Dalam balutan mendung dan kabut serta udara dingin, kami berempat
bersepedamotor dengan empat orang guru. Tidak tanggung-tanggung. Begitu
pantat menempel di sadel sepedamotor, jalan menanjak langsung memaksa
kami menahan nafas menikmati sensasinya. Mesin yang menderu-deru dan
guncangan-guncangan, tak memberi kami kesempatan sedikit pun untuk
sekedar melakukan pemanasan. Setidaknya menyiapkan mental dan posisi
tempat duduk.
Yang membonceng saya adalah pak Santoso, guru
Agama, dan nampaknya guru paling senior di SDN 2 Sendang. Saya
memasrahkan keselamatan diri saya pada kepiawaiannya mengendarai motor,
selain, tentu saja, pada lindungan Allah SWT. Beberapa kali kami harus
turun dan berjalan belasan bahkan puluhan meter di jalan yang sangat
curam dan licin, karena sepeda motor tidak kuat menanjak, atau tidak
berani menurun dengan beban berat.
Kami juga melintasi jembatan
gantung yang panjang di atas sungai besar yang arusnya sangat deras.
Warna airnya yang coklat keruh dengan riak-riak putih bekerjaran
menimbulkan kengerian tersendiri di hati. Kalau sungai ini penuh,
jembatan ini tak ada artinya. Jalan yang menghubungkan kampung sebelah
dengan sekolah terputus, dan siswa maupun guru-guru yang rumahnya di
kampung tersebut, tidak akan bisa mencapai sekolah.
Ya, ini bukan
di Sumba Timur atau di Papua, kawan. Ini di sebuah desa bernama
Sendang, di Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Ponorogo itu, kalau
tidak salah, masih termasuk Jawa Timur. Memang betul. Sensasinya tidak
kalah dengan di Sumba Timur atau di tempat lain di daerah 3T. Hanya
untuk mecapai sekolah, guru dan siswa harus bersama-sama menempuh risiko
karena begitu beratnya medan.
Di bawah guyuran gerimis, hati
saya juga dipenuhi gerimis. Lebih-lebih setiap kali pak Santoso
menceritakan kondisi anak-anak sekolah dan guru-guru, terutama guru GTT.
Anak-anak yang rapi dan bersih-bersih itu, bukanlah sesuatu yang serta
merta. Dana BOS harus disisihkan untuk membelikan baju dan sepatu
mereka. Sebelumnya, mereka mengenakan sepatu 'jitu'. Artinya, 'drijine
metu'. Ya, sepatu bolong, jebol, berjendela. Yang selalu ditekankah oleh
kepala sekolah, 'mosok pak guru lan bu gurune tok sing
resik-resik.....anak-anake yo kudu resik....". Maka mengajari mereka,
memberi contoh mereka, untuk selalu berperilaku bersih, adalah tugas
sehari-hari. Termasuk konsekuensi harus membelikan mereka seragam dan
sepatu dari dana BOS. Juga alat-alat sekolah yang lain. Meski dana BOS
itu adalah dana mereka, namun kalau diberikan dalam bentuk uang,
bisa-bisa tidak tepat sasaran.
Dan gaji guru GTT? Alhamdulilah,
sudah ada insentif dari Pemda sebesar 1,7 juta yang diterimakan per
tiga bulan. Selain itu, mereka juga mendapatkan 10 rb tiap masuk kerja.
Tapi, hari gini? Sampai di mana uang gaji sebesar itu? Dengan harga
kebutuhan sehari-hari yang harus mereka penuhi untuk menghidupi
keluarga? Sedang tuntutan tugas mereka sebagai guru begitu berat?
Bandingkan
dengan upah pekerja pabrik. Di Ponorogo, bahkan hanya lulusan SD,
begitu masuk kerja, gaji pertama mereka sebesar 1 juta, sesuai UMK.
Tidak besar memang. Tapi masih lebih besar dibanding insentif guru-guru
GTT yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri mereka mencerdaskan
anak-anak bangsa itu.
Insentif sebesar itu, yang meskipun lebih
kecil dibanding gaji pertama pekerja pabrik, masih jauh lebih besar bila
dibandingkan insentif guru-guru GTT di tempat lain. Mungkin kita semua
sama-sama tahu bahwa guru-guru GTT bahkan ada yang hanya menerima
sekitar 100-200 rb per bulan sebagai insentifnya. Ya. Itu pun seringkali
tidak diterimakan tiap bulan, namun per triwulan sesuai turunnya dana
BOS, karena memang insentif mereka dicuilkan dari dana APBN itu.
