Oleh Luthfiyah Nurlaela
Pendahuluan
Istilah pendidikan karakter sudah
banyak dikupas di berbagai kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan,
lebih-lebih sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam
rangka membangun bangsa dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional
telah mencanangkan pendidikan
karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010.
Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak
anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama
dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas sendiri,
pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang
dibinannya.
Pendidikan
karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan
keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan
Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia
seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi
hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan
peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan
sehat, peduli, dan kreatif. Karakter
tersebut diharapkan menjadi kepribadian
utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir,
raga, serta rasa dan karsa.
Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah
yang baru. Bahkan sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan
hidup adalah ‘barang lama’. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an
pemerintah, dalam hal ini departemen
pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan hidup (PKH) yang
kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Konsep
yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah kandas di tengah jalan. Meskipun
para pakar pendidikan terus menggaungkan PKH, namun pada taraf implementasinya,
PKH mengalami banyak kendala karena berbagai alasan.
Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara
pendidikan karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan
perubahan-perubahan, yang sebenarnya perubahan tersebut hanyalah ’memoles’
barang lama menjadi barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan
pembungkus yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini
sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para
Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa,
sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara
ini tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini
dinamakan pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan
sebagainya. Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana
membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bisa
hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun mereka berada.
Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut tidak akan dapat
diperoleh.
Apakah Pendidikan Karakter?
Sebelum
menguraikan pengertian pendidikan
karakter, perlu disepakati dahulu pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani:
charakter) berarti ‘tanda-tanda abadi’. Tanda-tanda yang melekat pada
diri individu, yang membedakan individu satu dari lainnya. Pengertian karakter
dalam hal ini adalah karakter baik, dan membangun karakter berarti membangun
sifat-sifat positif, terhormat, dan etika yang baik. Sifat-sifat yang
melibatkan aturan berperilaku baik dan mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya
dapat terjadi melalui suatu praktik yang berulang.
Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas
seseorang.
Sebagian orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang lebih bersifat behavioral. Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik
psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan
seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter terdiri
dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu hal
secara benar atau tidak.
Berkowitz (dalam
Damon, 2002) mendefinisikan
karakter sebagai anatomi moral. Berkowitz meyakini
bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik
psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang
membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup tujuh
bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi
moral, pertimbangan atau pemikiran
moral, identitas moral, dan karakteristik dasar.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan
pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk
memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun
2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang
cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan
lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Secara
akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak,
atau pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena
itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral
feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991).
Secara
praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan
kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan,
maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil).
Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai
komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus,
pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana
dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar
pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika
inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik,
(2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan,
dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif
dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh
perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat
kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan
mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas
pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter
dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan
siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka
panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota
masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh
mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Di
dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu hasil
belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang pernah
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: “pendidikan adalah daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Namun kenyataannya,
aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan. Karakter lebih
banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant
effects), dan bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect).
Dari
sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan
tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun
siswa dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian
Nur, dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses
sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi
pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menumbuhkan
keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk (1997)
menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan menjadi penumpukan
fakta, konsep, dan teori semata.
Berdasarkan
kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu pentingnya pembangunan
karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka program pembangunan karakter
bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar menjadi tujuan pembelajaran,
sebagaimana aspek lain (kognitif dan psikomotorik).
Agar
aspek karakter benar-benar menjadi instructional
effect, maka pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara
tentang perancangan pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus
sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran
tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan
pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam
indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan
pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati
oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk mengukur
apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh karakter yang telah
dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan penilaian/asesmen
yang akan digunakan.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan
nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab,
dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja
pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai
basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan
karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya
dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari,
mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya
sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi
nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).
Apakah Pendidikan kecakapan Hidup?
Bertumpu
pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan, tantangan,
serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat bahwa: (1)
pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas,
bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2) pendidikan harus
berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3) pendidikan harus mampu
memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas, bukan sebagian kecil
masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan cocok dengan keadaan dan
kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5) pembelajaran harus diarahkan untuk
menyantuni pembelajar agar mampu hidup mandiri dan otonom dalam hidup dan
kehidupan masing-masing, bukan hanya memiliki kepandaian akademis-intelektual,
(6) sekolah harus senantiasa terlibat dalam perubahan masyarakat, dan (7)
sekolah juga merupakan lembaga pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan
oleh masyarakat luas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan
ilmu pengetahuan teoritis-akademis semata.
