Pages

Sabtu, 15 Maret 2014

Gurunnya Manusia

Beberapa hari yang lalu (12 Maret 2014), saya ditugasi pak Rektor untuk menjadi pembahas pada acara bedah buku best seller "Gurunya Manusia". Acara itu diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, dan tempat acaranya di lantai dua kantor itu juga. 

Penulis "Gurunya Manusia" adalah Munif Chatib, seorang pemerhati dan praktisi pendidikan. Buku sebelumnya, "Sekolahnya Manusia" (2009), juga menjadi best seller dan sudah berkali-kali dicetak ulang serta lebih dari 40 kali dibedah di seluruh Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua.

Munif Chatib sendiri adalah lulusan S1 Hukum Universitas Brawijaya. Setahun sempat menjadi lawyer, namun kemudian menyadari, hatinya tidak berada di tempat itu. Dia pun menyeberang menjadi guru. Kecintaannya pada profesi guru mendorongnya untuk mengambil program Magister Pendidikan PAUD di UNJ, serta mengambil diploma di Supercamp-nya Bobbie DePorter di USA. DePorter sendiri adalah pakar pendidikan yang melambungkan quantum teaching dan menjadi salah satu sumber ide munculnya accelerated learning. Munif, selain beruntung karena bisa belajar pada Bobbie DePorter secara langsung, dia juga sempat belajar langsung pada Howard Gardner, siapa lagi kalau bukan tokoh multiple intelligence (MI).

Saya juga sangat beruntung bertemu dengan pria yang berdomisili di Sidoarjo ini. Wajah Timur Tengahnya yang terkesan dingin ternyata begitu hangat bersahabat saat menyampaikan topik tentang bagaimana menjadi guru yang berhasil membawa setiap siswa menjadi juara. Dia tidak hanya berteori, namun juga memberikan contoh-contoh nyata di kelas dengan melibatkan semua peserta. Dia juga menayangkan video tentang bagaimana setiap anak sejatinya adalah seorang bintang sekali pun dia anak autis, down syndrom, tuna daksa, bahkan cerebral palsi. Video-video yang ditayangkannya sungguh berhasil mengaduk-aduk perasaan dan tidak sedikit peserta yang lantas dibuatnya menangis karena terharu. Pesan dari semua tayangan video yang dia sajikan adalah, setiap anak itu istimewa. Anak berkebutuhan khusus hanya memiliki satu klastes di otaknya yang rusak, namun jutaan klaster yang lain baik-baik saja. Masuklah melalui klaster yang baik itu, dan temukan bintang di sana.  

Munif tidak hanya penulis yang andal, namun juga penyaji yang memukau. Dia menyajikan analogi pendidikan yang seragam itu ibarat burung yang dipaksa berenang atau kelinci yang dipaksa untuk terbang. Itulah pada umumnya pendidikan kita. Memaksakan kurikulum yang tidak selalu sesuai dengan bakat dan minat anak. Mereka dianggap robot yang bisa diprogram.
  
Menurut Munif, untuk berubah menjadi guru yang hebat, setiap guru harus merubah paradigma/pola pikirnya. Tentu saja hal itu sangat sulit. Tapi dengan terus mencoba, berlatih, memegang komitmen, guru itu akan berhasil. 

Munif meminta semua peserta yang terdiri dari guru-guru itu menuliskan nama dan membubuhkan tanda tangan mereka dengan cepat di atas selembar kertas. Semua dilakukan dengan tangan kanan. Kemudian Munif meminta guru mengulang apa yang mereka lakukan itu, namun dengan menggunakan tangan kiri. Tentu saja semua merasa kesulitan. "Tapi bagaimana kalau itu dilatih? Setiap hari bapak ibu menulis dengan tangan kiri? Kira-kira selama lima enam bulan ke depan, akankah itu berhasil? Bapak ibu terampil menulis dengan tangan kiri?"
Semua guru menjawab ya.
"Itu artinya, semua butuh pembiasaan. Merubah pola pikir itu juga harus dibiasakan. Sulit memang, tapi dengan terus mencoba dan berlatih dengan penuh kesungguhan, kita semua akan berhasil."

