Mendung menggantung di langit saat kami tiba di Sovereign Hill. Sebuah
tempat di ketinggian yang sejuk dan dingin. Seperti layaknya sebuah
taman di perbukitan, saya membayangkan pasti akan ada banyak hal yang
menakjubkan di balik pepohonan yang rapat itu.
Melalui sebuah
undak-undakan, kami berjalan menuju pintu masuk. Beberapa orang
berbusana ala masa lampau pun menyambut kami. Yang perempuan dengan blus
panjang yang lebar bagian bawahnya, lengkap dengan topi lebarnya juga.
Yang laki-laki berbusana lengkap dengan topi panjangnya juga dan sepatu
boot. Mereka memandu para tamu dengan sangat ramah, termasuk melayani
mereka yang ingin sekedar berfoto-foto. Counter penjualan tiket dan
berbagai macam souveneer yang cantik-cantik ada di ruang yang menjadi
pintu masuk ke Sovereign Hill itu.
Hujan deras membuat kami harus
mengeluarkan payung dan menutup kepala kami dengan topi atau kerpus.
Hawa dingin, namun tak menyurutkan kami untuk meneruskan wisata yang
bagi kami tidak murah ini. Ya, 50 dollar per orang bukankah setara
dengan hampir enam ratus ribuan? 'Hanya' untuk berwisata seperti ini?
Hanya untuk masuk. Kalau kita ingin mengenakan kostum seperti
orang-orang pertambangan zaman dahulu, kita dikenakan tambahan biaya 37
dollar lagi. Begitu juga kalau kita ingin naik kereta kuda dan mengikuti
mining tour, harus membayar entah berapa dollar lagi.
Namun
tentu saja bukan 'hanya'. Ya, karena ternyata begitu hujan reda,
berbagai pemandangan langsung mencerahkan mata kami. Serombongan anak
sekolah biara, dipimpin oleh seorang guru perempuan, berjalan rapi
dengan pakaian biara mereka, dengan topi-topi khas, dan berjalan cepat
dengan kedua telapak tangan saling berpagut di bawah dada. Anak-anak itu
berusia belasan tahun, mungkin siswa sekolah dasar, dan mereka sesekali
membalas sapa kami dengan senyum manis dan sopan. Mereka masuk ke
tempat pandai besi, ke peternakan kerbau dan kuda, ke toko roti, ke mana
saja. Ada saatnya mereka bermain lompat tali, persis seperti yang
dilakukan Laura Angels dan teman-temannya dulu. Melihat mereka begitu
tertib dan rapi dengan segala kepolosan, membuat kita seperti melihat
anak-anak sekolah zaman dahulu yang begitu takzim pada gurunya.
Menikmati
Sovereign Hill memang mengingatkan kita pada film favorit masa kecil
'Little House on The Prairie". Para petugas yang mengenakan kostum zaman
dahulu. Para wanita dengan rok lebar dan berat, lengkap dengan topi
kain menutup rambut. Para pria mengenakan pantolan dan topi yang tinggi,
lengkap dengan ikat pinggang dan sepatu kulit serta segala macam
aksesoris. Mereka ada di toko-toko, apotek, bakery shop, bar, hotel, dan
di rumah makan. Semua dengan latar masa lalu, sebelum tahun 1900-an.
Dengan bangunan, alat-alat, perabot, dekorasi, yang semuanya dengan
nuansa masa lalu. Roti, obat-obatan, permen, alat-alat memasak, dan
sebagainya, pun dibuat dengan cara konvensional. Juga ada rumah-rumah
para penambang, lengkap dengan dapur tradisional, kandang- kandang kuda,
ternak ayam, dan bunga-bunga warna-warni, di pekarangan rumah kayu yang
sederhana.
Hari sudah semakin siang dan Sovereign Hill yang
panas namun sejuk kami tinggalkan sekitar pukul 13.00, setelah kami
menyempatkan diri mengelilingi gold museum. Tempat di mana sejarah
penemuan emas dan pengembangannya di Victoria bisa dipelajari. Termasuk
para penemu dan selintas biografinya. Kita juga bisa membeli perhiasan
emas di tempat itu, dalam bentuk cincin, giwang, liontin, bross, dan
sebagainya. Harganya? Hm, untuk ukuran kami, tidak murah tentu
saja....hehe.
Dari Sovereign Hill, kami berkendara lagi bersama
Mas Toro menuju State Rose Garden. Sebagainama namanya, tempat ini
adalah sebuah taman bunga yang luas, dan sejauh mata memandang, adalah
bunga dan bunga. Kita akan terkagum-kagum dengan begitu banyaknya ragam
bunga mawar dengan berbagai warna dan ukuran. Tak terbayangkan bagaimana
taman sebesar dan seindah ini hidupnya dibiayai hanya mengandalkan dari
donatur. Benar-benar fantastis.
Selain Sovereign Hill dan The
State Rose Garden, kami juga berkesempatan mengunjungi tempat wisata
bersejarah Shrine of Rememberance. Wisata belanja murah meriah juga kami
lakukan di Shaver, toko yang menyebut dirinya sebagai "the recycle
superstore". Ya, kita bisa mendapatkan barang bekas apa saja di sini.
Buku, baju, peralatan rumah tangga, mainan anak-anak, aksesories, apa
pun ada. Saya memborong buku-buku dan pernak-pernik alat makan. Semua
barang itu masih bagus dan tidak rugi kalau kita beli, setidaknya
sekadar sebagai kenang-kenangan kalau kita pernah ke Shaver.
Melakukan
perjalanan di Melbourne begitu menyenangkan. Di sepanjang jalan banyak
kita temui padang rumput, bukit dan lembah, dan domba-domba, juga
hutan-hutan yang hijau menyejukkan. Meski melaju di jalan tol, sesuai
peraturan, kecepatan mobil tidak lebih dari 117 kilometer per jam.
Nampaknya para pengendara di Melbourne adalah pengendara yang patuh dan
sopan. Apa lagi di sepanjang jalan tol kabarnya ada kamera terembunyi,
dan bila ada kendaraan yang melebihi batas kecepatan, maka surat
pemberitahuan dari kepolisian akan dilayangkan ke rumah pemilik
kendaraan, dan yang bersangkutan akan terkena denda. Tidak perlu ketemu
polisi di jalanan, apa lagi bermain mata dan 'berdamai' demi mengamankan
pelanggaran.
Begitulah, semua serba rapi. Serba tertib dan
teratur. Membuat betah dan nyaman siapa pun. Tentu kita, Indonesia, akan
menuju ke sana juga, dan bahkan saat ini kita semua sedang menuju ke
sana. Menuju pada keadaan yang lebih rapi, teratur, nyaman, layanan yang
ramah dan peduli, termasuk peduli pada lingkungan sekitar. Betulkah?
Semoga. Harus tetap optimis.
Melbourne, 4 November 2014
Wassalam,
LN
Minggu, 30 November 2014
Melbourne 5: Sovereign Hill dan The State Rose Garden
Label:
Luar Negeri
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Minggu, November 30, 2014
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...