Pages

Selasa, 25 Desember 2012

Semanggi Suroboyo

Siapa penggemar semanggi? Makanan khas Surabaya yang bahan pokoknya adalah daun semanggi yang direbus, ditaburi sejumput taoge panjang di atasnya, ditutup dengan saus kacang yang dicampur dengan lumatan ketela rambat dan sedikit petis dan cabe, serta disajikan dalam sebuah 'pincuk'? Dua buah krupuk yang lebar-lebar ditumpangkan di atas hidangan tersebut. Krupuk itu tidak hanya sebagai pelengkap semanggi, namun sekaligus juga berfungsi sebagai sendok.
Anda bisa menyendok semanggi itu sesuap demi sesuap menggunakan krupuk itu. Atau bila Anda lebih suka makan dengan sendok yang sebenarnya, tersedia juga sendok plastik untuk Anda.

Bila Anda berjalan-jalan atau bersepeda di Masjid Al-Akbar atau lebih dikenal sebagai Masjid Agung Surabaya di pagi hari, terutama pada hari Sabtu dan Minggu, Anda akan menjumpai para ibu penjual semanggi. Mereka adalah ibu-ibu yang usianya sekitar empat puluhan, semuanya berjilbab, rapi, bersih, bermake-up tipis, ramah dan selalu tersenyum melayani pelanggan. Sebuah keranjang wadah semanggi, taoge, dan sambal ada di depan mereka, juga sekantung plastik besar krupuk puli. Selembar dua lembar tikar digelar di sisinya, dengan sebotol dua botol air bersih yang disediakan untuk mencuci tangan. Beberapa gelas air mineral sebagai pelepas dahaga seusai menikmati sepincuk semanggi.

Sangat berbeda dengan kesan yang ditampilkan oleh para penjual semanggi di masa lalu. Perempuan-perempuan tua, berkebaya dan berkain panjang kusam, keranjang semanggi disunggi di atas kepalanya, dan semanggi dijual dengan berkeliling dari satu kampung ke kampung lain atau dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Penampilan mereka yang terkesan kurang bersih jauh dari menarik. Keadaan tersebut membuat semanggi pada saat itu menjadi makanan yang tidak berkelas, bahkan dianggap bisa menurunkan 'gengsi sosial' bagi orang yang mengonsumsinya. 

Ya, seperti itulah nasib semanggi suroboyo dan beberapa jajanan tradisional pada tahun 90-an yang lalu. Data menunjukkan bahwa makanan tradisional amat sulit disandingkan dengan makanan modern, seperti makanan yang dijual di restoran cepat saji atau di waralaba. Kenyataannya memang makanan modern lebih memiliki daya pikat bagi konsumen karena lebih praktis, cepat dalam penyajian dan mengandung 'gengsi' bagi sementara golongan masyarakat. Lebih-lebih dalam pemasarannya, makanan modern ini dibarengi dengan promosi yang sangat meluas dan menggoda, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Namun sejak beberapa tahun belakangan ini, pamor makanan tradisional mulai terangkat. Banyak restoran yang menyajikan beberapa menu makanan tradisional di antara menu pilihan makanan modern. Pada acara-acara pesta di gedung-gedung, di hotel atau di restoran-restoran besar, hidangan tradisional seperti tahu campur, lontong kikil, soto madura, nasi krawu, dan lain-lain, menjadi hidangan yang disukai. Sejajar dengan berbagai hidangan modern seperti asparagus cream soup, fruit salad, galantine steak, fried chicken dan omelet. Bahkan ada kecenderungan, makanan tradisional yang biasanya disajikan di joglo-joglo itu lebih diserbu para tamu daripada makanan utama yang disajikan di meja-meja prasmanan yang besar dan panjang.

Meningkatnya citra makanan tradisional ini tentu saja tidak lepas dari upaya berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun akademisi. Di kalangan perguruan tinggi, dikenal ada kegiatan rutin yang namanya Widyakarya Nasional Makanan dan Gizi, Seminar Nasional Makanan Tradisional, serta berbagai event lain semacam gelar dan lomba-lomba, yang memberi porsi besar pada pengkajian dan pameran makanan tradisional dengan berbagai aspeknya (misalnya aspek ekonomi, kesehatan dan teknologinya). Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan juga terus-menerus melakukan sosialisasi peningkatan mutu dan keamanan makanan tradisional melalui pelatihan, seminar, pendampingan, yang sasarannya mulai dari ibu-ibu PKK, petugas ketahanan pangan, serta para praktisi/pengusaha bidang pangan tradisional. Berbagai hasil penelitian makanan tradisional juga banyak dipublikasikan di berbagai jurnal, baik jurnal yang belum terakreditasi, terkreditasi nasional maupun beberapa jurnal internasional.

