Pages

Kamis, 28 November 2013

Wisata Edukasi 4: Lebih Rendah dari Gaji Pekerja Pabrik

Dalam balutan mendung dan kabut serta udara dingin, kami berempat bersepedamotor dengan empat orang guru. Tidak tanggung-tanggung. Begitu pantat menempel di sadel sepedamotor, jalan menanjak langsung memaksa kami menahan nafas menikmati sensasinya. Mesin yang menderu-deru dan guncangan-guncangan, tak memberi kami kesempatan sedikit pun untuk sekedar melakukan pemanasan. Setidaknya menyiapkan mental dan posisi tempat duduk.

Yang membonceng saya adalah pak Santoso, guru Agama, dan nampaknya guru paling senior di SDN 2 Sendang. Saya memasrahkan keselamatan diri saya pada kepiawaiannya mengendarai motor, selain, tentu saja, pada lindungan Allah SWT. Beberapa kali kami harus turun dan berjalan belasan bahkan puluhan meter di jalan yang sangat curam dan licin, karena sepeda motor tidak kuat menanjak, atau tidak berani menurun dengan beban berat.

Kami juga melintasi jembatan gantung yang panjang di atas sungai besar yang arusnya sangat deras. Warna airnya yang coklat keruh dengan riak-riak putih bekerjaran menimbulkan kengerian tersendiri di hati. Kalau sungai ini penuh, jembatan ini tak ada artinya. Jalan yang menghubungkan kampung sebelah dengan sekolah terputus, dan siswa maupun guru-guru yang rumahnya di kampung tersebut, tidak akan bisa mencapai sekolah.

Ya, ini bukan di Sumba Timur atau di Papua, kawan. Ini di sebuah desa bernama Sendang, di Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Ponorogo itu, kalau tidak salah,  masih termasuk Jawa Timur. Memang betul. Sensasinya tidak kalah dengan di Sumba Timur atau di tempat lain di daerah 3T. Hanya untuk mecapai sekolah, guru dan siswa harus bersama-sama menempuh risiko karena begitu beratnya medan.

Di bawah guyuran gerimis, hati saya juga dipenuhi gerimis. Lebih-lebih setiap kali pak Santoso menceritakan kondisi anak-anak sekolah dan guru-guru, terutama guru GTT. Anak-anak yang rapi dan bersih-bersih itu, bukanlah sesuatu yang serta merta. Dana BOS harus disisihkan untuk membelikan baju dan sepatu mereka. Sebelumnya, mereka mengenakan sepatu 'jitu'. Artinya, 'drijine metu'. Ya, sepatu bolong, jebol, berjendela. Yang selalu ditekankah oleh kepala sekolah, 'mosok pak guru lan bu gurune tok sing resik-resik.....anak-anake yo kudu resik....". Maka mengajari mereka, memberi contoh mereka, untuk selalu berperilaku bersih, adalah tugas sehari-hari. Termasuk konsekuensi harus membelikan mereka seragam dan sepatu dari dana BOS. Juga alat-alat sekolah yang lain. Meski dana BOS itu adalah dana mereka, namun kalau diberikan dalam bentuk uang, bisa-bisa tidak tepat sasaran.

Dan gaji guru GTT? Alhamdulilah, sudah ada insentif dari Pemda sebesar 1,7 juta yang diterimakan per tiga  bulan. Selain itu, mereka juga mendapatkan 10 rb tiap masuk kerja. Tapi, hari gini? Sampai di mana uang gaji sebesar itu? Dengan harga kebutuhan sehari-hari yang harus mereka penuhi untuk menghidupi keluarga? Sedang tuntutan tugas mereka sebagai guru begitu berat?

Bandingkan dengan upah pekerja pabrik. Di Ponorogo, bahkan hanya lulusan SD, begitu masuk kerja, gaji pertama mereka sebesar 1 juta, sesuai UMK. Tidak besar memang. Tapi masih lebih besar dibanding insentif guru-guru GTT yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri mereka mencerdaskan anak-anak bangsa itu.

