Pages

Senin, 13 Februari 2012

Honeymoon, Silaturahim, Wisata Kuliner

Minggu, 15 Januari 2012

Jumat, 13 Januari 2012, pukul 16.00-an, saya dan mas Ayik meluncur ke Batu. Ada rapat senat di hotel Purnama. Sampai di hotel Purnama sudah pukul 19.30-an, langsung bergabung dengan pak rektor, dan anggota senat yang lain, makan malam. Hanya sedikit waktu yang tersisa untuk family gathering, sebelum akhirnya kami yang anggota senat masuk ke ruang rapat untuk membahas statuta, dan para keluarga meneruskan gatheringnya, atau beristirahat di kamar masing-masing. Mas Ayik lebih memilih masuk kamar, beristirahat dan bersantai menikmati acara-acara di TV.

Rapat senat berakhir sekitar pukul 23.00-an. Banyak masukan untuk menyempurnakan statuta Unesa, dan finalisasi statuta  dipercayakan pada tim statuta. Di luar ruang rapat sudah menunggu puluhan durian dan jagung manis yang siap bakar. Saya langsung ingat mas Ayik, maka saya meneleponnya agar dia keluar kamar dan bergabung dengan pak Rektor dan yang lain, pesta durian dan jagung bakar. Karena mas Ayik kenal akrab dengan hampir semua anggota senat, maka dia pun langsung tenggelam di kerumunan orang-orang yang mengitari setumpuk durian, termasuk bu Kisyani, pak Nurhasan, pak Ismet, bu Titik, dan lain-lain.

Sabtu, 14 Januari 2012

Pagi sekitar pukul 06.30-an, kami semua sudah berkumpul lagi di ruang makan. Rapat senat sudah ditutup semalam. Hari ini acara bebas bersama keluarga. Beberapa orang sudah dari pagi berada di lapangan tenis, sebagian lagi jalan-jalan di sekitar hotel, sebagian lagi jogging, namun ketika waktunya makan pagi, sebagian besar sudah berkumpul di ruang makan.

Saya dan mas Ayik berpamitan setelah menyelesaikan sarapan kami dan beramah-tamah sejenak dengan yang lain. Kami berniat meneruskan perjalanan menuju Blitar. Ada banyak teman kami di sana, yang sudah lama tidak bertemu, dan sudah sejak lama sekali ingin kami kunjungi. Seorang teman SMP, tiga orang teman kuliah, tiga orang teman Himapala. Ada juga mantan mahasiswa saya yang kebetulan mau menikah. Tempat mereka tersebar, ada yang di Talun, Lodoyo, Jatinom, selebihnya di kota. Maka sejak masuk kabupaten Blitar, sampai di Kanigoro, kami langsung mengambil arah menuju Lodoyo, ke  rumah Naning, mantan mahasiswa saya yang saat ini sudah menjadi guru PNS di SMK 3 Blitar, yang akan menikah tanggal 19 Januari nanti. Sepanjang perjalanan ke rumah Naning, kami dipandu oleh Naning dan kakaknya untuk bisa mencapai rumahnya yang lumayan jauh dari kota. Bertemu Naning, bapak-ibunya, saudara-saudaranya, membuat kami merasa sangat bersyukur, karena mereka menyambut kami dengan sangat baik, bahagia, dan mungkin agak terharu (didatangi jauh-jauh oleh mantan dosennya mungkin merupakan satu penghormatan tersendiri bagi Naning sekeluarga). Kami disuguh soto ayam dan oseng-oseng kikil, enak dan sedap (Naning termasuk mahasiswa yang terampil memasak dan menjadi salah satu andalan kami di dapur Baking and Catering Course, pusat pelatihan di bawah prodi Tata Boga). Lantas kami pamit pulang, dilepas Naning sekeluarga, lengkap dengan dua kresek makanan yang sudah disiapkan untuk kami bawa. Puas rasanya bisa mengunjungi Naning dan bertemu dengan keluarganya yang ramah serta menyenangkan.

