Pages

Minggu, 09 Juni 2013

Sumba Timur (3): Kawin Adat Sumba

Salah satu pengantin khas Sumba.
Setelah berjalan sekitar empat jam, kami mencapai Kananggar. Mobil berhenti. Oscar membuka kap depan mobil dan mengeceknya. Dia bilang, mobil masuk angin karena kemarin telat mengisi solar.

Di tempat kami berhenti, ada beberapa warung kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman. Mi instan, biskuit, wafer, air mineral, permen, dan beberapa jenis makanan kecil yang lain. 

Di sebelah warung itu, ada kantor koramil yang sekaligus menjadi rumah danramilnya. Bangunan yang sangat sederhana untuk disebut kantor. Satu-satunya tanda yang menunjukkan kalau bangunan itu kantor adalah papan nama terbuat dari kayu yang juga sangat-sangat sederhana. Juga bendera merah putih yang jahitan tepinya sudah koyak dan menjuntai. Seorang perempuan tengah menurunkan bendera itu dan mengibarkannya setengah tiang. Bela sungkawa untuk Taufiq Kiemas.

Sembari menunggu teman-teman di toilet kantor koramil, saya mengobrol dengan Oscar dan pak Rasyid. Salah satu bahan obrolan adalah tentang nikah adat Sumba. Obrolan itu terus berlanjut di perjalanan menuju Selura karena ternyata yang tertarik untuk mengetahui adat yang unik itu tidak hanya saya, tetapi juga pak Rahman dan anak-anak. 

Menurut dua narasumber saya ini, sampai saat ini, seorang pemuda Sumba yang ingin melamar seorang gadis Sumba, harus menyediakan sejumlah kuda sebagai belis (mas kawin). Jumlah kuda berkisar dari satu ekor sampai ratusan, sangat bergantung dari status sosial laki-laki dan perempuannya. Semakin tinggi tingkat status sosial seseorang, semakin banyak kuda dan harta (anahita atau kalung Sumba dan kain-kain Sumba) yang harus disediakan. Namun kuda-kuda itu tidak dibayar putus. Artinya, dibayar secara bertahap, sesuai dengan aturan adat.

Bila sebuah keluarga sudah menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan seorang laki-laki, maka keluarga perempuan tersebut akan mengundang keluarga besarnya untuk menyampaikan bahwa ada laki-laki yang menginkan anak perempuan mereka. Bila keluarga besar pihak perempuan sudah menyetujui, maka pihak laki-laki mulai mempersiapkan diri. 

Persiapan dari pihak laki-laki berupa sedikitnya dua ekor kuda, satu jantan dan satu betina. Selain itu juga mamoli (bandul kalung, di sini disebut mainan) dan luluamah (tali yg dianyam dari kawat monel, perlambang tali kuda).

Keluarga perempuan akan mengutus seorang wunang (juru bicara) dari pihak perempuan ke pihak laki-laki. Wunang dari pihak perempuan akan bertemu dengan wunang pihak laki-laki. Bila kedua wunang sudah bersepakat, keduanya akan merundingkan waktu untuk berkenalan.  

Pada tahap perkenalan, pihak laki-laki akan datang kepada pihak perempuan. Pada saat itu, kuda harus sudah dibawa, juga maloli dan luluamah. Inilah tahap awal pihak lelaki harus mulai menyerahkan hewan sebagai belis. Pada tahap ini pula, kedua pihak sudah mulai 'bicara adat'. Pembicaraan bisa cepat bisa lama, bisa mulai pagi sampai tengah malam. Bergantung dari 'nego-nego' dan tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Bila sudah tercapai kesepakatan, laki-laki akan diterima oleh pihak keluarga perempuan. Konon, pada acara tersebut, makanan tidak akan disuguhkan sebelum kesepakatan tercapai. 

Selanjutnya, beberapa waktu berikutnya, pihak laki-laki akan datang lagi kepada pihak keluarga perempuan untuk menyatakan bahwa dia punya tanggung jawab. Pada tahap ini, pihak laki-laki membawa hewan lagi. Sedikitnya delapan ekor kuda untuk kalangan biasa. Untuk kalangan bangsawan bisa mencapai puluhan, misalnya dua puluh atau tiga puluh. 

Bila pihak perempuan sudah bisa menerima, kedua sejoli ini sudah boleh tinggal bersama, punya anak, tetapi belum menikah. Tahap ini bisa terjadi bertahun-tahun sampai kedua belah pihak siap untuk menuju jenjang adat berikutnya. 

Bila mereka mau menikah di gereja, kedua keluarga pihak laki-laki dan perempuan, harus bertemu lagi. Lagi-lagi, pihak keluarga laki-laki harus membawa hewan lagi. Uniknya, meskipun mereka sudah menikah sah di gereja,  perempuan belum menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Masih ada satu tahap lagi bila laki-laki ingin si perempuan tersebut menjadi hak dia sepenuhnya. 

Tahap itu adalah tahap di mana laki-laki meminta hak sepenuhnya atas perempuan tersebut untuk dibawa ke rumah keluarganya. Lagi-lagi, dia harus bawa hewan lagi. Sekitar dua puluh ekor minimal utk orang biasa, dan enam puluh ekor untuk kalangan bangsawan. Bila tahap ini sudah dipenuhi, barulah si perempuan bisa dibawa dan menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Pada tahap ini, bila jumlah total hewan yang diserahkan oleh pihak laki-kaki sampai mencapai seratus ekor, yang dibawanya tidak hanya perempuan istrinya itu, namun juga dua-tiga orang pembantu istrinya. Selesailah nikah adat. 

Waktu yang diperlukan mulai dari perkenalan sampai tuntas nikah adat, bisa mencapai puluhan tahun. Seringkali sampai kedua sejoli telah bercucu. Oscar, yang saat ini sudah memiliki anak berusia sembilan tahun, belum selesai nikah adatnya. Dua tahun yang lalu dia baru melaksanakan nikah gereja. Meski mereka sudah memiliki rumah sendiri, namun, istilah Oscar, istrinya masih dalam kawasan keluarga besarnya.

Unik. Begitulah.

Karera, Sumba Timur. 9 Juni 2013. 12.05 WITA.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...