Pages

Rabu, 03 Desember 2014

Sumtim 1: Melaut Bersama 'Orang Gila'

Akhirnya kembali saya jejakkan kaki di tempat ini. Di sebuah desa bernama Katundu, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur. Mendung gelap menggantung di langit. Tidak ada gerimis, tidak ada hujan. Namun angin mengabarkan kalau sebentar lagi hujan akan turun. 

Kami berkemas. Mengeluarkan barang-barang dari mobil, barang-barang yang akan kami bawa menyeberang ke Salura. Buku, majalah Unesa, majalah Al-Falah, alat-alat mandi, nasi bungkus, kue-kue, dan perlengkapan pribadi kami. Membungkus semuanya dengan kantung plastik rapat-rapat. Termasuk membungkus semua gadget dan kamera. Menutup peluang air hujan atau air laut membasahi semuanya.

Saya sudah pernah mengalami pengalaman buruk sepulang dari Salura. Kamera pocket saya rusak. Lensa tidak bisa dibuka-tutup. Ada semacam pasir di sela-selanya. Itulah kenangan saat berlayar ke Salura. Di bawah guyuran gerimis yang rasanya asin, kamera saya terpapar air yang mengandung garam itu. Selesai sudah.

"Pak Heri, apa kita perlu pakai jas hujan?" Tanya saya pada Pak Heri, Kepala Sekolah SMP Satap Salura, sekolah yang akan kami kunjungi. Beliau menjemput kami, dengan membawa perahu yang disewanya bersama pemilik perahunya.

Laki-laki itu menatap ke atas, melihat ke langit, membaca cuaca.

"Sepertinya tidak, Ibu."
"Sepertinya?" Saya balik bertanya. Tidak yakin. Saya tetap mengambil jas hujan. Setidaknya, kalau pun hujan tidak turun, saya memerlukannya untuk melindungi tubuh saya dari terpaan ombak. 

Tapi tiba-tiba gerimis turun.
"Pak Heri, belum-belum sudah membohongi saya?"

Pak Heri tertawa. 
"ini hujan cuma lewat saja, Ibu." 

Begitu kami sudah mengenakan jas hujan, dan bersiap turun menuju perahu, tiba-tiba saya ingat sesuatu.
"Mana pelampung?"
Saifud, koordinator kabupaten peserta SM-3T Sumba Timur, menjawab. "Ada, Bunda. Di perahu. Kemarin saya sudah minta disiapkan. Ada sekitar 10 buah."

Kami bertujuh berjalan menuju perahu. Saya dan Mas Febri (staf PPPG), Mas Oscar (driver), dan empat orang peserta SM-3T: Saifud, Ade, Gangga, dan Bintang. Saifud berjalan mendahului kami, untuk memastikan keberadaan pelampung. Ketika kami hampir sampai di dekat perahu, Saifud memberi tahu, kalau ternyata pelampung tidak disiapkan. 

Mak deg. Saya keder.
"Bagaimana, Bunda?" Tanya Saifud. Wajahnya menggambarkan kekhawatiran kalau saya akan batal menyeberang karena tidak ada pelampung. "Kemarin saya sebenarnya sudah pesan supaya pelampung disiapkan, tetapi ternyata tidak ada satu pun, Bunda. Katanya terlambat menitipkan ke perahu."

Saya melempar pandangan ke Pak Heri yang sudah ada di dalam perahu. 

"Pak, nggak bawa pelampung?" Tanya saya.
Pak Heri menggeleng, "Tidak apa-apa, Ibu. Aman." Laki-laki asli Muncar, Banyuwangi itu tersenyum, meyakinkan. Tapi di mata saya, dia seperti sedang menyeringai. Bisa-bisanya tidak bawa pelampung? Ini Samudra Hindia. Menyeberang dengan perahu nelayan kecil lagi. Hadeh.

Saya jadi ingat saat di Waisai, Raja Ampat. Pagi hari, sekedar mengisi waktu, saya berjalan ke pantai. Menikmati semilir angin dan melihat laut. Gelombang cukup besar, dan saya lihat ada perahu-perahu nelayan yang tetap melaut. Menuju ke tengah samudra. Gila. Cari mati apa mereka? Kapal sekecil itu? Tanya saya. Tapi mereka benar-benar melaju. Membelah samudra luas. Saya memandanginya terus, sampai perahu itu berubah jadi titik kecil yang akhirnya juga hilang, tak terlihat. 

Dan saat ini, saya menjadi bagian dari kegilaan itu. Mengarungi Samudra Hindia, dengan perahu nelayan. Tanpa pelampung. Kalau terjadi apa-apa, entahlah. Saya bayangkan, kalau masih pakai pelampung, setidaknya saya masih bisa kampul-kampul... 

Di Jawa, perahu kecil itu biasa disebut jukung. Di Salura, disebut perahu cumi, karena fungsi utamanya untuk mencari cumi.

Tentu saja saya tidak mungkin mundur. Langkah maju sudah diambil, tak akan surut. Ini bukan masalah malu. Tapi perjalanan sejauh ini, sejak dari Surabaya sehari sebelumnya, dilanjutkan dengan enam jam dari Waingapu pagi tadi, terlalu berharga untuk diabaikan, hanya karena tidak ada pelampung. Lihatlah wajah-wajah itu. Penuh optimisme. Bahkan anak kecil yang tak berbaju itu. Juga seorang mama berkerudung. Mereka tak ada rasa gentar sedikit pun meski tidak pakai pelampung. Tapi....ya, ini memang dunia mereka. Mereka sudah terlahir di sini, dengan kondisi alam yang telah selama hidup mereka akrabi. Sedangkan saya? Oh Tuhan....

