Pages

Kamis, 23 Februari 2012

Ibuku

Ibuku, sekarang berusia 77 tahun. Alhamdulilah, dalam usianya yang sudah udhur, ibuku diberikan kesehatan yang menurutku sangat baik. 'Sehate wong tuwo'. Meskipun beliau mengidap diabetes mellitus sejak tahun sembilan puluhan, alhamdulilah ibu nyaris tidak berkurang aktivitasnya. Tetap mengajar ngaji, masih 'kerso' diundang mengisi pengajian kesana-kemari atau sekedar memberikan mauidhotul hasanah di acara-acara pernikahan. Ibu juga tetap aktif mengikuti pengajian rutin di Jombang, dan di beberapa tempat lain. Beliau biasanya pergi bersama teman-teman yang dulunya adalah murid beliau, atau santri beliau, atau setidaknya yang pernah ngaji kepada beliau. 

Bapakku kapundhut pada 8 Mei 1993. Sekitar setahun setelah kelahiran Arga, anak kami (anakku lahir 2 Mei 1992). Waktu itu aku masih kuliah di S2 PTK IKIP Yogyakarta. Ketika bapak kapundut, aku sedang berada di Surabaya (karena mas Ayik kerja di Surabaya), dan anak kami di Ponorogo dengan akung-utinya. Seorang teman kantor mas Ayik mengabarkan, kalau ada telepon dari keluarga Tuban, yang menyampaikan berita duka itu (kami belum punya sambungan telepon di rumah kontrakan kami, jadi komunikasi dengan menggunakan nomor telepon kantor). Aku sontak menangis histeris ketika mas Ayik memberitahuku, meski dia menyampaikannya dengan sangat hati-hati. 

Saat itu juga kami, dengan mobil dan supir kantor, meluncur ke Tuban, tanah kelahiranku. Sepanjang perjalanan aku terisak, dan mas Ayik terus menenangkanku. Yang terbayang-bayang di benakku adalah wajah sepuh bapakku yang lembut, penuh kasih, namun lemah karena penyakit asma yang bertahun-tahun menderanya. Teringat semua kerja kerasnya, perhatiannya, dan semua perlakuan manisnya. Juga kesetiaannya mengabdikan setiap tetes keringatnya untuk menghidupi kami semua. Bapak adalah seorang guru pegawai negeri. Pada pagi hari beliau mengajar di M.Ts Negeri Tuban, siang mengajar di M.Ts Alhidayah yang berada sekompleks dengan rumah kami, selepas maghrib beliau mengajar ngaji para santri di pondok pesantren peninggalan kakek kami. Seringkali selepas shubuh, bapak ke laut untuk menebar jaring, mencari ikan untuk lauk-pauk kami. Bapak yang pendiam, penyabar, jarang sekali memarahi kami. Sebaliknya adalah curahan kasih-sayangnya yang tak pernah pupus, sampai akhir hayatnya.

Sepanjang perjalanan itu segunung penyesalan menyesakkan dadaku. Aku belum sempat membahagiakan bapak. Bahkan setelah sekitar 3 tahun pernikahan kami, bapak dan ibu masih terus begitu perhatian. Sekitar 4 bulan sejak aku kuliah S2 di Yogya, bapak dan ibu menengokku di tempat kos, membawakan hampir semua makanan kesukaanku. Menginap semalam. Saat itu pun bapak anfal sesak napasnya. Menderita sekali beliau, napasnya sangat berat. Tapi bapakku yang tabah menenangkan aku, bahwa beliau baik-baik saja, dan napas berat seperti itu sudah biasa, dengan minum obat akan segera reda. Bapak juga pernah datang sendirian ke Surabaya di rumah kontrakan kami, ketika usia kehamilanku menjelang 7 bulan, dengan membawa sekardus penuh isi makanan kesukaanku: lontong sayur (kami menyebutnya ancah), nasi uduk, dan berbagai buah-buahan hasil kebun kami sendiri. Dan perhatian-perhatian lain sebagai wujud kasih-sayangnya. Sejauh itu, nyaris tak ada sesuatu pun yang aku sudah lakukan untuk membalasnya.  

