Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2014. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2014. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 April 2015

Mengujungi Kuba

Pagi ini, sekitar pukul 09.30, saat saya masih terlelap, saya dikejutkan oleh sebuah telepon. Dengan malas, saya raih ponsel di atas meja di sebelah kiri saya.

"Assalamualaikum, Bu Prof..."
"Waalaikum salam...."
"Masih istirahat?"
"Ya..." Suara saya mungkin seperti suara orang setengah mabuk. "Tadi pukul setengah enam baru masuk penginapan...." Lanjut saya.
"Baik. Saya hanya ingin sampaikan, bupati rupanya sudah berangkat tadi malam ke kegiatan lain. Tapi saya sudah melapor ke sekda, kalau hari ini kita akan menghadap."
"Melapor ke sekda?"
"Ya, betul."
"Melapor bagaimana?"
"Ya, melapor kalau hari ini kita akan menghadap."
"Lho?"
"Maaf, Bu Prof, saya sudah di lobi."
"Di lobi?" Saya langsung 'jenggirat'. Ya Allah, saya ini ada di mana?"
"Maaf, ini pak kadiskah?"
"Betul, Bu Prof."
"Oh, maaf, Bapak.... Maaf, saya belum sepenuhnya sadar ini." Kepala saya terasa berat. "Maaf, Bapak....nyawa saya belum kembali semua ini...."
Pak Kadis tertawa keras.
"Baik, tidak apa-apa, Bu Prof. Saya tunggu di lobi."

Maka saya pun 'njrantal' ke kamar mandi. Untungnya, tadi pagi, begitu masuk penginapan, saya langsung mandi. Mbak Ully juga. Semalaman berada dalam perjalanan dari Medan ke Aceh Singkil membuat tubuh seperti 'katutan' macam-macam, sehingga begitu ketemu air, maunya langsung membersihkan badan.

Jadi kalau sekarang kami tidak mandi, memang kami tidak perlu mandi lagi. Apa lagi Pak Kadis sudah menunggu di lobi. Waduh, bisa kualat kami nanti kalau membuat beliau menunggu terlalu lama.

Bertiga kami keluar menemui Pak Kadis dan stafnya, kabid program. Berbincang sebentar, dan berangkatlah kami. 

Saya, Bu Ully, dan Mas Syamsul (Dr. Syamsul Sodiq, Kajur Pendidikan Bahasa Indonesia), masuk ke mobil dinas yang semalam menjemput kami dari Bandara Kualanamu Medan dan membawa kami menuju penginapan ini. Pak kadis, Yusfit Elmi, S.Pd, duduk bersebelahan dengan driver di depan. Pak kabid duduk di jok belakang.

Tujuan kami pagi ini adalah Kuala Baru. Namun sebelum ke sana, kami menuju kantor kabupaten, dan bertemu sekda, Drs. Azmi. Berkenalan dan berbincang sebentar tentang Program SM-3T dan masukan-masukan sekda untuk kepala dinas dalam melayani dan merespon program tersebut. Juga harapan-harapannya untuk keberlanjutan program. Juga kekagumannya pada semangat pengabdian para guru SM-3T. Dari apa yang dikatakannya, nampaknya Bapak Sekda ini cukup memahami apa itu Program SM-3T.  

Dari kantor kabupaten, kami langsung menuju ke Kuala Baru. Di sana ada SMK 1 Kuala Baru dan dua anak kami, peserta SM-3T, bertugas. Kami akan mengarungi Sungai Singkil, sungai terbesar di Aceh Singkil, untuk mencapai Kuala Baru. 

Cerita tentang Sungai Singkil yang diapit rawa-rawa sudah sering kami dengar. Rawa-rawa itu luasnya sekitar 5000 ha dan menjadi paru-paru dunia. Juga cerita tentang buaya predator yang tak jarang memakan korban manusia. Setahun ini ada dua orang sudah dimangsanya, dan satu orang yang nyaris menjadi mangsa. Para predator itu ada di sepanjang sungai, di rawa-rawa, berjemur, sambil menunggu korban.

Kami bertujuh menaiki spreedboat. Sekitar empat puluh menit perjalanan dari Singkil ke Kuba, singkatan dari Kuala Baru. Tak terbayang sebelumnya saya akan mengunjungi Kuba, dan berspeedboat bersama Fidel Castro-nya, yaitu Kepala Sekolah SMK 1 Kuba.

Panas menyengat. Suhu di Aceh Singkil jauh lebih panas daripada di Surabaya. Syukurlah saya sudah terbiasa dengan suhu panas. Kulit hitam saya adalah bukti kalau saya tahan panas.

Sungai penuh, dan airnya meluber memenuhi rawa-rawa di sepanjang bantaran sungai. Untunglah. Pak Kadis bilang, kalau air penuh seperti ini, buaya tidak keluar. Artinya, perjalanan jadi lebih aman.

Bicara tentang keamanan dalam perjalanan laut dan sungai, tempo hari sebelum berangkat, saya sudah wanti-wanti pada pak Kadis, supaya kami disiapkan pelampung. Tapi beliau bilang: "Saya kira itu tidak perlu, Bu Prof...kita hanya mengarungi sungai." Dan saya tetap ngotot minta disediakan pelampung. Enteng saja beliau bilang..."Itu hanya mengarungi sungai?" 

Beliau menyanggupi, tapi ternyata itu sekadar menghibur hati saya saja. Saat ini kami berspeedboat tanpa pelampung, dan saya agak bergidik melihat air sungai yang coklat keruh itu  melimpah sementara tepi sungai berjarak puluhan bahkan mungkin ratusan meter dari speedboat kami. Itu pun, berupa rawa-rawa. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk, entah bagaimana kami bisa menyelamatkan diri, sementara di antara kami tidak semua bisa berenang. Tidak, insyaallah itu tidak akan terjadi. Lihatlah, driver speedboat itu begitu lihai. Meski kadang-kadang speedboat terasa miring ke kanan atau ke kiri, dia begitu tenang, dan mengesankan semua baik-baik saja. Sesekali dia mengurangi kecepatan speedboat saat berpapasan dengan robin. Laju speedboat yang menyebabkan air sungai bergelombang membahayakan keselamatan robin, si perahu kecil itu.

Robin, adalah sebutan utk perahu bermotor kecil yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk melakukan perjalanan dari Kuba ke Singkil dan sebaliknya, dengan ongkos Rp. 10.000,- untuk sekali jalan. Dinamakan robin, sebenarnya karena mesin perahu itu merk-nya robin. Seperti banyak orang menyebut yamaha atau honda untuk sepeda motor, sanyo untuk pompa air, dan aqua untuk air mineral, dan sebagainya.
    
SMK Negeri 1 Kuba merupakan SMK Kelautan dan Perikanan. Memiliki 80 siswa, dengan sebanyak 22 guru dan tenaga kependidikan. Bukan sekolah yang buruk, meski dia berada di kecamatan tertinggal. Kuba dikelilingi oleh sungai dan laut, dan satu-satunya tempat mengungsi bila terjadi gempa adalah masjid. Belum ada akses keluar kampung yang luasnya hanya sekitar 14 km persegi itu selain melalui sungai menuju Singkil.

Singkil adalah tempat terdekat untuk berbelanja keperluan sehari-hari masyarakat Kuba. Juga tempat terdekat bagi anak-anak kami, Wenni dan Dewi, untuk mengambil insentif bulanannya. Sebulan sekali mereka menumpang robin ke Singkil dan berbelanja keperluan bulanan mereka. Mereka tinggal di mes sekolah dan memasak sendiri. 