Saya mengumpulkan kekuatan. Menceburkan kaki ke laut. Melompat masuk perahu dengan penuh keyakinan. Duduk di bagian belakang, berdampingan dengan Ade, gadis peserta SM-3T yang turut mendampingi kami sejak dari Waingapu. Di depan saya, duduk berhimpitan Mas Oscar dan Saifud. Di depan lagi, anak laki-laki belasan tahun, duduk berdampingan dengan Kakak Arni, perawat di Puskesmas Pembantu di Salura. Di depannya lagi, dua orang tukang perahu. Di depannya lagi, entah siapa, mungkin penumpang kapal. Hari ini adalah hari pasar di Katundu, sehingga ada beberapa penumpang lain selain kami, dengan tujuan Salura. Di depan lagi, Gangga dan Bintang. Pak Heri duduk sendirian persis di belakang saya dan Ade.

Perahu ini langsing sekali. Bila dua orang duduk berdampingan, tidak ada lgi space di samping kanan-kiri, pas untuk berdua. Perahu sekecil ini, ditumpangi tiga belas orang. Benar-benar gila. Entah ini berani atau konyol, atau keduanya. Setidaknya saya jadi semakin percaya dengan lagu lama itu. Nenek moyangku....seorang pelaut... 

Perahu pun melaju. Saya tahu, kami membutuhkan waktu sekitar satu jam seperempat untuk sampai di Salura. Ini penyeberangan kedua bagi saya. Penyeberangan pertama dulu juga dalam rangka monev SM-3T seperti sekarang ini. Namun, sebagaimana setahun yang lalu, menit demi menit seperti berjalan begitu lambat. Perahu seolah tidak bergerak. Meski begitu, laut yang hitam, sehitam mendung yang menggayut di langit, dan puncak-puncak bukit yang tersamarkan oleh kabut tebal, tak membuat hati saya ciut. Malah justeru pasrah. Menyerahkan keselamatan diri sepenuhnya pada perlindunga-Nya. Saya sudah sering mengalami situasi semacam ini. Kepasrahan total ternyata memberikan ketenangan. Ya, apa saja bisa terjadi memang. Tapi saya yakin, Allah akan melindungi perjalanan kami.

Saat mencapai separo perjalanan, hujan turun dengan deras. Sebagian dari kami menggigil kedinginan. Kilat menyambar-nyambar. Tapi dua orang tukang perahu itu hanya menggeleng-nggelengkan kepala, sambil tersenyum. Sesekali mereka melihat ke langit, menerka cuaca. Menggeleng-gelengkan kepala lagi. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya berdoa, semoga hanya hujan saja. Sederas apa pun, semoga hanya hujan saja, tanpa disertai badai.

"Ini benar-benar hujan lewat." Kata Pak Heri, menyadari kesalahan prediksinya tadi. Ya, hujan deras yang lewat, namun terus singgah. Singgahnya lama lagi. Hidung saya semakin mampet. Saya memang sedang flu, dan paparan air hujan asin yang terus-menerus menerpa wajah saya benar-benar membuat saya seperti kehilangan lubang hidung.

Tak berapa lama, mesin di bagian kanan perahu tiba-tiba mati.
"Oli, oli." Teriak pak Heri.
Tukang perahu mencari oli. Di bawah kaki-kaki para penumpangnya. Ternyata ketemu di bawah kaki saya. Subhanallah. Ternyata saya benar-benar melaut bersama orang-orang gila. Oli yag begitu pentingnya saja sembarangan meletakkannya. 

Setelah pada bagian-bagian tertentu mesin perahu itu dituangi oli, perahu berjalan lagi. Normal. Karena hujan tak juga mereda, mesin bagian kanan depan ditutup plastik. Sedangkan mesin di sebelah kiri, tidak ditutup, tapi Pak Heri mengungkitnya dengan menggunakan dayung. Rupanya permukaan air yang menaik, menyebabkan mesin terlalu dekat dengan air, dan harus diungkit supaya tidak bersentuhan dengan air laut. 

Akhirnya nampaklah garis pantai dari kejauhan. Pasirnya yang putih terlihat muncul tenggelam, seirama dengan goyangan perahu yang diterpa ombak. Warna kelabu yang menutup permukaan pulau menandakan kalau pantai masih jauh. Air laut, sejauh mata memandang, masih tetap hitam legam, tanda laut dalam. Warna hijau kebiruan tak juga terlihat.

Sampai akhirnya tibalah saat yang kami tunggu. Air laut berangsur berubah menjadi biru, lantas hijau. Dasar laut yang putih nampak meski samar. Pasir putih di depan sana semakin dekat, dan pulau yang berkabut itu sudah mulai terlihat konturnya, pohon-pohonnya, lekukan garis pantainya. 

Di daratan, sekelompok orang sudah menunggu. Salah satu di antaranya adalah Wahyudi, guru SM-3T dari Prodi Pendidikan Fisika, yang bertugas di SMP Satap Salura. Dia datang bersama anak muridnya, lengkap dengan gerobak yang akan mengangkut bagasi kami.

Alhamdulilah, Ya Allah. Kau lindungi kami semua dalam perjalanan ini. 

Salura, akhirnya...

Salura, 2 Desember 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...