Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 April 2014

Mamteng 5: Merawat NKRI

Ilugwa. Distrik ini merupakan salah satu dari lima distrik (kecamatan) di Mamteng. Empat kecamatan yang lain adalah Eragayam, Kelila, Kobakma, dan Megambilis. Kobakma adalah ibukota kabupaten. Dari kelima distrik tersebut, hanya Megambilis yang tidak digunakan sebagai wilayah pengabdian peserta SM-3T.

Mamteng sendiri merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008, bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Peresmian Kabupaten Mamteng dilakukan oleh Mendagri Mardiyanto pada tanggal 21 Juni 2008.

Kami tiba di SMPN Ilugwa pada sekitar 14.20 WIT. Disambut oleh lima sekawan: Faishol, Muslimin, Fuad, Udin, Nurhasan. Anak-anak muda itu begitu ceria. Melihat keceriaan mereka, kelelahan sepanjang perjalanan seperti menguap seketika. Dengan sepenuh hati kami bersalaman, sarat kerinduan. Keharuan menyeruak di dada saya. Sekitar tujuh bulan yang lalu kami melepas mereka untuk mengemban tugas ini, menjadi guru pengabdi di pedalaman Papua. Saat ini, kami bertemu lagi, dan semua dalam keadaan baik, sehat, penuh semangat. Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anak-anaknya sehat dan bersemangat?

Karena kami belum salat, kami minta izin untuk salat dulu. Di sebuah mes sekolah tempat tinggal mereka, kami bertiga, tanpa bu Lucia, salat berjamaah di salah satu kamar. Jama' takdim dhuhur dan ashar. Pak Prapto sebagai imamnya.

Selepas salat, setelah pak Prapto dan pak Beni keluar kamar, saya masih berlama-lama bersimpuh di atas sajadah. Saya mengamati isi kamar seluas sekitar 3x3 meter itu. Sebuah karpet yang mulai lusuh tergelar untuk menutupi lantainya. Di sisi kanan, kardus-kardus isi pakaian berjajar. Di sisi kiri, kardus-kardus isi bahan makanan dan buku-buku. Mi instan, minuman instan kemasan sachet seperti kopi dan teh, saus dan sambal botol, dan telur ayam. Tiga buah kasur busa tipis disandarkan di dinding kayu di samping jendela yang berkelambu lusuh. Di beberapa bagian dinding ada tulisan-tulisan penyemangat.

"Terima kasih Dikti, SM-3T, Unesa, Papua, Kab. Mamberamo T, Ilugwa." Itu bunyi salah satu tulisan. Di sisinya, berjajar tulisan bulan, mulai September 2013 sampai Agustus 2014. Tujuh bulan yang pertama sudah dicoret dengan spidol warna, menandakan tujuh bulan masa pengabdian yang sudah mereka lalui. Dengan demikian masih ada lima bulan lagi yang tersisa. Di sisi lain, tertulis: "Maju bersama membangun Ilugwa. 5 sahabat SM3T 2013".

Saya melipat mukena saya, memasukkannya ke tas. Mata saya berkabut. Di kamar yang sempit ini, mereka tidur bertiga. Jadi satu dengan bahan makanan, pakaian, dan buku-buku. Dua orang yang lain, tidur di kamar sebelah, kamar yang lebih sempit. 

Saya tidak sedang meratapi keadaan mereka. Tidak. Keadaan yang seperti ini masih terhitung jauh lebih baik dibanding dengan keadaan banyak kawan mereka yang pernah saya lihat di Sumba Timur. Saya sedang diliputi rasa haru, bangga, dan bersyukur, karena anak-anak muda itu telah mengambil keputusan yang tepat dalam hidup mereka. Menjalani masa pengabdian sebagai guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil seperti ini. Kesempatan ini akan memberinya banyak pengalaman lahir dan batin, membantu menempa dan mendewasakan jiwa mereka, melatih ketahanmalangan mereka. Tidak semua anak muda memiliki kesempatan emas semacam ini. Setidaknya, merekalah yang terpilih di antara ribuan anak muda yang menginginkan program tersebut. Hal itu dikarenakan mereka mampu menunjukkan kecerdasan, ketangguhan, dan komitmen. Selain itu, tentu saja, adalah takdir yang telah membawa mereka sampai di tempat ini.

Ya, Sang Takdir yang telah melukis hidup mereka. Siapa sangka, dalam usia muda mereka, ada kesempatan emas untuk terbang jauh dari tempat mana mereka berasal. Menyeberangi samudera luas, menembus hutan belantara, menuju titik paling timur Indonesia. Melihat Tanah Air yang begitu indah dan luas. Mengakrabi masyarakat dan budayanya yang begitu beragam. Menimba pengetahuan dan pemahaman akan arti indahnya keberagaman. Menghayati apa makna kebhinekaan. Membangun ke-Indonesiaan.

Dalam nuansa keberagaman seperti ini, saya jadi teringat salah satu istilah dalam pendidikan multikultural, yaitu melting pot. Dalam konsep ini, masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya, namun justeru karena adanya kesadaran tersebut, mereka dapat membina kerukunan hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya, tapi bila perlu, unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan, demi menciptakan persatuan dan kesatuan. 

Anak-anak muda itu tidak hanya membawa misi sebagai pendidik. Mereka, lebih jauh, sedang melakukan sebuah gerakan merawat NKRI. Wilayah-wilayah dengan masyarakat termarginalkan itu, yang nyaris tak tersentuh oleh pembangunan dalam segala bidang itu, adalah bagian dari NKRI. Namun kemiskinan dan keterbelakangan telah membodohkan mereka, dan kehadiran para guru muda itu adalah lentera-lentera yang akan memerangi kebodohan itu. 

