Pages

Kamis, 09 Februari 2012

Ke Sumba Lagi (9): Kedatangan Gelombang Terakhir

Inilah sarung dan cinderamata khas Sumba.

Minggu, 10 Desember 2011

Pagi ini kami akan bersenang-senang setelah seharian kemarin fisik kami terforsir. Saya menjanjikan akan menemani teman-teman ke tempat pengrajin tenun Sumba di Kalung dan di Kampung Raja. Masih ada cukup waktu sebelum kami harus ke bandara menjemput rombongan PR1 dan 92 peserta SM-3T yang hari ini datang dengan Batavia.

Sebelum berangkat, kami makan dulu di Mr Cafe, diantar Oscar dan pak Minggus. Kami menyelesaikan sarapan dengan cepat, dan segera melaju ke tempat tujuan.

Untuk kedua kalinya, saya datang lagi di Kalung. Di rumah salah seorang pengrajin tenun Sumba. Rumah yang sekaligus merangkap show room itu penuh dengan kain-kain tenun yang bagus dan mahal-mahal (untuk ukuran kantung saya). Macamnya mulai dari selendang, taplak meja, hiasan dinding, sarung, dan bahan untuk baju. Harganya berkisar Rp. 300.000,- sampai jutaan rupiah. Bagus-bagus. Bu Luci mengambil sarung seharga Rp.400.000,-. Saya sendiri mengambil sarung yang sejak kedatangan saya pertama dulu sudah saya pegang-pegang tapi tidak jadi saya beli (sayang uangnya), harganya Rp.650.000,-. Ya sudahlah, sarung itu akhirnya saya beli, untuk 'nduwen-nduwen'.

Dari Kalung, kami meluncur ke Kampung Raja. Orang-orang di Kampung Raja ternyata masih mengenali saya. Untung bagi saya. Saya katakan ke mereka, saya sekedar mengantar teman-teman, sehingga mereka tidak menawar-nawarkan barang-barang dagangannya ke saya.  Barang-barang seni yang saya beli sebulan yang lalu saja masih belum terurus. Beberapa sudah saya pigura, saya berikan ke teman-teman dekat sebagai oleh-oleh.

Dari Kampung Raja, kami kembali ke hotel. Sholat dhuhur, makan siang, dan bersiap menuju bandara. Makan siang belum selesai ketika bu Trisakti menelepon. Saya pikir dia menelepon dari Kupang, ternyata dia dan bu Kisyani serta beberapa teman dosen, sudah mendarat. Saya baru ingat, beliau-beliau menggunakan penerbangan Merpati, yang waktu mendaratnya sekitar satu jam lebih cepat dari Batavia. Sedangkan peserta dengan 2 dosen pendamping, terbang dengan batavia. Maka kami secepat mungkin menyelesaikan makan siang, dan bergegas menuju bandara.

Setibanya di bandara, bu Lusia ternyata sudah ada. Beliau datang beberapa menit sebelum kami. Belajar dari pengalaman kemarin, siang ini kami mengatur strategi. Teman-teman saya minta mengambil berapa pun trolley yang ada untuk mengangkut bagasi para peserta. Trolley di bandara ini tidak tersedia banyak, mungkin hanya belasan. Kami semua siap di depan pintu keluar yang panasnya luar biasa, menunggu para peserta dan teman-teman pendamping keluar.

Urusan bongkar-muat bagasi di halaman bandara tidak berlangsung terlalu lama. Kami semua sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan, termasuk bagasi peserta yang pasti luar biasa menggunungnya. Satu truk kami sediakan khusus untuk mengangkut bagasi, dan 2 bus untuk mengangkut pemiliknya. Dan meluncurlah kami semua ke penginapan Cendana.

Hari ini luar biasa melelahkan. Kami bekerja keras sampai hampir pukul 23.00 malam, tanpa sebutir nasi pun masuk perut sejak siang. Pengecekan dan penyerahan buku tabungan, ATM, surat tugas; pembagian uang saku; dan penentuan koordinator kecamatan; serta pengarahan untuk acara serah terima ke bupati besok, betul-betul menguras energi luar dalam. Para driver yang menunggui kami sampai geleng-geleng kepala lihat cara kerja kami. Mereka bilang, orang Jawa kalau kerja seperti orang gila. Kuat betul. Masa sampai semalam itu masih kerja terus.....

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...