Pages

Minggu, 13 Oktober 2013

Wisata Edukasi

Akhirnya kami, saya dan suami, sampai di tempat ini. Di SDN Jatipandak. Sekolah di tengah perkampungan. Di sebuah desa bernama Jatipandak, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Sore hari, saat senja siap jatuh. 

Tak pelak, kekaguman saya tak terbendung. Hampir tidak percaya saya menatap empat bangunan itu. Sebuah bangunan bercat oranye, terdiri dari empat ruang. Itulah bangunan yang paling indah di antara tiga bangunan yang lain. Satu bangunan dengan ukuran yang sama, melintang di ujungnya, membentuk huruf L, namun kondisinya bertolak belakang. Bangunan itu tak bercat, tak berpintu, banyak bagian temboknya yang retak, rangkanya melengkung, atapnya koyak, siap ambruk. Satu lagi, bangunan rumah sederhana, lumayan layak meski tembok depannya retak besar. Itulah mes guru. Jauh lebih layak dibandingkan dengan satu bangunan di depannya, yang terdiri dari tiga petak. Tiga petak itu, juga mes guru. Tak terawat, tak layak huni. Temboknya kusam, pintu tripleknya nyaris hancur. 

Beberapa anak sedang bermain di sebuah luncuran dan ayunan, di depan mes itu. Seorang ibu menemani mereka. Tawa ceria mereka, bertolak belakang dengan suasana kusam dan sungup yang melingkupi sekitarnya.

Kami berjalan melihat sekeliling. Mas Ayik sibuk mengambil gambar. Saya melongok ke bagian dalam bangunan bercat oranye, bangunan yang paling indah itu. Dari terali kawat yang sudah berkarat, saya bisa melihat bangku-bangku, papan tulis dan dinding-dinding yang kusam, lantai tanah yang kotor, dan debu di mana-mana. Beberapa hiasan dinding, lukisan di atas kertas, sepertinya karya siswa, bahkan tak mampu memberikan sentuhan keindahan. Kekaguman saya semakin menjadi-jadi. Betapa mungkin anak bisa betah belajar di kelas yang 'senyaman' ini?

Saya menjauh dari bangunan itu. Mendekati bangunan koyak di dekatnya. Hanya melihat-lihat dari teras. Tak berani masuk. Bangunan ini sepertinya siap menimpa siapa saja begitu ada kaki yang menginjak lantai tanahnya. Saya ngeri sendiri membayangkan hal itu.

Saya menjauh dari kelas-kelas yang rusak itu. Menyapa gadis-gadis kecil di halaman sekolah. "Halo adik-adik, siapa yang sekolah di sini?" Dua gadis manis mendekat. Malu-malu menyebutkan namanya saat saya tanya.  

Nama anak itu cukup panjang, Leli Tri Wahyuni Ainur Rochimah, siswa kelas empat (seingat saya, Ainur Rochimah adalah nama asli Inul Daratista, mungkin orang tua Leli, nama panggilan anak itu, penggemar berat Inul...hehe). Yang satunya lagi, namanya Fatazilun Dwi Saskia, kelas empat juga. Panggilannya Ilun.

Sambil menunggu Anas, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di Jatipandak ini, saya mengobrol dengan dua anak itu. Selama mengobrol, teman-teman mereka satu per satu datang, bergabung. Jadilah kami mebentuk forum kecil dengan topik seputar sekolah mereka. 

Tidak perlu bertanya ke kepala sekolah atau guru untuk bisa mendapatkan beberapa informasi tentang sekolah ini. Leli dan Ilun saja sudah cukup paham. Jumlah siswa seluruhnya ada 20. Rinciannya: kelas I tidak ada siswanya, kelas II ada 9 siswa, kelas III ada 3, kelas IV ada 5, kelas V ada 1, dan kelas VI ada 2. Bahkan kedua anak itu bisa menyebut semua nama siswa di sekolah itu. Juga siswa Taman Kanak-Kanak. Oya, di sekolah itu, satu kelas untuk TK, satu kelas untuk kelas II dan III, dan satu kelas untuk kelas IV, V dan VI.

Menurut Leli dan Ilun, gurunya ada enam, yaitu bu Wiwin, bu Utami, pak Ma'un, pak Yogi, pak Saidi, pak Matlan. Pak Ma'un mengajar agama, pak Saidi mengajar olah raga. Pak Matlan adalah kepala sekolah. Dua guru yang lain, adalah guru kelas, tentu saja mengajar semuanya. Saat saya tanya, apakah mereka kenal dengan pak Anas, guru baru di sekolah itu, mereka menggeleng.