Saya keluar kamar. Bergabung dengan para guru dan kepala sekolah yang sudah ada di halaman sekolah. Sayang sekali kami tidak bisa melihat proses pembelajaran, karena sekolah sudah tutup. Meski begitu, berdialog dengan PJS kepala sekolah, yaitu ibu Yapina, dan beberapa guru, serta beberapa siswa, cukup melegakan kami. Juga bertemu dengan kepala suku, bapak Iyoglogo, yang juga sebagai ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat). Semua menyampaikan kebahagiaannya karena kehadiran para guru SM-3T. Semua menginginkan supaya program ini terus berlanjut, dan SMPN Ilugwa tetap digunakan sebagai sekolah penugasan. 

Bapak Iyoglogo, juga menyampaikan kata-katanya. Selama sekitar tujuh menit dia berbicara, dan karena dia menggunakan bahasa setempat, saya hanya bisa menangkap dua kata saja dari kalimat-kalimatnya yang panjang, yaitu: guru dan sekolah. Selebihnya, saya dan tim monev yang lain, tidak paham. Namun Ibu Yapina berbaik hati untuk menerjemahkan kalimat-kalimat panjang itu. Intinya, bapak kepala suku sangat bangga pada guru-guru SM-3T. Menurutnya, banyak guru asli Papua yang ditugaskan di sekolah ini, namun mereka datang semaunya, bahkan ada yang tidak pernah hadir, tidak peduli pada anak-anak dan sekolah. Oleh sebab itu, bapak kepala suku merasa sangat sayang pada guru-guru muda itu, karena justeru merekalah yang menyayangi dan mencintai para siswa dan sekolah. Mereka juga bergaul baik dengan masyarakat, serta siap membantu melakukan apa saja. 

"Kami sayang pada guru-guru SM-3T, karena justeru merekalah yang mencintai anak-anak kami, lebih dari guru-guru asli di sini". Begitu penjelasan bu Yapina.

Saya mengangguk-angguk tanda mengerti. Sangat mengerti. Etos kerja para guru di daerah 3T, saya sudah sangat paham. Saya sudah menjelajah di banyak pelosok 3T, dan seperti apa kinerja para guru, terutama guru putra daerah, yang bahkan sudah PNS pun, betapa sangat amat memprihatinkan. Seperti penyakit, ketidakpedulian mereka sudah pada level kronis sekaligus akut. 

Saya mengangguk-anggukkan kepala kepada kepala suku, dan mengungkapkan rasa terima kasih saya lewat mata dan bahasa tubuh. Dia memahami ketulusan saya, ketulusan kami. Dia berkata, "wah, wah, wah...."

Ilugwa, 2 April 2014. 15.00 WIT

Wassalam,
LN

Rabu, 02 April 2014

Mamteng 2: Biasakan...

Juan, supir kami semalam, tak sebaik dugaan kami. Setidaknya, untuk urusan menepati janji. Seharusnya pukul 04.30 pagi dia sudah menjemput kami di hotel, tapi ternyata kami tunggu sampai tiga puluh menit lebih dia tidak muncul juga. Padahal kami harus sudah lapor ke Trigana Air pada 05.30. Bagasi kami cukup banyak, sehingga kami memutuskan untuk datang lebih awal.

Sampai pukul 05.00, Juan tidak bisa kami hubungi. Ponselnya mati. Saya mengambil inisiatif meminta disediakan mobil oleh hotel. Resepsionisnya yang tak ramah itu mengatakan kalau supir hotel baru tiba pukul 05.30. Dengan sikapnya yang tidak 'ngresepsionisi', dia mencoba menelepon supir hotel. Berhasil, dan mungkin sebelum pukul 05.30, supir sudah sampai hotel. Baguslah. Jarak hotel ke bandara tak sampai sepuluh menit, jadi dalam hitungan waktu, masih cukup aman.

Bandara Sentani masih sepi ketika kami tiba. Kami disambut dua orang porter berseragam merah. Berkulit hitam, berambut keriting, bermata tajam. Mereka tidak ada ramah-ramahnya, tapi sangat baik membantu kami dan memastikan semua bagasi sudah masuk.

Saat kami sedang menunggu boarding di ruang tunggu, Juan menelepon mas Beni. Menanyakan apa kami sudah sampai di bandara dan meminta maaf untuk keterlambatannya. Maaf? Enak aja....kata saya. Tentu saja bercanda. Saya sadar ini Papua. Kata sahabat saya, Sirikit Syah, yang biasa diundang sebagai narasumber pelatihan menulis di Papua, di Tanah Sirih Pinang ini, kita harus siap dengan 'unexpected conditions'. Jadi nikmati saja setiap kondisi, termasuk kondisi yang tak terduga.

Dua jam lebih kami berada di ruang tunggu Bandara Sentani. Boarding time seharusnya pada pukul 06.45, lebih dari satu jam yang lalu. Tapi tanda-tanda kami akan segera diberangkatkan belum juga nampak. Tidak ada pengumuman apa pun dari petugas tentang keterlambatan ini.

Saya bertanya pada petugas perempuan berbadan subur berkulit putih. Bukan tipikal orang Papua. Dia bilang, mungkin sebentar lagi Trigana Air akan siap. Mungkin. Baiklah...

Saya membunuh waktu dengan mengobrol bersama Huli dan Uli, kenalan baru saya. Keduanya perempuan Wamena. Turun ke Sentani karena ada keluarganya yang meninggal, dan tinggal di Sentani selama seminggu. Seperti kami, mereka juga sedang menunggu Trigana.

Kulit hitam Huli dan Uli terbungkus celana dan sweater berbahan kain kaus. Tanpa alas kaki. Keduanya membawa noken warna-warni yang besar sekali, semua barang mereka masuk dalam noken itu. Saya coba angkat nokennya, aduh, berat banget. Noken itu, dibuat sendiri oleh mereka. Semua orang Wamena bisa bikin noken katanya. 

