Pages

Kamis, 16 Desember 2021

Kehidupan dan Keilmuan

Oleh: Luthfiyah Nurlaela

Dalam kehidupan kita, ilmu menjadi bagian penting yang tak terpisahkan. Sejak zaman dahulu, bahkan sejak manusia pertama diciptakan, kita selalu berusaha mencari ilmu. Nenek moyang kita mampu bertahan hidup dan memecahkan berbagai persoalan kehidupan karena belajar dari pengalaman demi pengalaman. Pengalaman tersebut yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, dan berkembang menjadi pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

Di sekitar kita, mungkin termasuk kita, banyak orang berusaha menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan tidak puas hanya sampai lulus S1, S2, S3, beberapa dari mereka mengambil program postdoc atau program lain yang sejenis. Para santri tidak cukup belajar pada satu pondok pesantren, seringkali mereka merasa perlu berpindah ke pondok pesantren yang lain. Atau setidaknya belajar dari satu kyai ke kyai yang lain.

Begitulah. Apakah yang sesungguhnya sedang mereka dan kita cari? Ya, mestinya, mereka atau kita sedang mencari ilmu.

Saya teringat pada salah satu mantan mahasiswa saya. Dia kuliah di S2. Seorang guru SMK swasta. Saat menjadi mahasiwa baru S2, usianya sekitar 36 tahun. Dia berharap bisa lulus secepatnya, lantas bisa menjadi dosen. Tetapi ternyata, perjalanan studinya tidak semulus yang dia bayangkan, karena berbagai kendala. Kemudian dia bertanya pada saya. “Bu, sepertinya saya tidak bisa lulus tepat waktu. Padahal keputusan saya untuk mengambil S2 ini karena kalau lulus, saya ingin mendaftar jadi dosen. Saya mengejar lulus sebelum usia 40, karena salah satu syarat mendaftar, usia maksimal 40. Tapi sepertinya saya tidak “nutut”. Apa saya keluar saja ya Bu? Tidak usah lanjut kuliah?”

Saya spontan bertanya. “Tujuan Anda kuliah itu apa?”. “Ya mencari ilmu dan sekaligus cari ijazah, Bu. Biar bisa saya pakai untuk mendaftar jadi dosen.” Begitu jawabnya. “Kembalilah pada niat pertama, mencari ilmu. Insyaallah Gusti Allah akan menata hidup Anda dengan baik, meskipun Anda tidak jadi dosen. Percayalah. Anda akan tetap bisa memberikan manfaat dengan ilmu Anda.

Saya percaya dengan saran saya itu karena saya meyakini mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang. Tentunya ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa kita amalkan, berguna bagi keluarga, dan memberi kemaslahatan pada orang banyak. Ilmu yang bisa kita dedikasikan bagi kehidupan. Tidak sekadar mengantarkan kita pada pekerjaan yang baik, meskipun hal tersebut-tidak kita pungkiri-bisa saja menjadi tujuan banyak orang. Dan itu baik saja.

Namun apa pun pekerjaan kita, sesungguhnya semuanya adalah dalam rangka memberikan kemanfaatan pada keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Memberikan kontribusi bagi kehidupan.

Dari tinjauan filsafat aksiologi, ilmu seharusnya memiliki nilai guna. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna etika memiliki dua arti. Pertama, merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Kedua, suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lain.

Nilai bisa bersifat objektif maupun subjektif. Nilai dikatakan objektif jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran orang yang menilai. Tolak ukurnya berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran menurut individu atau penilainya, melainkan pada objektivitas fakta. Sedangkan nilai menjadi subjektif, bila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dipungkiri, ilmu itu sangat berguna atau bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Francis Bacon sebagaimana dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri (1996), menemukakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Kekuasaan dalam hal ini bisa bermakna kebaikan atau keburukan. Ilmu (juga teknologi) telah banyak mengubah wajah dunia. Memberikan kemudahan-kemudahan dalam berbagai segi kehidupan. Memberi pencerahan bagi manusia untuk dapat menguak tabir fenomena alam dan melakukan prediksi-prediksi. Memberi kemampuan pada manusia untuk melakukan antisipasi-antisipasi. Dengan begitu manusia bisa mengendalikan alam, mengelolanya, memanfaatkannya seoptimal mungkin bagi kemaslahatan umat. Dengan ilmu juga,  manusia dapat memperpendek dan mempermudah proses pencapaian kebutuhan hidupnya. Ilmu juga telah membantu kehidupan manusia dalam hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan kebodohan, serta keterbelakangan peradaban. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya, ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesejateraan.

Namun, apakah semua ilmu dan teknologi memberikan kemaslahatan bagi umat manusia? Bagaimana dengan kerusakan-kerusakan yang telah terjadi selama ini di muka bumi? Malapetaka yang disebabkan oleh bom atom, misalnya? Atau terjadinya berbagai tindakan yang tidak manusia seperti teror dengan bom bunuh diri, aborsi, pemalsuan obat, pemalsuan makanan, pemalsuan kosmetik, dan sebagainya. Bukankah itu semua dilakukan oleh orang-orang yang berilmu? Lantas, adakah yang salah dengan ilmu itu sendiri?

Dalam lingkungan akademik, berbagai tindakan yang tidak elok juga sering terjadi. Praktik plagiasi, fabrikasi data, gratifikasi, melalaikan tugas, hanyalah beberapa contoh. Apakah pelakuknya bukan orang yang berilmu?

Manusia yang berilmu adalah manusia yang memiliki otoritas dalam bidang keilmuannya. Dialah pemilik kekuasaan. Dia bisa menggunakan untuk apa saja ilmu yang dimilikinya, apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan. Bukan salah ilmu bila dia digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Ilmu bersifat netral pada bagian epistemologi dan ontologi, sedangkan pada tingkat aksiologi, ilmu terikat dengan nilai-nilai. Bagaimana pun, ilmu tidak mengenal baik atau buruk. Pemiliknyalah yang bisa menjadikan ilmu itu untuk kebaikan atau keburukan.

Inilah pentingnya mendudukkan ilmu secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka. Dengan demikian, dalam memanfaatkan atau menggunakan ilmu, hendaknya kita berlandaskan kepada moral.

Dengan demikian, semuanya kembali kepada kita sebagai pemilik ilmu. Tentu kita semua berharap, ilmu yang kita miliki adalah ilmu yang bermanfaat, bagi kehidupan, di dunia dan di akhirat kelak.

 

Surabaya, 1 November 2020

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...