Ada lima bingkisan yang harus dibuka oleh guru. Bingkisan pertama adalah memandang setiap anak yang dilahirkan itu juara. Guru harus merobohkan penghalang-penghalang yang dibuat sendiri, seperti anak itu bodoh, nakal, menjengkelkan, dan lain sebagainya. Munif menayangkan kisah Lena Maria, seorang perempuan tanpa tangan, dan dia melakukan semuanya dengan dua kakinya. Memasak, menyulam, mengendarai mobil, mengetik, semuanya. Kisah Lena benar-benar membuka mata hati kita, seperti apa pun siswa kita, senakal apa pun, sebodoh apa pun, dia pasti memiliki sebuah 'bintang'. Setiap anak adalah karya masterpiece Sang Pencipta. Tak ada satu pun anak yang merupakan produk gagal. Tugas guru adalah membuka jalan bagi setiap anak untuk menjadi bintang. Implikasinya dalam pendidikan adalah dikembangkannya sekolah inklusi: semua anak, dengan apa pun jenis kebutuhan khusus (ABK) harus diterima.

Bingkisan kedua yaitu bahwa kemampuan anak kita seluas samudera. Tugas orang tua dan guru adalah menyelami samudera luas itu untuk mengembangkan segala potensinya. "Jangan memandang kemampuan anak kita sempit". Perkembangan anak tidak perlu dilihat dari ranking dia di kelas, namun yang lebih penting adalah mengukur kemajuan dan perkembangannya dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan anak itu sendiri (ipsativei).

Bingkisan ketiga, setiap anak cerdas dengan multiple intelligence (MI). MI merupakan harta karun. Redefinisi kecerdasan menurut teori MI adalah kebiasaan, perilaku yang diulang-ulang (habit). Kebiasaan menciptakan produk-produk baru yang bernilai budaya. Cirinya adalah creative (lebih kepada aspek psikomotorik) dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving, lebih kepada aspek kognitif dalam arti luas). Dengan begitu beragamnya kecerdasan dan gaya belajar anak, guru dan orang tua harus bisa memberikan stimulus yang tepat. Gaya belajar siswa harus dipahami dan mengajar harus menggunakan multistrategi. Howard Gardner memastikan bahwa setiap anak memiliki spektrum kecerdasan dan tugas kita adalah membukakan jalan bagi mereka untuk mengembangkan semua spektrum kecerdasannya. Tidak perlu ada kastanisasi bidang studi, bahwa IPA lebih unggul daripada IPS, bahwa anak cerdas adalah mereka yang nilai matematikanya tinggi, dan seterusnya.

Bingkisan keempat adalah discovering ability. Setiap orang tua dan guru harus menjelajahi kemampuan anak meskipun sekecil debu. Kembangkan kemampuan dan 
kubur ketidakmampuan anak. Untuk menjelaskan topik ini, Munif menunjukkan bagaimana seorang anak cerebral palsi berhasil menjuarai triathlon. Tidak terbayangkan bagaimana seorang cerebral palsi bisa mengikuti kejuaraan berat itu. Ternyata ada seorang ayah yang luar biasa.
Seorang ayah yang selalu melakukan 'discovering ability'.
Berkaitan dengan hal ini, seorang guru haruslah lebih banyak sebagai fasilitator, 
katalisator dan melakukan
penilaian otentik.

Bingkisan kelima adalah bakat. Setiap anak memiliki bakat dan tugas guru adalah menemukan bakat anak. 

Guru adalah profesi yang profesional. Dia dituntut untuk terus berkarya dan mampu memecahkan masalah. Tantangan bagi guru yaitu bagaimana menghayati profesinya supaya mereka menjadi profesional. Guru yanhg profesional adalah guru yang "mengajar dengan hati".

Surabaya, 15 Maret 2014. 19.50 WIB.

LN
(Nunggu boarding di Bandara Yogya)

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...