SMK 1 Kuba berada di ujung kampung dan sekitar 500 meter dari sekolah adalah kampung nelayan. Di lokasi tertinggal itu hanya ada 2 SD, 1 SMP, dan 1 SMK. Bukan persoalan mudah menyedot animo masyarakat yang hanya terdiri dari sekitar 60 KK itu untuk masuk sekolah. Kalau siswa SMK saat ini bisa mencapai 80 siswa, itu bukan karena kebetulan. Tapi salah satunya karena promosi  gencar yang dilakukan oleh kepala sekolah yang masih muda itu. Selain itu, karena outcome sekolah dinilai cukup baik oleh masyarakat. Tahun kemarin, sekolah berhasil mengeksport sejumlah lulusannya ke perusahaan di China dan Argentina. Sekolah juga sudah melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan di Medan dalam rangka penyaluran lulusan, selain juga sebagai tempat  untuk praktek industri.  

Kami pamit dari SMK Negeri 1 Kuba sekitar pukul 14.30, setelah makan siang dengan menu nasi putih, sayur kangkung, dan pepes ikan. Menu yang lezat pada saat yang tepat. Sejak pagi belum ada sebutir nasi pun yang masuk mulut. Tidak ada waktu untuk sarapan karena begitu bangun tidur kami sudah langsung berkegiatan.

Di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami kembali berspeedboat menuju Singkil. Mengarungi sungai yang airnya coklat keruh dan ribuah hektar rawa mengapitnya. Mungkin ada puluhan atau ratusan buaya predator sedang mengintai. Namun ada Dia Yang Maha Memberi Keselamatan yang selalu melindungi.  

Aceh Singkil, 20 April 2015

Senin, 06 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (4): Dihormati sebagai Pahlawan

Pagi masih gelap ketika saya keluar dari kamar di lantai 7, turun ke lobby, dan meminta tolong resepsionis untuk memanggilkan taksi. Semalam, rapat dengan P2TK Dikdas, terkait dengan persiapan perekrutan calon pendidik yang akan ditugaskan di Sabah dan Mindanau, selesai, dan pagi ini kami bisa checkout dari Golden Boutique Hotel di kawasan Blok M Melawai ini.

Sampai di lounge Bandara Soekarno Hatta, sebuah telepon masuk. Dari Prof. Supriyadi Rustad, Direktur Direktorat Pendidik dan Tenaga Pendidikan. Sejak kemarin beliau telah beberapa kali menelepon saya untuk meminta update perkembangan upaya pencarian Moh. Isnaeni. Kami juga sudah dua kali bersurat kepada beliau untuk mengabarkan kondisi secara tertulis. Kondisi di lapangan saya mintakan ke Wahyu dan beberapa petugas di MBD, termasuk asisten bupati.

"Bu Luthfi, terima kasih untuk laporan tertulisnya yang sudah kami terima. Perkembangan terakhir bagaimana, Bu Luthfi?" Begitu tanya Pak Direktur.

"Inggih, Bapak. Kemarin sore Isnaeni sudah ditemukan, meninggal."

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un."

"Keluarga sudah diberitahu juga, Bapak. Juga sudah ikhlas jika jenazah Isnaeni tidak bisa dibawa ke Jawa karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan."

"O begitu. Baik. Terus rencana selanjutnya?"

"Kami sudah berkoordinasi dengan Pemda. Kalau perjalanan normal, kapal yang ditumpangi Tim Unesa dan keluarga Isnaeni baru tiba di Tiakur besok, Bapak. Tapi rencananya, sebelum sampai Tiakur, rombongan akan turun, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tiakur dengan menumpang speedboat. Bila kondisi laut memungkinkan, maka sore atau malam nanti, rombongan bisa tiba di Tiakur. Sementara jenazah Isnaeni pagi ini akan dibawa dari Pulau Luang ke Tiakur. Sampai di Luang diperkirakan sore hari juga. Dengan demikian, pemakaman Isnaeni bisa dihadiri oleh Tim Unesa dan keluarga Isnaeni."

"Pagi tadi, Kepala Dinas Pendidikan dan Asisten Bupati sudah menelepon saya, bahwa jenazah akan dishalatkan di rumah Bapak Kepala Dinas, dipimpin oleh imam masjid Tiakur. Begitu juga dengan acara tahlilan, semuanya sudah disiapkan di rumah kepala dinas." Saya menambahkan.

"Baik, Bu Luthfi, terima kasih. Sekitar pukul 08.00 ini nanti, kami akan konferensi pers."

Sementara menunggu boarding, saya berkoordinasi dengan Bu Yanti, PD II PPPG, tentang rencana ke rumah keluarga Isnaeni di Jember. Sayang sekali hari-hari ini Tim PPPG sedang tersebar di berbagai wilayah untuk menjalankan tugas monev SM-3T dan Jatim Mengajar. Maka saya memutuskan, saya yang akan berangkat ke Jember, mungkin dengam Bu Ully, kasubag PPPG. 

Begitu turun di Terminal 2 Bandara Juanda, saya bersama Bu Ully, Anang dan Juliar, langsung meluncur menuju Jember. Sebenarnya tubuh saya lelah sekali, tapi keperluan ke Jember juga tidak baik kalau ditunda. Sore atau malam ini Isnaeni akan dikuburkan. Sementara ayah dan kakaknya masih berada di MBD untuk menghadiri pemakamannya, biarlah kami yang di sini menemani Ibunda Isnaeni yang pasti sedang dirundung duka mendalam karena kehilangan anak bungsu tercintanya, tanpa bisa menyaksikan pemakamannya.

Sekitar pukul 16.30, kami sudah tiba di rumah duka, di Desa Balung Kulon, Jember. Dipandu oleh tiga peserta SM-3T angkatan pertama, yang kebetulan mereka berasal dari Jember dan Banyuwangi. 

Rumah duka itu, menempel pada sebuah sekolah. Di sekolah itulah Bapak Ali Mashar, ayah Isnaeni, mengajar sebagai guru agama. Saat saya menelepon beberapa hari yang lalu, untuk mengabarkan tentang musibah yang menimpa Isnaeni, beliau juga sedang berada di kelas, dan suara anak-anak sekolah terdengar begitu jelas.

Puluhan pentakziyah memenuhi rumah duka. Begitu kami tiba, mereka berdiri menyalami kami. Di atas tikar yang digelar di ruang tamu yang tidak luas itu, duduk seorang perempuan setengah baya, bergamis dan berhijab. Matanya sayu, kelopak matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, namun masih tersisa kepasrahan dan ketegaran terpancar dari wajahnya yang berduka. Dia mengulurkan tangan saat saya mendekat, dan dengan sepenuh hati, saya memeluk tubuhnya. 
"Nderek belosungkowo, nggih, Bu..." Saya merasakan tubuhnya bergetar. "Ikhlas nggih, Bu, insyaallah Mas Isnaeni chusnul chotimah. Mas Is gugur sebagai syuhada."
"Inggih, Bu. Amin. Matur nuwun." Ucapnya lirih.

Kami duduk di atas tikar, menemani ibunda Isnaeni menyambut para pentakziah yang datang silih berganti. Beliau memperkenalkan saya pada tamu-tamunya sebagai dosennya Isnaeni. 

Sementara itu, update situasi di MBD terus saya terima, bergantian dari Pak Gayus dan Bu Maria. Beberapa waktu yang lalu, mereka semua bersama masyarakat Tiakur, sedang berada di pelabuhan, menunggu jenazah Isnaeni. Saat ini, jenazah sudah tiba, dan sedang disemayamkan di rumah Kadis, sambil menunggu rombongan keluarga datang. 

