diperkenankan memiliki tegalan itu, hanya bisa memanfaatkannya. Hak kepemilikan tanah tegalan tetap ada pada perkebunan.

Penduduk umumnya bekerja pagi sampai malam. Pada pagi hari sampai siang atau sore, mereka bekerja di perkebunan. Sebagian bekerja di sekolah, atau sekedar mengurus rumah. Bila malam tiba, khususnya bila musim tunggu tiba, mereka menunggu tegalan masing-masing. Kacang, kedelai, dan berbagai sayuran, semua disukai babi hutan. Selain babi hutan, monyet, rusa, banteng, semuanya berpotensi mengganggu tanaman. 

Setiap hari, Bu Katminayati misalnya, salah satu guru di SD Sarongan, hanya tidur sekitar dua jam. Pada pagi sampai siang dia mengajar di sekolah, lanjut mengurus rumah, dan malam hari dia menjaga kebun mulai selepas maghrib sampai shubuh. Seperti itulah kegiatan sehari-harinya.

Listrik, sumbernya dari genset yang dimiliki perorangan. Ada empat orang yang memiliki genset. Penduduk membayar kepada  pemilik. Tarifnya per bulan: untuk 1 televisi 14 inchi sebesar Rp.75.000,-, televisi 20 inchi Rp.90.000,-, 1 lampu 10 watt tarifnya Rp.65.000,-. Jadi kalau memakai lebih dari satu lampu, ya tinggal mengalikan saja.

Listrik menjadi barang mahal. Bu Katminayati membayar untuk listrik saja 122 ribu per bulan. Hanya untuk bisa menikmatinya sejak pukul 18.00-23.00 (5 jam), ditambah pagi hari mulai pukul 04.30-05.30 (1,5 jam). 

Suami bu Kat adalah petugas keamanan kebun. Sift kerjanya  per 24 jam. Gajian sebulan dua kali, tanggal 4 dan tanggal 19. Gajinya sebesar Rp.31.000,- per hari. Jadi per bulan sekitar Rp.500.000,-. Anaknya ada tiga, satu mahasiswa Universitas Negeri Jember, dan dua masih sekolah di SMP dan empat tahun. Ditambah dengan gaji Bu Kat sendiri sebagai guru yang dibayar oleh perkebunan dan dari dana BOS sebesar sekitar Rp.600.000,-, mereka memang harus berkebun dan bertani untuk bisa hidup lebih layak. 

Hidup di Sukamade adalah hidup yang tenang tanpa kebisingan. Tanpa polusi, tanpa macet. Tanpa sinyal, kecuali kalau kita mau ke hutan sinyal. Ada denyut kehidupan ekonomi dari perkebunan dan toko-toko kecil serta sesekali deru motor dan mobil offroad. Meski ada pabrik kecil pengolahan karet di kawasan itu, namun aktivitasnya nyaris tak mempengaruhi kemurnian lingkungan di sekelilingnya.

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN

1 komentar

Unknown 12 Februari 2015 pukul 20.34

Mbak, boleh minta nomer hp.
saya berencana ke sukamade. dan saya sangat butuh informasi dari mba
jika berkenan mohon hubungi saya di 081-216-587-426
atau kirim email nomer mbak ke saya
terima-kasih banyak

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...