Rambut keriting Huli dijalin, ada lima jalinan di kepalanya. Dia bilang, dia menjalin rambutnya sendiri. Tanpa ditali, jalinan itu tahan bahkan sampai sebulan. Saya sempat berpikir, tahan sebulan...artinya, sebulan tanpa harus cuci rambut?

Huli sudah berkeluarga, anaknya dua, perempuan semua, lima tahun dan tiga tahun. Sedangkan Uli belum berkeluarga. Keduanya nampaknya kerabat dekat.

Tiba-tiba Huli melepas gelang warna-warninya dan menyorongkannya ke saya.
"Ibu bisa pakai?"
Saya terkejut. Senang sekali tentu saja.
"Gelang ini? Untuk saya?"
Dia mengangguk. Mata hitamnya bulat penuh menatap saya, meyakinkan.
"Wah, senang sekali." Saya langsung mengenakannya di pergelangan tangan kiri saya. Bersanding dengan jam tangan. Serasi. Manis. Huli nampak puas, Uli ikut tersenyum simpul.

"Saya kasih apa ya ke Huli?" Tanya saya pada Huli. 
"O, tidak apa-apa, ibu..."

Ketulusan Huli dan Uli, dan banyak orang Papua yang lain, yang pernah saya temui, terasa sampai di hati. Tidak perlu waktu lama untuk menjadi akrab dengan mereka. Di Sarmi, beberapa bulan yang lalu, waktu kami mengantar para peserta SM-3T, kami diundang makan papeda oleh seorang penduduk, sebagai bentuk penghormatan. Para ibu di pasar tradisional juga dengan luwes menggoda saya dengan segenggam ulat sagu dan tertawa kegirangan melihat 'penderitaan' saya. Mereka, orang-orang Papua itu, hanya perlu disapa lebih dulu dengan ketulusan kita, supaya kita mendapatkan ketulusan yang sama dari mereka.

Tidak selalu seperti itu memang. Ada yang ketika disapa, menoleh pun tidak. Ditanya, tidak merespon. Diminta berfoto, menolak. Dihampiri, menghindar. Tapi yang seperti itu, sepanjang pengalaman saya, tidak banyak. Saya selalu berpikir positif. Mungkin hanya perlu waktu saja untuk menjadi akrab. Perlu ketelatenan.

Saya mengambil dua buah apel dari tas logistik saya. "Ini untuk Huli, dan ini untuk Uli." Saya menyorongkan apel merah itu. Mata keduanya berbinar. 
"Terima kasih, ibu..."

Kami mengobrol lagi. Bercerita-cerita ringan. Kadang-kadang saya tidak paham apa yang diceritakan Huli dan Uli. Bahasa mereka lebih banyak yang tidak saya kenal daripada yang saya kenal. Tapi saya mengangguk-angguk, sok paham, dan tertawa-tawa saat mereka tertawa. SKSD, sok kenal sok dekat. Mereka nampak senang sekali berteman dengan saya (ge er kalee...).

Di tengah keasyikan kami, bu Lucia yang baru saja bertanya pada petugas, memberi tahu kalau kondisi cuaca di Wamena buruk, sehingga pesawat tertunda keberangkatannya. Tapi tidak sampai sepuluh menit kemudian, ada pengumuman dari petugas yang menyilakan kami untuk segera memasuki pesawat.

Mendung tebal menggantung di langit. Gelap sekali. Kami berjalan cepat menuju Trigana Air yang sudah menunggu. Di dalam pesawat, aroma Papua begitu terasa. Bu Lucia dan pak Prapto mengendus-endus dan berkali-kali menutup hidungnya. Saya, meski juga sebenarnya sangat terganggu, berbisik ke mereka: "biasakan..."

Sampai ketemu di Wamena....
        
Sentani, 2 April 2014. 8.45 WIT.

Wassalam,
LN

Jumat, 11 Oktober 2013

Duka untuk Romkisar

Saya termangu-mangu membaca status FB Restika Okatavina. Bunyi status itu seperti ini:  

"9 Oktober 2013"
Satu sms masuk ke hpku. Tak kusangka sms itu datangnya dari Saumlaki (ibu kota kab. Maluku Tenggara Barat) yang isinya aku disuruh telpon.
ku pencet nomor tersebut dan tersambung.
"Halo, selamat pagi, ibu guru ada bikin apa disana" suara seorang perempuan menyapaku. Itu suara mama tua Glen, kak Eti namanya.
"Ibu, Glen ada mau bicara deng ibu" lanjutnya.
"Halo, ibu Vina, ibu ada buat apa di Jawa?" suara mungil menyapaku. 
Itu suara Glen, salah satu muridku di SDN Romkisar, Maluku Barat Daya.
"Ibu baru selesai bacuci baju, Glen" jawabku.
"Glen, pi (pergi) Saumlaki ada buat apa? seng (tidak) sekolah kah?" tanyaku penasaran.
"Ibu, beta seng sekolah. Sekolah ada TUTUP. seng ada guru yang ajar" jawabnya ringan.

"Sekolah TUTUP." 
Ya Alloh, ingin rasanya aku kembali kesana. Mengajar, mendidik dan merangkul mereka. Menemani mereka menggapai cita-cita tertinggi. 
Semoga kata-kata itu tak ku dengar lagi. 
Ingin ku melihat senyum lebar mereka lagi."

Tak terasa, air mata saya meleleh. Saya tak mampu menahan kesedihan  mendengar kabar sebuah sekolah tutup karena tidak ada gurunya. Dan sekolah itu ada di Romkisar, Maluku Barat Daya (MBD). Tempat tugas Romlah, Vina dan Yuni, para peserta SM-3T Unesa angkatan kedua, yang baru meninggalkan tempat itu sekitar sebulan yang lalu.  

