Pages

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (7): Bertarung dengan Ombak

Kami meninggalkan mess pada pukul 10.00 WITA. Tidak seperti kemarin, cuaca hari ini panas sekali. Saya pikir, laut akan lebih aman dalam cuaca seperti ini. Dugaan saya salah. Heri yang datang dari mengecek laut  menggelengkan kepala. Air laut naik dan tidak ada satu perahu pun yang berani menyeberang, sampai nanti setelah pukul 13.00.

Saya menatap pak Rahman. 'Oke, tidak apa-apa. Mari kita menunggu sampai laut surut, di pantai saja. Sambil menikmati pantai.' Begitu kata pak Rahman.

Kami pun menuju pantai. Pak Rahman membenamkan tubuhnya dalam pasir laut. Andi ikut-ikutan. Sigit dan Zia berenang. Lukman dan Oscar sibuk mencari-cari sinyal di pohon-pohon. Saya termangu-mangu memandangi semua itu.

Kami sebenarnya berjanji sama Bidin dan Ela, dua peserta yang bertugas di Karera Jangga, bahwa kami akan singgah di sana. Tapi kalau waktu penyeberangan tidak jelas seperti ini, siapa yang berani janji? Perjalanan menuju Karera Jangga tidak cukup hanya ditempuh dengan roda empat, namun ada bagian yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar satu jam. Dengan sangat menyesal akhirnya kami membatalkan janji kami ke Bidin dan Ela, dan berharap suatu saat kami bisa mengunjungi Karera Jangga.

Setelah menunggu lebih dari tiga jam, alhamdulilah, akhirnya pada pukul 13.30, perahu siap karena laut sudah agak teduh. Kami bersiap menaiki perahu. Perahu yang akan membawa kami adalah perahu yang sama dengan yang kemarin. Hanya kali ini cukup satu perahu. Heri dan kawan-kawan tentu saja tidak perlu mengantarkan kami ke Katundu. 

Di pantai, saat kami semua sudah berada di perahu, saya memandangi mereka satu per satu, Heri dan kawan-kawan. Kami saling melambai. Anak-anak hebat itu membanggakan saya. Wajah-wajah optimisnya meyakinkan saya bahwa mereka akan menyelesaikan sisa pengabdiannya dengan sangat baik.

Ternyata penyeberangan siang ini jauh lebih berisiko dibanding yang kemarin. Ternyata penyeberangan kemarin itu tidak ada apa-apanya. Kalau kemarin Sigit dan kawan-kawan masih berani sesekali berdiri dan menikmati ayunan perahu, kali ini tidak. 

Sepanjang perjalanan, semua diam. Sigit bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan jas hujan saya. Lukman meringkuk di depan, bersisian dengan Zia. Oscar duduk di belakang berdampingan dengan awak perahu. Awak perahu yang satu lagi ada di tengah, sesekali membuangi air di dalam perahu dengan ember. Saya duduk bersisian dengan pak Rahman, memandangi laut dengan hati kecut.

Ombak begitu hitam dan menggelora. Waktu terasa begitu lambat jalannya. Sinar matahari yang panas menyengat di seluruh tubuh seperti tak ada apa-apanya dibanding dengan rasa khawatir yang melingkupi hati saya. 

Namun begitu, meskipun dengan perasaan ngeri, saya memberanikan diri memandangi gulungan-gulungan ombak yang kira-kita setinggi dua meter itu, mengejar-ngejar perahu kami. Ombak itu seperti monster-monster raksasa yang seolah siap melumat-lumat perahu kecil ini. Setiap kali ombak meninggi, perahu seperti dihempaskan ke dalam sebuah ceruk. Perahu tidak hanya bergoyang-goyang, namun terhempas-hempas dengan cukup keras, dan berkali-kali terasa seperti mau oleng. Sesekali pengemudi meredakan laju perahu ketika ombak besar datang menghantam untuk menjaga supaya perahu tidak oleng. Air laut, kalau kemarin hanya memercik-mercik di wajah kami, siang ini mengguyur tubuh kami. Berkali-kali. Pak Rahman memastikan barang-barang kami aman dan tidak basah terguyur air. 

Saya terus menggumamkan doa dan mengembangkan pikiran positif. Saya tahu, bahkan dalam kondisi saya yang sudah berpelampung seperti ini pun, sesuatu yang sangat buruk bisa saja terjadi di tengah laut luas seperti ini. Dengan ombak hitam yang tinggi bergulung-gulung. Hanya mengandalkan sebuah perahu nelayan yang kecil. Namun dengan seluruh niat baik saya jauh-jauh datang ke sini, dan kepasrahan pada Allah Yang Maha Melindungi, saya bahkan harus siap dengan apa pun yang terjadi.

Namun, sekali lagi, wajah-wajah tenang para awak perahu itu mendamaikan saya. Mereka bahkan melemparkan senyumnya ke arah saya setiap kali tiba-tiba ombak mengguyur tubuhnya atau tubuh kami. Seolah ingin meyakinkan saya bahwa semua aman dan terkendali. Mereka sama sekali tidak nampak panik, namun jelas sekali kalau mereka tengah memasang kewaspadaan yang tinggi.

Akhirnya pantai itu pun nampak semakin dekat. Pantai di Desa Katundu. Warna laut yang tadi hitam pekat berangsur menjadi biru bening, pertanda laut landai. Pada titik itu, kelegaan terpancar di wajah-wajah kami.

Akhirnya menepilah perahu kami ke pantai. Kami pun bersiap. Mengemasi barang bawaan. Bahu-membahu menurunkannya ke pantai. Tubuh kami semua basah. Bahkan wajah kami terasa berpasir karena guyuran ombak. Namun rasanya semuanya itu tak ada artinya. Ombak yang hitam telah kami tinggalkan jauh di belakang sana. Saatnya mendamaikan hati dengan membersihkan diri di rumah singgah yang sudah menanti.

Tubuh terasa segar kembali setelah saya mandi dan berwudhu. Sholat saya terasa lebih khusyuk dipenuhi rasa haru dan lega. Dalam sujud syukur, saya menitikkan air mata. Ya Allah, betapa ini semua terjadi hanya atas kuasa-Mu. Terimakasih telah melindungi kami semua dan senantiasa menjadi sumber kekuatan kami. Bimbinglah terus kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Amin.

Desa Katundu, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...