Pages

Sabtu, 02 Januari 2021

Kenangan tentang Prof Sukamto

Kenangan tentang Prof Sukamto bermula saat saya menempuh studi S2 di Prodi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Saya masuk pada 1991, saat itu, saya baru lulus S1 dan belum lama menikah, serta dalam keadaan hamil.

Sebuah proses yang tidak ringan, namun saya selesaikan semester satu dengan baik. Saya katakan tidak ringan karena saya jauh dari keluarga, masih pengantin baru, hamil muda yang tidak mudah, minim pengetahuan dan pengalaman, finansial terbatas dan tanpa beasiswa kecuali bantuan SPP dan buku dari IKIP Surabaya. Status saya saat itu, CPNS saja belum, sehingga peluang beasiswa TMPD tidak bisa saya dapatkan. Saya ingat dua kali saya dipanggil oleh Dr. Amin, direktur pasca saat itu, dan diminta untuk menyerahkan SK CPNS karena ada kesempatan bagi saya untuk memperoleh beasiswa. Tapi karena salah satu persyaratan pokoknya adalah yang bersangkutan harus sudah memiliki NIP, lepaslah kesempatan itu untuk saya. Maka biaya hidup saya selama studi ditanggung oleh suami sepenuhnya, yang saat itu juga masih belum mapan pekerjaannya.

Pada semester kedua, saya mengambil cuti sekolah. Melahirkan dan mengasuh bayi saya.

Pada semester ketiga, saya kuliah lagi. Mengambil matakuliah di semester 3 sekaligus semester 2. Terasa beraaat banget. Tapi untunglah ada banyak teman yang sangat helpful. Ketua kelas saya, Pak Martubi, sesepuh kelas saya, Pak Said yang biasanya kami sebut Simbah, dan teman-teman yang lain, sungguh sangat berjasa pada perjuangan saya menyelesaikan semester 3 saya.

Nah, di semester 3 inilah kenangan terbaik saya tentang Prof Sukamto. Saya menempuh matakuliah metodologi penelitian yang seharusnya saya ambil di semester 2. Saya diberi jadwal dua minggu sekali bertemu Prof Sukamto untuk kuliah mandiri. Di ruangan beliau, di ruang kepala lembaga penelitian. Waktu itu beliau menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

Setiap dua minggu sekali, saya mengalami hari yang sangat mencemaskan. Duduk di depan meja beliau, melaporkan progres belajar saya dan tugas-tugas, menyimak penjelasan beliau. Waktunya sekitar 1,5 jam per pertemuan, namun rasanya seperti berabad-abad. Saya selalu merasa menjadi orang paling bodoh sedunia di hadapan beliau. Berusaha mencerna apa yang beliau ajarkan, yang mungkin hanya nyantol sepersekian persennya di kepala. Seringkali saya lihat raut muka beliau seperti berusaha menahan kesabaran. Mungkin dalam hati beliau berkata, 'kok ya kebangeten tenan bocah iki leh ra paham-paham....."

Modal saya belajar metodologi penelitian saat itu benar-benar minim. Juga pengalaman meneliti saya. Saya baru lulus S1 ketika saya 'terpaksa' harus sekolah S2. Sebagai mahasiswa S1 penerima beasiswa TID, setelah lulus saya harus siap ditugaskan di mana pun.  Ternyata saya ditugaskan di Jurusan PKK IKIP Surabaya (Unesa saat ini), almamater saya sendiri. Berdasar surat rekomendasi penugasan itulah, saya diwajibkan pimpinan untuk mengikuti tes masuk S2. Saat itu, ada 14 dosen FPTK IKIP Surabaya yang berangkat tes ke Yogya, saya salah satunya. Dosen mudaaaa banget, yang masih culuuuuunnn banget, yang berangkat benar-benar karena terpaksa. Dari 14 dosen tersebut, yang lulus tes hanya 4, termasuk saya. Saya masih berusaha bernego dengan Dekan FPTK supaya saya diizinkan untuk tidak berangkat sekolah. Tapi negosiasi menemui jalan buntu. Saya harus tetap sekolah.

Benar-benar bermodal dengkul. Saat itu, saya adalah mahasiswa termuda di kelas, dan teman sekelas hampir semuanya adalah dosen PNS yang sudah jauh lebih punya banyak pengalaman, pengetahuan, dan juga uang, karena setidaknya mereka sudah memiliki gaji. Pada saat itu, studi lanjut S2 tidak terlalu lazim diambil oleh fresh graduate seperti saya, melainkan oleh para dosen yang memang sudah siap untuk sekolah. Saya benar-benar seperti memasuki hutan belantara.

Kembali pada cerita tentang kuliah mandiri saya dengan  Prof Sukamto.

Ketika UTS tiba, saya duduk di depan meja Prof Sukamto. Beliau menyodorkan sebuah kotak berisi kartu-kartu soal. Saya diminta memilih sendiri kartu-kartu soal itu, sebanyak 3 kartu. Lantas beliau menyodorkan beberapa lembar kertas untuk saya menulis jawabannya dan menyilakan saya berada sendirian di ruangan dekat ruang beliau untuk saya bisa bekerja.

