Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2012. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2012. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (4): Mengarungi Samudra Hindia

Pada sekitar pukul 13.00, akhirnya kami tiba di tempat ini, Desa Katundu, Kecamatan Karera. Setelah menempuh lebih dari lima jam perjalanan dari Waingapu. Lima jam yang diliputi gerimis, kabut dan mendung tebal. Membuat wiper mobil nyaris tidak berhenti bergerak sepanjang perjalanan. Juga membuat perasaan jadi agak ciut karena khawatir cuaca tersebut akan berpengaruh pada  kondisi laut.  

Dari desa ini kami akan menyeberang menuju Salura. Kami berhenti dulu di sebuah rumah singgah di tepi pantai. Rumah singgah yang hanya seperti warung kecil semi permanen. Terasnya disekat dan diberi alas tikar. Di situlah orang-orang singgah sambil menunggu perahu. Minum kopi dan main kartu untuk membunuh waktu. 

Pada hari-hari biasa, perahu beroperasi setiap hari Selasa, bertepatan dengan hari pasar. Sejak pagi pukul 07.00 perahu-perahu bertolak dari Salura, membawa para penumpang yang akan menjual hasil tangkapan ikannya atau orang-orang yang akan berbelanja ke Katundu. Pukul 10.00, perahu bergerak pulang ke Salura, membawa orang-orang itu juga. 

Rutinitas itu bisa terjadi bila laut bersahabat. Bila tidak, mereka harus menunggu satu dua hari sampai seminggu untuk bisa kembali ke Salura. Heri dan teman-temannya pernah berangkat belanja berbagai kebutuhan bahan makanan, termasuk sayur-sayuran. Bertolak pada hari Selasa pagi dari Salura menuju pasar di Katundu. Sesampainya di Katundu, ternyata laut tiba-tiba bergejolak dan perahu baru berani menyeberang seminggu kemudian. Jadilah sayur-sayuran yang dibeli Heri layu dan terbuang percuma.

Begitu Oscar menghentikan mobil di depan rumah singgah itu, kami semua turun. Acara pertama adalah makan siang. Menunya nasi dan ayam goreng lalap yang kami beli dari Mr Cafe tadi pagi. Sebetulnya saya sudah menambahkan porsi melebihi jumlah penumpang mobil. Heri dan Andi yang menjemput kami di Katundu sudah saya perhitungkan. Namun ternyata di situ ada lima orang, termasuk murid Heri, yang juga sedang menjemput kami. Untunglah Heri dan Andi sudah memasak mi instan rebus, sehingga bekal yang ada disantap bersama-sama dengan mi rebus itu. 

Saya sendiri, seperti biasa setiap waktu makan, sibuk mencari recycle bin. Porsi nasi dan ayam yang terlalu besar tidak mungkin saya bereskan. Maka berpindahlah separo porsi saya ke piring Zia.

Gerimis ternyata semakin rapat, namun kami harus terus bersiap. Pak Rahman sudah berganti mengenakan kaus dan celana pendek. Semua tas sudah dibungkus plastik. Anak-anak sibuk mengganti sepatunya dengan sandal jepit.  Pak Rahman memastikan saya mengenakan jas hujan. Semua bawaan saya dicek, apakah sudah aman atau belum. Sebuah tas plastik besar ditutupkannya di ransel saya dan ditentengnya ransel itu.

Kami berarak menuju dua perahu yang kami sewa, yang sudah menunggu di bibir pantai. Satu perahu ternyata milik pak Rasyid, dan satu perahu milik Heri. Ya, Heri telah merintis usaha dengan menyewakan perahunya, baik untuk transportasi maupun untuk mencari cumi.  

Perahu. Bukan kapal. Pantas saja Heri dan kawan-kawan selalu meralat kalau saya bilang kapal. 'Perahu, Ibu, bukan kapal', begitu katanya. Ternyata memang kendaraan laut kecil itu benar-benar perahu. Perahu nelayan yang menggunakan motor. Yang terbuka tanpa atap sama sekali. Dengan suara mesin yang meraung-raung. Asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan membuat hidung terasa berjelaga. Itulah kendaraan yang akan kami gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura. 

Entah kenapa, pada akhirnya saya memutuskan untuk menempuh perjalanan berisiko ini. Salura merupakan satu-satunya desa pulau di Sumba Timur dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Beberapa waktu yang lalu, Heri mengirim kabar via FB kalau sekolah di Salura terancam tutup karena tidak ada gurunya. Saat ini Salura yang sudah pernah mengancam untuk bergabung dengan Australia ini,  digunakan sebagai tempat penugasan peserta SM-3T untuk yang kedua kalinya. Hal-hal itulah yang mendorong saya akhirnya berada di sini. Tidak sekedar demi menunaikan tugas melakukan monev, tapi yang lebih penting adalah demi sebuah silaturahim. Juga, senyampang laut sedang relatif tenang.

Perjalanan berperahu mengarungi Samudra Hindia dari Katundu menuju Salura itu memerlukan waktu sekitar satu jam. Hampir separo perjalanan kami lalui di bawah guyuran gerimis yang rapat. Airnya asin. Ombak laut yang berwarna hitam seperti bekerjaran berlomba mendatangi kapal. Seolah siap menggulung. Ya, kami sedang berperahu melawan arus. Kapal menerjangnya, membuat kapal terhempas, oleng sebentar ke kanan dan ke kiri, dan ombak memercik menerpa wajah-wajah kami. 

Saya seperti tidak percaya, saya sedang berada di atas Samudra Hindia, berlayar dengan perahu nelayan. Tidak jauh di depan sana adalah laut lepas. Pulau Salura, Pulau Kambing dan Pulau Mengkudu nampak seperti gundukan bukit berwarna kecoklatan. Di seberang Pulau Mengkudu adalah Australia. Menurut Tamam, seorang peserta yang bertugas di Salura, bila kita menaiki bukit di malam hari, lampu-lampu di Benua Kanguru itu terlihat dari kejauhan.

Pada separo perjalanan berikutnya, gerimis reda. Meski matahari tak menampakkan diri sama sekali, dan kabut serta mendung tebal terus menyelimuti, tapi setidaknya kami tidak terus-menerus diguyur air hujan yang rasanya sangat asin itu.

Semakin dekat dengan Salura, ombak semakin tinggi dan disertai angin. Saya sangat merasakan goyangannya dan tiupan angin. Perahu terpaksa agak memutar untuk menghindari ombak besar menjelang merapat ke pantai. 

Setiap kali saya merasa agak cemas, saya melihat wajah-wajah di perahu itu, terutama dua orang awaknya. Mereka bergantian menjaga mesin dan membuang air di bagian dasar kapal dengan sebuah timba. Meski ombak menghempas-hempaskan perahu dengan cukup keras, wajah-wajah mereka sangat tenang. So, tidak ada alasan bagi saya untuk merasa cemas dan panik. Namun begitu, doa yang diajarkan ibu saat saya berlayar dengan Kapal Marsela di atas Laut Banda terus saya gumamkan. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.  

Akhirnya....saya pun tercengang penuh takjub. Subhanallah....indahnya. Salura ternyata begitu eksotis. Puluhan perahu nelayan berjajar di bagian tepi laut. Garis pantai yang putih bersih membentang dari arah kiri ke arah kanan saya. Pohon-pohon kelapa berjajar, dan di bawah pepohonan itulah rumah-rumah nelayan bersisian. Juga puluhan tenda-tenda.

Tenda-tenda itu adalah milik para nelayan yang eksodus dari Lombok untuk mencari cumi di laut ini. Tenda, pantai, perahu dan laut. Tempat ini menjadi begitu eksotis bukan hanya karena laut birunya dan gundukan bukit-bukit yang mengitarinya. Puluhan bahkan mungkin ratusan perahu yang sedang parkir di tepian laut itu membuatnya menjadi semakin eksotis. 

