Pages

Kamis, 02 Februari 2012

Siapa yang Sangka Kalau 'Dia' itu Rektor?

Saya mengenalnya jauh sebelum saya jadi dosen Unesa. Ya, ketika saya masih mahasiswa, dan aktif di Himapala. Konon kabarnya, 'dia' dulunya aktif di Himapala juga, setidaknya simpatisan. Dan banyak cerita lain tentang sepak terjangnya, sejak masih sebagai ketua Dewan Mahasiswa sampai kiprahnya sebagai dosen dan konsultan di lingkungan kementerian pendidikan nasional di Jakarta. 

Keterlibatan pertama saya dengannya adalah pada tahun 2000-an. Ketika ada proyek penyusunan standar kompetensi dan bahan ajar untuk SMK. Dia meminta kami sebagai tim ahli. Kami, waktu itu terdiri dari pak Ismet, pak Soeryanto, dan saya sendiri. Saya dipercaya sebagai bendahara. Nilai proyek waktu itu, saya masih ingat betul, Rp. 300.000.000,- 

Itu keterlibatan pertama saya dengannya. Entah mengapa, meskipun sebelumnya saya tidak pernah terlibat dalam satu kegiatan bersama, namun saya langsung merasa sangat akrab dengannya. Lebih-lebih ketika dia tahu suami saya orang Ponorogo, satu 'kampung' dengannya. Dia adalah salah satu motivator hebat bagi kami orang-orang muda. Membukakan banyak celah dan jalan untuk kami bisa berbuat sesuatu. Dia seperti bapak bagi kami. Dia bisa saja tiba-tiba menepuk-nepuk keras pundak kami, atau mengucek-ngucek kepala kami, layaknya seorang bapak pada anaknya. Di mata saya, dia begitu cerdas, cekatan, terampil, sekaligus humoris, sangat kebapakan, dan rada 'ngoboy'. 

Sejak itu saya dilibatkan di beberapa kegiatan yang dia sebagai leader-nya, meskipun hanya sekedar sebagai anggota tim pengumpul data, asesor, evaluator, verifikator, pengembang buku pedoman, pengembang uji sertifikasi, dan lain-lain, sejak dia masih malang-melintang sebagai konsultan dan tim ahli di Jakarta, menjabat sebagai PR 4 Unesa, sebagai Direktur Ketenagaan di Dirjen Dikti, sampai akhirnya kembali lagi ke Unesa sebagai Rektor. Berbagai tugas dibebankan di pundak saya dan teman-teman. Sesekali kami merasa 'kepontalan' karena ide-idenya begitu deras berhamburan dan kami dipaksa harus mampu menangkapnya serta mewujudkannya secepat yang dia inginkan. 

Pertengahan Desember tahun kemarin, saya menghadap dia ke ruangannya, dengan membawa dua orang pejabat Dinas PPO Sumba Timur. Dua pejabat itu kami datangkan untuk menjadi narasumber pada kegiatan prakondisi SM-3T. Beliau berdua memberikan materi tentang gambaran pendidikan serta kondisi sosial kemasyarakatan di Sumba Timur. Setelah saya kenalkan kepadanya siapa dua pejabat itu, dia menyampaikan apresiasinya dengan sangat simpatik sehingga membuat dua pejabat itu merasa sangat dihargai. Dia juga katakan bahwa suatu saat dia ingin mengunjungi daerah yang paling terpencil, yang digunakan sebagai tempat tugas peserta SM-3T, ingin bermalam di sana bersama mereka dan belajar banyak hal dari masyarakatnya. Mungkin bagi dua pejabat itu, pernyataannya dianggap sebagai sesuatu yang musykil, pernyataan yang tidak lebih sebagai 'gaya standar' para pejabat bila bersemuka dengan pejabat dari daerah, apalagi dari daerah 3T seperti Sumba Timur. Namun dalam pandanganku, dia tidak main-main dengan pernyataannya itu. Saya yakin, pernyataan itu tidak sekedar lips service.

