Pages

Jumat, 28 Desember 2012

Surat dari MBD

Sore ini, ketika saya ada di ruang sekretariat SM-3T di Gedung Gema, pak Heru Siswanto datang. Beliau salah satu tim SM-3T. Tiga pucuk surat dibawanya. Satu untuk saya, satu untuk pak Yoyok, satu untuk pak Heru sendiri. Itu adalah surat dari Nanda, salah seorang peserta SM-3T yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD). Kebetulan rumah Nanda di Mojokerto, dekat dengan rumah pak Heru. Nanda berkirim surat kepada bapak ibunya di Mojokerto, dan menitipkan tiga pucuk surat itu untuk kami bertiga.

Seperti seorang ibu yang sudah sangat  lama menyimpan kerinduan pada anaknya, saya langsung meraih surat yang diulurkan pak Heru, meninggalkan pekerjaan saya mengecek data calon peserta PPG angkatan pertama.  Saya membuka amplop coklat itu dengan perasaan tidak sabar, dan membacanya dengan seksama. Sambil membayangkan sosok itu. Nanda Okkyanti, salah satu peserta SM-3T Unesa yang ditugaskan di Maluku Barat Daya.

Surat itu tertanggal 2 Desember 2012. Nanda menulisnya pada pukul 22.25 WIT. Menghayati kata demi kata yang ditulisnya dalam surat itu, saya tidak bisa menahan haru. Huruf-hurufnya menjadi kabur karena mata saya basah. Saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya bangga pada anak-anak kami yang begitu luar biasa itu. Anak-anak muda yang dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk anak-anak bangsa yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Saya tidak menangkap keluhan atau penyesalan sedikit pun dari untaian kalimatnya, meski mereka hidup dalam situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan betapa sulitnya. Sebaliknya adalah rasa syukur karena memeroleh kesempatan itu dan komitmen untuk terus mengemban tugas mulia yang ada di pundak mereka.

"Ibu Luthfi, saya Nanda Okkyanti, salah satu anggota peserta SM-3T Unesa 2012 penempatan Maluku Barat Daya. Sebelumnya kami tidak membayangkan bagaimana kondisi kami, karena memang sangat sulit mencari informasi tentang Maluku Barat Daya di internet. Yang kami tahu, MBD terdiri dari pulau-pulau kecil. Setelah kami berangkat pun, belum ada informasi yang lebih jelas. Karena saat tiba di Ambon dan ada kesempatan beberapa hari tinggal di sana untuk menunggu pemberangkatan kapal, kami mencoba bertanya-tanya pada masyarakat. Namun mereka pun belum pernah ke MBD karena jangkauan yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama."

Itulah surat pembuka Nanda. Saya jadi ingat, ketika pemberangkatan peserta ke MBD pada pertengahan Oktober yang lalu, Dr. Nanik Indahwati, salah satu tim pendamping, dosen FIK, menelepon saya dari Ambon. Waktu itu saya sendiri sedang ada di Menado dan bersiap untuk bertolak ke Talaud, juga dalam rangka mendampingi pemberangkatan para peserta SM-3T. Dia mengatakan kalau kapal yang akan membawa para peserta ke MBD kehabisan bahan bakar, dan harus menunggu, mungkin sampai sekitar lima hari. Bu Nanik bilang mungkin akan ada banyak pengeluaran tak terduga karena yang jelas peserta harus ditanggung konsumsinya selama lima hari itu. Belum lagi kalau harus terpaksa mencari penginapan.
Saya spontan mengatakan ke bu Nanik, ambil keputusan terbaik untuk semua. Kembali ke Surabaya tidak mungkin. Kalau memang harus mencari penginapan dan menanggung konsumsi para peserta selama di Ambon, tidak masalah. Bu Nanik dan tim yang paling tahu situasinya, maka saya menyerahkan segala keputusan pada bu Nanik dan Tim. Ada bu Nanik, pak Muhajir, dan Juliar. Konsekuensi membengkaknya dana operasional yang tak bisa dihindari bukan kesalahan kita dan kami tinggal melaporkannya ke Dikti.

Kami terus berkabar untuk saling mengecek perkembangan. Ternyata setelah berunding dengan tim, seluruh peserta SM-3T, petugas kapal, dan kepala Dinas PPO MBD, maka diputuskan para peserta tidak perlu menyewa penginapan, tapi menginap di kapal itu. Para peserta juga cukup puas hanya disediakan dua kali makan sehari. Mereka harus melompat dari satu kapal ke kapal lain untuk mencapai pantai dan menjemput kiriman makanan mereka dari sebuah katering. Saya sungguh prihatin dengan kondisi mereka.