Sebagai konsekuensi dari
pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian antara lain pendidikan
kecakapan hidup. Berbagai negara di
dunia saat ini sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup
dengan bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia
juga secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan
pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan berbasis
masyarakat luas.
Menurut
Departemen Pendidikan Nasional (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan
secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif
mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam
pandangan Kendall dan Marzano (1997),
kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang
bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan
untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup
merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk
berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari,
tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa
bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan
techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus
skills of being.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup
lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima , yaitu: (1) kecakapan
mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal
skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3)
kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic
skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).
Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General
Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific
Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS,
antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial,
kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara
terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002; Samani,
2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan
tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan
aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan
individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek
pendukung tersebut di atas.
Tujuan pendidikan kecakapan hidup
adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan
potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang.
Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1)
mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk
memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah
untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip
pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di
lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada
di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas,
2002).
Pendidikan kecakapan hidup bukanlah
membentuk mata pelajaran-mata pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai
mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia
berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip
mendasar dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak
mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan
mengubah kurikulum, sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum
untuk diorientasikan pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa
dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip
tersebut, maka pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran
tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran
yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.
Walaupun pelaksanaan pendidikan
kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan dengan kondisi anak dan
lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Prinsip-prinsip
umum yang khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, selain
ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1) pembelajaran menggunakan prinsip
learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to
live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan menerapkan
manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah sekitar sekolah dapat
direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip
pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad based education,
(4) paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar
kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan
kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan pendidikan senantiasa
diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat dan berkualitas;
mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta memiliki akses untuk mampu
memenuhi standar hidupnya secara layak (Depdiknas, 2002).
Relevan dengan pendapat di atas,
prinsip umum implementasi pendidikan kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak
harus atau tidak perlu mengubah bangun dasar atau sistem pendidikan nasional
yang sekarang berlaku; ini mesyaratkan
format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang fleksibel dan
bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum formal dan
ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional dapat
disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup,
(3) harus mengedepankan paradigma learning for life and school to work yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti membutuhkan suatu kajian
kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada masa depan, (4) harus
mengedepankan paradigma learning from the people atau kearifan
masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan mereka; ini memerlukan
inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan masyarakat setempat dalam
mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan hidup dan kehidupan, (5) harus
mengutamakan paradigma pendidikan berbasis komunitas atau pendidikan masyarakat
luas (community based learning atau broad based education).
Implementasi PKH dan
Kendalanya
Implementasi
pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain
adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit
(Saryono, 2002). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup
melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan
atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran
yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan
kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata
pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan
menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini
berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan.
Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan
tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
Dalam model komplementatif,
implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke
dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan mata
pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan
hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup
dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri,
guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar.
Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru
selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan
secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.
Dalam
model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan
dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata
pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan
program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta
didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga
berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang,
ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model
ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun
demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik
secara komprehensif dan leluasa.
Model manapun yang dipilih, yang
penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya
adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa
mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini
dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa. Model pembelajaran yang dimaksud adalah
model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran
yang membuat siswa melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi,
komunikasi, dan refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh
pengalaman langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera
daripada hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan
dimiliki oleh siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan
orang lain, misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan
komunikasi merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik
secara lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam
rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang
mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang
itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga
memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud refleksi. Refleksi ini
dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.
Temuan dari Tim Peneliti Universitas
Negeri Malang (2002) mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan kecakapan
hidup di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor internal yang berasal dari guru,
sistem sekolah, kurikulum, serta fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan
faktor penghambat yang utama. Faktor penghambat yang lain juga termasuk faktor
eksternal yang berasal dari dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia
usaha/industri, dan dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan
bahwa menurut peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai
penghambat, disusul berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas,
dukungan pemerintah, dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial
budaya.
Faktor penghambat dari guru meliputi
guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam
mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk
berkembang rendah, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat
sistem sekolah meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan
pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu
dalam pembinaan keterampilan siswa.
Selanjutnya faktor penghambat
kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang sesuai dengan aset unggulan
daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah kepada pendidikan kecakapan
hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa. Faktor penghambat dari sisi
fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas yang ada kurang
mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak merata antara sekolah
meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.
Sementara itu faktor penghambat
dukungan pemerintah meliputi bantuan dana tidak merata, relatif kecil, nara
sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit, bantuan yang ada kurang
mendukung pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup, pola dukungan sering
berubah-ubah, dan ambivalensi antara Depdiknas dengan Departemen Agama pada
pengelolaan pendidikan dasar dan menengah.