Saya sempat berkomunikasi dengan Wahyu, apakah di Tiakur banyak muslimnya. Wahyu bilang, tidak banyak, tetapi ada masjid dan ada imam masjid yang akan memimpin salat jenazah. Juga ada puluhan peserta SM-3T dari Unesa dan UNP yang sengaja datang ke Tiakur untuk bisa ikut menyalatkan jenazah Isnaeni dan memberikan penghormatan terakhir pada rekan seperjuangan mereka itu. 

Sejujurnya, sebagai wilayah yang masyarakatnya mayoritas pemeluk Nasrani, saya mengkhawatirkan nasib jenazah Isnaeni. Namun Wahyu memastikan, di Tiakur ada komunitas muslim, dan mereka sudah berpengalaman menangani pemakaman orang muslim.

Saat upacara pemakaman berlangsung, Pak Gayus sengaja menghubungi saya, dan membiarkan saya mendengar dan mengikuti prosesi tersebut beberapa saat. Dipimpin oleh Asisten Bupati (karena Bupati dan Kepala Dinas sedang ada di Ambon), dan dihadiri oleh semua pejabat MBD, aparat,  serta masyarakat luas, Isnaeni dihormati sebagai pahlawan. Bendera Merah Putih dihamparkan sebagai penutup peti jenazahnya, sekaligus sebagai penutup kuburnya. Mas Heru juga mengabarkan, di samping keihlasan dan kerelaan kehilangan putra tercintanya, ayah dan kakak Isnaeni juga merasa sangat lega dan berbangga, karena Isnaeni mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi dari Pemda MBD dan seluruh masyarakat. 

Maghrib menjelang, dan kami pamit pada Ibunda Isnaeni. Senja yang meredup mengantarkan perjalanan kami kembali menuju Surabaya. Ada kesedihan yang amat sangat di hati, namun bagaimana pun, Allah SWT telah memberikan petunjuk dan kemurahan-Nya. Meski Isnaeni ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa, Allah masih memperkenankan ayah dan saudaranya untuk melihatnya pada detik-detik terakhir dia dimakamkan. Juga menyaksikan betapa Pemda dan masyarakat MBD memberikan penghargaan dan memuliakannya sebagai sosok yang dicintai. Semoga Isnaeni mendapatkan kemuliaan dan kecintaan juga di sisi Sang Khalik, Pemilik Tunggal atas Semua Makhluk. Amin.

Surabaya, 27 Maret 2015

Kamis, 02 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (3): Isnaeni Ditemukan

Sejak pagi saya terus memantau perkembangan upaya pencarian. Wahyu dan Bapak Gayus juga memberikan laporannya dari waktu ke waktu. Sementara itu, Bapak Agus Susilohadi, Kasubdit Program dan Evaluasi Direktorat Diktendik, meminta update informasi juga.

Maka siang hari, berdasarkan hasil koordinasi saya dengan Pak Heru dan Pemda MBD semalam, juga dengan Wahyu, saya menulis laporan ke Dikti. 

"Yang saya hormati, Bapak Direktur Dit. Diktendik. Berdasarkan informasi dari Wahyu Puspita Ningtyas, peserta SM-3T Unesa yang bertugas di Tiakur, kronologis peristiwa musibah tersebut adalah sebagai berikut: 
Senin, 23 Maret 2015, kapal perintis Sabuk Nusantara 43 dari Pulau Sermata dijadwalkan tiba di Pulau Luang sekitar pukul 23.00 WIT. Karena musim barat, kapal Sabuk 43 berlabuh di Pulau Kelapa yg berjarak sekitar 13 mil dari desa Luang Barat. Karena jarak yang lumayan jauh, perahu motor berukuran GT 6 yang dikemudikan oleh Fendi Hayer membawa 13 penumpang, termasuk Kepala Desa Luang Barat, 2 orang guru SM-3T yang bertugas di SMP Illimarna Luang Barat--mereka akan menuju ke ibukota kabupaten untuk sosialisasi UN--berangkat dari kampung pukul 21.00 WIT. Setelah sampai di Pulau Liakra sekitar pukul 22.00 WIT, perahu motor tersebut berencana menuju ke daratan karena jarak antara Pulau Liakra dan tempat kapal berlabuh masih cukup jauh dan ombak cukup besar. Belum sampai di daratan, ombak setinggi 3 meter menerjang perahu motor dari arah samping dan mengakibatkan perahu terbalik. Kejadian itu diketahui mengakibatkan 11 orang selamat, termasuk bapak Kades dan 1 guru SM-3T bernama Renzy Dea Anggraeni--sarjana Pendidikan Olah Raga. Sedangkan 3 orang hilang, termasuk 1 guru SM-3T bernama Mohammad Isnaeni, sarjana pendidikan Matematika, alumni Universitas Muhammadiyah Jember. Pada pagi hari pencarian dilakukan terhadap 3 korban yg hilang. Sekitar pukul 07.00 WIT,  1 korban perempuan ditemukan tersangkut di tali agar-agar dan diketahui bernama Elvi Selviana warga Jawa Barat yang bekerja di Luang Barat sebagai sales alat-alat therapi. Dan pada pukul 10.00 WIT ditemukan 1 korban lagi, laki-laki, warga Luang barat bernama Bapak Poly Palpialy, seorang pensiunan Dinas Penerangan di Tual. Sampai tanggal 24 Maret pencarian terus dilakukan terhadap Mohamad Isnaeni. Dan pada pukul 17.00 WIT ditemukan celana pendek yang dipakai korban saat kejadian, yang berjarak 200 meter dari tempat kejadian. Hingga sampai tanggal 25 Maret pagi ini, korban belum juga ditemukan dan pencarian terus dilakukan.

Tim dari Unesa, atas nama Drs. Heru Siswanto, M.Pd dan Febry Irsyiato W.U, S.Pd., M.Pd, pada hari Selasa, 24 Maret 2015, pukul 21.00 WIB, bertolak ke Ambon. Selanjutnya, Rabu, 25 Maret 2015, satu tim dari Unesa juga, Drs. Abdur Rahman Syam Tuasikal, M.Pd., bertolak ke Ambon, bersama keluarga Mohamad Isnaeni, yaitu Bapak Ali Mashar (ayah) dan Mohamad Nadir (kakak).  Selanjutnya pada hari itu juga, pukul 20.00 WIB, tim dan keluarga Isnaeni bertolak ke MBD dengan menumpang Kapal Feri Marsela. Kapal dijadwalkan tiba di Tiakur pada hari Sabtu, 28 Maret 2015. Dari Tiakur, perjalanan menuju Luang, lokasi kejadian musibah, masih memerlukan waktu sekitar 5 jam dengan menumpang speedboat, atau sekitar 9 jam dengan menumpang kapal.

Berdasarkan hasil koordinasi pengelola SM-3T Unesa dengan Pemda Kabupaten MBD, bila kemungkinan terburuk yang terjadi, yaitu Mohamad Isnaeni ditemukan dalam keadaan meninggal, Pemda MBD akan menunggu kedatangan tim Unesa dan keluarga korban di lokasi penemuan, dan selanjutnya akan memfasilitasi pengangkutan jenazah sampai kepada keluarga korban di Jember. 

Sampai tadi malam, dan siang ini, berdasarkan hasil komunikasi pengelola SM-3T Unesa dengan Kepala Dinas Kabupaten MBD dan Wahyu Puspita Ningtyas, upaya pencarian masih nihil. 

Demikian hal-hal yang bisa kami laporkan, bila ada perkembangan baru, akan segera kami laporkan secepatnya. 

Terima kasih atas perhatian dan dukungannya."

***

Sore pukul 16.30. Sebuah dering mengejutkan saya. Bukan dering teleponnya, tapi kabar yang saya terima. Wahyu di seberang sana kembali menangis hebat.
"Ibu, Mas Isnaeni sudah ditemukan. Ibu....Mas Isnaeni sudah meninggal......"

