Pages

Minggu, 26 Februari 2012

Ketika Sekolah adalah Penting

Adalah Rahmad Syarifuddin, salah satu mahasiswa saya di Prodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK). Baru sekitar seminggu yang lalu dia menemui saya di ruang saya di Program Pascasarjana (PPs). Tujuannya adalah meminta ujian susulan. Tentu saja dia sudah menghubungi saya sebelumnya melalui telepon. Anak MA (Madura Asli) itu sopan sekali. Attitude-nya sangat bagus. 

Ini adalah ujian yang kelima yang ditempuhnya. Sendirian. Semua temannya sudah selesai menempuhnya. Bahkan perkuliahan semester ini sudah berakhir sejak dua minggu yang lalu. 

Pada matakuliah Teori Belajar, saya memberi 5 kali ujian, untuk teori belajar perilaku dan sosial, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivis, pemotivasian belajar, dan strategi-strategi belajar. Setiap satu topik selesai dibahas (biasanya memerlukan waktu dua atau tiga kali pertemuan), pertemuan berikutnya adalah ujian. Soal ujian terdiri dari dua bentuk, multiple choice dan essay. Soal jenis pertama harus dikerjakan tanpa membuka buku, soal jenis kedua boleh membuka buku dan internet, yang penting harus dikerjakan sendiri. Selain ujian, untuk setiap topik, mereka harus membuat ringkasan dalam bentuk power point, dengan ketentuan tertentu (saya membuat rubrik penilaian power point untuk digunakan sebagai pedoman). Pada power point itu juga, mereka harus memunculkan dua pertanyaan yang berbobot terkait dengan topik yang diringkas (penerapan strategi membuat ringkasan, bertanya, dan metakognitif). Pola ini mungkin cukup berat bagi sebagian besar mahasiswa, namun karena dari pengalaman selama ini pola tersebut memberikan banyak manfaat dalam hal meningkatkan motivasi, pemahaman, dan kemajuan belajar mahasiswa, maka pola yang saya adopsi dari Prof. Nur ini masih saya pertahankan.  

Kembali ke Rahmad Syarifudin. Anak muda itu baru mengikuti satu kali pertemuan di awal perkuliahan, ketika sebuah kecelakaan lalu lintas menimpanya pada awal semester yang lalu. Sepulang dari mengajar, sepeda motor yang dikendarainya terserempet mobil, dan dia terjatuh dengan luka kaki yang sangat parah. Ya, kakinya patah. Maka tidak ada pilihan, dia harus dioperasi untuk memulihkan kakinya, dan menjalani perawatan yang cukup lama. Ibunya menelepon saya dari rumah sakit, memintakan izin anaknya untuk sedikitnya tiga bulan (sesuai kata dokter) tidak mengikuti kuliah. Tiga bulan. Artinya lebih dari 50 persen dia akan absen. Maka ketika ibunya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, apakah Rahmad masih boleh meneruskan kuliahnya, saya jawab, 'ya, tentu saja boleh'. Beliau bertanya lagi, 'tapi kalau absen selama tiga bulan, apakah dia bisa lulus untuk matakuliah yang ditempuhnya di semester ini?' Saya sejenak bingung, namun secepat mungkin saya jawab, 'Ibu, apa pun konsekuensinya, Rahmad harus sehat dulu kan? Insyaallah Allah akan mengatur semuanya dengan sangat baik. Yang penting sekarang fokus pada kesehatan Rahmad dulu.'

Sekitar sebulan setelah itu, Rahmad menelepon saya kalau dia sedang berada di Surabaya. Dia ingin menemui saya setelah kontrol di RS PHC. Karena kebetulan saya sedang ada tugas di luar kota, maka saya katakan, mungkin sebaiknya dia langsung pulang saja ke Madura, toh dia masih dalam keadaan sakit, dan tidak boleh terlalu banyak bergerak. Namun ternyata besoknya, ketika saya bertemu dengan Prof. Fabiola, dosen pengajar matakuliah Bahasa Inggis di Prodi S2 PTK, beliau bercerita kalau kemarin Rahmad menemui beliau. Nampak sekali Prof. Fabiola begitu terkesan pada anak itu. Dengan diantar ibunya, berjalan dibantu kruk, Rahmad berusaha menemui dosennya satu per satu untuk meminta izin tidak mengikuti kuliah selama kondisinya belum memungkinkan; padahal sebenarnya dia sudah meminta izin melalui telepon. 