Insentif sebesar itu, yang meskipun lebih kecil dibanding gaji pertama pekerja pabrik, masih jauh lebih besar bila dibandingkan insentif guru-guru GTT di tempat lain. Mungkin kita semua sama-sama tahu bahwa guru-guru GTT bahkan ada yang hanya menerima sekitar 100-200 rb per bulan sebagai insentifnya. Ya. Itu pun seringkali tidak diterimakan tiap bulan, namun per triwulan sesuai turunnya dana BOS, karena memang insentif mereka dicuilkan dari dana APBN itu.

Guncangan-guncangan di sepanjang jalan makadam yang naik turun berkelok-kelok itu seperti mengguncang-ngguncang perasaan saya. Saya sebenarnya bukan baru kali ini mendengar begitu memprihatinkannya gaji guru GTT. Namun dalam kondisi yang begini lengkap, sekolah yang fasilitasnya serba terbatas, medan berat yang harus ditempuh, anak-anak sekolah yang miskin, dan ketulusan guru-gurunya untuk mengabdi, membuat kegundahan saya serasa begitu sempurna. Mata saya nanar menatap jalan-jalan berbatu-batu itu. Keindahan bukit, lembah, hutan-hutan pinus, seperti hampa. Kata-kata pak Santoso yang juga ikut bergetar-getar di antara deru mesin sepedamotor, seperti suara malaikat dari langit. "Menjadi guru seperti ini, bu.....kedah dipun niati ibadah......"

"Inggih, pak. Leres...." Jawab saya, sambil mengencangkan pegangan tangan saya pada bagian belakang sadel sepedamotor. Jalan menanjak curam dan saya tidak ingin melorot ke belakang. "Ibu mendel kemawon nggih, meniko radosani pun minggah." Saya menjawab, "inggih, pak. Dalem mendel kalih shalawatan mawon..." Pak Santoso tertawa.

Kami tiba di SDN 7 Baosan Kidul pada sekitar pukul 14.00. Perjalanan berat yang harus kami tempuh begitu melelahkan. Membuat lutut, paha, pantat, pinggang, punggung, lengan dan leher, sakit dan kaku-kaku.

Tapi semua itu terbayar dengan keramahan kepala sekolah dan guru-guru serta bapak penjaga sekolah. Teh hangat menyapa tenggorokan kami. Cerita-cerita tentang profil sekolah, kinerja guru, kondisi siswa, mengalir ditemani cuaca mendung dan hawa yang dingin menusuk. 

Heri, yang ditugaskan di sekolah ini, dipuji sebagai sosok yang sangat rajin. Anak-anak sekolah yang menurut kepala sekolah, bapak Suparyanto, S.Pd., pada dasarnya sudah rajin, semakin rajin dengan kehadiran pak Heri. Pukul 06.00 anak-anak sudah tiba, dan Heri sudah menyiapkan semuanya bersama pak Jemadi, penjaga sekolah yang kebetulan juga bapak kost-nya.

Sekolah ini memiliki siswa 111 orang, dengan 10 guru, termasuk Heri. Tiga guru di antaranya sudah PNS (termasuk kepala sekolah dan penjaga sekolah), dan selebihnya adalah GTT.

Mau tahu berapa gaji guru GTT di sekolah ini? Gaji guru GTT adalah sebesar 125.000/bulan, diterima per triwulan. Ya, 125 ribu. Dicuilkan dari dana BOS. Terbayang nggak seberapa banyak lembaran uang sebesar itu? Yang biasanya kita gunakan hanya untuk sekali dua kali makan baik sendiri atau bersama teman. Dan itu gaji guru GTT untuk sebulan.

Di desa Baosan Kidul ini, listrik masuk baru sekitar 3 bulan yang lalu. Jadi jangan bayangkan ada komputer, laptop, LCD, atau media pembelajaran berbasis komputer lainnya di sekolah. Untuk mengetik saja, sebelum ada listrik, kasek musti pergi ke rental komputer di Ponorogo. "Isin bu, mosok laporan-laporan lan data badhe diketik manual. Konco-konconipun sampun ngangge komputer sedanten."