Saya kembali terduduk lemas di kursi di ruang rapat. Tangan saya kembali gemetaran memegang ponsel. Mata saya mendadak kabur karena air mata saya tumpah meski saya berusaha menahan kuat-kuat kesedihan saya.

"Wahyu, kamu tenang...." Saya menguatkan Wahyu sekaligus diri saya sendiri. "Kamu tenang dulu, baru kamu bercerita lagi."

"Ibu, Mas Isnaeni sudah ditemukan. Meninggal. Jasadnya sudah tidak memungkinkan untuk dibawa ke Jawa." Wahyu menjelaskan lagi setelah dia tenang.

"Baik, Wahyu."

Pikiran saya melayang pada rombongan yang sedang di atas kapal. Perkiraan normal, kapal akan tiba di Pulau Sermata pada hari Sabtu, artinya dua hari lagi. Dari Sermata, masih perlu waktu sekitar dua jam untuk menyeberang ke Pulau Luang dengan menumpang kapal kecil. 

Sementara jenazah tidak mungkin untuk menunggu. Bukan hanya karena kondisinya, namun juga memang seharusnya jenazah itu segera dikuburkan. Namun bagaimana kami bisa memutuskan, sementara keluarga Isnaeni masih di tengah samudra, dan tidak ada sinyal?

Seperti menjawab kegundahan saya, Wahyu menyampaikan, kalau staf dinas sudah berhasil berkomunikasi dengan Pak Heru via Ratelda dan alat komunikasi kapal. Wahyu mengabarkan kalau orang tua Isnaeni sudah diberi tahu tentang kabar Isnaeni meninggal, dan beliau sudah ikhlas kalau jasad Isnaeni tidak bisa dibawa ke Jawa.

Bapak Ali Mashar, ayahanda Isnaeni, adalah seorang guru agama. Saya belum pernah bertemu beliau, hanya mendengar suaranya dari percakapan via telepon. Namun saya membayangkan, beliau adalah seorang ayah yang ikhlas dan tegar, dan bisa menerima musibah ini sebagai bagian dari skenario Allah yang telah digariskan untuk putra bungsu tercintanya, Mohamad Isnaeni.

Saya sedikit lega. Lega karena keluarga Isnaeni sudah tahu kabar tersebut. Lega juga karena beliau mengikhlaskan Isnaeni dikuburkan di MBD. Sebuah tempat yang jauh di sana. Di tempat di mana dia mengabdikan diri sampai akhir hayatnya. Dekat dengan anak-anak sekolah dan masyarakat yang mencintainya. 


Jakarta, 26 Maret 2015.

Salam,
LN

Rabu, 01 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (2): Tim Menuju MBD

Pagi ini saya terbang ke Jakarta untuk memenuhi undangan P2TK Dikdas, mengikuti rapat persiapan perekrutan guru ke Sabah dan Mindanau. Meski pikiran saya terus diliputi kekhawatiran, tapi saya tidak mungkin meninggalkan rapat penting tersebut. Rapat yang menyangkut peluang keterlibatan para lulusan PPG SM-3T untuk menjadi pengajar bagi anak-anak Indonesia di wilayah perkebunan dan pedalaman di dua negara tetangga itu. Mereka adalah anak para TKI yang memerlukan perhatian serius menyangkut layanan pendidikan mereka.

Sementara itu, kabar tentang tenggelamnya Isnaeni sudah menyebar ke seantero dunia, khususnya dunia SM-3T. Direktur Dit. Pendidik dan Tenaga Pendidikan, Dirjen Dikti, Prof. Dr. Supriadi Rustad,  sudah menelepon saya beberapa kali dan meminta kami terus meng-update informasi. Saya sendiri sudah membuat laporan secara tertulis kemarin, dan siang ini saya akan membuat laporan lagi, karena Direktur memerlukannya untuk bahan konferensi pers. Beberapa wartawan sudah menghubungi saya dan saya melayaninya dengan setengah hati. Bukan hanya karena kesedihan yang melingkupi saya. Kalau ada seseorang yang menelepon dan mengaku wartawan dari sebuah harian, siapa yang menjamin kalau dia benar-benar wartawan? 

"Assalamualaikum teman-teman, kami yg di MBD mohon doanya agar teman kita M. Isnaeni segera ditemukan. Amin. Tadi malam perahu motor yg ditumpangi teman kita, Renzy Dea dan M. Isnaeni, bersama 12 warga yg lain,  terkena ombak setinggi 3 meter, dan mengakibatkan perahu motor terbalik. Renzy dan Mas Isnaeni akan mengikuti sosialisasi UN di kabupaten. Mereka berangkat jam 21.00, tapi sekitar jam 22.00, perahu terbalik.
Ke-11 orang termasuk Renzy bisa selamat karena mereka bisa berenang, sedangkan 2 orang, 1 orang perempuan dari Jawa (sales kosmetik) dan 1 warga lagi ditemukan sudah meninggal. Sekarang tinggal mas Isnaeni yg belum ditemukan. Saya dan pemerintah di sini sudah berkoordinasi, bupati, Tim SAR dan saya masih terus standby mencari informasi dari Radio Telekomunikasi Daerah (satu-satunya alat telekomunikasi kita di sini). Kami minta doanya dari teman-teman semua, semoga mas Isnaeni cepat ditemukan, amin."

Begitulah bunyi status Wahyu di dinding akun FB-nya. Ratusan komentar bertebaran, yang semuanya bernada harapan dan doa untuk keselamatan Isnaeni. Puluhan SMS saya terima dari para koordinator SM-3T LPTK lain dan juga dari para peserta SM-3T mulai angkatan pertama sampai keempat. 

Malam ini, pukul 20.00, sementara saya rapat di Lantai 2 Hotel Golden Boutique, Pak Heru dan Pak Febry mendampingi keluarga Isnaeni menuju MBD, mengarungi Laut Banda, menumpang Kapal Feri Marsela. Pak Rahman standby di Ambon, menjaga kemungkinan Isnaeni segera ditemukan dan dibawa dengan kapal cepat ke Ambon esok harinya oleh Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan. Ya, siapa tahu? Berbagai kemungkinan memang bisa saja terjadi, dan kami harus bersiap mengantisipasinya.

Sementara simpati dari Pemerintah MBD terus mengalir di ponsel saya. Bapak John (Kepala Dinas Pendidikan), Ibu Maria (staf Dinas Pendidikan), Bapak Gayus (mantan Camat Mdona Hyera, pulau yang ditempati Isnaeni), dan dari beberapa kepala sekolah, guru, dan juga bapak pendeta, terus mengabarkan progres upaya pencarian. Tentu saja mereka sendiri sebenarnya tidak sedang berada di lokasi musibah, karena di sana tidak ada sinyal. Mereka memantau berita dari Ratelda, dan meneruskan berita itu kepada saya.

Sejak kemarin, Bupati sudah mengirimkan Tim SAR untuk menuju Luang. Puluhan kapal kecil milik masyarakat berpartisipasi melakukan pencarian. Mereka tidak hanya melihat dari permukaan, tapi juga menyelam. Meski tidak mudah melakukan upaya tersebut karena terhalang cuaca dan gelombang yang buruk, namun kesungguhan mereka bentul-betul menyentuh keharuan saya. Saya tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan, tapi saya bisa membayangkan dari laporan yang dikirimkan dari Wahyu, Pak John, Bu Maria, dan Pak Gayus. Mereka semua mencintai Isnaeni, mencintai guru yang telah mengabdikan diri di Negeri Kalwedo selama sekitar enam bulan itu. Mereka mencintai sosok rendah hati dan gigih itu sebagai pahlawan pendidikan mereka, dan terus berharap masih ada kesempatan untuk menemukannya dalam keadaan hidup.

