Pages

Kamis, 19 November 2015

Go To America (1): Mengurus Visa

Pagi yang cerah dan jalan-jalan padat. Bertiga, saya, pak Asto, dan bu Lusia, menuju Konsulat Amerika. Diantar Anang, driver P3G. Membaurkan diri di keramaian lalu lintas. Pukul 07.30, saatnya orang-orang berangkat kerja dan anak-anak berangkat sekolah. Beberapa kali mobil kami terjebak dalam kemacetan. Tak mungkin menghindar. Namun karena jarak tempuh normal dari gedung P3G menuju Kantor Konsulat Amerika hanya sekitar 10 menit, maka kemacetan itu tidak terlalu merisaukan karena waktu kami cukup longgar.

Tiba di depan kantor konsulat yang sekelilingnya dijaga oleh sekuriti, kami turun, dan langsung disambut dengan prosedur standar. Lapor diri, serahkan KTP dan passport, letakkan semua berkas di keranjang (satu orang satu keranjang), matikan semua ponsel dan gadget, dan bediri di tempat yang sudah disediakan untuk menunggu panggilan. Begitulah, maka kami bertiga berdiri, dan menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya pintu dibuka dan seorang petugas menyilakan kami untuk masuk.

Di dalam ruang, dua petugas menyambut kami, satu perempuan, satu laki-laki. Kembali kami berdiri berjajar. Bu Lusia di depan sendiri, membiarkan tas dan keranjang berkasnya di-scan. Semua gadget harus ditinggal, hanya dompet yang boleh dibawa. Seorang petugas memberikan sebuah kartu pengunjung, dan kartu itu harus disematkan di dada. Sambil membawa berkas dan dompet, Bu Lusia disilakan keluar menuju tempat verifikasi berkas dan wawancara. 

Begitu jugalah proses yang saya lalui bersama Pak Asto. Hanya saat giliran saya, petugas perempuan itu bertanya: "Ibu, ibu masih muda kok gelarnya banyak begini, waktu kuliah ambil jurusan dobel gitu tah bu?"
Saya menggeleng. "Secara bertahap, mbak." Jawab saya sambil tersenyum.
"Tadi juga ada bapak-bapak yang gelarnya seperti ibu, tapi beliau sudah tua."
Saya tersenyum lagi sambil mbatin. "Aku yo wis tuwo kok mbak, saking masih kelihatan cantik dan awet muda saja, suwerrr...", gumam saya dengan penuh percaya diri.

Saat berjalan menuju ruang wawancara, saya sempatkan melihat sekeliling. Dinding-dinding warna tanah yang bersih, tanaman-tanaman yang dominan hijau, lantai dove yang nyaman tapi tidak ramah, kaca di mana-mana. Saat saya berjalan, saya membayangkan ada kamera yang mungkin sedang merekam setiap gerak saya, dan seseorang sedang mengamatinya dari sebuah monitor. Memastikan saya tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan. Siapa tahu tiba-tiba saya memanjat pohon untuk memetik bunga-bunga dan merontokkan daun-daunnya.  

Begitu saya tiba di depan pintu, pintu terbuka. Anda tidak perlu mengetuk pintu dan meminta seseorang untuk membukakannya. Begitu Anda tiba di depan pintu, pintu akan terbuka begitu saja.

Saya memasuki ruangan dan mengambil nomor antrian, lantas duduk di ruang tunggu yang langsung berhubungan dengan konter-konter. Saya jadi tahu ternyata orang di dalam ruang ini bisa melihat siapa pun yang sedang berjalan di luar menuju ke ruang ini. Makanya begitu kita sampai di depan pintu, petugas langsung membukakannya untuk kita.

Ada sekitar sebelas orang di ruangan. Satu per satu kami dipanggil menuju konter untuk verifikasi data dan menyerahkan enam berkas pokok: Passport, form DS-160, non-refundable visa application fee receipt, pas foto, form DS-2019, dan original interview appointment letter. Semua berkas ini kami siapkan sejak beberapa waktu yang lalu, berkorespondensi dengan Global Engagement Office, The Utah State University (USU), tempat kami mengambil short course pada awal Oktober sampai pertengahan November nanti. Juga melakukan registrasi online serta membayar sejumlah uang untuk visa dan SEVIS melalui Standard Chartered Bank. 
  