Pada jam yang telah ditentukan, saya kembali menghadap beliau dan menyerahkan hasil pekerjaan saya. Kemudian saya diminta membacakan soal, menyampaikan jawabannya, dan selalu--setiap kali saya selesai membacakan jawaban saya--beliau tersenyum. Tapi, sungguh, jangan bayangkan saya bahagia dengan senyum beliau. Teman-teman bilang, begitu Prof Sukamto tersenyum, maka yang kami rasakan adalah, 'senyummu adalah tangisku.' Ya, entahlah, dengan segala kepintaran dan kepiawaiannya yang bagi sebagian besar kami terasa tak terjangkau, senyum  Prof Sukamto saat di kelas adalah senyum paling sinis yang menyayat hati. Menggores bagai sembilu. Seperti itu jugalah yang saya rasakan saat itu. Meskipun setelah itu, luka hati sedikit terobati saat beliau menjelaskan dengan detil bagaimana seharusnya jawaban saya dan mengapa. Dengan style-nya yang khas, lengkap dengan senyum manisnya yang menghunjamkan luka. Dalam kondisi seperti itu, saya hanya bisa berdoa semoga waktu cepat berlalu.

Keadaan seperti itu terulang lagi saat saya menempuh UAS. Mandiri lagi tentu saja. Dengan prosedur yang sama persis. Dengan senyum sinis yang bagai sembilu menyayat hati itu. Namun Prof Sukamto dengan segala kecermatannya menunjukkan di mana kesalahan saya, bagaimana seharusnya jawaban saya, dan menyarankan untuk membaca buku apa.

Lantas karena saat itu merupakan pertemuan terakhir, beliau bertanya pada saya, yang intinya,  berapa kira-kira nilai yang pantas saya dapatkan dengan proses dan hasil seperti itu. Tentu saja ini pertanyaan yang tidak mudah saya jawab. Namun saat saya menyerahkan kembali keputusan tentang nilai itu pada beliau, beliau bersikeras menolak, dengan mengatakan, "sebut berapa nilainya, saya akan ikuti Ibu. Kan kita sama-sama dosen, mestinya bisalah Ibu memutuskan berapa nilainya." Begitu kata beliau. Dalam hati saya berteriak, "saya dosen yang belum pernah mengajar, Bapaaaakkkk...."

Karena saya tidak punya pilihan untuk menghindar, maka dengan ragu, saya menyebut, "ya....kalau tidak A min, setidaknya B plus."

"Saya memilih B plus," spontan beliau menyahut.

Saya pun spontan tersenyum. Entah senyum kecut entah senyum girang. Apapunlah. Setidaknya saya sudah bebas dari rasa cemas dan tertekan setiap dua minggu sekali itu. Saya merasakan seperti baru saja ada beban berat lepas dari tubuh saya.

Setelah kejadian itu, sekitar seminggu kemudian, suatu sore ada anak laki-laki muda belasan tahun yang ngganteng datang ke tempat kos saya. Dia memberikan sebuah buku ke saya, dan memperkenalkan diri sebagai putra Prof Sukamto. Dia bilang kalau dia diminta bapaknya untuk mengantarkan buku itu ke saya, supaya bisa saya baca dan pelajari.

Masyaallah, saya hampir tidak percaya. Terbayang sosok Prof Sukamto lengkap dengan senyum sinisnya. Namun sesungguhnya di balik senyum itu, adalah keteduhan, keramahan, dan ketulusan, yang seringkali kami tak mampu membacanya karena tertutup rasa takut dan grogi. Rasa takut dan grogi yang sebenarnya muncul dari pikiran sendiri, karena ketidaksiapan kami untuk berhadapan dengan beliau yang sering melempar pertanyaan-pertanyaan kritis yang lantas membuat kami gelagapan.

Segala luka karena sayatan senyum sinis yang bagai sembilu itu lenyap seketika. Tak berbekas. Yang tersisa adalah kekaguman saya pada sosok yang luar biasa itu. Yang dengan caranya memaksa setiap  mahasiswa untuk membangkitkan kemauannya sendiri akan rasa haus pada ilmu, kemandirian, percaya diri, sekaligus memiliki rasa malu pada diri sendiri. Mendorong untuk terus belajar dan belajar. Mendorong setiap orang untuk senantiasa menjadi "a learning person".

Pengalaman dengan Prof Sukamto ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Sejak 2003, saya mulai terlibat di beberapa kegiatan di Jakarta. Saat itu, Prof Sukamto adalah direktur Ditnaga, Ditjen Dikti. Maka saya sering bertemu beliau dalam banyak acara.

Kemudian setelah saya menyelesaikan studi S3 saya di UM pada 2007 dan pada 2009 menjadi guru besar, saya mulai sering bertugas menguji disertasi di beberapa universitas, salah satunya di UNY. Saya beberapa kali kembali  bertemu dengan Prof Sukamto sebagai sesama penguji. Saya melihat beliau tetap dengan kejeniusannya. Namun waktu telah sedikit demi sedikit merenggut kesehatannya. Terakhir menguji bersama beliau, mungkin sekitar setahun yang lalu, kesehatan beliau semakin memprihatinkan. Beliau berjalan dengan sangat pelan, berbicara dengan sangat pelan, bertanya dengan sangat pelan, dan menjelaskan dengan sangat pelan.

Kemarin, Kamis 31 Desember 2020, saya mendengar sosok guru yang sangat berilmu itu berpulang ke haribaan-Nya. Saya merasa sangat amat kehilangan. Ada yang terasa kosong di sudut hati saya. Air mata saya meleleh. Hati saya basah.

Ya Allah, saya bersaksi, Prof. Dr. Sukamto adalah orang baik. Ampuni segala dosanya. Terimalah semua amal kebaikan dan amal jariyahnya. Berikan jannah-Mu yang penuh kedamaian dan keindahan hakiki.

Selamat jalan, Guruku.....

Surabaya, 1 Januari 2020

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...