Sekitar dua minggu setelah itu, Rahmad menelepon lagi, dan mengatakan bahwa dia ingin menemui saya. Dia katakan, dia habis kontrol di RS PHC, dan saat ini sedang meluncur ke kampus. 

Akhirnya, muncullah anak itu di hadapan saya. Berjalan tertatih-tatih dengan dua kruk menyangga tubuhnya, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Ibunya mendampinginya dengan penuh kesabaran. Mereka diantar pamannya dari Madura dengan mobil pick-up. Ibunya adalah seorang guru SD. Rahmad merupakan anak satu-satunya, dan bapak Rahmad sudah lama meninggal. Karena begitu kuatnya keinginan Rahmad untuk sekolah, ibunya memberanikan diri mengambil pinjaman dari bank, sejumlah 10 juta. Uang itu sudah digunakan untuk membayar SPP semester pertama, dan saat ini yang 5 juta, cadangan untuk SPP semester kedua, masih tetap di tabungan. Bahkan meskipun beliau memerlukan banyak dana untuk pengobatan Rahmad, beliau memilih meminjam dari koperasi sekolah dan dari teman-temannya yang lain; dan tidak mengutak-atik uang sekolah Rahmad. Juga ketika rumahnya rata dengan tanah karena diterjang angin puting beliung, beliau tetap bertahan untuk tidak menggunakan uang sekolah itu; namun meminjam dari sanak-saudaranya untuk memperbaiki rumahnya. Perempuan sederhana itu menceritakan semuanya dengan sangat tegar, dengan tutur katanya yang lancar, tidak ada nada mengeluh, bahkan berkali-kali justru rasa syukur yang meluncur dari bibirnya, karena meskipun cobaan beruntun menderanya, Allah tetap melindunginya dan anaknya,  dan selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya.

Rahmad mengatakan, kalau kondisinya sudah memungkinkan, dia akan mengumpulkan semua tugas dan akan menempuh semua ujian untuk mata kuliah saya. Dia juga akan lakukan hal yang sama untuk matakuliah lain. Dia tanyakan apa itu bisa. Saya katakan, bahwa saya belum bisa memastikan saat ini. Bahwa jumlah kehadiran mempengaruhi nilai partisipasi kelas. Karena saya kaprodi S2 PTK, saya berjanji, saya akan menghubungi semua dosen pengajar, meminta kesediaan beliau semua untuk melayani Rahmad dengan memberinya kesempatan untuk mengumpulkan tugas dan menempuh ujian. Setidaknya, meskipun nilainya tidak bisa optimal, karena nilai partisipasinya pasti sangat rendah, namun setidaknya, yang penting dia bisa lulus, bahkan dengan nilai minimal sekali pun (tentu saja kalau dia dinilai pantas lulus;  saya tidak akan melakukan intervensi pada dosen yang bersangkutan, karena itu menyangkut kewenangan dosen). Saya juga katakan pada Rahmad, saya harus konsultasikan kebijakan ini pada Prof. Muslimin, Asdir I PPs.

Besoknya, ketika saya menelepon semua dosen, jawaban beliau-beliau melegakan saya. 'Oke, bu Lutfi, no problem'. Kata Prof. Fabiola. 'Siap, Prof.' Jawaban Prof. Munoto. Jawaban dosen-dosen yang lain pun bernada sama. Prof. Muslimin, Asdir I, juga menyerahkan pada kebijakan saya sebagai Kaprodi, dan kesepakatan dosen-dosen pengajar. Saya benar-benar lega. 

Saya sampaikan kabar yang melegakan itu kepada Rahmad. Dia nampak senang sekali, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Dia berjanji akan segera mengikuti kuliah bila kondisinya sudah memungkinkan, dan akan sebisa mungkin mengejar ketertinggalannya.

