Pages

Minggu, 07 Juni 2015

Surat Untuk Rheza di MBD

Assalamualaikum, Rheza. Semoga kamu dan kawan-kawan selalu dalam keadaan sehat dan tetap bersemangat dalam mendampingi anak-anak didik kalian. Semoga kalian selalu menjadi sosok-sosok yang mereka rindukan.

Rheza, ini adalah kali ke sekian saya mencoba menulis untukmu. Mencoba membalas suratmu yang saya terima lebih dari sebulan yang lalu. Beberapa kali saya coba menulis, mata saya selalu kabur dipenuhi air mata dan saya tidak kuasa melanjutkan. Suratmu telah membawa saya pada situasi yang bercampur-aduk, antara bangga, sedih, merasa bersalah, dan mungkin juga trauma.

Terbayang semuanya, bagaimana rasa kehilangan kamu dan kawan-kawan karena kepergian Isnaeni. Upaya kalian untuk menemukan seorang sahabat seperjuangan yang hilang di keluasan samudera, begitu jelas tergambar di pelupuk mata. Kalian menyisiri tempat-tempat yang memberi harapan akan keberadaannya, apa pun yang terjadi. Kalian bertekad untuk menemukannya, dalam keadaan hidup atau mati. Dalam kondisi lelah fisik dan mental, kalian terus mencari, dengan hati yang hancur namun penuh harap.

Rheza, seringkali saya bertanya-tanya, sudah benarkan kami menugaskan kalian ke tempat-tempat terpencil yang penuh dengan tantangan itu? Sudah tepatkah keputusan kami memilih anak-anak muda yang kami nilai mampu mengabdi di daerah-daerah tersebut? Tidakkah itu terlalu berat bagi mereka? Tidakkah itu merupakan beban yang berlebihan bagi pundak-pundak muda mereka?

Termasuk keputusan kami untuk menugaskan kamu ke Maluku Barat Daya (MBD), ke sebuah pulau terpencil bernama Mdona Hyera. Saya melihat kamu adalah sosok yang kuat, bertahun-tahun tertempa dalam organisasi pecinta alam yang memberimu pengalaman berat secara fisik dan mental. Kamu pasti bisa menghadapi rintangan seberat apa pun. Saya yakin kamu mampu menghadapinya. Dan keyakinan saya itu benar. Kamu berjuang dengan segala yang kamu punya, dengan segala tenaga dan pikiran kamu, untuk mendidik anak-anak murid kamu. Kamu berjuang mengatasi semua rintangan yang datang dari segala penjuru, berupa sakit, minimnya dukungan masyarakat, dan juga rasa rindumu pada kampung halaman. Kamu terus berjuang meski dengan hati yang diliputi kesedihan dan ketakutan. Kamu tetap tegar meski air mata tumpah karena kepedihan demi kepedihan yang terus-menerus bergantian menerpamu. 

Puncaknya adalah saat musibah itu terjadi menimpa Isnaeni. Tahukah kamu, Rheza, sampai saat ini, saya masih terngiang-ngiang suara Wahyu Puspita yang menelepon dari Tiakur mengabarkan musibah itu. Tangisnya menyiratkan betapa sedih dan hancur hatinya. Juga suara parau ayahanda Isnaeni, Bapak Ali Mashar, saat saya mengabarkan bahwa Isaneni tenggelam dan sedang dalam pencarian. Di antara riuh-rendah suara anak-anak muridnya, beliau mendengarkan penjelasan saya, dan dengan suaranya yang tertahan-tahan karena kesedihan, beliau menanyakan bagaimana kejadian musibah itu. Juga mengamini, saat saya melantunkan doa, semoga Isnaeni segera ditemukan dalam keadaan selamat.

Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti paham betul, program SM-3T ini adalah program yang sangat berisiko. Medan yang begitu berat, budaya masyarakat yang masih sangat tradisional, malaria yang mengancam tak kenal waktu, dan kerinduan yang tak tertanggungkan pada kampung halaman. Sepanjang pengalaman saya mendampingi program ini, malaria adalah makanan wajib bagi kalian. Kalian jatuh bangun karena penyakit endemik ini, bahkan nyaris kehilangan nyawa karenanya. Penyakit ini membuntuti kalian ke mana pun kalian pergi. Menunggu kalian di setiap sudut mana pun yang kalian jangkau. Menggerogoti fisik dan mental kalian, membuat kalian nyaris putus asa. 

Namun semangat untuk berjuang dan mengabdi itu seperti menjadi nyawa cadangan kalian, yang membuat kalian tetap bisa bertahan hidup. Suara anak didik yang memanggil-manggil kalian dengan sebutan 'pak guru' dan 'bu guru' adalah suara dari surga yang membangkitkan asa dan menyalakan api perjuangan kalian. Dalam kondisi antara hidup dan mati, kalian dibawa melintasi bukit dan menembus belantara serta menyeberangi samudera, mencari pertolongan untuk menyelamatkan nyawa kalian. Hanya api perjuangan itulah, yang terus dihembuskan oleh Dzat Yang Maha Kuasa di dalam relung-relung hati dan mengaliri darah di seluruh tubuh kalian, yang membuat kalian selalu hidup, dan bersedia selalu ada untuk anak-anak itu.  

Tidak hanya malaria. Swanggi, nai, dan banyak hal magis lain, juga melolosi sedikit demi sedikit kekuatan kalian. Tiba-tiba saja sekujur tubuh kalian terpapar sakit yang tak jelas namanya, sakit yang merusak kulit, menyakiti perut, membuat kepala kalian berat, tubuh lemas, bahkan merusak jiwa dan pikiran kalian. Kadangkala darah keluar dari mulut dan hidung, tak henti-henti, dan tak ada ahli medis mana pun yang bisa menghentikannya. Akhirnya  kalian harus dievakuasi dan diberi perlakuan khusus untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental kalian. 

Astaghfirullah. Saya seringkali hanya bisa terpekur dengan semua yang terjadi, merasa prihatin, berdosa, dan trauma. Saya hanyalah seorang ibu, yang tidak tahan saat mendengar kepedihan dan ketakutan anak-anaknya, lebih-lebih karena saya juga mengambil peran dalam semua kepedihan dan ketakutan kalian. Saya hanya bisa menyapa kalian dengan doa-doa saya, menghibur kalian dengan kata-kata manis saya, dan menyemangati kalian dengan keyakinan penuh bahwa kalian akan cepat pulih dan semuanya akan kembali baik-baik saja. 

Ternyata tidak sampai di situ. Tiba-tiba saja musibah itu terjadi. Isnaeni tenggelam saat menumpang perahu yang akan membawanya menunaikan tugas. Empat hari kemudian jenazahnya baru ditemukan. Ya Allah, maafkan hamba-Mu. Sayalah yang paling bersalah dalam musibah ini. Sayalah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Saya yakini semua musibah semata-mata karena takdir-Mu. Namun, Ya Allah, sayalah yang mengambil keputusan ke mana saya harus menugaskan mereka. Adakah keputusan yang saya ambil ini atas bimbingan-Mu, Tuhan? Bila demikian, maka bimbinglah juga mereka selalu dalam lindungan-Mu, jauhkan mereka dari penyakit dan segala marabahaya. Izinkan mereka kembali pulang, tetap dengan seutuhnya kesehatan dan kekuatan mereka, dan bertemu kembali dengan keluarga dan kampung halaman.

Rheza, jujur, benak saya dipenuhi rasa bersalah. Dalam sisa ketegaran yang saya punya, saya berusaha untuk menghibur diri sendiri. Program ini adalah program mulia. Ada jiwa-jiwa kecil yang memerlukan uluran tangan kita. Kalianlah yang mereka tunggu. Pak Guru dan Ibu Guru yang mengajar dengan hati. Yang tak pernah menampakkan raut muka marah di wajahnya. Yang tak pernah membawa rotan di tangannya. Yang selalu ada untuk mendengar cerita dan keluh-kesah mereka. Yang merangkul tubuh-tubuh kecil dekil itu dengan sepenuh cinta. Dan selalu meyemaikan cita-cita dan masa depan yang indah.