Jumlah siswa TK ada 9 orang, dengan dua orang guru, namanya bu Issa dan bu Sus. Saat saya minta Leli dan Ilun menyebutkan nama-nama siswa TK, mereka juga hafal semua.

Sekolah setiap hari masuk jam 7.30, pulang jam 11.30. Selama jadi siswa di sekolah itu, Leli dan Ilun belum pernah melaksanakan upacara bendera. Mereka juga tidak hafal lagu Indonesia Raya. Teks Pancasila juga tidak hafal. Beberapa lagu seperti Satu Nusa Bangsa, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila diajarkan oleh guru olah raga. Namun mereka juga tidak hafal saat saya ajak bernyanyi bersama.

Di tengah perbincangan kami, Anas datang, bersepeda motor. Mengenakan jaket almamater, bersarung dan berkopiah. Anas, lulusan STKIP Trenggalek tahun 2012, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia itu, adalah salah satu peserta Jatim Mengajar. Sebuah program kerja sama antara Unesa dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Tahun ini merupakan angkatan pertama. Dari 26 calon peserta, hanya 7 yang lolos. Ketujuh peserta itu kami tugasnya di Lamongan 2 orang, Madiun 2 orang, dan Ponorogo 3 orang. 

Program Jatim Mengajar kami kemas persis seperti program SM-3T, mulai dari persyaratan peserta, seleksi, prakondisi, dan tugas-tugasnya selama di tempat pengabdian. Prakondisinya juga sama, yaitu di Kodikmar. Bedanya, peserta Jatim Mengajar harus bisa mengaji, karena ada muatan dakwahnya, dan sementara ini hanya khusus untuk laki-laki. Bedanya lagi, usai mereka melaksanakan tugas pengabdian, tidak ada 'reward' untuk mengikuti PPG (Program Profesi Guru), meski saat ini kami sedang berupaya ke kemdikbud, supaya peserta Jatim Mengajar bisa menempuh PPG juga usai masa pengabdian mereka. Ya, harus ada apresiasi bagi fihak-fihak yang berinisiatif untuk berpartisipasi membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Pemerintah belum, atau tidak akan mampu mengatasi semuanya, maka gerakan-gerakan besar maupun kecil dari fihak mana pun yang secara konsisten ikut membantu menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan khususnya di daerah-daerah tertinggal, musti diapresiasi.

Ternyata Anas tidak mengajar di sekolah ini. Pantas saja tadi Leli dan Ilun tidak mengenalnya. Ternyata ada SDN Jatipandak yang lain, sekitar dua kilometer dari tempat ini. "Baiklah, kalau begitu, mari ke sekolahmu",
kata saya.

Kalau tadi untuk mencapai tempat ini saya membonceng mas Ayik (dengan meminjam sepeda motor orang kampung, tempat kami memarkir mobil di ujung jembatan), maka saya sekarang membonceng Anas. Sepeda motor yang dikendarai mas Ayik sepertinya sudah cukup tua, dan terlalu berat untuk kami bebani berdua. Selain itu, dengan membonceng Anas, saya bisa mengobrol sepanjang perjalanan menuju sekolahnya. 
Tidak terlalu sulit mencapai sekolah tempat Anas bertugas. Meski harus menembus hutan jati, dengan kondisi jalan terbuat dari rabat semen yang sudah pecah-pecah dan rusak di mana-mana, naik-turun, sangat curam, namun tidak  ada jurang di kanan-kiri jalan, tidak seperti di Sumba Timur. Meski begitu, kita harus tetap ekstra hati-hati dan pandai-pandai memilih jalan kalau tidak ingin jatuh terjerembab atau tergelincir di jalan-jalan yang menanjak dan menurun dengan tingkat ketinggian dan kecuraman yang lumayan ekstrim.

Kondisi SDN Jatipandak 2 jauh lebih baik dibanding SDN Jatipandak 1. Ada sepetak halaman, memang lebih kecil, namun lebih bersih. Dari luar, bangunannya yang juga bercat oranye, nampak lebih terawat. Namun saat saya melongok ke bagian dalamnya melalui jendela kaca, kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekolah yang kami lihat tadi. Beralas tanah, dengan papan tulis dan dinding-dinding yang kusam. Debu di mana-mana. Anas bilang, setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak harus menyirami kelasnya dulu, agar selama pelajaran, debu tidak beterbangan.