Setelah verifikasi data, kami menunggu sebentar, dipanggil lagi di konter sidik jari. Empat jari kiri, empat jari kanan, dua jari jempol. Menunggu lagi, untuk dipanggil di konter wawancara.

Dua petugas bagian verifikasi, perempuan, Indonesia. Petugas sidik jari, orang Amerika, agak gendut. Petugas pewawancara, orang Amerika juga. Bahasa Indonesia kedua orang itu sangat fasih, meski dengan logat Amerika yang kental. Kebanyakan dari kami diwawancarai dalam Bahasa Inggris, kecuali hanya satu dua orang yang mungkin tidak bisa berbahasa Inggris. Kami bertiga diwawancarai satu per satu, ditanya ini-itu. Saat saya ditanya "what is engineering education?", saya jawab sekenanya: "It's about instructional technology or learning strategies implemented in engineering field." Petugas langsing dan ngganteng itu manggut-manggut. Gumam saya: "mudeng ra? Ora toh? Aku wae yo ra mudeng...."

Mengurus visa untuk pergi ke Amerika ternyata ada seninya tersendiri. Saya ada kesempatan pergi ke luar negeri beberapa kali, termasuk ke Melbourne, setahun yang lalu. Selama ini, visa cukup diuruskan oleh Kantor Urusan Internasional Unesa dan Biro Travel. Tapi untuk ke Amerika, no choice, kami harus mengurusnya sendiri karena ternyata ada banyak tahapan yang tidak mungkin diuruskan orang lain. 

Tujuan kami bertiga pergi ke Amerika adalah untuk mengikuti short course di USU. Saya dan pak Asto dalam bidang yang sama. Curriculum development on Engineering Education. Kepentingan kami lebih demi lembaga, bukan pribadi. Sejak 2013, Unesa telah memiliki nota kesepahaman (MoU) dengan USU. Namun implementasi dari MoU itu belum terlalu nyata, kecuali sekadar mengundang beberapa professor atau associate professor ke Unesa untuk menjadi dosen tamu atau narasumber seminar. Selebihnya belum ada.

Nah, kebetulan Unesa memiliki beberapa proyek yang didukung oleh Islamic Development Bank (IDB). Salah satunya adalah pemberian beasiswa untuk Non Degree Training (NDT), baik di dalam maupun di luar negeri. Bersama beberapa dosen yang berminat, mencobalah saya untuk mendapatkan dana itu. Membangun korespondensi dengan pihak USU, membuat proposal, presentasi, dan mengurus segala persyaratan. Saat presentasi, saya sempat juga ditanya oleh Kabag Kepegawaian Unesa; "Ibu kan menjabat? Masak mau pergi selama itu?"
Lantas saya jawab: "Saya sudah mempertimbangkan timing-nya, Pak. Saat saya menempuh short term program itu, kegiatan di PPPG agak jeda. Prakondisi SM-3T sudah selesai, peserta sudah diberangkatkan semua, PPL PPP juga sudah selesai, jadi puncak kesibukannya insyaallah sudah reda. Lagi pula, saya perlu tambahan pengalaman untuk upgrading kompetensi saya, selain dalam rangka mewujudkan nota kesepahaman itu."
"Ya sudah, yang penting pimpinan mengizinkan."

Alhamdulilah, surat izin Rektor turun. Surat-surat yang lain seperti financial support letter dan scholarship letter, tidak ada masalah. Mengurus visa dengan segala lika-likunya, setidaknya sampai tahap ini, lancar. 

Begitu juga yang terjadi pada Pak Asto dan Bu Lusia. Meskipun bidang program short term Bu Lusia berbeda, yaitu bidang Image Processing, tapi kami mengurus segala sesuatunya bersama-sama, saling membantu, saling mendukung. Alhamdulilah, Allah benar-benar bermurah hati, dan melancarkan segala urusan kami. Alhamdulilah. Jadi, mari kita menuntut ilmu ke Amerika.


Surabaya, 16 September 2015

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...