Pages

Senin, 04 Agustus 2014

Muhibah Lebaran (3): Jangan Percaya Google Map

Pukul 08.30, kami berangkat dari Hotel Dana, Solo, tempat kami transit semalam. Kami meluncur ke arah Purwodadi. Persis saat adzan dhuhur, kami tiba di rumah Pak Leksono, dosen PKK Unesa, teman seperjuangan saya. Pak Leksono adalah teman seangkatan saya di Tata Boga, yang sekarang juga sekantor dengan saya. Ini kali kedua kami mengunjungi rumahnya di Desa Bugel, Kecamatan Godong, Kabupaten Purwodadi. Kunjungan pertama kami sudah beberapa tahun yang lalu, juga dalam rangka muhibah lebaran seperti ini. Pak Leksono dan keluarganya nampak bahagia sekali karena kunjungan kami. 

Selepas makan siang dengan menu mi kocok dan bakso yang lezat, jualannya adik Pak Leksono sendiri, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami tentu saja ke Rembang, ke rumah bulik Muhsinah, adik ibu, istri almarhum Kyai Cholil Bisri. Seperti Solo dan Boyolali, Rembang juga banyak menyimpan kenangan masa kecil saya.

Menjelang maghrib, kami tiba di rumah Bulik Muhsinah, di Kompleks Pondok Pesantren Roudhotul Thalibin. Mobil kami parkir persis di samping kiri rumah. Beberapa santri kami lihat tersebar di beberapa tempat, di pintu samping kiri, di teras masjid, dan di depan rumah Gus Mus (Mustofa Bisri) di seberang jalan. 

Saat melintasi teras, kami sempat melihat dik Yahya, putra pertama Lik Ying (panggilan akrab Kyai Cholil Bisri), sedang njagongi para tamu di ruang tengah. Kami terus saja, menuju pintu samping sebelah kanan, pintu untuk para keluarga dan kerabat dekat. Bertemu dengan dik Inab, adik Dik Yahya, yang akan keluar sowan-sowan. Begitu melihat saya, dia teriak "Innalilah..." Dia menghambur memeluk saya. "Mbak Luluk....suweneng aku, suweeee gak ketemu...".
"Lha suwe gak ketemu kok innalillah." Kata saya.
"Haha...yo ngono iku, Mbak, aku lek surprise mbengokku keliru...haha."

Dik Inab berlalu ke arah mobil yang membawa rombongan keluarganya, yang sudah menunggu. Kami langsung masuk rumah, bertemu seorang santri putri, dan langsung disilakan naik ke lantai dua.

Di lantai dua inilah tempat pribadi Bulik Muhsinah dan keluarga Dik Yahya. Tentu saja hanya tamu-tamu khusus yang diperbolehkan mencapai ruang ini. Selain kamar dan ruang tamu pribadi Bulik, juga ada ruang-ruang lain yang dimanfaatkan untuk keluarga Dik Yahya. Oya, Dik Yahya, nama lengkapnya adalah Yahya Cholil Tsaquf, waktu Gus Dur jadi presiden, dia adalah salah satu juru bicaranya. 

Karena sudah Maghrib, saya minta izin ke santri putri itu, untuk berwudhu. Saat mau masuk toilet, Dik Nunik, istri Dik Yahya, tiba-tiba muncul. Saya menyalaminya.
"Njenengan sinten leh?" Tanyanya, dengan logat khas Rembang.
"Njenengan sinten, njenengan sinten." Sahut saya pura-pura sewot.
"Ya Allah, Mbak Luluuuukkkkkk...." Dik Nunik teriak, memeluk saya. "Sepuntene, Mbak...pangling kulo."

Saya salat di kamar Bulik Muhsinah. Mas Ayik dan Arga salat di ruang di depan kamar. Selesai salat, kami jagongan di ruang depan kamar itu. Bersama para putra putri anak menantu dan cucu Bulik. 

Tentu saja, kami tidak bisa berlama-lama, meskipun ingin. Bulik menggiring kami ke lantai bawah, ke ruang makan. Saat menuruni tangga, ingatan saya terbawa dalam kenangan puluhan tahun silam. Saat saya masih kanak-kanak, kalau kami sowan di rumah ini, ketika menyambut kami atau melepas kami, Lik Ying menuruni tangga, dengan baju dan jubah putihnya, sambil membawa lembaran-lembaran uang. "Iki gawe mundhut permen ya?" Begitu kata beliau, sambil membagikan sangu pada kami.

Di ruang makan, lagi-lagi, ingatan saya kembali ke masa silam. Tempe goreng tipis itu, saya masih ingat betul, adalah tempe kesukaan keluarga Lik Ying dan kami semua. Nyaris tidak ada menu makan tanpa tempe goreng itu. Kalau sarapan, lauk kami kadang-kadang hanya tempe goreng dan sambal bawang. Bahkan sampai sekarang, menu sederhana itu menjadi menu andalan saya sekeluarga. Dan setiap kali menyantap menu itu, ingatan saya selalu terbawa ke masa-masa kecil ketika berlibur di Rembang.

Kami menyelesaikan makan malam selepas adzan Isya. Kami pamit pulang, setelah saling bersalaman, berpelukan, dan saling mendoakan. Namun sebelum pulang, kami sowan ke rumah Paklik Makin, adik ibu yang lain, yang rumahnya di kompleks itu juga. Paklik Makin memukul-mukul lengan saya dengan gembira karena beliau tidak menyangka kami muncul malam itu. 

Malam sudah semakin larut, tapi masih ada satu tempat lagi yang musti kami kunjungi, yaitu rumah Paklik Mujab, adik ibu yang tinggal di Pamotan. Dengan berbekal sekantung makanan dan minuman, kami melanjutkan perjalanan, menembus hutan belantara dan puluhan kilometer jalan makadam. Ya, kami memang tidak melewati jalan yang biasanya. Dengan mengandalkan google map, kami memcoba mencari jalan dengan jarak terdekat. Memang berhasil. Rute Rembang-Pamotan yang biasanya perlu waktu sekitar empat puluh menit, saat ini bisa kami tempuh dengan waktu yang lebih lama. Ya, lebih lama, Saudara. Jaraknya memang mungkin lebih pendek, tapi kondisi jalan yang jeleknya minta ampun persis di daerah 3T, membuat mobil tidak bisa berjalan kencang. Hikmah hari ini, jangan percaya begitu saja pada google map. Beberapa kali sudah saya buktikan, ternyata dia tidak pintar-pintar amat.

Pamotan, 29 Juli 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...