Padahal, dalam surat yang pernah dikirimkan ke saya, Romlah sudah memohon-mohon supaya sepeninggal dia dan teman-temannya, SDN Romkisar tetap mendapatkan guru SM-3T sebagai penggantinya. Bahkan dia juga sudah pesan, kalau bisa, guru yang ditugaskan di sana, adalah laki-laki. Romkisar adalah sebuah tempat yang sangat sulit dicapai, musti menyeberangi laut yang  gelombangnya hampir selalu tinggi. Jalan darat harus menembus hutan samun selama berjam-jam dan sangat berbahaya. Belum lagi hal-hal lain seperti masih kentalnya unsur magic dan berbagai keyakinan masyarakatnya yang masih sangat tradisional.

Saya seketika diliputi rasa bersalah. Ya, saya menjadi orang yang paling bersalah. Saya seharusnya memastikan, dengan sebenar-benarnya, bahwa Romkisar dan sekolah-sekolah lain yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T, akan mendapatkan guru-guru lagi. Tidak sekedar percaya dan pasrah pada kebijakan dinas Dikpora. 

Meski saat rapat koordinasi dengan kepala dikpora di Jakarta, saya sudah meminta supaya sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T agar diberi guru SM-3T lagi, namun rasa bersalah itu sangat membebani saya. Juga, saat di kegiatan prakondisi di Kodikmar, saya sudah kembali mengingatkan staf dikpora yang waktu itu hadir, untuk tetap menugaskan para guru SM-3T di sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati.

"Ya, ibu. Nanti yang dari UNP akan kami tugaskan di Mdona Hyera dan beberapa tempat yang dulu ditempati guru-guru dari Unesa. Sedangkan Unesa kami tempatkan di Pulau Babar dan sekitarnya." Begitu kata pak Victor, staf dikporaMBD waktu itu.

Maka saya pun tenang. Namun status di FB Vina malam ini membuat hati saya pedih. Ditambah lagi dengan komentar kawan-kawan Vina yang menambah kesedihan di hati. Salah satunya dari Romlah sendiri.

"Sy dan tmn2, bsrta warga Romksar sdh brusaha smampu kami. Mulai dr menyurati ibu lutfi, memohon k kepala UPTD Mdona Hyera, sampai sdikit mgompori peserta dr LPTK Padang (sarjana Pgsd, tapi realitanya dtmpatkan d SMP), namun memang, gusti Allah msh blum mengiyakan. Peserta dr LPTK Unesa mengabdi d wilayah babar n skitarx. Sdgkan LPTK univ. Padang k daerah LeMoLa (leti-moa-lakor) + Mdona Hyera yg rasanya memang ditmptkan untk sekolah menengah. Kepsek kami jg msh smpat menahan 1 guru bntu untk brthan d Romksar sampai kepsek pulang (dr kuliah d Kisar). Namun trxta, sang guru bantu yg sdh punya SK mutasi k Luang sjak bulan Juli pun sepertix tak mampu menepati janjix k kepsek shg hrus buru2 pindah krn alasan administrasi d SD yg bru.. d Tiakur (ibu kota kabupaten) dpt guru SM3T. Memang lbh merata penyebranx drpda yg dlu. Tapi pemerataan ini malah hrus mengorbankan 1 sekolah yg mmg bth guru. DEMI PEMERATAAN. Pengambil kbjakan dari Dikpora MBD sudah ketuk palu.. *saya hanya bs mengelus dada"

Ketika Mustofa Kamal, teman Romlah berkomentar, "inilah potret pendidikan di luar jawa", Romlah menanggapi:  "La mau biking bgaimana, dong bilang lbh baik pi Tual jual kambing deng papa dari pada d kampung seng biking apa2. Ibu guru balik bole..", "bu guru e, Romkisar seng dpat guru dr jawa lai. Kami su krim surat k bupati par minta guru, tapi seng ad jwban. Skolah su tutup, bu guru Leha yg dpasrahi tinggal oleh kepala sekolah su pi d sekolah baru,seng tunggu ibu kepsek dtang lai", (ketakutanku slama ini, takut klau Angga, Andres, Mersi, Erdin, Monalisa, smua murid2 yg su mulai brharap kmbli mengubur asa mereka) *brtanya-tanya ttg jln kluar. "bu guru su senang d jawa, su lupa katong kapa? d Romkisar su seng ada guru lai. Bu guru balik do, la katong belajar" (haaaaa rasanya ingin kmbli...)"

Malam ini pun, saya langsung ber-SMS ke kepala Dikpora. "Bapak, sedih mendengar cerita Romkisar. Kenapa tdk ada guru yg dikirimkan ke sana utk menggantikan guru2 SM3T yang bertugas di Romkisar? Saya dengar sekolah tutup karena tdk ada guru? Mohon, bapak, ada perhatian utk SDN Romkisar. Terima kasih."

Saya tidak tahu entah kapan SMS saya akan dibaca dan dibalas. Besok saya akan mencoba menghubungi pak kadis via telepon. Meski keterbatasan sinyal telepon di MBD membuat hati saya ciut, tapi saya akan tetap berusaha. Saya juga berkoordinasi dengan Bapen (bapak pendeta) Abraham Beresaby melalui FB message meski beliau jelas-jelas tidak sedang online. Tapi saya berharap, SMS saya ke kadis dan message saya ke bapen, entah besok, entah lusa, akan terbaca oleh beliau-beliau, dan semoga segera ditanggapi. Tentu saja, yang saya harapkan, semoga ada jalan keluar untuk Romkisar.