Dan benar. Dua minggu sebelum saya dan tim merencanakan untuk turun melakukan monev SM-3T ke Sumba Timur, saya menghadap lagi ke ruangannya. Saya tanyakan apakah dia serius ingin berkunjung ke Sumba Timur. Dia katakan ya, dan minta supaya dicarikan waktu yang di antaranya ada hari Sabtu dan Minggu, sehingga tidak terlalu lama meninggalkan kampus. Ketika saya berrtanya apakah dia ingin berkunjung dengan rute yang dekat-dekat saja, atau yang sedang, atau yang terjauh....jawabnya, beri saya rute yang terjauh. Saya jelaskan kepadanya, rute yang terjauh memerlukan waktu tempuh lebih dari 10 jam karena harus menyusuri 3 kecamatan, dia balik bertanya, 'terus kenapa?'. Saya jelaskan lagi, rute itu medannya sulit sekali, banyak jalan rusak, melewati hutan, banyak jurang, berkelok-kelok tajam, menyeberang sungai, dia bertanya lagi, 'ya, terus kenapa?' Saya jelaskan lagi, kalau memilih rute itu, berangkatnya harus pagi sekali, sampai di sana malam, harus menginap, dan besoknya tidak bisa langsung balik ke kota karena masih harus melanjutkan perjalanan ke pelosok; dan sekali lagi dia balik bertanya, 'ya! Terus....kenapa?'. Lantas sayalah yang  balik bertanya: 'apakah ini pelampiasan? Pelampiasan jiwa petualangan?' Dia tertawa lebar. Saya pun pamit, keluar ruangan, sambil bergumam: 'dasar petualang.....!'

Maka berangkatlah rombongan kami pada 25 Januari yang lalu. Menumpang Batavia, berangkat pukul 08.30 WIB. Ada 21 orang, termasuk di dalamnya adalah seorang asisten mendikbud, seorang wartawan media cetak, 4 orang dekan, 2 orang tim penjaminan mutu, seorang humas Unesa, 3 orang tim pendukung, selebihnya adalah tim inti SM-3T. Sebelas orang yang lain, yang sebagian besar dari media dan selebihnya dari humas Dikbud dan Dikti, berangkat langsung dari Jakarta, dan kami akan bertemu dalam pesawat yang sama setelah transit di Kupang.

Tidak ada masalah selama dalam perjalanan. Dia bukan tipe pejabat yang rewel yang selalu harus dilayani. Bukan tipe pejabat yang suka 'jaim'. seringkali justeru dialah yang melemparkan joke-joke segar dan kadang-kadang terkesan 'rodo urakan'. 
  
Namun ketika berada di ruang kerja bupati Sumba Timur, bertemu dengan bupati, wakil bupati, ketua DPR, para asisten bupati, sekda, kepala dinas PPO, dan hampir seluruh pejabat Sumba Timur, setelah dijamu makan malam bersama, dia menjadi sosok yang luar biasa elegan. Berbusana batik, duduk di depan berdampingan dengan bupati, ketua DPR, dan wakil bupati, sementara di depannya adalah kami tim monev, para pejabat Sumba Timur yang lain, serta kru media cetak, TV serta humas. Begitu cepatnya dia menangkap semua persoalan pendidikan yang dilontarkan bupati (mulai dari kekurangan guru, keterbatasan fasilitas dan sarpras, rendahnya etos kerja, dan lain-lain), dan menawarkan alternatif solusinya, termasuk melemparkan berbagai program kerjasama yang bisa dilakukan untuk membantu memecahkan permasalahan pendidikan tersebut. Wawasannya yang sangat luas, dilengkapi dengan pengalaman empirisnya, serta kemampuan akademik dan penguasaan pada berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan, membuat semua tawarannya begitu cerdas dan membumi. Tak pelak lagi, bupati, wakil bupati, ketua DPR, para asisten bupati, kepala dinas, semuanya bersepakat 'ya' menerima tawarannya, dan akan berusaha melakukan apa pun untuk mewujudkan kerjasama dalam bidang pendidikan di Sumba Timur tersebut. Seorang teman saya, pak Ismono, berbisik ke saya, 'sakjane dia ke sini ini sebagai rektor opo PR 4 se?' 