Ya, sebuah harapan yang kecil kemungkinan akan terjadi. Namun Allah Maha Memberi Keajaiban. Dan tidak menutup kemungkinan, keajaiban itu akan mewujud.

Jakarta, 25 Maret 2015

Salam,
LN

Kabar Duka Dari MBD (1): Kapal Tenggelam

Kami berduka lagi. Setelah kehilangan mahasiswa PPG, Syahru Romadoan, pada 14 Maret 2015 yang lalu, pagi ini, saya dikejutkan oleh kabar duka yang disampaikan Pak Rahman melalui telepon. Waktu menunjukkan pukul 05.30, masih sepi, namun saya seperti mendengar petir di siang bolong begitu Pak Rahman menyampaikan, ada peserta SM-3T Unesa yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), tenggelam.

"Katanya kapalnya semalam tenggelam, Bu. Anak kita ada dua, Renzi dan Is. Renzi sudah ditemukan, dalam keadaan luka-luka. Is sampai hari ini belum ditemukan."

Saya nratap. Jantung saya berdebar-debar kencang. Tangan dan kaki saya terasa nggreweli. Saya masih sempat berharap, ini hanya kabar burung saja.

"Bapak dengar kabar dari siapa?"
"Dari Wahyu yang bertugas di Tiakur."

Saya baru saja bertelepon dengan Wahyu kemarin siang. Juga dengan kepala dinas pendidikan MBD. Wahyu Puspita Ningtyas, adalah satu-satunya peserta SM-3T yang bertugas di MBD yang di tempatnya ada sinyal. Selebihnya, sembilan belas peserta yang lain, berada di wilayah yang tidak ada sinyalnya.

Tak berpikir panjang, saya langsung menelepon Wahyu. Dan saya semakin syok mendengar suaranya yang sudah tidak jelas karena berbaur dengan tangisannya yang pecah berantakan. 

"Semalam, Ibu....sekitar jam sepuluh, Mas Is dan Renzi, naik kapal bodi, mau ke Kapal besar, tapi kapal bodinya tenggelam diterjang ombak. Renzi sudah ditemukan, tapi Mas Is sampai sekarang belum, Ibu... Ini saya di Ratelda, Ibu, saya standby di sini untuk memantau perkembangannya...." Suara Wahyu terputus-putus, sesenggukan, meraung-raung panik. Saya berusaha menenangkannya, meski air mata saya sendiri tumpah tak terbendung. 

Di sebagian besar pulau di MBD, kapal besar, yang sebagian besar adalah kapal perintis, juga kapal feri, tidak bisa merapat karena tidak ada pelabuhannya. Masyarakat yang akan mendekat ke kapal besar, harus naik kapal kecil, mereka menyebutnya kapal bodi, menuju ke arah tengah laut, di tempat kapal besar itu berhenti. Sekedar menitip sesuatu atau mengambil sesuatu dari kapal, atau mau menumpang kapal ke tujuan tertentu, laut harus diarungi dulu.

Saya berusaha menelepon kepala dinas, tak berhasil. Lantas saya menelepon Pak Sulaiman dan Bu Yanti, mengabarkan musibah tersebut. Menghubungi semua tim ahli dan staf PPPG. Meminta mereka semua menyiapkan berbagai hal yang mungkin diperlukan. Alamat Mohamad Isnaeni-- nama peserta yang tenggelam itu--data asal LPTK-nya,  nomor kontak keluarga, dan juga bersiap untuk kemungkinan terburuk. 

***

Pagi ini tiba-tiba saja dunia saya terasa penuh kabut. Kesedihan seperti tak tertahankan. Saya menangis sepuasnya demi mengurangi beban yang menyesak. Sungguh, dalam kondisi seperti ini, saya benar-benar 'hanya seorang ibu'. Meski sudah memperhitungkan kemungkinan seperti ini bisa terjadi, sebagaimana musibah yang dialami oleh dua peserta SM-3T dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang tenggelam di Aceh sekitar dua tahun yang lalu, namun saya tak membayangkan musibah ini akan menimpa kami juga. Sambil manahan tangis, saya menelepon Wahyu lagi.
"Wahyu, apakah Isnaeni tidak mengenakan pelampung?"
Di sela-sela tangisnya yang masih belum reda, Wahyu menjawab. "Tidak, Ibu.....teman-teman sering tidak pakai pelampung sekarang ini, Ibu...."
"Baik, terima kasih." Saya tidak berkata-kata lagi. Hari ini adalah hari naasnya Isnaeni. Bahwa kebetulan dia tidak mengenakan pelampung saat menumpang kapal kecil itu, ini hanyalah sebuah kebetulan. Saya tidak ingin menyesali, kenapa dia tidak memakai pelampung, meskipun sebenarnya, pelampung sudah kami sediakan.

Namun sejurus kemudian, saya menelepon Wahyu lagi. "Wahyu, tolong sampaikan ke teman-teman, selalu pakai pelampung. Memang betul semua sudah takdir kalau sudah saatnya. Tapi setidaknya, ada upaya kita untuk masalah safety. Tolong, Wahyu. Bilang ke teman-teman, jangan merasa sudah cukup beradaptasi, jangan merasa malu pakai pelampung, tolong ya?"

Pagi ini saya ingin berbagi tugas dengan Pak Sulaiman. Saya meminta dia untuk menelepon keluarga Isnaeni. Nomor ponsel Bapak Ali Mashar, ayahnya Isnaeni, sudah saya peroleh. Apa pun yang terjadi, kami harus segera memberi tahu beliau. Tapi saya tidak sanggup untuk melakukannya.

Pak Sulaiman menyanggupi, namun sekitar pukul 09.00, seusai dia ngajar. Itu pun, dia meminta saya ada di dekatnya, supaya bila ayah Isnaeni bertanya-tanya, saya bisa membantu menjawabnya.

Sekitar pukul 08.30, akhirnya saya putuskan, saya yang menghubungi Pak Ali Mashar. Saat ini, informasi apa pun begitu cepat beredar, dan saya khawatir, Pak Ali Mashar akan mendengan dari orang lain sebelum saya memberi tahunya.

Maka dengan tangan gemetar, saya mengangkat telepon, mengirim SMS, "apakah betul ini nomor Bapak Ali Mashar?"

Tak berapa lama, ponsel saya berdering. "Sopo iki?" Suara di seberang.
"Ini Pak Ali Mashar?" Saya balik bertanya.
"Iya, siapa ini?"
"Bapak, saya Luthfiyah, koordinator SM-3T Unesa." Suara saya bergetar, tangan saya gemetaran memegang ponsel. "Bapak, saya ingin mengabarkan, Isnaeni semalam naik kapal, dan kapalnya tenggelam. Sampai saat ini, Isnaeni belum ditemukan." Suara saya tercekat di tenggorokan. Saya berusaha membuat suara saya setegar mungkin. Tapi laki-laki di seberang sana itu tak merespon kata-kata saya. Saya sedang membayangkan, beliau kaget, sedih, tak percaya,' kamitenggengen', sampai tak mampu bersuara.

"Bapak, saya harus segera mengabarkan ini pada Bapak, supaya kita semua di sini bisa bersama-sama berdoa, agar Isnaeni segera ditemukan dan dalam keadaan selamat."
"Iya, iya, amin." Akhirnya beliau menjawab.

"Begitu nggih, Bapak, sementara kabar dari saya, kalau ada kabar baru lagi, saya segera matur pada Bapak."