Dari Lodoyo, kami meluncur menuju kota. Ada Hendra Riyanti, teman sekelas saya di prodi D3 Tata Boga, yang telah menunggu di rumahnya, di jalan Anjasmoro. Selama hampir 24 tahun, saya hanya sekali bertemu Hendra, ketika dia mau mengambil S1 Tata Boga (mungkin sekitar 6 tahun yang lalu, waktu itu dia sempat menginap di rumah. Tapi akhirnya pilihannya jatuh pada UNIPA, yang lebih bisa mengakomodasi 'kebutuhannya').

Bertemu Hendra, 'gemparnya' seperti yang saya bayangkan. Hendra adalah pribadi yang kocak luar biasa, nyerempet-nyerempet ke jorok, dan suara serta tawanya keras menggelegar seperti pekikan kuda (ibu saya selalu menegur saya kalau saya tertawa keras: 'lek ngguyu ojo banter-banter koyo jaran...wakakkak....). Dia guru honorer di SMK PGRI Blitar. Menikah ketika usianya sudah 38 tahun dan suaminya berusia 48 tahun. Dia bercerita, ketika dia di'rapak' oleh naib, dia tidak banyak ditanya karena naibnya keburu 'ngguyu kepingkel-pingkel'. Pasalnya, ketika dia ditanya, apa benar dia masih perawan dan calon suaminya juga masih perjaka, dia jawab, 'inggih, pak naib. Kulo taksih perawan ting-ting lan calon bojo kulo nggih taksih joko ting-ting. Menika perawan mejen kepanggih joko mejen'.

Hendra menghubungi teman-teman kami yang lain. Tina, yang alamatnya di jalan Kelud, akan datang bergabung segera setelah dia menghentikan kegiatannya menyeterika (Tina seorang ibu rumah tangga, mengisi kesibukannya dengan membuka katering kecil-kecilan). Seorang lagi teman kami, Ratna, rumahnya ada di Talun, tapi dia tidak bisa bergabung. Selain karena jaraknya bagi dia lumayan jauh, hujan deras lagi, dia juga sedang ada kegiatan PKK. Teman kami ini belum menikah. Dia sempat mengidap kanker rahim selepas kuliah. Menurut Hendra, Ratna yang dulu manis dengan matanya yang bulat 'blalak-blalak', sekarang kurus kering. Cerita Hendra itu membuatku sangat kepingin ketemu Ratna. Maka kami memutuskan untuk meluncur ke Talun, ke rumah Ratna, setelah sebelumnya Hendra memberi tahu Ratna melalui telepon, kalau kami akan mengunjunginya.

Hujan deras sore itu tidak menghalangi mas Ayik membawa kami bertiga menuju Talun. Pukul 16.30-an kami keluar dari rumah Hendra, setelah menunaikan solat ashar. Hanya sekitar 15 menit kami sudah mencapai Talun, langsung menuju balai desa karena Ratna ada di sana. Seorang perempuan bertubuh kecil berpayung menerobos hujan, keluar dari balai desa. Itulah Ratna. Hatiku serasa kelu melihat sosoknya. Tubuhnya yang dulu padat berisi kini kecil berbalut kulit yang agak kusam. Kanker rahim telah menggerogotinya sedemikian rupa sehingga sisa-sisa kecantikan yang tertinggal hanyalah mata bulatnya yang berbinar-binar menjumpai kami. Kami berpelukan lama, di bawah payung yang tidak mampu menepiskan air hujan karena saking derasnya, dan aku berusaha menyembunyikan mataku yang basah. Tanpa pikir panjang, Ratna kami minta untuk masuk mobil, dan dia pun tidak menolak sama-sekali, serta meminta kami semua untuk mampir ke rumahnya.

Di rumah Ratna, sudah ada sekantung plastik besar rambutan binjai (tapi asli Blitar), yang disiapkan bapak-ibu Ratna. Dan kelakar Hendra pun meluncur. "Yaaa....alhamdulilah. Suwun, Rat, wis mbok cepaki. Aku ra sah nggolekno Lutfi....." Dan tawa kami berderai-derai.

