FIB UB memiliki tiga Program Studi Pendidikan, yaitu
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris,
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang. Prodi pendidikan ini berdiri sejak dua
tahun yang lalu. Sebagian besar dosennya masih muda belia, ada beberapa yang
lulusan Unesa. Beberapa sudah doktor dari luar negeri, beberapa dari mereka
masih menempuh S2/S3 di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra PPs Unesa.
Diskusi yang diikuti oleh 45 dosen itu dibuka PD 1 FIB,
Prof. Ir. Ratya Anindhita, MS., Ph.D. Dalam sambutannya, Prof. Dhita, begitu
panggilan akrabnya, menyampaikan bahwa keinginan untuk mengadakan diskusi ini
sudah lama. Begitu banyak pertanyaan dari mahasiswa yang belum terjawab
menyangkut apakah mahasiswa nanti akan memiliki Akta IV mengingat mereka kuliah
di prodi pendidikan; mengapa harus ikut PPG sedangkan mereka sudah menempuh
perkuliahan di prodi pendidikan; apa konsekuensinya bila lulusan tidak
mengikuti PPG; dan berbagai pertanyaan lain.
Maka diskusi pagi ini, mulai pukul 09.00-12.00, sangat
gayeng karena begitu banyak pertanyaan dari para dosen. Peribahasa ikan sepat
ikan gabus (lebih cepat lebih bagus) tidak berlaku di sini. Kalau tidak
mengingat waktu, diskusi bisa-bisa kebablasan sampai seharian karena begitu
banyaknya keingintahuan mereka tentang PPG. Saya menyampaikan apa itu PPG,
proses rekrutmen, kurikulum, evaluasi, uji kompetensi, dan perjalanan PPG mulai
dari awal sampai saat ini. Juga tentang bagaimana seharusnya kurikulum S1
dikemas agar selaras dengan kurikulum PPG. Hal-hal yang ternyata sebagian besar
masih belum mereka pahami.
Dr. Sugeng, ketua prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Inggris mengakui bahwa ketika UB memutuskan untuk membuka program pendidikan,
itu merupakan keputusan yang berani. Sampai saat ini, izin operasional dari
Dikti belum turun, borang akreditasi sudah dikirimkan ke BAN-PT dan saat ini
sedang menunggu untuk divisitasi. Dua-tiga tahun lagi, prodi-prodi tersebut
sudah meluluskan, namun gambaran seperti apa kelanjutan 'nasib' para lulusan
nanti masih samar-samar. Namun dengan adanya diskusi hari ini, para dosen sudah
memperoleh gambaran, betapa mau tidak mau, bila ingin lulusannya menjadi guru,
tidak ada pilihan lain kecuali harus menempuh PPG. Empat tahun perkuliahan
mereka adalah pendidikan akademik; oleh karena guru adalah sebuah profesi, maka
mereka harus menempuh pendidikan profesi, dan itulah PPG. Begitulah amanah UU
Sisdiknas dan UUGD.
Berkaitan dengan SM-3T yang saat ini merupakan kebijakan
dalam perekrutan peserta PPG, para dosen itu nampak 'terkaget-kaget'. Betapa
'soro'nya hanya untuk bisa menjadi guru. Apa sih urgensinya itu semua?
Begitulah 'gugatan' salah satu dosen dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Inggris.
Tidak salah pertanyaan tersebut. Masa pengabdian setahun
di daerah 3T bukanlah tugas yang ringan. Tapi misi SM-3T ini sangat sesuai
untuk lebih membekali para calon guru dengan pengalaman nyata di lapangan.
Selain juga untuk misi mulia turut membantu percepatan pembangunan pendidikan
di daerah 3T, misi yang lain adalah untuk mengembangkan wawasan dan jiwa keindonesiaan
serta turut berpartisipasi dalam menjaga keutuhan NKRI. Saya memberikan banyak
ilustrasi betapa para peserta SM-3T itu harus berjuang sedemikian rupa untuk
memecahkan berbagai persoalan pendidikan, di antara tajamnya perbedaan kultur
dan agama. Namun mereka benar-benar mampu survive. Pada awalnya mungkin
iming-iming PPG menjadi motivasi utama. Namun setelah mereka terjun ke daerah
3T, panggilan jiwa untuk menjadi bagian dari pembangunan pendidikan di pelosok
Indonesia itulah yang lebih mengedepan. Ini terbukti, sebagian besar dari
mereka memastikan diri untuk kembali ke daerah 3T tempat tugas mereka setelah
menyelesaikan PPG.
PPG adalah 'pertaruhan terakhir' LPTK untuk menghasilkan
guru yang profesional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan
kompetensi guru. Sertifikasi dengan portofolio, sertifikasi dengan PLPG, belum
menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu, mengingat jumlah LPTK
yang lebih dari 300 di seluruh Indonesia, dengan mutu yang sangat beragam,
mulai dari kelas 'jembret' sampai kelas unggul, PPG adalah filter untuk
menghasilkan guru-guru yang profesional. Faktanya, setiap tahun dihasilkan
ribuan lulusan LPTK, hal ini tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan guru,
sehingga terjadi oversupply. Maka untuk mendapatkan guru-guru yang unggul, PPG
merupakan jalan keluar. Dan bila saat ini sampai beberapa tahun ke depan
kebijakan PPG menyangkut inputnya adalah hanya mereka yang telah melaksanakan
pengabdian melalui SM-3T, maka akhirnya hanya mereka yang memang benar-benar
terpanggil untuk menjadi guru sajalah yang akan menjadi guru.
Malang, 26 Desember 2012
Wassalam,
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...