Begitu turun dari perahu, saya pun spontan membongkar tas saya untuk mencari apa pun yang bisa saya gunakan untuk mengabadikan pemadangan alam yang luar biasa ini. Sejak naik ke perahu tadi, tak ada seorang pun yang memotret karena semua barang elektronik diamankan dalam tas plastik untuk menghindari air hujan yang mengandung garam. Hanya saya saja yang nekad mengeluarkan BB dan sempat mengabadikan momen menjelang menaiki kapal. Saat ini, saya mengabadikan semua yang menghampar di depan saya dengan kamera pocket saya dan BB. Anak-anak pantai yang berlarian di atas pasir. Para nelayan yang sedang menyiapkan perahu-perahu. Dan laut, pantai, kabut, mendung tebal, pulau-pulau...semuanya telah saya rekam. Ya, meski hasil rekamannya tidaklah sebagus hasil jepretan fotografer profesional, tapi setidaknya, saya tidak terlalu banyak kehilangan momen.

Salura
Akhirnya
Kesentuh nadimu
Kuhirup aromamu
Kucumbui keindahanmu


Pulau Salura, Karera, Sumba Timur, 9 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN 

Minggu, 09 Juni 2013

Sumba Timur (3): Kawin Adat Sumba

Salah satu pengantin khas Sumba.
Setelah berjalan sekitar empat jam, kami mencapai Kananggar. Mobil berhenti. Oscar membuka kap depan mobil dan mengeceknya. Dia bilang, mobil masuk angin karena kemarin telat mengisi solar.

Di tempat kami berhenti, ada beberapa warung kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman. Mi instan, biskuit, wafer, air mineral, permen, dan beberapa jenis makanan kecil yang lain. 

Di sebelah warung itu, ada kantor koramil yang sekaligus menjadi rumah danramilnya. Bangunan yang sangat sederhana untuk disebut kantor. Satu-satunya tanda yang menunjukkan kalau bangunan itu kantor adalah papan nama terbuat dari kayu yang juga sangat-sangat sederhana. Juga bendera merah putih yang jahitan tepinya sudah koyak dan menjuntai. Seorang perempuan tengah menurunkan bendera itu dan mengibarkannya setengah tiang. Bela sungkawa untuk Taufiq Kiemas.

Sembari menunggu teman-teman di toilet kantor koramil, saya mengobrol dengan Oscar dan pak Rasyid. Salah satu bahan obrolan adalah tentang nikah adat Sumba. Obrolan itu terus berlanjut di perjalanan menuju Selura karena ternyata yang tertarik untuk mengetahui adat yang unik itu tidak hanya saya, tetapi juga pak Rahman dan anak-anak. 

Menurut dua narasumber saya ini, sampai saat ini, seorang pemuda Sumba yang ingin melamar seorang gadis Sumba, harus menyediakan sejumlah kuda sebagai belis (mas kawin). Jumlah kuda berkisar dari satu ekor sampai ratusan, sangat bergantung dari status sosial laki-laki dan perempuannya. Semakin tinggi tingkat status sosial seseorang, semakin banyak kuda dan harta (anahita atau kalung Sumba dan kain-kain Sumba) yang harus disediakan. Namun kuda-kuda itu tidak dibayar putus. Artinya, dibayar secara bertahap, sesuai dengan aturan adat.

Bila sebuah keluarga sudah menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan seorang laki-laki, maka keluarga perempuan tersebut akan mengundang keluarga besarnya untuk menyampaikan bahwa ada laki-laki yang menginkan anak perempuan mereka. Bila keluarga besar pihak perempuan sudah menyetujui, maka pihak laki-laki mulai mempersiapkan diri. 

Persiapan dari pihak laki-laki berupa sedikitnya dua ekor kuda, satu jantan dan satu betina. Selain itu juga mamoli (bandul kalung, di sini disebut mainan) dan luluamah (tali yg dianyam dari kawat monel, perlambang tali kuda).

Keluarga perempuan akan mengutus seorang wunang (juru bicara) dari pihak perempuan ke pihak laki-laki. Wunang dari pihak perempuan akan bertemu dengan wunang pihak laki-laki. Bila kedua wunang sudah bersepakat, keduanya akan merundingkan waktu untuk berkenalan.  

Pada tahap perkenalan, pihak laki-laki akan datang kepada pihak perempuan. Pada saat itu, kuda harus sudah dibawa, juga maloli dan luluamah. Inilah tahap awal pihak lelaki harus mulai menyerahkan hewan sebagai belis. Pada tahap ini pula, kedua pihak sudah mulai 'bicara adat'. Pembicaraan bisa cepat bisa lama, bisa mulai pagi sampai tengah malam. Bergantung dari 'nego-nego' dan tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Bila sudah tercapai kesepakatan, laki-laki akan diterima oleh pihak keluarga perempuan. Konon, pada acara tersebut, makanan tidak akan disuguhkan sebelum kesepakatan tercapai. 

Selanjutnya, beberapa waktu berikutnya, pihak laki-laki akan datang lagi kepada pihak keluarga perempuan untuk menyatakan bahwa dia punya tanggung jawab. Pada tahap ini, pihak laki-laki membawa hewan lagi. Sedikitnya delapan ekor kuda untuk kalangan biasa. Untuk kalangan bangsawan bisa mencapai puluhan, misalnya dua puluh atau tiga puluh. 

Bila pihak perempuan sudah bisa menerima, kedua sejoli ini sudah boleh tinggal bersama, punya anak, tetapi belum menikah. Tahap ini bisa terjadi bertahun-tahun sampai kedua belah pihak siap untuk menuju jenjang adat berikutnya. 

Bila mereka mau menikah di gereja, kedua keluarga pihak laki-laki dan perempuan, harus bertemu lagi. Lagi-lagi, pihak keluarga laki-laki harus membawa hewan lagi. Uniknya, meskipun mereka sudah menikah sah di gereja,  perempuan belum menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Masih ada satu tahap lagi bila laki-laki ingin si perempuan tersebut menjadi hak dia sepenuhnya. 

Tahap itu adalah tahap di mana laki-laki meminta hak sepenuhnya atas perempuan tersebut untuk dibawa ke rumah keluarganya. Lagi-lagi, dia harus bawa hewan lagi. Sekitar dua puluh ekor minimal utk orang biasa, dan enam puluh ekor untuk kalangan bangsawan. Bila tahap ini sudah dipenuhi, barulah si perempuan bisa dibawa dan menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Pada tahap ini, bila jumlah total hewan yang diserahkan oleh pihak laki-kaki sampai mencapai seratus ekor, yang dibawanya tidak hanya perempuan istrinya itu, namun juga dua-tiga orang pembantu istrinya. Selesailah nikah adat. 

Waktu yang diperlukan mulai dari perkenalan sampai tuntas nikah adat, bisa mencapai puluhan tahun. Seringkali sampai kedua sejoli telah bercucu. Oscar, yang saat ini sudah memiliki anak berusia sembilan tahun, belum selesai nikah adatnya. Dua tahun yang lalu dia baru melaksanakan nikah gereja. Meski mereka sudah memiliki rumah sendiri, namun, istilah Oscar, istrinya masih dalam kawasan keluarga besarnya.

Unik. Begitulah.

Karera, Sumba Timur. 9 Juni 2013. 12.05 WITA.

Wassalam,
LN

Sabtu, 08 Juni 2013

Sumba Timur (2): Menuju Selura

Salah satu kondisi alam; anak-anak harus menyeberangi
sungai yang berbahaya bagi keselamatan mereka.
Selura. Nama pulau ini begitu memenuhi benak saya. Konon, adalah pulau yang indah. Termasuk dalam wilayah Kecamatan Karera. Bagian selatan Sumba Timur. Selama dua angkatan program SM-3T, kami belum pernah ke Selura. Mencocokkan waktu monev dengan kondisi laut tidaklah terlalu mudah. 

Pagi ini ada dua armada. Satu armada, dengan mobil double gardan, menuju Pinupahar, kecamatan terjauh di Sumba Timur. Bapak Rektor sudah pernah mencapai tempat itu pada monev tahun lalu. Armada ini terdiri dari Dr. Suyatno, Kahumas Unesa dan Dr. Suryanti, PD2 P3G Unesa. Dua pejabat itu didampingi (lebih tepatnya 'ditunuti') oleh tujuh peserta SM-3T. Mereka adalah para peserta dari Tabundung dan Pinupahar. Anak-anak itu merapat ke kota Waingapu beberapa hari ini dalam rangka seminar pendidikan yang kemarin telah sukses diselenggarakan. 