Tiga kali pertemuan sebelum perkuliahan semester ini berakhir, Rahmad tiba-tiba muncul di kelas. Masih mengenakan kruk, tapi tinggal satu. Saya tanyakan ke dia, apakah kondisinya sudah memungkinkan untuk ikut kuliah. Dia jawab, 'insyaallah, ibu. Yaa....dipaksa-paksa sedikit, ibu, sekalian latihan jalan.' Sejak itu, dia mulai mengumpulkan tugasnya satu demi satu, menempuh lima kali ujiannya setahap demi setahap; dan itu dilakukannya juga untuk matakuliah yang lain. Setiap kali saya ketemu dosen pengampu matakuliah, hampir semuanya mengemukakan kekagumannya pada Rahmad. Pada daya juangnya dan motivasi belajarnya yang luar biasa. Pada kehalusan budi pekerti dan kesantunannya. Hampir setiap hari selama minggu-minggu terakhir perkuliahannya itu, dia menyetorkan tugas-tugas, menempuh ujian, dan mengikuti kuliah demi kuliah. Di dalam setiap perkuliahan, dia berusaha untuk sepenuhnya terlibat, bertanya, menanggapi, menunjukkan kesungguhannya untuk mengejar ketertinggalannya dalam nilai partisipasi kelas.

Sebagai seorang dosen yang sudah puluhan tahun bertugas, saya sering dibuat terharu dengan kegigihan beberapa mahasiswa saya. Beberapa dari mereka ke kampus sambil membawakan nasi bungkus untuk teman-temannya, tentu saja teman-temannya itu harus membelinya. Atau membawa goreng-gorengan (tahu, tempe, pisang, dll). Ada juga yang harus membagi waktu sedemikian rupa karena dia bekerja sebagai tenaga casual di sebuah hotel, sehingga kadang-kadang di kelas dia terkantuk-kantuk kelelahan. Saat ini ada sekelompok mahasiswa bimbingan saya berwirausaha dengan menjual berbagai makanan di kampus, dan mereka seringkali berlari-lari untuk mengejar perkuliahan yang akan segera dimulai. Namun begitu, mereka menjalani aktivitas kuliahnya dengan sangat baik,  tugas selalu tepat waktu, UTS- UAS tidak ketinggalan, dan aktif di kelas.

Sebagian besar mahasiswa S2 saya adalah guru dan sebagian lagi dosen, yang tetap harus mengajar di antara waktu-waktu kuliahnya. Seorang mahasiswa saya, Abdul Fatah, guru SMA di Lamongan, setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, 'nglajo' dengan vespanya. Seorang lagi, dosen Unmuh Madiun, 'ngebus'. Beberapa yang lain, bersepeda motor PP Pamekasan-Surabaya, Mojokerto-Surabaya, dan Jombang-Surabaya. Spirit mereka, ya spirit itu,  begitu bisa saya rasakan. Spirit untuk menuntut ilmu, apa pun motivasinya. Padahal, kalau mereka sekedar ingin dapat ijazah S2, mereka bisa mendapatkannya dengan jauh lebih mudah dari banyak perguruan tinggi swasta yang menawarinya. Tidak harus bersusah-payah dengan menjadi mahasiswa reguler dengan segala macam aturan dan beban kuliahnya.

Semua itu dikarenakan, bagi mereka, sekolah adalah penting. Mungkin ada banyak hal juga yang sebenarnya bagi mereka tidak sesuai dengan keinginan. Dosen yang terlalu banyak memberi tugas, dosen yang seringkali mengubah-ubah jadwal semaunya, dosen yang sangat pelit nilai, bahkan dosen yang membosankan ketika mengajar. Tapi mereka semua menjalaninya dengan sangat realistis. Bagaimana pun mereka sudah ada di sini, dan 'do my best', itulah pilihan sikap yang terbaik. Bahkan bagaimana menghadapi kejenuhan yang luar biasa saat dosen mengajar dengan membosankan, perlu kemampuan mengelola emosi dan daya tahan. Bila mereka mampu melewatinya, maka satu tahap telah berhasil dicapainya. Selalu ada hal baik yang bisa dipetik, bahkan dari seorang dosen yang mengajar dengan cara yang paling membosankan sekali pun.... 

Bagi mereka, pendidikan jelas bukan sekedar persekolahan (meminjam istilah Daniel M. Rosyid dalam 'Dunia setelah Sekolah'); dan bagi mereka, belajar juga bukan sekedar untuk lulus ujian.  Pendidikan dan belajar bagi mereka, saya yakin, adalah benar-benar untuk bekal menyongsong masa depan....

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...