Malam ini saya tidak bersemangat untuk ngapa-ngapain. Tumpukan berkas skripsi dan tesis mahasiswa tidak saya sentuh sama sekali. Tak berselera. Wajah Romlah dan kawan-kawan berkelebat-kelebat di kepala saya. Senyum anak-anak sekolah berkulit hitam yang terpampang di status FB Vina serasa mengiris-iris ulu hati. Sekolah tutup karena guru tidak ada. Anak-anak seperti itik kehilangan induk. Seperti layang-layang yang putus talinya. Tak punya siapa-siapa lagi untuk sekedar mengajari menulis dan membaca. Adakah yang lebih menyedihkan dari ini semua? 

Seperti inikah potret pendidikan di MBD, dan juga di banyak tempat lain di Indonesia ini? Setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka? Betapa memprihatinkan.

Duka saya untuk Romkisar. Duka kami semua untuk dunia pendidikan.

Surabaya, dini hari, 12 Oktober 2013.

Wassalam,
LN

Senin, 26 Agustus 2013

Banda Aceh (1): Di sinilah saya....

Minggu, 25 Agustus 2013. Pukul 23.40. Di sinilah saya saat ini, di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Akhirnya kaki saya menginjak Bumi Serambi Mekah. Di Tanah Rencong. Wilayah paling barat Indonesia. Setelah sejak pukul 13.40 terbang dari Bandara Juanda. Ya, sepuluh jam lebih di perjalanan. Diwarnai dengan delay sejak di Bandara Soekarno Hatta dan di Kualanamu Medan. Diwarnai juga dengan kegaduhan di Kualanamu karena beberapa penumpang mengamuk dan membentak-bentak petugas, akibat delay yang 'hanya' sekitar satu setengah jam. Teriakan mereka menggelegar memenuhi hampir setiap ruang di Kualanamu yang besar itu. Para penumpang yang lain berkerumun, mereka seperti mendapat tontonan dadakan yang menegangkan.

Begitu mencapai pintu luar bandara, saya sudah melihat wajah itu. Ibu Fitriana, dosen jurusan PKK Universitas Syah Kuala (Unsyiah), yang selama ini menjadi contact person saya untuk kegiatan di Banda Aceh. Wajahnya yang putih bersih, begitu cantik di bawah temaram lampu teras bandara yang hiruk pikuk. Kami berpelukan. Suaminya, bapak Rusman, dosen Kimia di Unsyiah juga, tersenyum ramah mengulurkan tangannya. Mencoba meraih koper saya, tapi saya menolaknya halus.

Di bawah langit Banda Aceh yang gelap, mobil kami menyusuri jalan meninggalkan bandara, menuju kota. Bu Fitri memaksa saya harus makan dulu, dan kami berhenti di sebuah rumah makan. Kami memesan mie goreng, dan pak Rusman memesan martabak telur. Mie gorengnya berasa tajam, khas mie Aceh, dan martabak telurnya lebih mirip omelette, berbentuk persegi. Saya menghabiskan separo porsi, bukan karena mie-nya tidak enak. Namun kelelahan di tubuh saya membuat selera makan tidak terlalu bagus. Separo porsi itu cukuplah untuk memastikan perut saya terisi setelah sejak terbang dari Surabaya tadi tidak sempat menikmati makan siang dan malam. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.50 saat kami memasuki pintu hotel Madinah.  Bu Fitri bilang, sebetulnya dia sudah berusaha memesankan kamar di beberapa hotel terbaik di Banda Aceh, tapi semua full-booked. Ada event  Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang akan dihelat pada September nanti, tapi panitia dari berbagai daerah di Aceh sudah memenuhi Banda Aceh untuk mempersiapkan kegiatan besar itu. Jadilah saya diinapkan di Hotel Madinah, sebuah hotel melati yang bagi saya tidak terlalu masalah, tapi bu Fitri berkali-kali meminta maaf karenanya. Nama hotel yang Islami, membuat saya merasa nyaman-nyaman saja. Apa lagi, hotelnya juga cukup besar, bersih, dan kamarnya juga luas.

Saya merebahkan kelelahan saya di tempat tidur yang bersih dan nyaman, membiarkan tas koper dan sepatu saya berserak di lantai. Mengirim kabar pada keluarga dan sahabat yang terus memantau perjalanan saya, kalau saya sudah mencapai hotel. 

Besok, saya harus mengisi acara pelatihan pengembangan perangkat pembelajaran di SMK 3 Banda Aceh. Acara yang sudah dipesan sejak lama oleh teman-teman jurusan PKK Unsyiah, namun baru bisa saya penuhi. Di antara berbagai kesibukan yang padat dan menyita waktu, saya sudah tidak mungkin mengulur-ngulur lagi. Semakin ke sini, kegiatan semakin padat. Prakondisi SM-3T, pemberangkatan angkatan ke-3, penarikan angkatan ke-2, ngajar, PLPG....

***

Senin, 26 Agustus 2013. Pukul 05.15. Saya bangun dengan sisa kelelahan semalam. Mengintip keluar melalui jendela. Gelap. Ya, meski tidak ada perbedaan waktu dengan Surabaya, namun jam segini di Aceh masih gelap seperti saat subuh di Surabaya.

Pagi ini saya musti bergegas. Pukul 8.15, bu Fitri dan pak Wildan, PD 3 FKIP, akan menjemput saya. Pak Wildan, sudah saya kenal dengan sangat baik. Beliau adalah koordinator SM-3T Unsyiah. Seperti layaknya satu tim, kami sering bertemu di berbagai kegiatan, bersama para koordinator SM-3T dari LPTK lain. Program SM-3T ini menyatukan kami semua, dan mengakrabkan pertemanan kami sebagai teman-teman seperjuangan.