Armada yang lain adalah mobil panther touring dengan driver setianya, Oscar Adiyiwa, 'koordinator transportasi' kami di Sumba Timur. Saya bersama Drs. Abdurrahman Tuasikal, M.Pd ada di armada ini. Mantan dekan FIK itu begitu membuat kami kagum. Dalam kondisi apa pun, puasa daudnya terus bertahan. Hari ini beliau juga puasa, tak peduli sejauh dan seberat apa pun medan yang akan kami tempuh.

Oya, selain kami berdua, ada bapak Rasyid, guru SD Inpres Pulau Selura. Usianya 53 tahun. Mengajar di Selura sudah 37 tahun, sejak 1984. Aslinya dari Alor. Beliau kemarin turun ke kota dalam rangka mengikuti seminar. Menumpang perahu nelayan dari Selura ke Katundu dengan jarak tempuh sekitar satu jam, lanjut menumpang oto menuju Waingapu dengan jarak tempuh sekitar tujuh jam. Demi menimba pengetahuan dan wawasan.

Dengan pak Rahman dan pak Rasyid.
Selain Bapak Rasyid, ada Tamam, datang khusus untuk memandu kami menuju Selura. Dia memang ditugaskan di Selura. Juga ada Zia Zatul, lurah SM-3T. Yang lain adalah Lukman dan Sigit.

Kami berangkat dari Hotel Elvin pada 06.30 WITA. Baru kali ini kami melakukan monev dengan mobil penuh penumpang. Di rute Pinupahar ada sepuluh orang, sedang yang ke Selura ada delapan orang. Yang ke Pinupahar, lima peserta yang kebanyakan perempuan, terpaksa duduk di bak belakang, karena tempat duduk tentu saja tidak cukup. Namun bagaimana pun, itu masih jauh lebih nyaman, daripada naik oto. 

Cuaca tidak terlalu bagus hari ini. Heri yang di Selura mengabarkan Selura hujan deras dan dia berharap Waingapu tidak hujan. Karena kalau Waingapu hujan deras, sungai di Gongi bisa banjir dan itu artinya, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Selura. 

Sebagaimana kondisi alam Sumba pada umumnya, bukit-bukit, padang sabana, hutan, lembah dan ngarai, mewarnai perjalanan kami. Gerombolan kuda yang sedang merumput dan berlarian di bukit-bukit. Sawah-sawah yang padinya mulai menguning menghampar indah di bawah sana. 

Namun gerimis yang rapat dan kabut tebal mengaburkan puncak-puncak bukit. Menyembunyikan kontur lembah-lembah. Dan, sejujurnya, memunculkan kegelisahan di hati kami. Kami hanya bisa berharap, Tuhan cukup mengirimkan gerimis, mendung dan kabut saja. Namun tidak sampai mengirimkan hujan deras apalagi sampai meluapkan air sungai Gongi. 

Izinkan kami mencapai Selura, ya Allah. Dengan sepenuh perlindungan dan ridho-Mu. Amin YRA.

Bersambung...

Tanarara, Matawai Lapau, Sumba Timur, 9 Juni, 2013. 09.30 WITA. 


Wassalam,
LN

Jumat, 07 Juni 2013

Sumba Timur (1): Seminar Pendidikan yang Membanggakan

Keharuan saya tumpah pagi ini begitu memasuki ruangan Gedung Nasional. Semua kursi di ruang itu penuh. Ada backdrop cukup besar terpampang di depan yang menjadi pusat perhatian. Ada banner besar di sisi kiri, warnanya merah muda. Dua layar LCD di sisi kanan kiri backdrop yang di depannya tertata meja panjang dan kursi-kursi.

Saya benar-benar terharu. Ternyata peserta seminar ini begitu banyak. Padahal tadi malam, ketika berkoordinasi dengan para panitia, peserta yang sudah memberikan konfirmasi kehadiran baru 49 orang. Tapi saya membesarkan hati panitia. Optimis saja. Empat puluh sembilan itu sudah bagus. Prediksi kasarnya, kalau 49 sudah positif, maka kemungkinan besar yang hadir lebih dari 49. Biasanya jumlah peserta seminar akan membludak justeru pada hari H. 

Mereka, para peserta seminar itu, adalah kepala sekolah dan guru dari seluruh pelosok Sumba Timur. Beberapa wajah saya kenal dengan sangat baik karena saya pernah berkunjung ke sekolah-sekolah. Mereka datang dari Pinupahar, Tabundung, Mahu, Matawai Lapau, Pahunga Lodu, dan dari kecamatan lainnya. Tidak tangung-tanggung, dua belas jam perjalanan mereka tempuh dengan menumpang oto (bus kayu/truk). Karena jauh dan sulit medan yang harus ditempuh, mereka berangkat kemarin. 

Pagi ini mereka semua ada di sini. Sekitar 250 orang. Semua kursi berpenghuni. Hebat. Luar biasa. Ini bukti mereka begitu haus akan informasi. Juga bukti bahwa publikasi panitia kegiatan berhasil dengan sukses. Membanggakan sekali.  
Semalam, sebenarnya saya agak pesimis acara bisa dimulai tepat waktu. Saya pikir akan molor barang setengah atau satu jam. Ternyata tiga puluh menit sebelum pukul 09.00 WITA, saya sudah ditelepon oleh panitia, kalau acara sudah siap, dan peserta sudah banyak yang datang. 

Tema seminar adalah 'Mendidik dengan Karakter untuk Meningkatkan Potensi Peserta Didik'. Pelaksanaannya di Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi (biasa disebut Gedung Nasional), Waingapu.
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Peserta SM-3T Unesa, Program PPG Unesa, dan Dinas PPO Kabupaten Sumba Timur. Disponsori oleh Telkomsel dan Aquamor.

Perfect. Saya katakan, acara ini sangat sukses. Melampaui ekpektasi saya. Semalam, mereka konsultasi tentang bagaimana mengemas diskusi, apa peran moderator, apa yang harus dilaporkan oleh ketua panitia, dan sebagainya. Hari ini mereka melakukan semuanya dengan sangat baik. 
Acara demi acara pun berjalan dengan sangat lancar. Dimulai dengan menyanyikan lagi Indonesia Raya, pembacaan doa, sambutan dan pembukaan, acara inti, dan hiburan-hiburan. Sound system-nya sempurna. Perpindahan dari satu acara ke acara lainnya mengalir. Tidak ada jeda waktu yang terbuang.

Oya, ada yang unik. Pada saat mengantarkan acara, pembawa acara menyampaikan supaya selama acara berlangsung, peserta seminar tidak diperkenankan merokok atau mengunyah sirih pinang. Himbauan yang sangat khas dalam pertemuan-pertemuan formal di daerah NTT.

Acara dibuka oleh Kepala Dinas PPO, mewakili bupati yang tidak bisa hadir karena ada pejabat dari pusat. Sebelum sambutan kepala dinas, tari remo dibawakan dengan gemulai oleh salah seorang peserta SM-3T. Hiburan lainnya adalah pantomim dan paduan suara. Bagus, menarik, rancak.
Sangat menghibur dan mengundang kekaguman. Aplaus panjang seringkali mewarnai rangkaian acara tersebut. 
  
Keynote speaker pada seminar ini adalah Ruben Nggulindima, S.Sos., M.Pd, Sekretaris Dinas PPO Sumba Timur. Materinya adalah kebijakan Dinas PPO dalam pengembangan karakter melalui pendidikan. Saya sendiri menyampaikan materi hakekat guru, dan Dr. Suryanti (PD 2 Program PPG) memberikan materi inmplementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.  
Peserta mengikuti materi demi materi dengan begitu penuh perhatian. Mengingat siapa audience, saya mempresentasikan banyak gambar dalam tayangan saya. Foto anak-anak sekolah di Sumba Timur dengan berbagai aktivitas mereka (mengambil air, mencari sayuran di kebun, bermain di sekolah, dan sebagainya), kondisi sekolah, aktivitas guru-guru (baik guru asli Sumba Timur maupun guru-guru SM-3T), kondisi alam dan masyarakat Sumba Timur, dan seterusnya. Saya juga menayangkan foto-foto yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dan betapa jauh ketertinggalan Sumba Timur dengan dunia luar. Oleh sebab itu, Sumba Timur, terutama dalam bidang pendidikannya harus memacu diri supaya tidak semakin jauh tertinggal. Guru-guru merupakan ujung tombak dalam mengejar ketertinggalan itu. Maka guru harus memiliki pengetahuan, keterampilan, jejaring, dan di atas semua itu, guru harus berkarakter. Saya tampilkan berbagai bukti hasil penelitian dan survey, betapa karakter menjadi tuntutan dan faktor utama agar mampu bertahan dalam perkembangan dunia seperti apa pun. 