Wajah ibuku juga melintas-lintas di benakku sepanjang perjalanan itu. Perempuan tegar yang telah melahirkanku dan kelima saudaraku itu. Akankah ibu tetap mampu tegar sepeninggal bapak? Apa pun sudah beliau lakukan untuk membesarkan kami. Ibu, yang semasa aku kecil (tahun 70-an) adalah anggota DPR Kabupaten Tuban, aktif di berbagai organisasi, mengajar pagi dan siang di sekolah yang sama dengan tempat bapak mengajar, sebagai guru honorer. Di malam hari, setelah mengajari kami semua mengaji usai sholat maghrib berjamaah, ibu masih menggoreng kacang, emping, kerupuk, untuk dititip-titipkan ke warung-warung; pekerjaan rutin yang beliau lakukan sambil menunggui kami belajar. Meskipun bapak dan ibu punya penghasilan tetap, tetapi menghidupi enam anak tentu tidak cukup kalau hanya mengandalkan dari gaji bulanan. Kami biasa makan nasi jagung, nasi bulgur, sebagai 'selingan'. Ya, kupikir dulu hanyalah sebagai selingan supaya kami tidak bosan makan nasi beras terus (sebagaimana seperti yang dikatakan ibu); ternyata waktu itu memang karena bapak ibu tidak memiliki cukup uang untuk membeli beras, sehingga kami harus makan nasi jagung atau bulgur sekali-sekali.

Akhirnya, sampailah kami di rumah duka yang sudah luar biasa ramai oleh para pelayat. Aku turun dari mobil dengan tubuh limbung, dipapah mas Ayik dan temannya. Kaki-kakiku serasa tidak menapak ke bumi. Aku seperti melayang-layang  saja, masuk rumah, disambut ibu yang tetap tersenyum dalam kedukaannya. Beliau memelukku, dan mencoba menenangkan aku yang menangis tak henti-henti. Aku sangat kehilangan bapak, dan aku mengkhawatirkan ibu sepeninggal bapak. Tapi ternyata beliau yang aku khawatirkan nampak begitu tegar, jauh di luar bayanganku. Aku pingsan, ditidurkan di lantai beralas tikar. Ketika siuman, ibu sudah di sebelahku, lengkap dengan senyumnya yang penuh ketabahan.

Sepeninggal bapak, ibu tidak berubah. Beliau tetap sebagai wanita kuat lahir dan batin. Tidak pernah mengeluh. Ibu memang bukan tipe orang yang suka mengeluh. Bahkan ketika kecapekan pun, beliau selalu berucap, 'alhamdulilah....isih diparingi kuwat lan sehat....'  Semangatnya itu, begitu mengagumkan kami.

Sebegitu tabahnya ibu, ternyata jauh di dalam hati beliau, ibu juga seperti perempuan pada umumnya. Suatu ketika secara tidak sengaja, aku menemukan catatan-catatan ibu, semacam diary, ketika ibu memintaku mengambilkan sesuatu di almari beliau. Aku sempat membaca diary itu. Adalah isi hati ibu tentang rasa kehilangannya karena ditinggal bapak, kerinduannya, keluh-kesahnya pada Allah atas semua cobaan, dan doa-doanya agar senantiasa diberi kekuatan untuk mendampingi kami semua, anak-anaknya. 

Aku pun terpekur di tempat itu, di kamar ibu. Lidahku kelu dan tenggorokan terasa sakit menahan keharuan yang mendadak menyergap. Oh, ibu. Serapi itu ibu menyembunyikan perasaannya dari kami semua, anak-anaknya. Membungkusnya dalam balutan senyum penuh ketabahan. Menyimpannya jauh di lubuk hatinya dan menggantinya dengan keihlasan yang tak pernah putus. Padahal jauh, jauh di dalam lubuk hati beliau, betapa ibu begitu merasa kehilangan bapak...

Surabaya, 4 Januari 2012

LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...