Pembicaraan saya tutup dengan salam. Saya terduduk lemas di kursi. Dalam kondisi limbung, saya menelepon Mas Nardi, petugas tiket. Saya minta dia cek jadwal pesawat ke Ambon hari ini. Dapat. Ada penerbangan pukul 21.00 menuju Ambon transit Ujungpandang, dan tiba di Ambon besok pagi pukul 06.00 waktu Ambon. Saya memesan dua tiket atas nama Heru Siswanto dan Febry Irsiyanto, dua teman tim PPPG yang sebelumnya sudah saya pastikan dulu kesanggupannya untuk berangkat ke Ambon.

Sore hari, saya menelepon Bapak Ali Mashar.
"Bapak, kalau Bapak ngersakke ke MBD, bisa kami dampingi."
"O begitu? Saya runding dulu dengan keluarga, Bu."

Akhirnya malam itu diputuskan, Pak Ali Mashar akan berangkat bersama Mohamad Nadir, Kakak Isnaeni. Beliau berdua menumpang travel dari Jember pukul 20.00, dan langsung menuju Bandara Juanda. Besok pagi, Pak Rahman Syam Tuasikal, akan mendamping beliau berdua terbang ke Ambon.


Surabaya, 24 Maret 2015

Salam,
LN

Selasa, 23 Desember 2014

Sumtim 2: PAUD Amanah

PAUD Amanah. 
Supported by SM-3T. 

Tulisan itu menghiasi sebuah papan nama kecil berwarna dasar kuning. Membelakangi sebuah bangunan berukuran sekitar 4x6 meter yang sebenarnya berfungsi sebagai Posyandu. Sederhana sekali. Ukuran sisi-sisi papan nama itu hanya sekitar 1,20 cm. Namun di balik kesederhanaannya, dia menyimpan sebuah cerita tentang ketangguhan dan kesabaran. 

Kalau ada yang bertanya, adakah sesuatu yang monumental dari program SM-3T di Salura? Maka, papan nama kecil itulah salah satunya. Hanya salah satunya. Karena tentu saja banyak yang telah diukir dan diwariskan oleh para peserta SM-3T sejak angkatan pertama, sejak tahun 2011. Termasuk meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan dan terbangunnya semangat cinta belajar. Terbukti anak-anak semakin hari semakin banyak yang rajin datang ke sekolah. Termasuk di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) di Pulau Salura, yang selalu ramai dipenuhi anak-anak, sejak selepas ashar sampai Isya.

Pulau Salura, satu-satunya pulau di Kabupaten Sumba Timur yang mayoritas penduduknya muslim, merupakan kampung nelayan dengan jumlah KK sekitar 130-an, dan jumlah jiwa sekitar 560-an. Kampung kecil itu seperti penuh sesak oleh anak-anak yang kurang terurus. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan. Kebanyakan keluarga memiliki anak lebih dari lima, bahkan ada yang belasan. Anak-anak mereka pada umumnya adalah anak-anak usia balita sampai usia sekolah (PAUD sampai SMA). 

Sebelumnya, Pulau Salura hanya memiliki SD saja, kemudian berkembang menjadi sekolah satu atap (satap), SD dan SMP. Bangunan sekolah SD masih sangat sederhana, hanya memilliki tiga ruang kelas, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan sistem kelas rangkap. Guru-gurunya, sebenarnya, ada empat orang yang PNS,  namun mereka jarang sekali datang ke sekolah, termasuk kepala sekolahnya. Guru honorer rata-rata hadir dua orang sehari, dan merekalah yang menangani kelas satu sampai enam.

Kondisi itu sudah jauh lebih baik dibanding saat Panca, satu-satunya peserta SM-3T angkatan pertama (2011), ditugaskan di tempat itu. Pada saat itu, di Salura baru ada SD saja. Tidak ada layanan kesehatan sama sekali atau puskesmas. Tidak ada tenaga medis. Sempat sebelum berangkat ke Salura, saat pelepasan di Gedung Nasional Waingapu, Panca bertanya pada saya.
"Ibu, di Salura, tidak ada puskesmas. Bagaimana kalau saya sakit?"
Saya tidak bisa menjawab, sempat was-was juga, ya, bagaimana kalau Panca sakit?
"Saya baru saja sakit, Ibu, dan masih pada tahap pemulihan." Jelas Panca.
Tapi tiba-tiba saja saya menemukan jawaban yang tepat. "Kamu jangan sakit ya? Kamu harus sehat. Tidak boleh sakit."
Dan berangkatlah Panca naik oto dengan iringan lambaian tangan dan doa saya.

Itu tiga tahun yang lalu. Saat ini, Salura sudah memiliki puskesmas, dan ada seorang bidan desa dan perawat pembantu.

Namun murid-murid di sekolah dasar itu, aduh, sedih melihatnya. Penampilan mereka, maaf, kotor, dengan baju seragam yang juga kotor dan bahkan koyak-moyak, sebuah buku dan pensil. Belum lagi kemampuan baca tulis mereka, sangat memprihatinkan. Saya sempat melihat anak-anak itu belajar dan melihat buku catatan mereka. Benar-benar prihatin sekali melihat kondisi mereka.

Murid-murid SMP, penampilan mereka lebih bersih. Mereka berseragam, pada umumnya cukup rapi. Meski kelas mereka terbatas, hanya dua lokal, dan pembelajaran juga dengan kelas rangkap, tapi mereka mempunyai lab mini, alat-alat olah raga, dan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Ruang kelas yang hanya ada dua ruang itu, satu kelas untuk kelas 7 dan 8, satu ruang untuk kelas 9, digabung dengan lab mini dan perpustakaan mini.

Kepala sekolah SMP, Bapak Heri, merupakan figur kepala sekolah yang rajin dan penuh komitmen. Dia berasal dari Muncar, Banyuwangi, dan keluarganya sampai saat ini masih tinggal di Pasuruan. Dia tinggal bersama seorang guru bantu (Pak Yanus), dan empat orang guru SM-3T, di mes sekolah yang merangkap menjadi kantor sekolah. 

Mes itu sebenarnya bukan mes sekolah. Dia adalah rumah petak berukuran sekitar 4 x 6 meter, milik penduduk setempat, berdinding kayu dan berlantai tanah. Rumah itu disekat-sekat untuk kamar, dapur, dan ruang multifungsi. Dua orang guru SM-3T perempuan menempati satu kamar, sedang para lelaki menempati ruang multifungsi. Kerja di situ, makan di situ, tidur di situ. Ada sebuah tikar yang digelar, dan di sepanjang dinding kayu rumah itu bertumpuk buku-buku, pakaian, bahan makanan, dan dos-dos entah berisi apa. 

Jadi di rumah kecil itu, ada enam orang penghuni, dua guru perempuan, dan empat guru laki-laki. Sungguh tak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup dalam kondisi semacam itu selama setahun.

Kunjungan saya ke Salura, selain dalam rangka monev SM-3T, juga untuk melihat perkembangan pendidikan di pulau kecil ini. Sekaligus memastikan kondisi anak-anak kami, para peserta SM-3T. Mereka adalah Wahyudi, Nugroho, Pratiwi dan Abidah. Mereka dari prodi Pendidikan Fisika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan PAUD.

Kegiatan guru-guru SM-3T itu begitu padat. Meski pun Pratiwi dan Abidah dari Prodi PAUD, mereka tidak hanya mengajar di PAUD yang masuknya setiap hari mulai Senin sampai Jumat. Selesai mengajar di PAUD sekitar pukul 10.00, mereka ikut membantu mengajar di SD sampai pukul 13.00. Setelah itu, lepas ashar, mereka berempat berbagi tugas mengajar mengaji di TPA, dan bersama-sama salat maghrib dan isya berjamaah.

