Pages

Rabu, 26 Desember 2012

Diskusi PPG Hari Ini

Pagi ini saya dijadwalkan mengisi acara Diskusi Pendidikan Profesi Guru di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB). Permintaan untuk menjadi narasumber ini sudah diluncurkan oleh bu Ulfah, salah satu dosen di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang, salah seorang panitia diskusi, sejak awal semester, dan baru bisa saya penuhi pada menjelang akhir semester ini.

FIB UB memiliki tiga Program Studi Pendidikan, yaitu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang. Prodi pendidikan ini berdiri sejak dua tahun yang lalu. Sebagian besar dosennya masih muda belia, ada beberapa yang lulusan Unesa. Beberapa sudah doktor dari luar negeri, beberapa dari mereka masih menempuh S2/S3 di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra PPs Unesa.

Diskusi yang diikuti oleh 45 dosen itu dibuka PD 1 FIB, Prof. Ir. Ratya Anindhita, MS., Ph.D. Dalam sambutannya, Prof. Dhita, begitu panggilan akrabnya, menyampaikan bahwa keinginan untuk mengadakan diskusi ini sudah lama. Begitu banyak pertanyaan dari mahasiswa yang belum terjawab menyangkut apakah mahasiswa nanti akan memiliki Akta IV mengingat mereka kuliah di prodi pendidikan; mengapa harus ikut PPG sedangkan mereka sudah menempuh perkuliahan di prodi pendidikan; apa konsekuensinya bila lulusan tidak mengikuti PPG; dan berbagai pertanyaan lain.

Maka diskusi pagi ini, mulai pukul 09.00-12.00, sangat gayeng karena begitu banyak pertanyaan dari para dosen. Peribahasa ikan sepat ikan gabus (lebih cepat lebih bagus) tidak berlaku di sini. Kalau tidak mengingat waktu, diskusi bisa-bisa kebablasan sampai seharian karena begitu banyaknya keingintahuan mereka tentang PPG. Saya menyampaikan apa itu PPG, proses rekrutmen, kurikulum, evaluasi, uji kompetensi, dan perjalanan PPG mulai dari awal sampai saat ini. Juga tentang bagaimana seharusnya kurikulum S1 dikemas agar selaras dengan kurikulum PPG. Hal-hal yang ternyata sebagian besar masih belum mereka pahami.                                                                                              
Dr. Sugeng, ketua prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris mengakui bahwa ketika UB memutuskan untuk membuka program pendidikan, itu merupakan keputusan yang berani. Sampai saat ini, izin operasional dari Dikti belum turun, borang akreditasi sudah dikirimkan ke BAN-PT dan saat ini sedang menunggu untuk divisitasi. Dua-tiga tahun lagi, prodi-prodi tersebut sudah meluluskan, namun gambaran seperti apa kelanjutan 'nasib' para lulusan nanti masih samar-samar. Namun dengan adanya diskusi hari ini, para dosen sudah memperoleh gambaran, betapa mau tidak mau, bila ingin lulusannya menjadi guru, tidak ada pilihan lain kecuali harus menempuh PPG. Empat tahun perkuliahan mereka adalah pendidikan akademik; oleh karena guru adalah sebuah profesi, maka mereka harus menempuh pendidikan profesi, dan itulah PPG. Begitulah amanah UU Sisdiknas dan UUGD.

Berkaitan dengan SM-3T yang saat ini merupakan kebijakan dalam perekrutan peserta PPG, para dosen itu nampak 'terkaget-kaget'. Betapa 'soro'nya hanya untuk bisa menjadi guru. Apa sih urgensinya itu semua? Begitulah 'gugatan' salah satu dosen dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris.

Tidak salah pertanyaan tersebut. Masa pengabdian setahun di daerah 3T bukanlah tugas yang ringan. Tapi misi SM-3T ini sangat sesuai untuk lebih membekali para calon guru dengan pengalaman nyata di lapangan. Selain juga untuk misi mulia turut membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T, misi yang lain adalah untuk mengembangkan wawasan dan jiwa keindonesiaan serta turut berpartisipasi dalam menjaga keutuhan NKRI. Saya memberikan banyak ilustrasi betapa para peserta SM-3T itu harus berjuang sedemikian rupa untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan, di antara tajamnya perbedaan kultur dan agama. Namun mereka benar-benar mampu survive. Pada awalnya mungkin iming-iming PPG menjadi motivasi utama. Namun setelah mereka terjun ke daerah 3T, panggilan jiwa untuk menjadi bagian dari pembangunan pendidikan di pelosok Indonesia itulah yang lebih mengedepan. Ini terbukti, sebagian besar dari mereka memastikan diri untuk kembali ke daerah 3T tempat tugas mereka setelah menyelesaikan PPG.

PPG adalah 'pertaruhan terakhir' LPTK untuk menghasilkan guru yang profesional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Sertifikasi dengan portofolio, sertifikasi dengan PLPG, belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu, mengingat jumlah LPTK yang lebih dari 300 di seluruh Indonesia, dengan mutu yang sangat beragam, mulai dari kelas 'jembret' sampai kelas unggul, PPG adalah filter untuk menghasilkan guru-guru yang profesional. Faktanya, setiap tahun dihasilkan ribuan lulusan LPTK, hal ini tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan guru, sehingga terjadi oversupply. Maka untuk mendapatkan guru-guru yang unggul, PPG merupakan jalan keluar. Dan bila saat ini sampai beberapa tahun ke depan kebijakan PPG menyangkut inputnya adalah hanya mereka yang telah melaksanakan pengabdian melalui SM-3T, maka akhirnya hanya mereka yang memang benar-benar terpanggil untuk menjadi guru sajalah yang akan menjadi guru. 

Malang, 26 Desember 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...