Setelah sesi saya, bu Yanti menyampaikan materinya dengan cara yang tak kalah menarik. Dia memperagakan dengan sangat gamblang bagaimana karakter diintegrasikan dalam pembelajaran. Dia mendemonstrasikan pembelajaran yang mengaktifkan siswa dengan media kertas, botol air mineral, gelas, dan beberapa alat yang ada di sekitarnya. Beberapa guru dipanggilnya untuk memperagakan percobaan-percobaan sederhana seolah mereka adalah siswa sekolah. Menyenangkan dan sangat mencerahkan sekali.

Pada sesi tanya jawab, tidak terduga, guru-guru dari pedalaman itu begitu antusias mengangkat tangannya untuk mengambil kesempatan tersebut. Namun karena waktu sangat terbatas, hanya lima orang saja yang diberi kesempatan bertanya. Beberapa buku kami serahkan sebagai apresiasi pada mereka yang telah bertanya dan memperagakan percobaan, termasuk buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', buku hasil tulisan para peserta SM-3T, yang dikompilasi oleh wartawan senior Jawa Pos, Rukin Firda.

Hari ini begitu menyenangkan. Bukan hanya karena suksesnya acara seminar. Namun nilai-nilai yang terbangun di balik kesuksesan itu. Ini adalah bukti kerja keras dan kerja cerdas dari anak-anak kami ini. Mereka telah menorehkan satu catatan indah di benak para guru di Sumba Timur. Mereka telah melakukan tindakan nyata untuk membawa mereka pada peradaban yang lebih terbuka, saling menghargai, dan menempatkan pendidikan dan anak didik sebagai titik sentral pembangunan di semua bidang. 

Gedung Nasional, Waingapu, Sumba Timur. 8 Juni 2013.

Wassalam,
LN

Sabtu, 04 Mei 2013

Presentasi Laporan Pelaksanaan Program SM-3T Angkatan Kedua

Pagi ini, di Hotel Patra Jasa Semarang, kami dari 17 LPTK penyelenggara Program SM-3T, berkumpul. Di depan tim SM-3T Dikti, sejak tadi malam kami mempresentasikan laporan pelaksanaan program SM-3T, mulai dari pendaftaran, seleksi, prakondisi, pemberangkatan, serta monitoring dan evaluasi.

Begitu luar biasa pengalaman yang dibagikan di ruang sidang 'Kayangan' di Patra Jasa ini. Mulai dari beratnya medan yang harus ditempuh untuk mencapai lokasi pengabdian,  berbagai persoalan dalam bidang pendidikan, dan juga banyaknya persoalan karena perbedaan kultur dan agama. 

Koordinator dari Unsyiah  menayangkan sebuah gambar seorang peserta SM-3T di Anambas yang dari mata dan hidungnya keluar darah. Gadis dari prodi Pendidikan Bahasa Inggris itu konon terkena ilmu hitam karena dia menolak cinta kepala sekolah. Meski tempat tugasnya sudah dipindahkan jauh dari tempat tugas kepala sekolahnya tersebut, ternyata itu tidak menjadikan dia terbebas dari ancaman mengerikan itu. Minggu ini, koordinator SM-3T Unsyiah akan menjemput gadis malang tersebut agar bisa disembuhkan di tempat yang lebih aman. 

Penyakit nonmedis semacam ini ditemukan di mana-mana, termasuk di NTT, Aceh dan Talaud. Nai ular, nai api, swanggi, adalah istilah-istilah yang umum disebut untuk sakit-sakit nonmedis ini.  

Di Aceh Singkil, ada beberapa peserta  yang terus-menerus diteror oleh perilaku orang yang memiliki kegemaran mengintip, apa pun aktivitas mereka. Kadang-kadang pintu mess mereka juga diketuk-ketuk. Tentu saja hal ini sangat mengganggu, tidak hanya kenyamanan namun juga, terutama, keamanan.

Itu hanya sekelumit kisah yang memprihatinkan dari puluhan atau bahkan ratusan kisah memprihatinkan yang lain. Serangan 'agas', semacam nyamuk, juga menjadi gangguan yang sangat menyiksa. Nyamuk itu kalau sudah menggigit menyebabkan kulit melepuh seperti terbakar, panas dan pedihnya bukan main, serta sembuhnya lama sekali. Beberapa peserta dari UNM harus dipulangkan dan dirawat di rumah sakit di Makasar karena luka gigitan agas itu menyebabkan infeksi yang berkepanjangan. Beberapa dari mereka kabarnya harus dioperasi untuk menyembukan infeksinya. 

Saya kira hal ini hanya dialamai oleh anak-anak kami di Maluku Barat Daya (MBD), ternyata di Papua dan Papua Barat juga terjadi. Bahkan bisa dikatakan, di tempat-tempat itu, nyaris tak seorang pun yang bisa terbebas dari serangan agas.

Keterbatasan air bersih juga menjadi kendala yang cukup berat. Banyak lokasi yang sulit air. Kalau pun ada air, air itu payau. Sudah begitu, yang memanfaatkan tidak hanya manusia, tetapi juga binatang: babi, anjing, kambing, sapi.... Untuk berwudhu mereka lebih banyak bertayamum, dan, ini yang sangat memperihatinkan, mereka tidak pernah lagi menunaikan sholat jumat. Tidak ada masjid, apa lagi jamaahnya....  

Beberapa peserta sempat protes begitu dia tahu tempat tugasnya. Bagaimana mungkin Dikti dan LPTK menugaskan mereka di tempat seperti itu? Untuk mencapainya saja harus penuh perjuangan, lewat udara, laut, darat, menyeberang sungai yang arusnya deras, berbukit-bukit, terisolir, tidak ada sinyal, tidak ada listrik, air susah. Belum lagi kondisi keamanan di daerah-daerah perbatasan dan daerah-daerah yang rentan konflik, betapa kompleksnya persoalan yang harus mereka hadapi.

Berbagai persoalan dalam bidang pendidikan juga tidak ringan. Kadangkala mereka merasa kehabisan akal menghadapi siswa-siswa yang sangat sulit, bukan hanya dalam masalah akademik tapi juga perilaku. Ditambah dengan etos kerja yang rendah dari kepala sekolah dan guru. Dukungan orang tua yang minim, yang lebih mementingkan anak-anak mereka mencari kayu bakar di hutan atau menggembala sapi atau mencari air. 

Lambat laun, memang semua tantangan itu bisa diurai satu per satu. Setidaknya, para guru pengabdi itu sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan berbagai kendala. Mandi seminggu sekali adalah biasa, berebut air dengan binatang merupakan lagu wajib, gigitan agas ditunggu saja sampai musim binatang kecil itu berlalu, dan bahkan yang suka diintip pun meyakinkan diri bahwa suatu saat si pengintip itu akan bosan dengan sendirinya....

Ya, memang berat jalan yang harus ditempuh untuk menjadi guru. Hanya mereka yang benar-benar terpanggil sajalah yang akhirnya akan mengejar profesi itu.

Saya sendiri lebih menekankan pada pentingnya memastikan kesiapan peserta sebelum mengirimkan mereka ke tempat tugas. Fisik dan mental harus benar-benar prima. Maka tahap seleksi dan prakondisi harus benar-benar menjadi tahap yang sangat penting. 

Kerjasama dengan pemda setempat juga harus optimal. Ada pemda yang terkesan tidak butuh program ini, meski pun sebenarnya kondisi pendidikan dan masyarakatnya sangat membutuhkan bantuan. Sikap pemda yang kurang kooperatif seperti ini berimbas pada tingkat keamanan dan kenyamanan para peserta dalam mengemban tugasnya. 
Hal lain yang saya dan teman-teman rekomendasikan adalah pentingnya survei awal ke tempat tugas sebelum pengiriman peserta. Ini penting, karena menyangkut ketepatan wilayah sasaran, pemahaman pada medan, dan juga pendekatan pada pemda setempat. 