Kondisi tersebut relevan dengan apa yang dikemukakan Green (1990), bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi, yaitu: faktor predisposisi perorangan, faktor dukungan pemerintah dan swasta, dan faktor penguat. Faktor predisposisi perorangan berkaitan dengan kebiasaan, kepercayaan, pengetahuan dan sikap seseorang terhadap makanan tertentu. Faktor dukungan pemerintah dan swasta berhubungan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan sehingga keberadaan makanan tradisional tersedia kapan saja dibutuhkan, terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan menyenangkan, tempatnya nyaman serta tersedia informasi rujukan. Faktor penguat antara lain meliputi ajakan teman dekat, dukungan orang tua, ajakan orang panutan seperti atasan, guru, petugas kesehatan dan sebagainya yang menganjurkan untuk mengonsumsi makanan tradisional tersebut.

Bicara tentang semanggi, saya bersama seorang rekan dosen pernah melakukan penelitian yang berjudul 'Pola Konsumsi dan Nilai Sosial Makanan Tradisional Semanggi'. Penelitian tersebut kami lakukan pada tahun 2003, didanai dari DIK Unesa. Berdasarkan hasil penelitian, penjual semanggi yang ada di Surabaya hampir seluruhnya berasal dari kecamatan Benowo, khususnya dari desa Kedung, kelurahan Sememi. Bahan dasar berupa daun semanggi mereka peroleh dari para pemasok secara berlangganan. Rata-rata para penjual yang jumlahnya sekitar empat puluh orang itu membeli sebanyak 5-10 takar sehari, dengan harga Rp. 5.000 - Rp. 7.500 per takarnya. Penjual semanggi pada umumnya adalah ibu rumah tangga yang berjualan semanggi sebagai mata pencahariannya. Mereka mengolah semanggi setelah subuh, berangkat pada sekitar pukul 07.00, memasarkannya secara berkeliling dan berpindah-pindah. Mereka juga memanfaatkan angkutan umum untuk memasarkan semanggi. Daerah pemasaran mereka antara lain: Rungkut, Medokan Ayu, Rungkut Wonorejo, Semolowaru, Rungkut Kedungbaruk, dan Penjaringan Sari. Semanggi ini dipasarkan di wilayah perumahan, perkampungan, perkantoran, kampus, dan pasar. Semanggi juga ada yang dijual secara menetap di pusat jajanan, misalnya di Lantai III Jembatan Merah Plaza (JMP). Pada saat itu, harga semanggi berkisar Rp.2.500 - Rp.3.000.

Semanggi sebenarnya cukup disukai oleh berbagai kalangan, baik pria maupun wanita, remaja maupun dewasa, ibu rumah tangga maupun wanita bekerja serta mahasiswa dan pelajar. Bagi penyuka semanggi, mereka bahkan mengonsumsi semanggi 1-2 kali seminggu. Mereka mengonsumsi semanggi sebagai makanan selingan. Namun penampilan hidangan semanggi yang kadang-kadang daunnya tidak lagi hijau namun ada sebagian yang kekuningan, ditambah dengan penampilan penjualnya yang kurang bersih serta perilakunya kurang higienis, membuat hidangan semanggi kurang mendapat tempat di hati masyarakat.

Untunglah pada saat ini, dengan semakin meningkatnya kesadaran para penjual semanggi, dan begitu banyaknya tempat-tempat untuk berjualan semanggi, semanggi semakin dikenal dan ternyata juga disukai oleh masyarakat luas. Harga saat ini yang berkisar Rp. 5.000,- merupakan harga yang sangat rasional. Semanggi yang bergizi tinggi karena kandungan mineral dan vitamin serta seratnya ini sangat layak sebagai salah satu primadona makanan tradisional Jawa Timur.

Mari kita nikmati semanggi suroboyo. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Tanpa upaya dari kita, maka makanan tradisional, termasuk semanggi, benar-benar akan menjadi makanan yang klasik, yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang ingin bernostalgia.

Surabaya, 23 Desember 2012

Wassalam,
LN 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...