Guncangan-guncangan
di sepanjang jalan makadam yang naik turun berkelok-kelok itu seperti
mengguncang-ngguncang perasaan saya. Saya sebenarnya bukan baru kali ini
mendengar begitu memprihatinkannya gaji guru GTT. Namun dalam kondisi
yang begini lengkap, sekolah yang fasilitasnya serba terbatas, medan
berat yang harus ditempuh, anak-anak sekolah yang miskin, dan ketulusan
guru-gurunya untuk mengabdi, membuat kegundahan saya serasa begitu
sempurna. Mata saya nanar menatap jalan-jalan berbatu-batu itu.
Keindahan bukit, lembah, hutan-hutan pinus, seperti hampa. Kata-kata pak
Santoso yang juga ikut bergetar-getar di antara deru mesin sepedamotor,
seperti suara malaikat dari langit. "Menjadi guru seperti ini,
bu.....kedah dipun niati ibadah......"
"Inggih, pak. Leres...."
Jawab saya, sambil mengencangkan pegangan tangan saya pada bagian
belakang sadel sepedamotor. Jalan menanjak curam dan saya tidak ingin
melorot ke belakang. "Ibu mendel kemawon nggih, meniko radosani pun
minggah." Saya menjawab, "inggih, pak. Dalem mendel kalih shalawatan
mawon..." Pak Santoso tertawa.
Kami tiba di SDN 7 Baosan Kidul
pada sekitar pukul 14.00. Perjalanan berat yang harus kami tempuh begitu
melelahkan. Membuat lutut, paha, pantat, pinggang, punggung, lengan dan
leher, sakit dan kaku-kaku.
Tapi semua itu terbayar dengan
keramahan kepala sekolah dan guru-guru serta bapak penjaga sekolah. Teh
hangat menyapa tenggorokan kami. Cerita-cerita tentang profil sekolah,
kinerja guru, kondisi siswa, mengalir ditemani cuaca mendung dan hawa
yang dingin menusuk.
Heri, yang ditugaskan di sekolah ini,
dipuji sebagai sosok yang sangat rajin. Anak-anak sekolah yang menurut
kepala sekolah, bapak Suparyanto, S.Pd., pada dasarnya sudah rajin,
semakin rajin dengan kehadiran pak Heri. Pukul 06.00 anak-anak sudah
tiba, dan Heri sudah menyiapkan semuanya bersama pak Jemadi, penjaga
sekolah yang kebetulan juga bapak kost-nya.
Sekolah ini memiliki
siswa 111 orang, dengan 10 guru, termasuk Heri. Tiga guru di antaranya
sudah PNS (termasuk kepala sekolah dan penjaga sekolah), dan selebihnya
adalah GTT.
Mau tahu berapa gaji guru GTT di sekolah ini? Gaji
guru GTT adalah sebesar 125.000/bulan, diterima per triwulan. Ya, 125
ribu. Dicuilkan dari dana BOS. Terbayang nggak seberapa banyak lembaran
uang sebesar itu? Yang biasanya kita gunakan hanya untuk sekali dua kali
makan baik sendiri atau bersama teman. Dan itu gaji guru GTT untuk
sebulan.
Di desa Baosan Kidul ini, listrik masuk baru sekitar 3
bulan yang lalu. Jadi jangan bayangkan ada komputer, laptop, LCD, atau
media pembelajaran berbasis komputer lainnya di sekolah. Untuk mengetik
saja, sebelum ada listrik, kasek musti pergi ke rental komputer di
Ponorogo. "Isin bu, mosok laporan-laporan lan data badhe diketik manual.
Konco-konconipun sampun ngangge komputer sedanten."
Pukul 15.30,
setelah menyerahkan empat buah buku dan sedikit dana untuk kas sekolah,
bersama para guru dari SDN 7 Baosan dan Heri, kami bergerak menuju
Gawangan, di mana mobil kami menunggu. Gerimis rapat, kabut mulai turun.
Saya membonceng Heri. Dua kali kami nyaris jatuh tergelincir, 'mrusut'
ke belakang karena jalan licin dan menanjak curam, berbatu-batu.