Sedangkan faktor penghambat dukungan
dunia industri adalah meliputi keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia
usahja/industri di daerah, merasa tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja
sama yang jelas, alokasi waktu sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak
seiring dan tidak ada koordinasi. Kemudian mengenai faktor penghambat
sosial/budaya adalah meliputi tatanan sosial/budaya yang tidak mendukung siswa
sekolah bekerja, tidak memahami pendidikan kecakapan hidup, serta masih
berorientasi pada perolehan gelar sesudah selesai sekolah. Penghambat dari
orang tua meliputi kebanyakan berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan
tinggi kurang sadar, tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir
berorientasi pada gelar kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak
memperoleh kecakapan hidup rendah.
Berangkat dari pengalaman, sebagian
besar sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA, memaknai PKH identik dengan
pemberian keterampilan kepada siswa, misalnya keterampilan menjahit,
elektronika, berkebun, dan sebagainya. Banyak sekolah yang tidak memahami bahwa
mengembangkan kepribadian siswa adalah juga merupakan bagian dari PKH.
Membimbing siswa untuk berperilaku jujur, bertanggung-jawab, mampu bekerja
sama, peduli dan empati, serta mampu bekerja keras, jarang dipahami sebagai
bagian dari PKH.
Penutup: Antisipasi untuk Pendidikan
Karakter
Belajar
dari pengalaman implementasi PKH, jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang
dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup,
baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Pendidikan
karakter perlu mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin juga tidak akan
jauh berbeda. Banyak program yang
awalnya tampak begitu ideal, namun kandas di tengah jalan pada tahap
implementasinya. Sebut saja Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (yang salah satu
bentuknya adalah PKH ini), Manajemen Berbasis Sekolah, dan beberapa program
lain yang terkesan hanya dilaksanakan dengan ‘setengah hati’. Seringkali
program yang pada awal implementasinya sudah sangat baik, tiba-tiba ‘dikebiri’
oleh adanya kebijakan-kebijakan baru yang ‘agak’ atau bahkan kontradiktif
dengan kebijakan yang sedang diterapkan.
Terdapat
benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya melulu
mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills)
kepada siswa, namun juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana
pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru.
Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan mencakup
juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi, berpikir
rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal
tersebut identik dengan GLS. Dengan kata
lain, seandainya konsep PKH yang sudah sangat bagus itu benar-benar
diimplementasikan dengan sepenuh hati, maka karakter-karakter positif dan utama
(jujur, cerdas, peduli, dan tangguh) yang saat ini diusung oleh pendidikan
karakter tersebut, sudah dapat dirasakan hasilnya. Setidaknya, setelah lebih
dari satu dasawarsa, implementasi konsep tersebut sudah menunjukkan ‘sedikit’
bukti keberhasilan dan memberikan manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti
itu yang terjadi, dan bahkan konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa
bekas.
Memperhatikan
kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan karakter di
sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan
pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) mengenai
pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting karena berdasarkan uraian di
atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu penghambat utama, yang antara
lain karena guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional
dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam
mengembangkan diri.
Tentu
saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi (2010)
menegaskan, pendidikan
karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang
didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan
perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan
prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.
Daftar Pustaka
Bashori, K.
2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa.
Diakses 10 September 2010.
Berkowitz, Marvin W. 2002. “The Science
of Character Education”, dalam William Damon( ed.), Bringing in a New Era
in Character Education. California: Hoover Institution Press.
Blazely, Lloyd D. Et. All. 1997. Science Study. Jakarta: The Japan Grant
Foundation.
Brolin,
D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston VA :
The Council for Exepctional Children.
Depdiknas.
2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II, dan III. Jakarta : Depdiknas.
Dinas
Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup dengan
Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung : CV Dwi Rama.
Dinas
Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun 2000/2001. Surabaya : Dinas
Pendidikan Jawa Timur.
Kendall,
John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium of
Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora ,
Colorado , USA :
Mc REL Mid – Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria , Virginia , USA : ASCD.
Samani,
Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan
Bermakna. Surabaya :
SIC.
Samani,
Muchlas. 2011. “Merenungkan Kembali Arah Pendidikan.” Dalam Rekonstuksi Pendidikan. Surabaya :
Unesa University Press.
Saryono,
Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan Implementasinya di
Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem Pendidikan Dasar dan
Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11 November 2002,
Universitas Negeri Malang.
Tim
Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan
Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang
bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.
Zuhdi, Darmiyati, dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan pendekatan
Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press.
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...