Sekolah itu memiliki tiga kelas, dengan 22 siswa, dan 6 guru, termasuk kepala sekolah dan Anas. Kepala sekolahnya sama dengan kepala sekolah SDN Jatipandak 1, yaitu pak Matlan. Tiga guru sudah PNS, sudah senior semua, salah satunya bahkan menderita asma. Seorang guru yang lain, pak Ma'un, tiga hari bertugas di sekolah tersebut, tiga hari yang lain di sekolah satunya. Dua yang lain guru GTT. Satu lagi, adalah Anas.

Sama dengan SDN Jatipandak 1, sekolah yang berdiri sejak 1983 ini, juga menerapkan kelas rangkap. Kelas I dan II bergabung. Selebihnya, kelas IV, V dan VI, bergabung. Kelas III tidak ada siswanya. Kelas I siswanya ada 6 orang, kelas II ada 3 orang, kelas IV ada 5, kelas V ada 6, dan kelas VI ada 3 orang. 

Setiap pagi, Anas datang ke sekolah paling pagi. Mengkondisikan kelas-kelas dan siswa. Jam 07.00 tepat, dia  memukul lonceng sekolah. Sambil menunggu kepala sekolah dan guru-guru datang, dia mengisi kelas-kelas. 

Saya sempat bertanya-tanya, kenapa SDN Jatipandak 1 dan 2 tidak dimerger saja. Tapi pertanyaan itu saya jawab sendiri. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dan medan yang tidak terlalu mudah, mungkin inilah jalan terbaik. 

Senja semakin gelap. Adzan maghrib berkumandang. Kami singgah di tempat tinggal Anas, di dekat sekolah itu. Dia menumpang di rumah pak Ponaji, seorang guru juga. Masih muda, baru empat tahun PNS. Istrinya, ibu rumah tangga, aslinya dari Lawang. Putranya satu, masih kecil. Pak Ponaji adalah putra daerah, asli Jatipandak. 

Kami tidak lama di rumah itu, karena kami harus segera melanjutkan perjalanan kembali ke desa Kandangan, tempat mobil kami parkir di ujung jembatan, di depan rumah penduduk. Sebelum gelap benar-benar jatuh, dan menyulitkan pandangan kami berkendara membelah hutan yang gulita.
  
Di tengah menempuh perjalanan yang terjal itu, pikiran saya melayang-layang. Kami hanya perlu waktu sekitar 3,5 jam untuk menjangkau tempat ini.
Dari Surabaya, lewat Menganti, Balungpanggang, Mantup, Sambeng. Dengan mengandalkan google map di tab saya. GPS di mobil lupa tidak di-charge baterainya, jadi mati di tengah jalan menjelang masuk Balungpanggang. Tiga setengah jam, bukan waktu yang lama. Ini Lamongan, kabupaten yang masih berdekatan dengan Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Bukan di NTT, Maluku atau Papua. Namun sensasinya tidak kalah dengan tempat-tempat yang disebut 3T itu. Kondisi sekolahnya, juga kondisi medannya. Bedanya, kami melewati beberapa perkampungan yang padat. Namun hutan-hutan dan jalan-jalan yang terjal dan curam menjadi suguhan yang tak kalah menantangnya.

Wisata edukasi sore ini tuntas. Diteruskan besok saja. Sudah terlalu malam untuk mencapai tempat Arif, salah satu peserta Jatim Mengajar juga, meski di kecamatan yang sama. Tempat tugasnya, di SDN Kedungbanjar, masih lebih dari satu jam waktu tempuh untuk menjangkaunya. Kami hanya bertemu Arif dan temannya, seorang guru honorer di sekolah yang sama, di depan UPT Kecamatan Sambeng. Mengobrol di pinggir jalan.

Kemudian kami berpisah. Saya berjanji untuk mengabarinya besok jika kami akan datang mengunjunginya. Melanjutkan wisata edukasi kami. Mengisi satu dua hari di akhir pekan ini.

Selamat menjalankan puasa arafah. Selamat berkurban. Semoga Allah SWT meridhoi ibadah kita. Amin Ya Rabbal Alamin.

Lamongan, 12 Oktober 2013

Wassalam,
LN

3 komentar

novietaRight 14 Oktober 2013 pukul 19.35

Bu...ibu posisinya memonitoring ya Bu...?

slowcilik 2 November 2013 pukul 19.23
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim

Saya posisinya bukan melakukan monitoring, tapi sekedar bersilaturahim....
Insyaallah Desember nanti ada tim yang monitoring...
Tentu akan berkoordinasi dengan diknas dan sekolah.
Terima kasih.
Luthfiyah Nurlaela, Koordinator Program Jatim Mengajar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...