Program ini merupakan harapan kita. Tidak hanya untuk mengatasi kekurangan guru dan disparitas pembangunan pendidikan di republik yang luas ini. Namun juga untuk membangun ke-Indonesiaan. Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti sudah melihat dengan mata kepala kalian sendiri, betapa anak-anak dan masyarakat di wilayah-wilayah 3T itu begitu rindu akan sentuhan, haus akan sapaan. Mereka juga menghadapi ancaman disintegrasi dan seringkali berada dalam situasi  tertekan karena kondisi keamanan yang parah. 

Dan kalian, adalah para pendamai bagi mereka. Duta NKRI. Kalian adalah bukti bahwa sesungguhnya NKRI tidak melupakan mereka. Ya, kalianlah buktinya. Kalian datang untuk menyapa dan memberi sentuhan. Mengetuk hati setiap jiwa yang kosong, mengisinya penuh-penuh dengan semangat hidup dan keceriaan. Kalian seperti pelita yang menyala menerangi kegelapan yang telah bertahun-tahun melingkupi mereka. 

Seperti itu, tegakah kita mengabaikannya? Tegakah kita menutup mata dan tak memerdulikannya? Seringkali kita jengkel dengan sambutan pejabat pemerintah daerah yang tidak simpatik, jengkel pada sikap tak kooperatif guru-guru asli daerah setempat. Namun teriakan anak-anak itu seperti memanggil-manggil kita untuk mendekat dan memeluk mereka. 

Jadilah kita semua berada di sini, berkomitmen pada program ini. Apa pun yang terjadi, kita harus turun. Menjejakkan kaki di tanah-tanah terdepan dan terluar itu, meski nyawa taruhannya. Isnaeni bukanlah yang pertama merelakan hidupnya untuk program ini. Ada nama-nama lain yang telah mendahului. Dan mereka semua gugur sebagai pahlawan, sebagai syuhada. 

Meski kesedihan kita begitu berat, namun kita sudah bertekad, perjuangan harus terus berlanjut. Tak ada kata mundur. Isnaeni dan semua yang telah pergi akan berbangga karena kita tetap melanjutkan perjuangan mereka. 

Rheza, saya bersyukur, kamu dan kawan-kawan seperjuanganmu begitu kuat, begitu tegar. Kalian mengendapkan keraguan dan rasa bersalah saya. Kalian menghapus kepedihan dan trauma di hati saya. Bersama kalian, saya yakin, kita akan kuat menghadapi segalanya. 

Saya juga bersyukur, Rheza, kamu bisa bertahan untuk tetap tidak mau terlibat dalam kecurangan UN. Meski kepala sekolah mempersoalkan keteguhanmu untuk tidak mau membuat jawaban soal-soal UN, dan guru-guru menyindirmu dengan sindiran-sindiran pedas, kamu bergeming. Hebat, Rheza, kamu hebat. Tidak banyak anak muda yang setegar kamu dalam urusan UN. Saya bangga dan sangat respek padamu.  

Demikianlah, Rheza, maka telah kubalas suratmu. Lega rasanya bisa menuntaskan ini. Terima kasih sudah menjadi bagian dari program pengabdian ini. Terima kasih untuk kalian semua yang punya jiwa keterpanggilan dan kesepenuh hatian untuk melayani. Kalian adalah mutiara indah yang dimiliki negeri ini. Teruslah bersinar dan teruslah menyinari. 

Rheza, salam hangat dan rinduku untukmu dan untuk kalian semua. Tiga bulan lagi kita bertemu, semoga kalian semua baik-baik saja. Tetap dengan semangat mengabdi dan memelihara cita-cita kalian sebagai guru. 

Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan meridhoi setiap langkah kita. Amin YRA.

Salam hangat,
Mbak Ella

Bidakara Hotel, Jakarta, 4 Juni 2015 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...