Pages

Kamis, 05 April 2012

Sisi Lain UN

Pada berbagai kesempatan, mendikbud memastikan UN tahun ini akan berjalan dengan bersih. Ikrar UN Jujur dan Berprestasi telah didengung-dengungkan setiap saat. Berbagai kecurangan yang mungkin terjadi, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sudah diantisipasi sedemikian rupa. Kelulusan siswa yang dulu hanya ditentukan melulu dari hasil UN, sejak tahun lalu sudah diubah. Nilai rapor juga diperhitungkan.  

Namun begitu, UN tetap saja kontroversial. Perdebatan tentang UN seperti tak ada habisnya. Tetapi seseru apa pun perdebatan itu, toh semua komponen pendidikan tetap mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut UN. Suka atau tidak, faktanya, UN tetap jalan. 

Tulisan ini tak hendak menyoroti UN dari sisi kontroversinya. Tulisan ini akan mencoba menyajikan sisi baik UN, khususnya dari komponen siswa. Sebagaimana sebuah kebijakan, selalu saja ada plus-minusnya. Dan UN, ya, bagi banyak kalangan, mungkin begitu banyak sisi negatifnya daripada positifnya. 

Kita semua mahfum, ketika UN akan dilangsungkan, maka semua komponen pendidikan dengan gegap gempita mempersiapkan segala sesuatunya. Terutama yang berkaitan dengan kesiapan siswanya. Try out beberapa kali untuk meningkatkan keterampilan siswa mengerjakan butir-butir soal. Ya, keterampilan. Sesuatu yang bisa dikuasai dengan banyak latihan. Itu artinya dalam soal-soal UN, mengandung aspek skill. Otomatisasi. Semakin sering siswa mengerjakan soal, semakin terbiasa mereka dengan soal-soal yang sejenis. Maka keterampilan mereka akan meningkat. Tentu saja keterampilan ini diikuti oleh pemahaman mereka yang meningkat, atau sebaliknya, karena pemahaman meningkat, keterampilan mereka meningkat. Dua domain ini, kognitif dan psikomotorik, tidak bisa dipisahkan secara tegas. Adanya peningkatan pemahaman dan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal-soal ini merupakan salah satu sisi baik UN. 

Butir-butir soal yang dibuat try out adalah soal-soal yang diprediksi mirip-mirip dengan yang akan diujikan dalam UN nanti. Pemanasan menjelang UN ini begitu ditekankan. Try out bisa dilakukan lebih dari tiga kali, dan semua siswa diharuskan untuk belajar. Belajar dan belajar. Kalau perlu menambah jam belajar di luar jadwal yang sudah ditentukan. Kalau perlu mendatangkan guru les di rumah. Maka dihadapkanlah siswa pada situasi yang menegangkan. Situasi yang membuat mereka tertekan. Konsep 'joyful learning' tidak berbekas. Yang ada adalah suka tidak suka, semua harus belajar. Sepanjang waktu adalah belajar, membaca buku-buku, mengerjakan soal-soal latihan. Hidup dalam suasana tertekan itu berlangsung sejak siswa-siswa itu menginjakkan kakinya di kelas enam (untuk tingkat SD), atau di kelas tiga (untuk tingkat SMP dan SMA). Maka siswa-siswa yang mampu melalui masa itu dengan baik, satu keterampilan lagi telah diperolehnya: bekerja dalam kondisi penuh tekanan. Ya. Bukankah pada saat ini, hal itu menjadi persyaratan atau kualifikasi untuk melamar pekerjaan? Work under pressure situation.

Pada sekolah-sekolah tertentu, nuansa keagamaan menjadi jauh lebih kental menjelang UN. Istighotsah diadakan di mana-mana. Yel-yel untuk mengobarkan semangat didengung-dengungkan pada saat memulai dan mengakhiri pelajaran. Juga pada saat-saat tertentu, misalnya ketika upacara, yel-yel itu diteriakkan dengan sepenuh hati. Sekolah mempersiapkan siswa sebagai sepasukan mujahid yang akan melaksanakan jihad.  Sholat dhuhur dan ashar rutin dilakukan secara berjamaah. Sholat dhuha dan sholat hajat bersama juga diadakan. Bahkan, saya pernah mengamati, ada sekolah yang setiap tahun melakukan ziarah ke wali-wali, membaca surat yasin sebanyak-banyaknya, untuk mendapatkan karomahnya para wali. Nilai plusnya, sekolah menjadi lebih religius, guru dan siswa menjadi lebih dekat, dan mental siswa dipompa terus untuk tidak gentar menghadapi UN.  

Ketika pada saatnya kepastian kelulusan diumumkan, maka siswa yang lulus akan sangat bersuka cita. Mereka telah mendapatkan buah dari hasil kerja mereka. Siswa-siswa itu pantas mendapatkannya. Mereka telah belajar keras, menggunakan hampir seluruh waktunya untuk berlatih menyelesaikan soal-soal latihan. Selain itu, mereka juga telah mengisi malam-malamnya dengan sujud, tahajjud, hajat, bahkan sholat tasbih, agar Allah mendengar doa-doa mereka. Satu pelajaran penting yang diperoleh siswa: nothing is free. Untuk mendapatkan sesuatu, seseorang harus bekerja keras. Tidak cukup dengan kerja keras, di atas segalanya, Tuhan yang menentukan. Maka, berihtiar dan berdoa adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup mereka jika ingin mendapatkan kesuksesan. Satu lagi pelajaran berharga dari UN.

Lantas bagaimana dengan siswa-siswa yang tidak lulus? Mereka pasti akan kecewa. Sangat berat kekecewaan mereka. Tapi satu hal, mereka akan menyadari, sebesar apa pun usaha kita untuk meraih sesuatu, kalau Tuhan belum mengizinkan, maka sesuatu itu tidak akan menjadi milik kita. Mereka akan berintrospeksi, mereka akan mengambil hikmah dari kegagalan, dan mereka percaya, Tuhan punya rencana lain yang lebih indah untuk mereka. Siswa-siswa itu menjadi jauh lebih bijak dalam menghadapi kegagalan. Mereka akan lebih teruji jika dalam hidupnya dia harus mengalami kegagalan lagi. Mereka akan meyakini, kegagalan hanyalah sukses yang tertunda. Ya. Satu poin plus lagi untuk UN.

Jadi, seburuk apa pun UN, ternyata dia memiliki banyak sisi positif: siswa akan lebih pintar karena lebih banyak belajar, siswa akan lebih religius, siswa akan memiliki kemampuan bekerja dalam kondisi penuh tekanan, siswa akan menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis, dan siswa akan memiliki jiwa besar dalam menerima kegagalan.

Jadi, daripada terus-menerus memerangi UN, lebih baik kita berdamai saja.......

Jakarta, 5 April 2012

Wassalam,
UN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...