Di akhir presentasi, saya menayangkan feature SM-3T, baik yang dimuat di Jawa Pos, di Majalah Unesa, dan juga, saya katakan bahwa kisah lebih lengkapnya bisa di-klik di www.ikaunesa.net dan di www.luthfiyah.com. Saya juga membawa beberapa majalah Unesa, yang saya peroleh dari mas Rohman, yang tadi malam sudah saya serahkan ke Dikti beserta laporan SM-3T Unesa, beberapa juga saya bagikan ke teman-teman sesama koordinator.

Mas Rukin, terimakasih sudah menemani kami melakukan monev, terimakasih untuk liputannya, untuk versi pdf-nya juga. Mas Samsul, Mas Fiki, dan juga Mas Rukin sebagai pemred, terimakasih untuk tulisan-tulisan SM-3T yang sudah diunggah di website ikaunesa. Mas Rohman dan tim Humas Unesa, terimakasih untuk majalah Unesanya. 

Sukses untuk kita semua.

Patra Jasa Semarang, 4 Mei 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 21 April 2013

MBD (12): Di Atas Kapal Marsela

Baru saja 
Laut dan ombak menggelora
Warnanya hitam pekat seperti tembaga
Menggoyang-goyang keras tubuh Marsela

Tiba-tiba hujan datang
Mendung hitam telah tumpah
Kabut tebal menutup batas cakrawala

Saat ini
Ketika matahari bersinar
Meski tak terlalu garang
Cukuplah untuk mengusir kabut
Agar batas cakrawala kembali nampak garisnya

Dan laut pun tenang
Tenang sekali
Ke mana pun mata memandang
Adalah samudra
Menghampar 
Bak batu pualam....

Selat Banda, 21 April 2013
13.45 WIT


Wassalam,
LN

MBD (11): Semalam di Marsela

Bersama Marcela...
Setelah menunggu berjam-jam, dan jenuh mulai menyiksa kami, pada sekitar pukul 15.00 WIT, akhirnya Marsela berlayar. Raungannya memompa semangat kami untuk menikmati perjalanan membelah samudra.

Kami menikmati laut yang hitam pekat, mendung tebal dan gelap yang menggantung di langit, dan kabut yang menutupi batas cakrawala. Kami berkeliling dari satu dek ke dek yang lain, makan mie instan di kafe, dan mengobrol dengan sesama penumpang dan awak kapal. Ombak, meski nampak lebih beriak dibanding saat kami berlayar dengan Pangrango tempo hari, masih cukup memberikan kenyamanan karena kapal hanya sedikit saja bergoyang. 

Kami juga menunaikan solat dhuhur, ashar, maghrib dan isya berjamaah. Imamnya bergantian antara mas Rukin dan mas Heru. Saya memilih selalu jadi makmum hehe, tentu saja. Kalau goyangan Marsela cukup terasa, sholat kami sesekali harus pada posisi pasang kuda-kuda supaya tidak jatuh terjerembab.

Hanya kami saja nampaknya yang muslim di kapal ini. Setiap waktu sholat tiba, kami tidak melihat ada orang lain yang mengambil air wudhu dan menunaikan sholat. Hanya kami bertiga. Mungkin kami yang tidak melihatnya, atau mereka sholat di tempat lain. Entahlah. Tapi memang mayoritas penumpang kapal ini adalah orang Maluku, nampak jelas dari wajah dan kulit mereka. Tentu saja mayoritas mereka adalah nonmuslim. 

Setiap waktu sholat tiba, kami naik ke dek dua bagian belakang, karena mushola ada di sana. Melewati kerumunan orang-orang yang sedang duduk melingkar, pada umumnya laki-laki dewasa, yang sedang bermain kartu dan minum sopi, minuman beralkohol khas Maluku. Minuman itu warnanya seperti teh, umumnya diwadahi dalam botol air mineral, dan mereka meneguknya sedikit demi sedikit dari gelas air mineral juga. Seringkali ada beberapa lembar uang di tengah-tengah kerumunan itu.  

Tidak seperti mushola di Pangrango yang begitu terjaga kebersihan dan keharumannya, mushola di Marsela ini menjadi ruang multifungsi. Ada beberapa kasur dan tikar yang digelar menutupi karpet sajadah. Tali-tali panjang terpasang di sisi-sisi dinding ruangan, dan handuk-handuk diangin-anginkan di sana. Barisan jemuran handuk itu menutupi hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad. Tidak ada Alquran, tidak ada tumpukan sajadah atau mukena. Selalu ada orang yang sedang tidur setiap kali kami mau sholat, bahkan kerumunan orang bermain kartu. 

Namun begitu, setiap kali kami datang, orang-orang itu segera menyisih, mengemas kartu-kartu, rokok, minuman, dan uang, menyilakan kami untuk sholat. Pernah waktu mau sholat isya, mushola dipenuhi oleh orang-orang yang sedang bermain kartu. Kami sudah bersiap menggelar tikar di luar untuk sholat, tapi seseorang yang melihat kami, langsung memberi tahu teman-temannya yang sedang bermain kartu itu untuk pindah tempat. Lantas mereka dengan ramah menyilakan kami menggunakan mushola.

Ya, di antara kami memang ada perbedaan agama, perbedaan budaya. Batasan-batasan nilai dan norma juga berbeda jauh, jauh sekali. Namun begitu, di Marsela ini, kami bisa merasakan, mereka tetap berusaha menghormati kami, menghargai hak-hak kami. 

Tapi malam ini saya mendapatkan pengalaman yang agak traumatis. Sebuah penyu besar, panjangnya sekitar satu meter, ditangkap. Orang-orang, pada umumnya ABK, bergotong royong menarik penyu itu masuk kapal. Di beberapa bagian tubuh hewan itu penuh tali. Pada kondisi telentang, dia ditarik-tarik. Badannya hanya mampu bergerak-gerak kecil tak berdaya. Kepalanya terkulai, dan matanya....menangis. Ya, penyu itu mengeluarkan air mata. Hati saya teriris-iris melihatnya. Tak terbayangkan betapa kesakitannya dia. Saya beringsut menjauh darinya, tidak tega melihat matanya yang seperti memohon. Saya masuk kamar, meninggalkan mas Rukin dan mas Heru yang sibuk memotret. Termangu-mangu dengan bayangan penyu besar itu memenuhi kepala saya.

Entah nanti, entah besok, penyu itu akan disembelih. Konon, dalam keadaan batok sudah dilepas, bahkan ususnya pun sudah diangkat, penyu itu masih hidup. Dagingnya terus berdenyut sampai akhirnya denyutannya hilang setelah dagingnya dipotong kecil-kecil. Daging itu akan diolah menjadi bahan makanan mereka. Ususnya akan diisi dengan dagingnya yang sudah dipotong kecil-kecil dan dicampur garam, kemudian dijemur sampai kering. Bahan makanan semacam sosis itu namanya pepeta. Dia tahan lama, dan bisa menjadi persediaan makanan sampai bertahun-tahun.

Saya, mas Heru dan mas Rukin, ada di satu kamar. Bed saya paling ujung, lalu disambung bed mas Heru, dan di ujung yang sana lagi, ada mas Rukin. Di atas bed mas Rukin ditempati seorang ibu dan anak perempuannya yang masih berusia sekitar empat tahun, mungkin keluarga ABK. Di atas bed saya dan mas Heru, berganti-ganti orangnya. Mereka adalah ABK yang memerlukan waktu istirahat, menggunakan dua bed itu secara bergantian. 

Di luar kamar kami, adalah tempat parkir mobil-mobil. Tidak seperti fery yang di Madura atau di Gilimanuk, dek bawah pada fery Marsela ini tidak dipenuhi dengan mobil, truk, bus, dan sepeda motor. Hanya ada tiga mobil yang parkir. Jadi ada banyak ruang kosong di dek, dan di situ banyak kerumunan orang. Begitu juga dengan dek di bagian atas, kerumunan orang yang sedang bermain kartu dan minum sopi itu ada di mana-mana.