Sore itu kami habiskan waktu bercengkerama di rumah Ratna, mengenang semua masa indah selama kuliah. Ya, masa-masa indah. Bahkan cerita sedih pun saat ini menjelma menjadi cerita menyenangkan. Ratna pernah berpura-pura kecopetan di terminal Blitar, lantas lapor petugas, supaya dia bisa naik bus ke Surabaya gratis. Pasalnya, hari itu kami harus membayar biaya job training, dan uang Ratna hanya cukup untuk melunasi biaya itu. Banyak cerita-cerita yang sebenarnya menyedihkan saat itu, namun sekarang menjadi cerita yang begitu menggelikan.

Lepas dari rumah Ratna, sore sekitar pukul I7.30. Setelah pamit dan kami berpelukan lama, dengan sekantung plastik penuh rambutan binjai, kami berempat meluncur ke rumah teman-teman yang lain; dua temanku Himapala, dan seorang temanku SMP. Juga mampir ke rumah Tina, bertemu dengan suami dan anak-anaknya. Kami juga makan malam bersama di warung depan rumah Tina, dengan menu mi godog dan nasi goreng jawa. Enak sekali. Memasaknya pakai anglo, pakai dikipas-kipas arangnya,  jadi ada citarasa khas yang berbeda, di samping memang pembumbuannya yang mungkin lain dari yang lain. Mi godog dan nasi goreng bumbu jawa (dengan rasa kecapnya), tapi sedikit bercita rasa chinese food. Mas Ayik sampai tambah seporsi lagi, dan anak laki-laki Tina 'ngrusuhi' ibunya minta disuapin, padahal dia sudah habis seporsi. Saya minta dia untuk nambah lagi, dia tidak mau, malu mungkin. He he.

Sampai akhirnya pukul 21.00 lebih, saya dan mas ayik check in di hotel Patria. Hotel tersebut jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah Hendra. Dan berpisahlah kami malam itu dengan Tina dan Hendra, setelah berjanji besok pagi akan bertemu lagi untuk sarapan nasi pecel kembangan.

Minggu, 15 Januari 2012

Pagi, sekitar pukul 5.30, saya dan mas ayik sudah keluar dari kamar hotel. Jalan-jalan di sekitar hotel. Ada banyak bangunan kuno, juga pohon beringin yang mungkin usianya sudah ratusan tahun, ada juga pasar buah yang menjual buah matoa. Sayang buahnya sudah banyak yang kisut, coba masih segar, saya berniat membelinya. Oya, di dekat pasar itu ada Kampus UM juga. Saya dan mas Ayik memasuki halaman kampus itu, cukup luas, bersih, terawat, dan layak disebut kampus. UM memang memiliki kampus di beberapa daerah, setidaknya setahuku ada di Madiun, Blitar dan Jombang.

Pukul 6.30, kami kembali ke hotel. Duduk-duduk bersantai di joglo kecil, melihat serombongan tamu hotel yang keluar masuk. Di antara mereka ada yang masuk dengan membawa sekantung penuh belanjaan, rupanya mereka habis belanja di pasar buah. Beberapa waiter membersihkan meja-meja di sekitar kami, meja-meja yang basah karena embun semalam. Di joglo besar, tidak jauh dari tempat kami bersantai, makan pagi sudah disiapkan, dan beberapa tamu sedang menikmatinya. Saya dan mas Ayik bermaksud menengok saja menu sarapan pagi ini, tapi ternyata tidak 'kuat iman', akhirnya ikut-ikutan ambil piring dan sendok. Menu nasi pecel dengan tahu goreng dan rempeyek kacangnya yang lebar-lebar, meruntuhkan niat kami yang awalnya hanya sekedar ingin menengok saja. Nasi pecel kembangan urusan nanti.

Di tengah keasyikan kami menikmati nasi pecel, Hendra telepon kalau dia dan Tina sedang menuju ke hotel. Kami pun cepat menyelesaikan sarapan pertama kami. Ya, sarapan pertama, karena setelah ini kami akan 'ngandok' di sego pecel Kembangan.

Warung nasi pecel Kembangan tempatnya di desa Bendo, dusun Kembangan. Minggu pagi itu banyak orang yang 'ngandok' sego pecel. Ada beberapa mobil yang parkir di pinggir jalan, beberapa sepeda motor, dan sepeda angin. Puluhan orang sudah duduk mengitari meja-meja di teras dan di halaman rumah.  Kuhitung ada sekitar 30-an orang. Belum terhitung yang ada di dalam rumah, yang tidak kelihatan dari luar. Kami mengambil tempat duduk dengan meja panjang, bergabung dengan orang-orang yang sudah lebih dulu datang.

