Pages

Senin, 10 November 2014

Melbourne 2: Hidup Tidak Selamanya Mudah

Kami menuju Stasiun Moreland yang tidak terlalu jauh dari Hotel Dolma. Ditemani Tiwik dan Adzra, namun keduanya tidak ikut jalan-jalan, hanya melepas kami di stasiun tersebut. Untuk pertama kalinya, kami menggunakan myki di stasiun ini. 

Tujuan kami adalah Camberwell Market. Sebuah pasar yang tidak buka setiap hari, dan berbagai barang 'branded' bekas dijual di sana. Mulai dari pernak-pernik merchandise, sepatu, tas, baju, topi, alat-alat rumah tangga, alat-alat musik, alat-alat tukang, alat-alat menjahit, sampai sepeda bekas. 

Sepanjang perjalanan ke Camberwell market adalah perjalanan yang hijau dan teduh. Di mana-mana padang rumput, taman-taman, bukit-bukit, hutan-hutan kecil yang pohon-pohonnya berbaris rapi, rumah dan gedung-gedung berwarna tanah, dan tidak ada sampah berserakan. Tepatlah kalau Australia dikatakan sebagai negera terbersih di dunia dan Victoria disebut city of green. 

Suhu yang dingin tetap kami rasakan di dalam train. Musim seharusnya sudah masuk ke summer, tapi sisa-sisa spring masih sangat terasa. Hari ini tidak hanya cuaca yang dingin, namun juga berangin dan sedikit gerimis. Melbourne benar-benar membuat kami mengalami shock weather. 

Kami turun di Parliament. Ganti naik train ke arah Belgrave, menuju pasar Camberwell.

Saya sebenarnya lelah sekali. Tapi sangat sayang membuang waktu hanya untuk duduk-duduk atau tertidur di lobi hotel. Maka, pada siang hari pertama di Melbourne ini,  kami habiskan dengan berjalan-jalan ke Camberwell Market. Berbelanja barang-barang bekas. Saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan barang bekas. Pikiran terlanjur tidak terlalu bisa menerima barang bekas, terutama untuk kelompok baju dan aksesoris.  Beda dengan orang-orang Melbourne, me-'recycle' barang-barang mereka sudah menjadi budaya. Oleh sebab itu, di mana-mana ditemukan toko barang bekas. Penampilan orang-orang itu selalu up to date, fashionable, modern, meski tidak selalu mengenakan barang baru.

Saya hanya membeli sebuah CD rekaman kelompok musik yang judulnya The Scrimshaw Four Bazaar. Kelompok musik itu sedang bermain di tempat itu juga. CD itu, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Arga.  

Kami juga melakukan window shopping di kawasan Fliders Road, dan lanjut ke Queen Victoria Market (Vicmart). Di Vicmart ini, anak sulung Tiwik, Ganta, yang beberapa waktu yang lalu sudah diwisuda lulus high school, bekerja membantu buka-tutup toko, untuk sekedar mengisi waktu luangnya. Dia mendapatkan 50 dollar untuk empat jam waktu kerja per hari, dan bekerja selama lima hari seminggu. Pendapatan yang sangat lumayan. Lebih dari sepuluh juta per bulan. Hm....

Sore ini kami benar-benar lelah. Juga kelaparan. Sepotong dua potong fried chicken dan french fries, yang kami dapatkan di ujung Swanston street, membantu mengusir lapar dan dingin. Masih harus naik satu kali tram lagi sebelum sampai ke hotel kami.

Nanti malam, kami harus briefing, untuk mempersiapkan presentasi pada esok harinya, di Victorian Institute of Teaching (VIT) dan di University of Melbourne. Tiwik akan datang ke hotel untuk membantu persiapan kami. Tempo hari saya katakan pada Tiwik: "berkali-kali aku bersyukur pada Tuhan, Wik, betapa beruntungnya aku punya kamu. Huwaaa...." 

Karena kami akan berkunjung ke tiga institusi, kami berbagi tugas. Kesempatan pertama, di VIT, saya yang akan presentasi. Pak Sulaeman kebagian giliran kedua, di University of Melbourne. Dan lusa, di Victorian University (VU), Pak Yoyok yang akan presentasi. 

Kami tiba kembali ke Hotel Dolma saat matahari bersiap untuk tenggelam. Tubuh kami sangat lelah. Tujuh pack nasi padang yang kami beli dari penjual yang berasal dari Vietnam, ya dari Vietnam--bukan dari Padang--kami bawa pulang, untuk makan malam nanti. 

Menyapa Melbourne yang baru sepintas ini memberikan kesan mendalam bagi saya. Hidup di tempat ini seolah begitu nyaman. Lihat di mana-mana. Kota yang bersih. Taman di mana-mana. Hiburan dan kemudahan di mana-mana. Transportasi yang sangat rapi dan serba otomatis. Jalanan tanpa macet. Orang-orang yang mondar-mandir dengan penampilan  dan wajah-wajah yang bersemangat. Semua serba modern, fashionable, dan mewah.

Tapi coba sedikit menengok ke Pasar Camberwel. Seorang tua berjualan sepeda dan barang-barang "rongsokan". Sweater yang dikenakannya koyak dan terburai di beberapa bagian. Sepatunya adalah sepatu butut. Juga sepasang suami istri yang berjualan pernak-pernik, dan menawar-nawarkannya dengan wajah memelas. "Everything is two dollars, everything is two dollar..... All must go, all must go....". 

Secara berseloroh, Pak Yoyok berkomentar. "Lihat mereka. Ternyata para turis yang sering kita lihat di Indonesia, seperti ini kerja mereka di sini. Isih keren awak dewe. Haha....."

Memang tidak semua orang yang berjualan barang bekas di tempat itu berpenampilan memelas. Banyak orang dewasa dan anak muda yang nampaknya berjualan hanya sekedar mengisi waktu luang atau melampiaskan hobi. Mereka cantik-cantik dan keren, bahkan ada yang wajahnya secantik Sandra Bullock.

Beberapa tuna wisma, meski tidak banyak, juga saya temukan di beberapa tempat, di stasiun dan emperan pertokoan di Flinders street dan Bourke street. Salah seorang dari mereka bahkan memasang tulisan: "Hello, my name is Sarah. I am homeless and if any one could help with food, coffee and any spare clothes...", dan seterusny. Ada juga yang menengadahkan topinya dengan tatapan kosong. Musisi jalanan, mirip di kawasan Malioboro, menyanyi dan memainkan berbagai instrumen, mungkin dengan tujuan benar-benar mencari uang atau sekadar menyalurkan hobi, baik sendiri maupun berkelompok, dan mengharap koin dari para pengguna jalan.

Ya, bahkan di Melbourne pun, hidup tidak selamanya mudah.


Melbourne, 2 November 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...