Sore itu, saya ikut bergabung di TPA. Ikut mengajari anak-anak Salura mengaji. Hampir semuanya masih mengenali saya, yang sekitar setahun yang lalu berkunjung di tempat ini. Alhamdulilah, bapak ibu saya mewajibkan saya mengaji setiap hari, dan beliau berdualah guru mengaji saya sejak kecil. Sehingga insyaallah saya layak membantu Abidah dan kawan-kawan mengajari mengaji anak-anak Salura ini. 

Sekitar lima puluh anak itu terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok anak-anak yang mengaji Juz Amma, kelompok lainnya sudah pada level berikutnya. Tapi pada umumnya, anak-anak tingkat lanjut itu mengajinya masih sampai pada surat Al Baqarah. 

Mereka belajar mengaji sejak pukul 17.00 sampai Isya. Jeda untuk salat maghrib dan isya berjamaah. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, belajar atau langsung tidur. Ditemani debur ombak dan desauan angin laut yang mendesis-desis. Begitulah sampai pagi menjelang, dan semuanya kembali beraktifitas. Para anak ke sekolah, para orang tua ke laut atau mengurus rumah.

Bila musim cumi, anak-anak sekolah banyak yang membolos. Benar. Inilah salah satu kendala pendidikan di daerah-daerah tertinggal pada umumnya. Banyak anak usia sekolah yang drop out karena masalah ekonomi. Atau setidaknya, banyak anak sekolah yang membolos pada saat musim tanam, hari pasar, atau musim panen, termasuk panen cumi seperti di Salura. Masalah ekonomi, memang menjadi salah satu kendala terbesar dalam program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Kondisi ini diperparah karena kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih suka anak-anak bekerja dan membantu mencari nafkah untuk keluarga.

Ya, meski kesadaran masyarakat terhadap pendidikan meningkat dengan sangat signifikan, namun kendala-kendala tersebut masih terus dijumpai. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang terus dihadapi oleh para guru SM-3T di mana pun berada.

Kembali ke PAUD Amanah. Sekolah itu dirintis oleh peserta SM-3T Unesa. Benar-benar hasil rintisan peserta SM-3T. Mereka menghimpun anak-anak kecil usia PAUD yang berserakan di mana-mana di kampung nelayan itu, mencarikan tempat bagi mereka untuk bermain dan belajar bersama. 

Tentu tidak mudah pada awalnya. Namun dengan kegigihan dan kesabaran, dengan sepenuh upaya mereka mengetuk hati para orang tua, serta meyakinkan para perangkat desa, akhirnya PAUD amanah itu bisa terbentuk. Dirintis oleh Heri Sampurna dan kawan-kawan (angkatan 2012), dilajutkan oleh Kartika Sari dan kawan-kawan (angkatan 2013), dan akhirnya terus belanjut serta semakin jelas wujudnya oleh kehadiran Abidah dan kawan-kawan (angkatan 2014).

Pagi itu, sebelum ke SD dan SMP, saya mengunjungi PAUD Amanah, dan bermain bersama dengan sekitar empat puluh anak-anak polos yang manis-manis itu. Bersama Abidah dan Pratiwi serta tiga orang bunda yang lain. Tiga orang bunda itu adalah para gadis remaja lulusan SMP yang dikader oleh Abidah dan Pratiwi untuk mengelola PAUD Amanah. Dengan demikian, bila tidak ada guru-guru SM-3T, PAUD Amanah tetap bisa hidup dan bahkan bisa lebih maju.

Saat ini, ketika matahari mulai memancarkan kehangatannya, kita tidak lagi melihat anak-anak kecil berkeliaran di kampung nelayan yang ramai itu. Anak-anak ingusan (dalam arti sebenarnya, karena hidung mereka pada umumnya beringus), kotor, kurang terurus, yang bermain pasir atau berlari-lari di sepanjang pantai. Mereka semua saat ini sudah rapi sejak pagi, dan siap berangkau ke sekolah, belajar bersama teman-teman, di bawah bimbingan para bunda, di PAUD Amanah.

Sedang mentari tetap saja memancarkan kehangatannya
Tersenyum menyaksikan celoteh anak-anak kampung yang riang
Mereka berdendang dan menari bersama
Berlomba mengukir mimpi dan berebut meraih bintang 
Oh, indahnya
Gemerlap mata bening itu adalah gemerlap masa depan...

Pulau Salura, 3 Desember 2014

Wassalam,
LN
  

Rabu, 03 Desember 2014

Sumtim 1: Melaut Bersama 'Orang Gila'

Akhirnya kembali saya jejakkan kaki di tempat ini. Di sebuah desa bernama Katundu, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur. Mendung gelap menggantung di langit. Tidak ada gerimis, tidak ada hujan. Namun angin mengabarkan kalau sebentar lagi hujan akan turun. 

Kami berkemas. Mengeluarkan barang-barang dari mobil, barang-barang yang akan kami bawa menyeberang ke Salura. Buku, majalah Unesa, majalah Al-Falah, alat-alat mandi, nasi bungkus, kue-kue, dan perlengkapan pribadi kami. Membungkus semuanya dengan kantung plastik rapat-rapat. Termasuk membungkus semua gadget dan kamera. Menutup peluang air hujan atau air laut membasahi semuanya.

Saya sudah pernah mengalami pengalaman buruk sepulang dari Salura. Kamera pocket saya rusak. Lensa tidak bisa dibuka-tutup. Ada semacam pasir di sela-selanya. Itulah kenangan saat berlayar ke Salura. Di bawah guyuran gerimis yang rasanya asin, kamera saya terpapar air yang mengandung garam itu. Selesai sudah.

"Pak Heri, apa kita perlu pakai jas hujan?" Tanya saya pada Pak Heri, Kepala Sekolah SMP Satap Salura, sekolah yang akan kami kunjungi. Beliau menjemput kami, dengan membawa perahu yang disewanya bersama pemilik perahunya.

Laki-laki itu menatap ke atas, melihat ke langit, membaca cuaca.

"Sepertinya tidak, Ibu."
"Sepertinya?" Saya balik bertanya. Tidak yakin. Saya tetap mengambil jas hujan. Setidaknya, kalau pun hujan tidak turun, saya memerlukannya untuk melindungi tubuh saya dari terpaan ombak. 

Tapi tiba-tiba gerimis turun.
"Pak Heri, belum-belum sudah membohongi saya?"

Pak Heri tertawa. 
"ini hujan cuma lewat saja, Ibu." 

Begitu kami sudah mengenakan jas hujan, dan bersiap turun menuju perahu, tiba-tiba saya ingat sesuatu.
"Mana pelampung?"
Saifud, koordinator kabupaten peserta SM-3T Sumba Timur, menjawab. "Ada, Bunda. Di perahu. Kemarin saya sudah minta disiapkan. Ada sekitar 10 buah."

Kami bertujuh berjalan menuju perahu. Saya dan Mas Febri (staf PPPG), Mas Oscar (driver), dan empat orang peserta SM-3T: Saifud, Ade, Gangga, dan Bintang. Saifud berjalan mendahului kami, untuk memastikan keberadaan pelampung. Ketika kami hampir sampai di dekat perahu, Saifud memberi tahu, kalau ternyata pelampung tidak disiapkan. 

Mak deg. Saya keder.
"Bagaimana, Bunda?" Tanya Saifud. Wajahnya menggambarkan kekhawatiran kalau saya akan batal menyeberang karena tidak ada pelampung. "Kemarin saya sebenarnya sudah pesan supaya pelampung disiapkan, tetapi ternyata tidak ada satu pun, Bunda. Katanya terlambat menitipkan ke perahu."