Di bagian sisi kanan dan kiri dek, di situlah kamar mandi tersedia. Setiap saya perlu ke kamar mandi, mas Rukin dan mas Heru bergiliran piket. Agak tidak pede juga keluar sendiri meski hanya sekedar ke toilet. Sopi yang saya lihat tersebar di mana-mana, menciptakan sedikit kekhawatiran di hati. Khawatir minuman keras itu bisa menyebabkan perilaku yang aneh-aneh bagi orang-orang yang meminumnya. Mungkin itu hanya kekhawatiran saya yang terlalu berlebihan, bisa jadi.

Kebetulan kami sekapal dengan Dr. Kalvin Karuna, dosen Unpatti yang pulang dari bertugas di Letwurung sebagai tim independen UN SMA. Kami juga di penginapan yang sama saat di Letwurung kemarin. Lelaki lima puluh satu tahun itu (hari ini adalah tepat hari ulang tahunnya, 'HBD, pak Kalvin) adalah putra daerah MBD, asalnya dari Luang, Mdona Hyera. Kisah hidupnya yang mendobrak kungkungan adat dan kebiasaan di keluarganya begitu inspiratif. Perjuangannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, tidak hanya sebagai pencari ikan di laut dan penunggu kebun, telah membawanya memperoleh kesempatan beasiswa dari Goethe Institute dan DAAD ke Jerman. Program S2 dan S3-nya ditempuhnya di UNJ, namun sejak S1 dia selalu ada kesempatan untuk menempuh pendidikan singkat di Jerman. Meski sudah menjadi 'orang', Dr. Kalvin, seperti orang-orang MBD pada umumnya, tetap rendah hati dan ramah. 

Di kamar, kami melakukan aktivitas kami masing-masing. Mas Rukin melanjutkan tulisan liputannya. Mas Heru mengecek hasil monev. Saya sibuk dengan BB saya. Kadang-kadang kami berkumpul bersama, menikmati foto-foto dan video para peserta SM-3T. Ketika melihat wajah-wajah mereka yang bertugas di Sermata dan Luang, tak pelak, kerinduan kami menyeruak. Sambil mengingat-ngingat wajah-wajah manis itu: Eko, Rico, Dian, Adlin, Romlah, Imaniar, Rio, semuanya. 

Marsela ternyata hanya tenang sampai sekitar menjelang tengah malam saja. Goyangannya semakin lama semakin terasa hebat. Menjelang pukul 01.00, saat saya tidak juga bisa tidur, saya melihat-lihat sekeliling. Semua sudah tidur. Juga mas Rukin. Padahal baru beberapa menit yang lalu dia mengeluarkan instruksinya, 'Tiduro, La', wis bengi. Jok nulis ae, ngalah-ngalahi wartawan ae...'. 

Entah pukul berapa saya tertidur. Tapi goyangan Marsela membangunkan saya pada pukul 03.00. Mungkin saat ini kapal sedang mengarungi Laut Banda yang terkenal keras anginnya itu. Goyangannya begitu terasa. Tubuh terayun ke kanan dan ke kiri, naik turun. Kamar sepi karena semua lagi tidur. Saya berusaha memicingkan mata lagi, tak juga berhasil. Ingatan saya melayang pada orang-orang yang ada di dek di atas kami. Betapa lebih terasa gocangannya. Benar ternyata kata Bapen, tempat ternyaman adalah di kamar ABK di bawah ini. Bapen, sekali lagi, terimakasih untuk perhatiannya.... 

Saya bangun pada pukul 05.00. Kamar masih sepi. Lalu mas Heru bangun, dan langsung ke kamar mandi. Begitu masuk kamar lagi, mas Heru bilang kalau dia 'muneg-muneg'. Saya juga merasakan hal yang sama. Beberapa kali 'atop' atau 'glegeken' karena perut terasa seperti dikocok. 

Marsela terus melaju. Goyangannya tetap terasa keras. Kami memilih sholat di kamar. Tidak bisa membayangkan sholat di mushola di dek atas, dengan goyangan yang seperti ini. Setelah sholat, kami memilih tidur kembali. Dalam kondisi terguncang-guncang seperti ini, hal terbaik untuk dilakukan adalah tidur.....

Selamat Hari Kartini....

Selat Banda, 21 April 2013 

Wassalam,
LN

MBD (10): Berlayar bersama Marsela

Di buritan kapal.
Malam ini, setelah menikmati makan malam di rumah bapak Ampi (atau biasa dipanggil bapen, bapak pendeta), tiba-tiba kami menerima kabar kalau jam 01.00 dini hari nanti,  kapal Marsela akan merapat ke dermaga Tepa. Iseng-iseng saya menawarkan ke mas Rukin dan mas Heru, apakah kita naik kapal itu saja menuju Ambon. Tentu saja tidak. Terlalu lama di kapal. Dua hari satu malam. Sekitar 26 jam. Ditambah singgah sekitar dua jam di Pulau Damer, 28 jam. 

Noval dan Risna juga tidak merekomendasikan. Alasan mereka, kapal fery itu sangat terasa goyangannya, terlalu tidak nyaman untuk kami bertiga. Pengalaman mereka ketika berlayar dari Ambon menuju Tepa saat pemberangkatan dulu, goyangan itu membuat banyak peserta SM-3T 'mabuk kepayang'.  

Tapi saat itu juga kami menerima kabar dari mas Nardi, petugas tiket kami, kalau penerbangan dari Saumlaki menuju Ambon untuk hari Senin sudah full-booked. Mas Nardi sudah mengusahakan sejak sehari sebelumnya, setelah menerima kabar dari kami kalau kami akan berlayar dari Tepa menuju Saumlaki pada hari Minggu, dengan menumpang kapal Pangrango. Dengan begitu kami harapkan Senin bisa terbang dari Saumlaki menuju Ambon dengan menumpang Express Air. 

Kabar dari mas Nardi itu membuat kami spontan memikirkan plan B. Ide iseng untuk menumpang kapal Marsela tadi kami pertimbangkan lagi. Kalau memang besok pagi Marsela berangkat dari Tepa, maka kapal akan merapat di Ambon pada Minggu siang. Sangat menghemat waktu dibandingkan bila menunggu Pangrango hari Minggu untuk menuju Saumlaki, dan baru bisa terbang dari Saumlaki ke Ambon pada hari Selasa.

Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIT. Kami langsung menghubungi Noval untuk memastikan jadwal kapal dan mengkonfirmasi segala sesuatunya. Meski sinyal ponsel penuh, ternyata kami tidak bisa menelepon dan sms. Error in connection. Memang seperti itulah di Tepa dan Pulau Babar pada umumnya. Meskipun ada indikator sinyal di ponsel, belum tentu bisa menelepon atau mengirim sms. Kata Nanda dan kawan-kawannya, itu sinyal 'parlente'. 
Maka kami pun kembali menuju rumah Bapen karena Noval dan Risna ada di situ. Kami menyampaikan pada mereka, juga kepada ibu Hilda Rahanserang (istri Bapen), kalau kami bermaksud menumpang Marsela malam ini. Di luar dugaan kami, ibu Hilda secepat kilat merespon supaya kami menunggu sementara beliau akan menyampaikan rencana kami itu pada Bapen. Bapen yang sedang kerja lembur di kantor klasis dijemputnya.

Akhirnya keputusan untuk menumpang Marsela sudah bulat. Bapen menyarankan kami untuk beristirahat saja sementara beliau dan Noval yang akan memastikan jadwal kapal dan pemesanan kamar. Kami tentu saja sangat berterima kasih kepada beliau.  Entah kenapa, saya mengagumi kepribadian bapak pendeta itu sejak pertama kali bertemu beberapa hari yang lalu. Usianya mungkin jauh di bawah kami, tapi jiwa kepemimpinan dan sikapnya yang selalu siap melayani itu membuat siapa pun 'jatuh hati'. Pantaslah kalau beliau terpilih sebagai ketua klasis di Pulau Babar ini. 

Kami pulang ke penginapan diantar Noval dan Risna. Bapen meminta Noval untuk membawa HT supaya komunikasi mudah. Malam ini Noval dan Bapen akan stand by terus untuk memantau kedatangan kapal.
  