Maka saya menelepon kepala dinas PPO ketika setelah tiga hari mereka 'kampul-kampul' di atas kapal tanpa kejelasan kapan kapal diberangkatkan. Waktu saya menelepon kadis,  beliau baru saja tiba di Ambon, juga dalam rangka menjemput para peserta dan menemui bu Nanik dan tim. Beliau juga menugaskan dua orang stafnya serta petugas kesehatan untuk menjemput para guru pengabdi itu. Demi menunjukkan kesungguhannya dalam 'ngopeni' para guru yang akan bertugas di daerah 'kekuasaannya' itu, pak Kadis bermaksud melakukan negosiasi dengan manajemen kapal.

Akhirnya, sebagaimana dikatakan bu Nanik, kapal benar-benar baru berangkat setelah lima hari bersandar di Ambon. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi teman-teman tim dan tentu saja para peserta. Tapi mereka meyakinkan saya melalui telepon dan sms, mereka semua baik-baik saja. Angin laut yang panas menyengat ketika siang dan dingin menusuk ketika malam hari memang sangat mempengaruhi kondisi fisik mereka. Tapi, tanya mereka, bukankah kami semua sudah dibekali dengan pelatihan ketahanmalangan?

Karena tidak memungkinkan tim untuk mendampingi sampai ke MBD, maka bu Nanik dan tim melepas para peserta di pelabuhan Galala Ambon. Bersama dua staf dari Dinas PPO dan seorang petugas kesehatan mereka berlayar ke MBD. Tanggal 19 Oktober sekitar pukul 00.15 mereka berangkat. Baru sekitar tiga jam setelah kapal meninggalkan pelabuhan Galala Ambon, sinyal sudah tidak ada. Hilang sama sekali. Dalam suratnya untuk pak Yoyok yang juga saya ikut membacanya, Nanda bercerita: "Sekitar tiga jam keluar dari Pelabuhan Galala Ambon kami sudah kehilangan sinyal. Dari situ sampai keesokan hari kami sampai di pulau Damer, tidak ada sinyal. Dan setelah sampai di pulau Babar, tepatnya di Tepa dan Letwurung tempat 12 teman kami bertugas, tetap tidak ada satu sinyal pun. Hingga akhirnya tanggal 22 Oktober sekitar pukul 05.00 WIT kami tiba di pulau Semarta tepatnya di desa Mahaleta, tempat saya bertugas. Sisa 19 orang dari kami turun di sini semua. Langsung saya dan teman-teman singgah di rumah salah satu guru yang sampai sekarang menjadi tempat singgah saya sebelum rumah kepala desa selesai dibangun. Sampai di situ kami mengeluarkan HP dan harapan punah, tidak ada sinyal setengah bahkan seperempat garis pun."

Saya membayangkan Sumba Timur, lalu Talaud. MBD, saya yakin, kondisinya jauh lebih parah. Kami masih bisa sesekali menanyakan kabar pada para peserta SM-3T yang ada di Sumba, Talaud, dan juga Aceh Singkil. Tapi untuk MBD, kami sama sekali tidak bisa menanyakan kabar. Yang bisa kami lakukan adalah menunggu mereka mengirim kabar, baik lewat telepon kabel yang ongkosnya sangat mahal, atau lewat surat seperti ini.

Nanda menceritakan bahwa untuk mencapai desa lain, transportasi di sana dengan menggunakan perahu motor (di sana disebut motor). Tidak ada kendaraan bermotor di darat karena belum ada akses jalan. Untuk mencapai desa sebelah, menurut Nanda, bisa menggunakan dua alternatif. Pertama melalui laut menggunakan perahu motor dengan biaya 250 ribu-an. Yang kedua melalui jalur darat dengan track berupa gunung-gunung tandus serta pesisir pantai dengan bebatuan karang yang membuat kaki sulit melangkah. Rata-rata perjalanan dari satu desa ke desa lain dapat ditempuh dengan jarak dua jam jalan kaki.

"Sebelumnya saya mewakili teman-teman mohon maaf karena sesampai di sini tidak bisa langsung memberi kabar. Karena memang tidak ada sinyal sama sekali di kecamatan Mdona Hyera tempat kami mengajar. Namun karena desa tempat saya (Mahaleta) menjadi tempat berlabuhnya kapal, sehingga ada kesempatan untuk saya menitip surat pada masyarakat yang pergi ke Kupang untuk dikirim lewat pos. Kebetulan tanggal 15 Desember esok merupakan kapal terakhir sebelum nanti akhir Desember ada musim barat yang tidak ada kapal karena gelombang besar. Baru nanti sekitar bulan April kapal kembali beroperasi. Sedikit informasi untuk tim monev yang ke MBD nanti, ibu, supaya tidak salah informasi pemberangkatan kapal."