Warung itu sebenarnya sebuah rumah. Di teras-terasnya dipasang meja kursi untuk makan. Juga di sebagian sudut halamannya. Rumah sederhana, dengan model jualan yang juga sederhana. Makanan diletakkan di atas meja. Nasi putih, sayur-sayuran, sambel pecel, dan tahu-tempe goreng. Ada dua penjualnya. Yang satu khusus melayani pelanggan yang membeli untuk dibawa pulang (dibungkus), jadi kerjaannya 'mbungkuuusss' saja. Tapi tidak semua pembeli yang datang untuk 'mbungkus' bisa dilayani. Dia, tukang bungkus yang sudah sepuh itu, membungkus untuk mereka yang mungkin sudah pesan dari hari kemarin, atau pada pagi-pagi buta tadi. Pesanannya bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan. Kalau Anda nekad pingin 'mbungkus', maka rasakan akibatnya: Anda bisa berjam-jam menunggu dilayani, meskipun hanya memesan satu-dua bungkus. Seorang ibu muda yang sejak kami datang sudah berdiri mematung di depan penjualnya, sampai kami pulang pun dia masih pada posisi semula, tetap mematung di depan penjual itu; padahal dia hanya perlu dua bungkus saja. Luar biasa ujian kesabarannya......

Sesuai urutan. Itulah aturan yang tidak boleh dilanggar. Tanpa kartu antre, tapi penjual hafal betul siapa yang lebih dulu datang dari yang lain. Tina mencoba mengantre setelah orang-orang yang semeja dengan kami dilayani. Tina mengaku kalau kami satu rombongan dengan orang-orang itu, di meja yang sama, namun penjual itu bilang: 'njenengan dereng wancinipun. Ngriku rumiyin, terus ngriko niko, terus sing wonten lebet, nembe njenengan'. Tanpa ekspresi. Tanpa senyum. Dan Tina pun melengos pergi sambil nggrundel: 'ngenteni sampek jamuren'. Kami tertawa 'ngakak'. Jangankan kami, anak kecil yang teriak-teriak 'ma, aku sudah lapar, maaa', tidak digubrisnya. Perasaannya tidak tersentuh sama sekali. Dia tetap 'ngedoli' sesuai urutan, dan anehnya, tidak kelihatan 'gupuh' sama sekali. 'Teplak-teplek', 'ngambil' nasi, kulupan, sambal kacang, tahu-tempe, rempeyek kacang, satu per satu; yang membawa ke meja-meja ya yang beli. Dibawa sendiri.

Luar biasa. Nasi pecel itu memang luar biasa. Porsinya besar, sambal kacangnya pedes, manis, sedaaap sekali. Lauknya tahu dan tempe goreng yang potongannya besar-besar. Dilengkapi dengan rempeyek kacang yang lebar-lebar. 'Sumbut' dengan nunggunya. Mas Ayik 'nambah' seporsi lagi untuk lebih 'nyumbutne' dengan nunggunya tadi. Enak, kenyang. Tapi kalau saya suruh balik ke situ lagi, ampuuunnnn.....

Nggak deh! Makan bayar kok ngantrenya lama buwanget. 'Bakul'nya 'mecucu' lagi. Ilmu pemasaran tidak berlaku di sini. Pelayanan prima di tempat ini adalah melayani pelanggan tanpa senyum, dengan kecepatan sesuai kemampuan penjual, sesuai urutan, dan ambil sendiri makanan Anda. Sangat cocok untuk latihan kesabaran, terutama bagi mereka yang kelaparan. Herannya, begitu kok ya 'buanyak' sekali pelanggannya.

Selepas dari nasi pecel kembangan, kami mengantar Hendra dan Tina pulang ke rumah masing-masing. Kami sekalian pamit pulang ke Surabaya. Senang sekali bisa bertemu kawan-kawan lama, dan kami berharap suatu ketika akan berjumpa lagi...

LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...