Kami bertiga mengemasi bagasi kami. Kalau pukul 01.00 nanti kapal benar-benar merapat, kami bermaksud secepatnya saja berpindah tempat ke kapal. Tapi ternyata sampai pukul 01.00 kabar tentang kedatangan kapal tidak juga kami terima. Kami yang duduk-duduk di ruang tamu penginapan mulai gelisah. Noval dan Risna menyarankan kami untuk tidur saja di kamar, dan mereka berdua akan berjaga-jaga untuk memastikan kapal. Mas Heru dan mas Rukin keluar masuk kamar, duduk dan berdiri, tertidur di ruang tamu.
Melihat saya duduk mematung saja, mas Rukin mengeluarkan instruksinya: 'tiduro sana, La'.'

Malam ini kami tidak nyenyak tidur. Kami hanya perlu kepastian bahwa kapal Marsela akan benar-benar singgah, dan kami bisa menumpang menuju Ambon secepatnya. 

Noval dan Risna dengan setia menunggui kami. Dua anak manis itu sangat peduli, setiap saat siap sedia untuk kami. Di Tepa ini, hampir semua keperluan kami diurusnya, koordinasi dengan sekolah, penginapan, makan, transportasi, tiket, dan lain-lain, bahkan juga 'mijitin'. 

Pukul 05.00 WIT, ketika adzan shubuh berkumandang, saya keluar kamar. Noval dan Risna tertidur di ruang tamu. Mas Rukin di ruang keluarga. Mas Heru di kamar, tapi kamarnya terbuka. Mendengar langkah saya, mereka semua terbangun karena saya memang sengaja memanggil-manggil nama mereka.

Menurut Risna, Marsela sudah sandar sejak pukul 04.00 dini hari tadi. Sekitar pukul 08.00, kapal itu akan berlayar. 

Risna menyampaikan kalau kami pagi ini diundang makan di rumah Bapen. Ibu Hilda  sudah menyiapkan bubur. Ini undangan makan ketiga yang kami terima dari Bapen. Entah harus bagaimana kami membalas kebaikannya. 

Selesai makan pagi dengan menu bubur, ayam goreng dan telur rebus, kami masih sempat ngobrol sejenak. Kami bertiga diminta Bapen untuk minum madu, supaya stamina kami terjaga. Saya sudah mulai batuk-batuk, dan Bapen memastikan kalau minum madu akan membantu menyembuhkan batuk saya.

Akhirnya sampailah kami di dermaga. Memasuki fery Marsela. Bapen memandu kami sampai di tempat yang sudah dipesannya untuk kami. Kamar di ruang ABK. Lantai paling bawah. Menurut Bapen, di situlah tempat paling nyaman, tidak terlalu terganggu dengan goyangan kapal karena ombak. Di atas ada ruang VIP, tapi hanya berupa kursi, tanpa tempat tidur. Di atas juga ada kamar-kamar, termasuk kamar nakhoda, yang bisa disewa. Tapi kalau kita di atas, goyangan kapal akan sangat terasa. 

Kamar ABK itu berisi empat tempat tidur susun, untuk delapan orang. Telah dikosongkan tiga bed untuk kami,  semuanya di bawah. Ber-AC. Ada empat meja di sisi-sisinya. Meski ada tulisan 'no smoking', ada asbak penuh puntung rokok di salah satu mejanya. Tapi overall, ruangan ini cukup nyaman. Tidak jauh juga dengan toilet. 

Kami mengucapkan terimakasih lagi, dan lagi, pada Bapen. Pria baik itu begitu istimewa di mata saya. Entah kenapa kerendah hatian dan ketulusannya begitu meruntuhkan hati kami. Saya membayangkan, betapa indahnya dunia bila kita hidup dalam semangat seperti ini, saling menghargai, saling melayani. Meski berbeda budaya, berbeda agama. Meski baru saling mengenal, tangan selalu terbuka siap menerima, tanpa curiga, tanpa prasangka. Indah nian.... 

Pukul 08.00. Kapal belum ada tanda-tanda mau bertolak. Loudspeaker justru mengabarkan kalau kapal akan berangkat pukul 12.00. Wuss. Kami sontak loyo. Mas Rukin bahkan sempat nyeletuk: 'mati karena menunggu'. Tapi hanya sebentar saja kami loyo. Semangat dibangun kembali. Setidaknya, Senin sudah sampai Ambon, dan bisa terbang ke Surabaya hari itu juga. Amin.

Kami berusaha menikmati waktu tunggu ini dengan sebaik mungkin. Mas Heru membuka laptop, mengecek laporan, foto, video, hasil monev kami selama beberapa hari ini. Mas Rukin ambil posisi di bed, tidur. Saya menulis. Juga mencoba menghubungi keluarga. Meski sinyal on-off, saya bisa kontak mas Ayik dan ibu. Ibu bahkan sempat mengingatkan saya untuk membaca doanya Nabi Nuh ketika naik perahu: bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim. 

Semoga kapal ini segera berangkat, lancar, aman, tidak ada halangan apa pun sampai di tempat tujuan. Amin YRA.

Tepa, Babar Barat, MBD, 20 April 2013

Wassalam,
LN

MBD (9): Melepas Nanda dkk.

Melepas kepergian kami...
Pukul 19.00 WIT. Kami ada di Pelabuhan Tepa. Sore ini, Nanda, Puri dan Junaidi, akan menumpang Kapal Maloli, sebuah kapal perintis, berlayar menuju Sermata dan Luang. Nanda dan Junaidi bertugas di Sermata, Puri bertugas di Luang. Sermata dan Luang ada di kecamatan Mdona Hyera, tapi beda pulau.

Sejak sore, sepulang dari Letwurung, kami tidak beristirahat. Nanda meminta saya memberikan semacam pernyataan untuk teman-temannya di Sermata dan Luang. Dia akan merekam apa yang saya sampaikan itu dengan camera videonya. 

Di Kecamatan Mdona Hyera, ada sebanyak 19 peserta. Empat belas orang di Sermata dan lima orang di Luang. 

Untuk mencapai Mdona Hyera, kita harus menumpang kapal-kapal perintis. Sore ini ada kapal perintis Maloli singgah di Tepa. Kalau mau, kami bisa saja monev ke sana. Berangkat bersama Nanda dan kawan-kawan. Tapi entah kapan pulangnya, karena kapan ada kapal singgah lagi ke Mdona Hyera belum bisa dipastikan jadwalnya.

Hal itulah yang menyebabkan kami tidak berani melanjutkan perjalanan monev ke Mdona Hyera, karena jadwal kapal yang tidak pasti. Memang saat ini laut sedang teduh (istilah yang digunakan untuk menggambarkan laut sedang tenang, tidak sedang dalam cuaca angin barat atau angin timur). Namun cuaca bisa saja tiba-tiba berubah. Bila itu yang terjadi, maka kita bisa tertahan di Mdona Hyera berhari-hari atau berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Tentu saja kami tidak berani mengambil risiko itu. Bapen juga tidak merekomendasikan kami berlayar ke Mdona Hyera. Begitu juga kepala UPTD dan beberapa kepala sekolah.

Ada banyak tugas lain yang sudah menunggu. Bu Suryanti, Pembantu Direktur 2 Program Pendidikan Profesi Guru (P3G), sedang sendirian, hanya dibantu staf P3G dan dua orang teman adhoc, pak Yoyok dan bu Lucia. Pak Sulaeman, Pembantu Direktur 1, sedang umroh. Pak Rahman, tim adhoc juga, sedang ada kegiatan di Bali. Pak Heru sedang bersama saya di sini. Begitu banyak hal yang harus diurus mengingat P3G ini baru memulai. Saya tidak sanggup lagi membayangkan bu Yanti harus mengurus semuanya sendirian. Biasanya selalu bersama saya dan pak Sulaeman.

Belum lagi tugas mengajar, baik di program S1 maupun di S2. Hampir dua minggu berturut-turut saya tidak mengajar. Minggu yang lalu, mendampingi pak Rektor monev SM-3T di Talaud. Minggu ini di MBD. Bagaimana pun, mengajar adalah prioritas. Tugas-tugas yang lain harus diatur sedemikian rupa supaya tidak terlalu sering meninggalkan tugas mengajar, meski itu bisa diganti di hari lain.