Empat hari itu saya lalui bersamanya. Empat hari yang luar biasa. Bukan hanya karena saya 'blusukan' dan 'blakraan' di medan yang saya tidak pernah bayangkan sesulit itu untuk mencapainya. Bukan karena mata saya yang tiba-tiba basah saat melihat seorang anak ingusan yang terhuyung-huyung jatuh dengan setumpuk kayu bakar di atas kepalanya. Bukan karena saya mendadak menjadi seperti mati rasa ketika menatap ratusan anak sekolah yang berbaju lusuh dan bertelanjang kaki dengan tubuh kotornya. Bukan karena saya yang serta merta kehilangan kata-kata ketika melihat balita-balita kurus kering berkulit kusam dan sangat memprihatinkan keadaannya. Bukan karena saya yang  tiba-tiba jadi orang yang paling sentimentil di dunia karena menyaksikan serombongan kuda berlarian di pantai yang indah.  Bukan hanya karena itu semua. Tapi terutama karena orang itu. Dengan berat hati saya harus katakan, sulit mendapati orang seperti dia. Rela bersusah-payah menempuh jarak dan mengambil risiko bahaya karena begitu sulitnya medan, hanya demi melihat bagaimana keadaan anak-anak sekolah dan para peserta SM-3T, seperti apa tempatnya, amankah mereka, apa yang mereka makan, dan apa yang dibutuhkannya? Dia bahkan bisa mendapatkan semua informasi itu dari kami, dengan hanya menunggu kami melaporkannya dari balik mejanya.... 

Ketika pulang menuju Surabaya, tidak ada sedikit pun kesan lelah di wajahnya. Senyumnya tetap saja mengembang pada siapa saja. Sapanya tetap ramah menyejukkan. Tawanya tetap renyah membawa keceriaan. Lepas, lepas sekali. Persis seperti ketika pertama kali datang ke Waingapu, selama perjalanan ke pelosok, dan saat menjelang pulang kembali ke Surabaya. Di pelosok, setiap kami berhasil 'melanggar' sungai, atau melampaui medan yang curam, dia bahkan nampak jauh lebih 'lepas', lengkap dengan tepuk tangan dan teriak-teriakannya: 'ini baru...! Ini baru yang namanya jalan....! Ini baru! Luar biasa! Ha ha ha.....'. Sampai-sampai saya sempat berseloroh: 'saya khawatir lihat bapak. Susahnya seperti ini kok malah kelihatan bahagiaaa sekali.' Tawanya malah lebih keras. Berderai-derai. Membuat kami semua, termasuk para petugas kecamatan yang mengantar kami, tertawa 'cekakakan'. 

Dan sekarang dia ada di antara kami semua, tim lengkap, siap kembali ke Surabaya. Mengenakan kaus berkerah berwarna abu-abu, jaket dililitkan di pinggangnya, ransel hitam menggantung di punggungnya, dan sebelah tangannya menenteng tas kresek. Tahukah apa yang ada di dalam tas kresek itu? Dua buah telur burung moleo (burung kecil khas Sumba yang telurnya hampir sebesar telur angsa), dan lombok rawit khas Sumba. Berjalan melenggang tanpa beban. Saya katakan kepadanya, 'bapak, saya sering bertemu bapak-bapak yang lain di bandara. Beliau selalu 'ngagem' jas, rapi, licin. Tidak ada yang melilitkan jaket di pinggang. Apalagi bawa tas kresek". Tapi dia cuma 'nyengir', 'cuek', dan 'ngakak'. 
Dia, maaf, maksud saya 'beliau' itu...dengan segala kesederhanaannya, kerendah-hatiannya, kedekatannya pada siapa pun, siapa sangka kalau 'beliau' itu rektor.....

Waingapu, 25-28 Januari 2012

LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...