Pukul 15.30, setelah menyerahkan empat buah buku dan sedikit dana untuk kas sekolah, bersama para guru dari SDN 7 Baosan dan Heri, kami bergerak menuju Gawangan, di mana mobil kami menunggu. Gerimis rapat, kabut mulai turun. Saya membonceng Heri. Dua kali kami nyaris jatuh tergelincir, 'mrusut' ke belakang karena jalan licin dan menanjak curam, berbatu-batu.

Pada pukul 16.30, sampailah kami di Gawangan. Di sana sudah menunggu cak Jum dan pak Hadi, kepala SDN 3 Sendang, yang masih setia menunggu.

Dipandu oleh pak Hadi yang sekarang mengendarai mobil sendiri, kami bergerak menuju SDN 2 Mrayan. Hanya sebentar ketemu jalan beraspal yang agak halus. Selebihnya makadam lagi, naik-turun lagi, curam dan berkelok-kelok lagi.

Melihat rute dan medan yang begitu berat, tak terbayangkan jika kunjungan kami tidak dipandu. Sangat mustahil bisa menempuh perjalanan yang luar biasa sulit ini. Yang membutuhkan nyali sekaligus keteguhan niat. Untunglah, sejak dari Dinas Pendidikan Ponorogo, kami terus didampingi para petugas dan guru yang tulus. Serupiah pun mereka tidak mau menerima dari kami meski hanya untuk sekedar membeli bensin. Dipaksa-paksa pun, mereka tetap bersikeras menolak.

Kami tiba di SDN 2 Mrayan pada pukul 17.15. Sekolah sudah sepi, tapi masih ada kepala sekolah, seorang guru, seorang penjaga sekolah, dan Wachid, peserta Jatim Mengajar.

Bapak kepala sekolah, Suyanto, S.Pd., mengungkapkan rasa terima kasihnya karena kehadiran Wachid. Beliau berharap program ini akan terus berlanjut dan sekolahnya tetap menjadi sasaran penugasan.
 
Wachid ditugasi membantu guru kelas IV dan VI. Sore hari, dia mengisi  les dan ekstrakurikuler Pramuka. Dia juga bertugas mengisi kelas-kelas kosong sebagai guru pengganti. Dengan demikian, Wachid harus terus standby kapan pun dibutuhkan.

Tapi Wachid sempat mengeluhkan siswa-siswa yang cenderung malas, kurang motivasi belajar. Saya katakan, "justeru itu adalah tugasmu untuk membuat mereka memiliki motivasi belajar. Kamu pikir, memangnya buat apa kamu jauh-jauh dikirim ke sini?" Wachid tertawa mendengar pertanyaan saya. "Iya ya, bu..." katanya.

Pukul 17.45. Setelah kami serahkan empat buah buku dan sejumlah dana untuk kas sekolah, mobil kami bergerak meninggalkan sekolah, menuju kota Ponorogo. Menempuh jalan makadam yang kondisinya  naik turun berkelok-kelok dan sangat curam. Lagi. Melewati bukit-bukit yang bersabuk pipa-pipa air. Ditemani keramahan khas" wong ndusun", yang selalu menyapa, "monggo, pinarak...." Juga suara-suara binatang hutan yang ramai riuh rendah.   
 
Apa yang bisa saya sarankan setelah mengalami perjalanan sepanjang hari ini adalah: jika Anda sedang hamil muda, atau ada masalah dengan ambeien atau osteoporosis, saya sarankan untuk tidak coba-coba berkunjung ke Sendang, Baosan atau Mrayan. Haha...

Hari semakin gelap dan kami sedang berada di tengah hutan. Masih di atas jalan makadam. Jendela mobil yang semula kami biarkan terbuka, kami tutup. Udara sudah tidak hanya sejuk, tapi juga dingin menusuk. Binatang-binatang malam yang beterbangan mengkhawatirkan kami kalau-kalau mereka masuk mobil dan terbawa sampai Surabaya. Bisa repot kami nanti kalau mereka minta dipulangkan kembali ke Ngrayun. Hehe..

Ditemani suara alam yang masih lamat-lamat terdengar meski mobil sudah tertutup rapat, saya memutar musik. Dan mengalunlah suara Ermi Kulit.  "Malam ini, kasih....teringat aku padamu. Seakan kau hadir di sini menemaniku...


Ngrayun, Ponorogo, 27 November 2013.


Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...