Sebenarnya saya ingin segera bersiap setelah salat subuh dan mandi, namun SMS dan telepon dari peserta SM-3T dan para calon peserta, menyibukkan saya. Nama saya dipasang sebagai contact person di Dikti sebagai koordinator SM-3T Unesa, dan belasan bahkan puluhan SMS dan telepon membanjiri saya sejak perekrutan dan pengumuman kelulusan SM-3T beberapa pekan yang lalu, tak peduli pagi, siang, malam, bahkan tengah malam. Juga pagi buta seperti ini. Saya, pada posisi seperti ini, benar-benar dilatih untuk menjadi pelayan yang baik, sabar, tawakkal, dan menerima segala sesuatu sebagai berkah, bukan cobaan, dari Allah SWT. Haha...

Kami bertiga sampai di SMK 3 Banda Aceh, tempat pelatihan, pada menjelang pukul 9.00. Sekolah yang bersih, luas dan hijau. Wajah-wajah yang subhanallah...cantik-cantiknya. Ya, yang saya temui adalah dosen dan guru-guru yang 99,9 persen perempuan. Hanya ada satu, satu-satunya laki-laki. Dan para perempuan itu semuanya menarik, busana mereka bagus-bagus, perhiasan gemerlap, dan wangi. Cara mereka berbusana, begitu menawan, dengan blus panjang dan rok yang di beberapa bagiannya ada aksen bordir atau hiasan dari benang yang mengkilat. Untuk ukuran kita di Surabaya, cara mereka berbusana dan mengenakan aksesoris, sudah seperti busana pesta. Jadi nampaknya sayalah orang yang busananya paling kasual di antara para dosen itu. Kecuali para guru, yang saat ini mengenakan seragam mengajar yang berwarna hijau.

Tua maupun muda, semua orang di ruangan ini cakep. Hidup mancung, kulit bersih, mata indah. Dilengkapi dengan keramahan yang tulus, saya merasakan kehangatan berada di tengah-tengah mereka.

Di antara para dosen itu, saya sudah mengenal beberapa di antaranya dengan sangat akrab. Ibu Kartini, ibu Suryati, Ibu Asnah, dan bu Fitriani. Keempatnya juga sudah pernah beberapa kali berkunjung ke Unesa untuk menghadiri seminar Bosaris, yang kami helat setahun sekali. Selain itu, kami juga bertemu di beberapa kali di kegiatan dikti. Di situlah mereka mengenal saya, sebagai narasumber, moderator, dan fasilitator. Saat ini, mereka mengundang saya, untuk sekedar berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Betapa beruntungnya saya. Mendapatkan kesempatan mengunjungi Banda Aceh, bertemu dengan banyak teman, dan berbagi pengalaman. Dan yang tak kalah pentingnya, nilai silaturahim itu....tak bisa dinilai hanya dari sekedar uang atau materi.

Pelatihan ini diikuti oleh 35 orang, terdiri dari 5 orang guru SMK, 1 orang guru SMIK, 2 orang dari dunia usaha/dunia industri, 25 orang dosen, dan  2 orang mahasiswa. Didanai dari Badan Operasional Perguruan Tinggi (BOPT).

Di sini, saya menemukan semangat belajar yang dibalut dengan religiusitas yang kental. Semua peserta duduk manis dan mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian. Pembukaan dimulai dengan membaca ummul qur'an bersama-sama, dan kegiatan pelatihan dibuka dengan membaca wal'ashri. 

Pukul 16.00, dan mereka tetap di tempatnya. Setelah saya presentasi sejak pagi sampai pukul 12.30, memahamkan pada mereka tentang SKL, KI, KD dan Keterampilan Berpikir, juga memberikan contoh-contoh menuangkannya dalam silabus dan RPP, mereka bertekad untuk bisa menghasilkan satu silabus dan RPP yang musti dipresentasikan sore ini. Sesuai kelompok masing-masing, yaitu tata boga, tata busana, tata kecantikan, tekstil, kerajinan dan kewirausahaan. 

Saya menikmati keseriusan para ibu cantik itu. Membiarkan diskusi mengalir di antara mereka. Sesekali saya menghampiri kelompok-kelompok itu, melibatkan diri dalam diskusi, atau sekedar mengecek pekerjaan mereka. 

Sore semakin beranjak. Namun meski waktu sudah menapak pada pukul 17.30, matahari masih bersinar cerah. Maghrib di sini jatuh pada sekitar pukul 19.00. 

Kantuk dan lelah sisa perjalanan panjang semalam mulai menghampiri, namun tidak saya hiraukan. Sore di Banda Aceh, sungguh sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja....

Bersambung....

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

Rabu, 12 Juni 2013

Puisi Untuk Para Guru di Sumba

Sementara itu
Kita masih berkutat di sini
Dengan oto yang jalannya terseok-seok
Penuh dengan manusia
Hasil bumi, anjing, babi dan ayam bahkan kuda
Bergerak terguncang-guncang di jalan-jalan berlubang
Melanggar sungai sampai puluhan kali

Di sinilah kita
Di sekolah-sekolah berlantai tanah
Beratap seng
Berdinding kayu
Anak-anak bertelanjang kaki 
Menunggu bapak dan ibu guru menghampiri

Merekalah anak-anak zaman
Yang akan menentukan masa depan
Lihatlah mata polos
Wajah-wajah lugu
Senyum sayu
Saat mereka menunggui jurigen-jurigen air terisi
atau menghalau sapi dan kuda pulang ke rumah menjelang senja
Sambil menyunggi ember-ember penuh sayuran di atas kepala

Mereka sedang belajar sesuatu
Tentang kerja keras
Berjuang demi hidup
Tentang tanggung jawab
Tentang kepedulian
Segala yang penting untuk bekalnya di masa depan

Biarkan mereka terus belajar semua itu
Namun jangan renggut keindahan masa kecil
Jangan cabut 
Keceriaan saat di sekolah
Ajari mereka memegang pena
Mengeja kata 
Sejatinya mereka sedang melengkapi bekal hidupnya

Mereka membutuhkan sentuhan
Mereka membutuhkan kepedulian
Mereka membutuhkan sosok panutan
Mereka membutuhkan guru-guru yang tak lekang oleh zaman

Rengkuhlah mereka 
Antarkan menuju masa depan
Menempuh jalan panjang membentang
Agar bintang mereka terang dan indah
Seindah kuda-kuda Sumba nan menawan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Seindah bukit-bukit yang tinggi menjulang
Seindah padang sabana yang luas menghampar

Aku mungkin tidak sedang di Tanah Marapu
Namun hati dan jiwaku ada selalu untukmu...