Saya melempar pandangan ke Pak Heri yang sudah ada di dalam perahu. 

"Pak, nggak bawa pelampung?" Tanya saya.
Pak Heri menggeleng, "Tidak apa-apa, Ibu. Aman." Laki-laki asli Muncar, Banyuwangi itu tersenyum, meyakinkan. Tapi di mata saya, dia seperti sedang menyeringai. Bisa-bisanya tidak bawa pelampung? Ini Samudra Hindia. Menyeberang dengan perahu nelayan kecil lagi. Hadeh.

Saya jadi ingat saat di Waisai, Raja Ampat. Pagi hari, sekedar mengisi waktu, saya berjalan ke pantai. Menikmati semilir angin dan melihat laut. Gelombang cukup besar, dan saya lihat ada perahu-perahu nelayan yang tetap melaut. Menuju ke tengah samudra. Gila. Cari mati apa mereka? Kapal sekecil itu? Tanya saya. Tapi mereka benar-benar melaju. Membelah samudra luas. Saya memandanginya terus, sampai perahu itu berubah jadi titik kecil yang akhirnya juga hilang, tak terlihat. 

Dan saat ini, saya menjadi bagian dari kegilaan itu. Mengarungi Samudra Hindia, dengan perahu nelayan. Tanpa pelampung. Kalau terjadi apa-apa, entahlah. Saya bayangkan, kalau masih pakai pelampung, setidaknya saya masih bisa kampul-kampul... 

Di Jawa, perahu kecil itu biasa disebut jukung. Di Salura, disebut perahu cumi, karena fungsi utamanya untuk mencari cumi.

Tentu saja saya tidak mungkin mundur. Langkah maju sudah diambil, tak akan surut. Ini bukan masalah malu. Tapi perjalanan sejauh ini, sejak dari Surabaya sehari sebelumnya, dilanjutkan dengan enam jam dari Waingapu pagi tadi, terlalu berharga untuk diabaikan, hanya karena tidak ada pelampung. Lihatlah wajah-wajah itu. Penuh optimisme. Bahkan anak kecil yang tak berbaju itu. Juga seorang mama berkerudung. Mereka tak ada rasa gentar sedikit pun meski tidak pakai pelampung. Tapi....ya, ini memang dunia mereka. Mereka sudah terlahir di sini, dengan kondisi alam yang telah selama hidup mereka akrabi. Sedangkan saya? Oh Tuhan....

Saya mengumpulkan kekuatan. Menceburkan kaki ke laut. Melompat masuk perahu dengan penuh keyakinan. Duduk di bagian belakang, berdampingan dengan Ade, gadis peserta SM-3T yang turut mendampingi kami sejak dari Waingapu. Di depan saya, duduk berhimpitan Mas Oscar dan Saifud. Di depan lagi, anak laki-laki belasan tahun, duduk berdampingan dengan Kakak Arni, perawat di Puskesmas Pembantu di Salura. Di depannya lagi, dua orang tukang perahu. Di depannya lagi, entah siapa, mungkin penumpang kapal. Hari ini adalah hari pasar di Katundu, sehingga ada beberapa penumpang lain selain kami, dengan tujuan Salura. Di depan lagi, Gangga dan Bintang. Pak Heri duduk sendirian persis di belakang saya dan Ade.

Perahu ini langsing sekali. Bila dua orang duduk berdampingan, tidak ada lgi space di samping kanan-kiri, pas untuk berdua. Perahu sekecil ini, ditumpangi tiga belas orang. Benar-benar gila. Entah ini berani atau konyol, atau keduanya. Setidaknya saya jadi semakin percaya dengan lagu lama itu. Nenek moyangku....seorang pelaut... 

Perahu pun melaju. Saya tahu, kami membutuhkan waktu sekitar satu jam seperempat untuk sampai di Salura. Ini penyeberangan kedua bagi saya. Penyeberangan pertama dulu juga dalam rangka monev SM-3T seperti sekarang ini. Namun, sebagaimana setahun yang lalu, menit demi menit seperti berjalan begitu lambat. Perahu seolah tidak bergerak. Meski begitu, laut yang hitam, sehitam mendung yang menggayut di langit, dan puncak-puncak bukit yang tersamarkan oleh kabut tebal, tak membuat hati saya ciut. Malah justeru pasrah. Menyerahkan keselamatan diri sepenuhnya pada perlindunga-Nya. Saya sudah sering mengalami situasi semacam ini. Kepasrahan total ternyata memberikan ketenangan. Ya, apa saja bisa terjadi memang. Tapi saya yakin, Allah akan melindungi perjalanan kami.

Saat mencapai separo perjalanan, hujan turun dengan deras. Sebagian dari kami menggigil kedinginan. Kilat menyambar-nyambar. Tapi dua orang tukang perahu itu hanya menggeleng-nggelengkan kepala, sambil tersenyum. Sesekali mereka melihat ke langit, menerka cuaca. Menggeleng-gelengkan kepala lagi. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya berdoa, semoga hanya hujan saja. Sederas apa pun, semoga hanya hujan saja, tanpa disertai badai.

"Ini benar-benar hujan lewat." Kata Pak Heri, menyadari kesalahan prediksinya tadi. Ya, hujan deras yang lewat, namun terus singgah. Singgahnya lama lagi. Hidung saya semakin mampet. Saya memang sedang flu, dan paparan air hujan asin yang terus-menerus menerpa wajah saya benar-benar membuat saya seperti kehilangan lubang hidung.

Tak berapa lama, mesin di bagian kanan perahu tiba-tiba mati.
"Oli, oli." Teriak pak Heri.
Tukang perahu mencari oli. Di bawah kaki-kaki para penumpangnya. Ternyata ketemu di bawah kaki saya. Subhanallah. Ternyata saya benar-benar melaut bersama orang-orang gila. Oli yag begitu pentingnya saja sembarangan meletakkannya. 

Setelah pada bagian-bagian tertentu mesin perahu itu dituangi oli, perahu berjalan lagi. Normal. Karena hujan tak juga mereda, mesin bagian kanan depan ditutup plastik. Sedangkan mesin di sebelah kiri, tidak ditutup, tapi Pak Heri mengungkitnya dengan menggunakan dayung. Rupanya permukaan air yang menaik, menyebabkan mesin terlalu dekat dengan air, dan harus diungkit supaya tidak bersentuhan dengan air laut. 

Akhirnya nampaklah garis pantai dari kejauhan. Pasirnya yang putih terlihat muncul tenggelam, seirama dengan goyangan perahu yang diterpa ombak. Warna kelabu yang menutup permukaan pulau menandakan kalau pantai masih jauh. Air laut, sejauh mata memandang, masih tetap hitam legam, tanda laut dalam. Warna hijau kebiruan tak juga terlihat.

Sampai akhirnya tibalah saat yang kami tunggu. Air laut berangsur berubah menjadi biru, lantas hijau. Dasar laut yang putih nampak meski samar. Pasir putih di depan sana semakin dekat, dan pulau yang berkabut itu sudah mulai terlihat konturnya, pohon-pohonnya, lekukan garis pantainya. 

Di daratan, sekelompok orang sudah menunggu. Salah satu di antaranya adalah Wahyudi, guru SM-3T dari Prodi Pendidikan Fisika, yang bertugas di SMP Satap Salura. Dia datang bersama anak muridnya, lengkap dengan gerobak yang akan mengangkut bagasi kami.

Alhamdulilah, Ya Allah. Kau lindungi kami semua dalam perjalanan ini. 

Salura, akhirnya...

Salura, 2 Desember 2014

Wassalam,
LN