Pada
pukul 16.30, sampailah kami di Gawangan. Di sana sudah menunggu cak Jum
dan pak Hadi, kepala SDN 3 Sendang, yang masih setia menunggu.
Dipandu
oleh pak Hadi yang sekarang mengendarai mobil sendiri, kami bergerak
menuju SDN 2 Mrayan. Hanya sebentar ketemu jalan beraspal yang agak
halus. Selebihnya makadam lagi, naik-turun lagi, curam dan
berkelok-kelok lagi.
Melihat rute dan medan yang begitu berat,
tak terbayangkan jika kunjungan kami tidak dipandu. Sangat mustahil bisa
menempuh perjalanan yang luar biasa sulit ini. Yang membutuhkan nyali
sekaligus keteguhan niat. Untunglah, sejak dari Dinas Pendidikan
Ponorogo, kami terus didampingi para petugas dan guru yang tulus.
Serupiah pun mereka tidak mau menerima dari kami meski hanya untuk
sekedar membeli bensin. Dipaksa-paksa pun, mereka tetap bersikeras
menolak.
Kami tiba di SDN 2 Mrayan pada pukul 17.15. Sekolah
sudah sepi, tapi masih ada kepala sekolah, seorang guru, seorang penjaga
sekolah, dan Wachid, peserta Jatim Mengajar.
Bapak kepala
sekolah, Suyanto, S.Pd., mengungkapkan rasa terima kasihnya karena
kehadiran Wachid. Beliau berharap program ini akan terus berlanjut dan
sekolahnya tetap menjadi sasaran penugasan.
Wachid ditugasi
membantu guru kelas IV dan VI. Sore hari, dia mengisi les dan
ekstrakurikuler Pramuka. Dia juga bertugas mengisi kelas-kelas kosong
sebagai guru pengganti. Dengan demikian, Wachid harus terus standby
kapan pun dibutuhkan.
Tapi Wachid sempat mengeluhkan siswa-siswa
yang cenderung malas, kurang motivasi belajar. Saya katakan, "justeru
itu adalah tugasmu untuk membuat mereka memiliki motivasi belajar. Kamu
pikir, memangnya buat apa kamu jauh-jauh dikirim ke sini?" Wachid
tertawa mendengar pertanyaan saya. "Iya ya, bu..." katanya.
Pukul
17.45. Setelah kami serahkan empat buah buku dan sejumlah dana untuk
kas sekolah, mobil kami bergerak meninggalkan sekolah, menuju kota
Ponorogo. Menempuh jalan makadam yang kondisinya naik turun
berkelok-kelok dan sangat curam. Lagi. Melewati bukit-bukit yang
bersabuk pipa-pipa air. Ditemani keramahan khas" wong ndusun", yang
selalu menyapa, "monggo, pinarak...." Juga suara-suara binatang hutan
yang ramai riuh rendah.
Apa yang bisa saya sarankan setelah
mengalami perjalanan sepanjang hari ini adalah: jika Anda sedang hamil
muda, atau ada masalah dengan ambeien atau osteoporosis, saya sarankan
untuk tidak coba-coba berkunjung ke Sendang, Baosan atau Mrayan. Haha...
Hari
semakin gelap dan kami sedang berada di tengah hutan. Masih di atas
jalan makadam. Jendela mobil yang semula kami biarkan terbuka, kami
tutup. Udara sudah tidak hanya sejuk, tapi juga dingin menusuk.
Binatang-binatang malam yang beterbangan mengkhawatirkan kami
kalau-kalau mereka masuk mobil dan terbawa sampai Surabaya. Bisa repot
kami nanti kalau mereka minta dipulangkan kembali ke Ngrayun. Hehe..
Ditemani
suara alam yang masih lamat-lamat terdengar meski mobil sudah tertutup
rapat, saya memutar musik. Dan mengalunlah suara Ermi Kulit. "Malam
ini, kasih....teringat aku padamu. Seakan kau hadir di sini
menemaniku...
Ngrayun, Ponorogo, 27 November 2013.
Wassalam,
LN
Kamis, 28 November 2013
Wisata Edukasi 4: Lebih Rendah dari Gaji Pekerja Pabrik
Label:
Jatim Mengajar
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Kamis, November 28, 2013
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...