Gedung Nasional,  Umbu Tipuk Marisi, Waingapu. 8 Juni 2013. 

Wassalam,
LN

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (7): Bertarung dengan Ombak

Kami meninggalkan mess pada pukul 10.00 WITA. Tidak seperti kemarin, cuaca hari ini panas sekali. Saya pikir, laut akan lebih aman dalam cuaca seperti ini. Dugaan saya salah. Heri yang datang dari mengecek laut  menggelengkan kepala. Air laut naik dan tidak ada satu perahu pun yang berani menyeberang, sampai nanti setelah pukul 13.00.

Saya menatap pak Rahman. 'Oke, tidak apa-apa. Mari kita menunggu sampai laut surut, di pantai saja. Sambil menikmati pantai.' Begitu kata pak Rahman.

Kami pun menuju pantai. Pak Rahman membenamkan tubuhnya dalam pasir laut. Andi ikut-ikutan. Sigit dan Zia berenang. Lukman dan Oscar sibuk mencari-cari sinyal di pohon-pohon. Saya termangu-mangu memandangi semua itu.

Kami sebenarnya berjanji sama Bidin dan Ela, dua peserta yang bertugas di Karera Jangga, bahwa kami akan singgah di sana. Tapi kalau waktu penyeberangan tidak jelas seperti ini, siapa yang berani janji? Perjalanan menuju Karera Jangga tidak cukup hanya ditempuh dengan roda empat, namun ada bagian yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar satu jam. Dengan sangat menyesal akhirnya kami membatalkan janji kami ke Bidin dan Ela, dan berharap suatu saat kami bisa mengunjungi Karera Jangga.

Setelah menunggu lebih dari tiga jam, alhamdulilah, akhirnya pada pukul 13.30, perahu siap karena laut sudah agak teduh. Kami bersiap menaiki perahu. Perahu yang akan membawa kami adalah perahu yang sama dengan yang kemarin. Hanya kali ini cukup satu perahu. Heri dan kawan-kawan tentu saja tidak perlu mengantarkan kami ke Katundu. 

Di pantai, saat kami semua sudah berada di perahu, saya memandangi mereka satu per satu, Heri dan kawan-kawan. Kami saling melambai. Anak-anak hebat itu membanggakan saya. Wajah-wajah optimisnya meyakinkan saya bahwa mereka akan menyelesaikan sisa pengabdiannya dengan sangat baik.

Ternyata penyeberangan siang ini jauh lebih berisiko dibanding yang kemarin. Ternyata penyeberangan kemarin itu tidak ada apa-apanya. Kalau kemarin Sigit dan kawan-kawan masih berani sesekali berdiri dan menikmati ayunan perahu, kali ini tidak. 

Sepanjang perjalanan, semua diam. Sigit bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan jas hujan saya. Lukman meringkuk di depan, bersisian dengan Zia. Oscar duduk di belakang berdampingan dengan awak perahu. Awak perahu yang satu lagi ada di tengah, sesekali membuangi air di dalam perahu dengan ember. Saya duduk bersisian dengan pak Rahman, memandangi laut dengan hati kecut.

Ombak begitu hitam dan menggelora. Waktu terasa begitu lambat jalannya. Sinar matahari yang panas menyengat di seluruh tubuh seperti tak ada apa-apanya dibanding dengan rasa khawatir yang melingkupi hati saya. 

Namun begitu, meskipun dengan perasaan ngeri, saya memberanikan diri memandangi gulungan-gulungan ombak yang kira-kita setinggi dua meter itu, mengejar-ngejar perahu kami. Ombak itu seperti monster-monster raksasa yang seolah siap melumat-lumat perahu kecil ini. Setiap kali ombak meninggi, perahu seperti dihempaskan ke dalam sebuah ceruk. Perahu tidak hanya bergoyang-goyang, namun terhempas-hempas dengan cukup keras, dan berkali-kali terasa seperti mau oleng. Sesekali pengemudi meredakan laju perahu ketika ombak besar datang menghantam untuk menjaga supaya perahu tidak oleng. Air laut, kalau kemarin hanya memercik-mercik di wajah kami, siang ini mengguyur tubuh kami. Berkali-kali. Pak Rahman memastikan barang-barang kami aman dan tidak basah terguyur air. 

Saya terus menggumamkan doa dan mengembangkan pikiran positif. Saya tahu, bahkan dalam kondisi saya yang sudah berpelampung seperti ini pun, sesuatu yang sangat buruk bisa saja terjadi di tengah laut luas seperti ini. Dengan ombak hitam yang tinggi bergulung-gulung. Hanya mengandalkan sebuah perahu nelayan yang kecil. Namun dengan seluruh niat baik saya jauh-jauh datang ke sini, dan kepasrahan pada Allah Yang Maha Melindungi, saya bahkan harus siap dengan apa pun yang terjadi.

Namun, sekali lagi, wajah-wajah tenang para awak perahu itu mendamaikan saya. Mereka bahkan melemparkan senyumnya ke arah saya setiap kali tiba-tiba ombak mengguyur tubuhnya atau tubuh kami. Seolah ingin meyakinkan saya bahwa semua aman dan terkendali. Mereka sama sekali tidak nampak panik, namun jelas sekali kalau mereka tengah memasang kewaspadaan yang tinggi.