Selama di Pulau Babar, begitu ada sinyal, sms-sms masuk. Mahasiswa bimbingan yang menanyakan kapan bisa konsultasi, kapan bisa seminar, kapan bisa ujian skripsi dan tesis. Sms undangan penilaian proposal PMW, undangan penilaian presentasi proposal penelitian dari LPPM.... 

Tentu saja, lepas dari semua itu, saya mempunyai tugas penting melebihi tugas-tugas yang lain. Mengurus keluarga. Bagaimana pun saya seorang ibu, seorang istri, dan tugas utama saya adalah mengurus anak, mengurus suami.

Dan sore ini, saya diminta Nanda untuk menyampaikan beberapa hal di depan kamera videonya. Sebuah pernyataan. Sebagai pengganti ketidakhadiran saya di Mdona Hyera. 

Dari hari pertama kami menginjakkan kaki di Tepa, dia dan kawan-kawannya mendampingi kami terus. Hampir semua aktivitas kami diabadikannya. Untuk oleh-oleh teman-teman di Mdona Hyera.

Saya mempersiapkan diri. Memunguti beberapa lembar kertas di tas saya. Surat-surat dari Mdona Hyera. Titipan kawan-kawan Nanda untuk saya. Saat tangan saya menyentuh surat-surat itu, hati saya mulai meleleh. Tapi saya menguatkan diri. Menghela nafas panjang. Saya tahu saya sangat sedih dan saya bisa saja menangis di depan kamera. Tapi itu tidak boleh terjadi. Saya matikan perasaan saya.

Di depan kamera, saya membuka satu per satu surat-surat itu. Dengan ketegaran yang terus terjaga, saya menanggapi surat dari Rico Ady, Dian Widayanti, Leni Ariyanti,  Purwaningsih, dan juga dari Eko Tirto. Mereka mewakili teman-temannya yang bertugas di Mdona Hyera. Mereka meminta maaf tidak bisa bergabung dengan kami tim monev, pada umumnya karena alasan tidak mungkin meninggalkan sekolah. Juga harapan mereka supaya kami menjenguk mereka di Mdona Hyera.

Tempo hari, menjelang keberangkatan kami ke MBD, Eko Tirto sempat telepon dan menyampaikan keinginannya dan teman-temannya supaya tim monev sampai ke Mdona Hyera. Dia sangat, sangat mengharapkan itu. Tidak cukup berkomunikasi di telepon, dia menulis di FB Grup SM-3T 2012. Menyarankan dengan keras kepada tim monev supaya mengunjungi Mdona Hyera. Saya tentu saja sangat memahaminya. 

Oleh karena kapal tidak pasti jadwalnya, saya memintanya untuk mencoba kemungkinan sewa speedboat. Waktu monev di Aceh Singkil dulu, kami menggunakan speedboat Polair sebagai sarana untuk mengunjungi wilayah pulau-pulau. Pasti ongkosnya sangat mahal. Tapi ya sudahlah, demi mereka semua...

Ternyata tidak ada satu pun speedboat yang bersedia disewa ke Mdona Hyera karena cuaca mulai menunjukkan gejala awal angin timur. Itu artinya, kami tidak bisa ke sana.  

Cukup lama juga saya berbicara di depan kamera. Selain menanggapi surat-surat mereka, saya juga meminta maaf kepada mereka semua untuk ketidakhadiran kami di Mdona Hyera. Saya pastikan bahwa hal ini tidak akan membuat semangat mereka surut. Hadir atau tidak hadir, mereka sudah bertekad bulat jauh-jauh datang ke Mdona Hyera adalah untuk mengemban tugas pengabdian. Saya juga mendoakan mereka semua agar selalu diberikan kesehatan, kemudahan dan kelancaran dalam menjalankan tugas. Saya pesankan pada mereka supaya selalu jaga diri, jaga kesehatan dan jaga kehormatan. 

Selesai 'testimoni' itu, saya menghela nafas lega. Saya sudah melaluinya dengan baik. Tidak perlu ada pertumpahan air mata di depan kamera.

Tapi tidak begitu dengan mas Heru. Saat Nanda sudah siap merekam pernyataannya, mas Heru tidak kunjung berkata-kata. Yang terjadi adalah, dia menangis. Wajahnya merah padam dan air matanya berderai-derai. Situasinya sangat tidak memungkinkan untuknya meski hanya sekedar menyampaikan sepatah dua patah kata. Setelah ditunggu beberapa saat, dia menyerah. Dia justru meminta selembar kertas dan memilih menumpahkan perasaannya dengan menulis.

Dan sore ini, kami semua sudah di dermaga. Siap melepas Nanda, Puri dan Junaidi. Setelah sekitar seminggu bersama, rasanya berat untuk berpisah. Perasaan itu membuat kami tidak mau melewatkan waktu sedetik pun tanpa bersama mereka sejak sore tadi. Kami habiskan waktu dengan bersenda gurau di 'para-para' depan rumah tempat tinggal Noval dan Risna. Menikmati detik-detik terakhir kebersamaan.

Begitu peluit kapal berbunyi tanda kapal akan segera berangkat, kami saling berpelukan. Puri matanya merah, dia memang sudah sejak sore tadi menangis setelah bertelepon dengan ibunya. Dan sekarang mata itu basah lagi. Nanda, anak itu memang selalu tegar. Tapi wajahnya tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. Sedangkan Junaidi, tetap dengan senyum manisnya, kupeluk dia dan kukatakan supaya dia jaga Nanda dan Puri. 

Kapal beringsut meninggalkan dermaga. Ketiga anak manis itu melambai. Meski agak gelap, saya bisa dengan jelas melihat lambaian tangan mereka. Ada yang terasa sakit di tenggorokan saya. Raungan kapal seperti mengiris-iris ulu hati. Saya menatap mereka dan kami terus saling melambai sampai kapal semakin menjauh dan gelap benar-benar menelan pandangan. 

Di tengah perjalanan pulang ke penginapan, sms Puri masuk: 'Ibu, doakan saya bu spy jd pribadi yg lbh kuat ya bu. Ibu, pak heru, pak rukin sdh sy agp orgtua sndiri, trmksh byk sdh menjenguk kami bu....' 

Begitu juga sms Nanda: 'Ibu hati2 kalau pulang...terimakasih untuk satu minggu yang sangat berkesan...doakan kita bisa menjalankan sisa masa tugas sebaik mungkin....sampai jumpa beberapa bulan lagi... Kita sayang sama bu luthfi....

Rupanya anak-anak manis itu sedang memanfaatkan detik-detik terakhir di mana mereka masih bisa ber-sms. Sebab hanya beberapa meter saja setelah itu, sinyal tidak akan pernah mereka dapatkan lagi, sepanjang perjalanan sampai di Sermata, sampai di Luang, bahkan untuk sekitar enam bulan ke depan, selama mereka menyelesaikan masa pengabdiannya di tempat itu.  

Meski saya tidak yakin sms balasan saya akan dibacanya, saya tetap mengirimkannya. Gagal, tidak terkirim. Saya coba, gagal lagi, berkali-kali, dan akhirnya, sepertinya terkirim. Sepertinya. Semoga benar-benar terkirim. 

'Puri, saya terharu melepas kalian. Setelah beberapa hari bersama, rasanya tidak ingin melepas kalian. Tp semua demi tugas. Kami menyayangi kalian, bangga pada kalian. Semoga perjalanan kalian menyenangkan, selamat sampai tujuan, selalu sehat dan lancar dalam mengemban tugas. Salam sayangku untuk kalian semua.'

'Ya, Nanda, kamu luar biasa. Kuat, tegar. Aku belajar banyak dari kamu. Meski rasanya sudah mau nangis melepas kalian tadi, tp melihat ketegaran kalian, saya berusaha bertahan. Selamat bertugas, sayang. Salam sayangku untuk kalian semua. Semoga kalian selalu sehat, lancar, dan kita bisa bertemu lagi dalam keadan baik-baik. Amin.'

Sekali lagi saya tidak yakin sms saya tersebut benar-benar telah terkirim. Meski begitu, saya lega telah membalas sms mereka...

Tepa, Pulau Babar, MBD, 19 April 2013

Wassalam,
LN