Para guru muda itu, menurut Nanda, sekarang punya kebiasaan baru. Mengirim surat yang dititipkan pada warga yang pergi ke desa sebelah baik yang jalan kaki maupun naik perahu motor. "Surat pertama yang membuat saya menangis adalah ketika tanggal 26 Oktober 2012 tepat hari raya Idul Adha kami tidak bisa keluar desa. Kami berlebaran sendiri dengan diri kami masing-masing. Rasanya sedih sekali, apalagi saat itu baru hari keempat. Tepat sebelum maghrib ada murid kami berteriak, ada surat dari Tepa (kecamatan sebelah yang dapat ditempuh dalam waktu satu hari dengan kapal). Surat dari Risna dan Noval, isinya memberikan kabar dan memberitahu kalau di tempat mereka ada sinyal. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya di zaman modern seperti ini, saya masih bisa merasakan berkomunikasi melalui surat. Surat menjadi begitu berharga buat kami. Jadi sekarang kalau ada hal penting kami selalu mengirim surat yang dititipkan pada masyarakat. Kalau ada kesempatan pun kami saling mengirim masakan atau sayuran. Walau kedengarannya hal itu lucu dan aneh, tapi so sweeettt...".

"Bahagia itu syukur". Begitu lanjut Nanda. "Dulu kalimat itu hanya sebuah kalimat yang saya dengar atau saya baca. Tapi di sini, setelah dua bulan saya banyak mendengar, melihat dan mengalami, kalimat itu saya pahami maknanya. Bahagia itu bukan dari seberapa besar atau seberapa banyak yang kita dapat, tapi seberapa besar rasa syukur kita meski mungkin sedikit yang kita punya. Di sini, bahagia itu ketika pulang sekolah lapar dan di meja ada sukun rebus; bahagia itu ketika haus dan masih ada air masak walau masih sedikit hangat; bahagia itu ketika di kamar mandi ada air bersih, ketika mau masak ada kayu bakar, ketika di kebun ada daun singkong muda untuk dibuat sayur. Bahagia itu ketika kita lapar dan tidak ada makanan kecuali nasi putih yang dicampur garam dan kelapa (hahaha....rasanya enak sekali)."

Nanda begitu pandai menguntai kata-kata. Kalimatnya lancar, deskripsinya begitu detil, dan perasaannya begitu terlibat. Ada dua lembar suratnya untuk saya, dua lembar untuk pak heru dan berlembar-lembar untuk pak Yoyok. Nanda adalah alumnus PGSD, mahasiswa pak Yoyok, tidak heran kalau dia begitu dekat dengan pak Yoyok. Di suratnya untuk pak Yoyok dia begitu lepas bercerita, semua hal yang unik, lucu, menyenangkan, sekaligus hal-hal yang mengharu-biru dan menguras air mata. Membaca surat-surat itu, saya serasa ingin terbang saja ke MBD, memeluk hangat mereka semua, melepas kerinduan saya pada mereka. Anak-anak muda yang hebat dan membuat kami semua bangga.

Nanda juga mengirim CD berisi video dan foto-foto. Di dalam salah satu video yang dibuatnya sendiri, "bermain sampan", nanda bermain sampan di laut yang luar biasa indah dengan murid-muridnya. Dia mengayuh sampan sampai agak ke tengah laut dan anak-anak kecil berkulit hitam itu berebut menaiki sampannya. Riang sekali mereka. Foto-fotonya juga sangat bagus. Konon, Nanda memang menyukai fotografi. Laut, bukit, gunung, rumah, dapur, sekolah, jalan, semua dipotretnya. Sebuah fotonya yang membuat hati saya bergetar dan mata mbrebes mili adalah ketika dia berpose di pantai dengan tulisan" SM-3T Unesa" yang besar sekali terukir di pantai. Juga sebuah foto temannya yang mengenakan topi, dan tulisan "SM-3T Unesa" begitu jelas. 

"Semoga ibu dan semua yang ada di sana selalu baik-baik saja dan sehat. Kami tunggu kedatangan ibu dan tim monev di MBD. Saya juga mengucapkan terimakasih pada ibu dan panitia SM-3T hingga sekarang saya berada di tempat ini. Mungkin bukan hal yang mudah pada awalnya. Tapi kami berusaha sebaik mungkin untuk beradaptasi dan menjalankan hari-hari kami di sini. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat dalam segala keterbatasan dan kesederhanaan. Mungkin di sini saya rindu Jawa dan semua yang di sana. Tapi ketika kembali ke Jawa mungkin rindu saya tentang semua yang ada di sini akan lebih besar. Mungkin dengan cara menjalani setiap waktu di sini sebaik-baiknya akan meminimalisir rasa rindu ketika selesai masa tugas kami."

"Demikian surat saya, ibu. Semoga surat ini bisa sampai ke bu Luthfi. Jika ada kesempatan lagi untuk berkirim surat atau telepon, insyaallah saya akan berkabar lagi. Mohon doanya semoga kami selalu diberi kesehatan dan kelancaran menjalankan tugas sebaik mungkin."

Itulah penutup surat Nanda. Selamat berjuang, Nanda. Selamat berjuang semua. Tentu saja doa kami akan selalu menyertai kalian. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan ketabahan yang berlipat-lipat agar kalian dapat menunaikan tugas mulia ini dengan baik. Salam kami semua. Salam MBMI. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.

Surabaya, 28 Desember 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...