Akhirnya pantai itu pun nampak semakin dekat. Pantai di Desa Katundu. Warna laut yang tadi hitam pekat berangsur menjadi biru bening, pertanda laut landai. Pada titik itu, kelegaan terpancar di wajah-wajah kami.

Akhirnya menepilah perahu kami ke pantai. Kami pun bersiap. Mengemasi barang bawaan. Bahu-membahu menurunkannya ke pantai. Tubuh kami semua basah. Bahkan wajah kami terasa berpasir karena guyuran ombak. Namun rasanya semuanya itu tak ada artinya. Ombak yang hitam telah kami tinggalkan jauh di belakang sana. Saatnya mendamaikan hati dengan membersihkan diri di rumah singgah yang sudah menanti.

Tubuh terasa segar kembali setelah saya mandi dan berwudhu. Sholat saya terasa lebih khusyuk dipenuhi rasa haru dan lega. Dalam sujud syukur, saya menitikkan air mata. Ya Allah, betapa ini semua terjadi hanya atas kuasa-Mu. Terimakasih telah melindungi kami semua dan senantiasa menjadi sumber kekuatan kami. Bimbinglah terus kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Amin.

Desa Katundu, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN

Sumba Timur (6): Sebuah Wilayah Perbatasan

Pagi ini, selepas shubuh, saya, Lukman dan Sigit jalan-jalan ke pantai. Zia membantu pak Rahman mengambil air tawar untuk mengisi kamar mandi mess yang saya tempati. Sedangkan Tamam dan Irfan menyiapkan makan pagi.

Kami kembali menikmati eksotisme laut dan pantai Salura. Menikmati puluhan perahu yang semalam lampu-lampunya bersinar indah seperti kunang-kunang berwarna-warni. Membaui aroma anyir laut yang dibawa angin yang berhembus halus mengusap wajah-wajah kami.

Heri membawa kami ke sebuah tugu di salah satu sudut di pantai itu. Dikatakan sebuah tugu, tapi sebenarnya hanya berupa bangunan semen segi empat dengan ukuran sekitar 1,5x1x1,5, yang di atasnya terpasang semacam prasasti yang terbuat dari batu marmer. 

Tugu tersebut merupakan tugu klaim tapal batas wilayah Salura dengan Australia. Bunyinya seperti ini:

'Pulau ini adalah Pulau Salura. Merupakan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan Australia'. 

Prasasti tersebut ditandatangani oleh  Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora, M.Si. Dan Dody Usodo Hargo, S., S.IP, Kolonel Inf, NRP 29955. 

Di bagian lain, tidak jauh dari tugu itu, ada sebuah kantor polisi. Dari papan namanya tertulis bahwa kantor polisi ini adalah kantor Polsek Karera sub sektor perbatasan. Ada prasastinya juga.

'Dengan rahmad Tuhan Yang Mahaesa, telah diresmikan penggunaan Kantor Polisi Subsektor Perbatasan Pulau Salura pada tanggal 17 Agustus 2010 oleh Kepala Kepolisian Resort Sumba Timur, Tetra Megayanto Putra, AKBP NRP 63031119.

Di dekatnya, pada sebuah batu berbentuk segitiga, tertera 'Indonesia-Australia ±800 mil selatan. 

Sebagai wilayah perbatasan, sebagaimana wilayah perbatasan yang lain di seluruh Indonesia ini, Salura sebenarnya memerlukan lebih banyak sentuhan dari pemerintah. Tidak sekedar tugu dan prasasti-prasasti. Adanya prasasti itu tidak serta merta menjadi bukti bahwa para petinggi yang telah menandatangani itu benar-benar pernah datang ke Salura. Tidak. Tugu klaim batas wilayah itu juga tinggal memasang saja di tempat itu karena para petinggi sudah menandatanginya di tempat lain. 

Salura membutuhkan lebih dari itu. Kehadiran para petinggi untuk menengok keadaan mereka di tempat itu. Dengan sebenar-benarnya. Dengan sepenuh hati. Menyapa mereka dengan ketulusan yang murni. Meyakinkan pada mereka bahwa mereka adalah bagian dari NKRI. Bukan sekedar dengan simbol-simbol dan prasasti-prasasti.

Dalam bidang pendidikan, Salura juga masih sangat memprihatinkan. Satu-satunya sekolah adalah SD-SMP Negeri Satap Salura. SD terdiri dari 115 siswa, kelas satu sampai enam, tetapi hanya memiliki tiga kelas. Dengan kondisi kelas yang sangat menyedihkan. Kalau kita melihat proses pembelajaran di kelas, kita seperti kembali ke masa tiga atau empat puluh tahun yang silam. Lantai dan dinding-dinding kelas yang kusam, papan tulis yang sudah pudar, dengan kondisi anak-anak sekolah yang kotor, berdaki, berbaju lusuh, dan bertelanjang kaki. 

Memang anak-anak tidak perlu menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencapai sekolahnya, sebagaimana di wilayah Sumba yang lain. Di Salura yang kecil ini, bahkan jarak terjauh pun cukup ditempuh hanya dalam waktu sekitar tiga puluh menitan. Namun sebenarnya kondisi mereka tidak kalah memprihatinkannya. Sungguh. Ada lebih banyak uluran tangan yang mereka butuhkan demi menata masa depannya. Tidak sekedar menjadi pencari cumi di laut sebagaimana yang dilakukan kebanyakan masyarakat Salura saat ini. Saya sempat tercekat saat menyadari mereka seperti kebingungan menjawab saat saya bertanya apa cita-cita mereka.

Di SD, gurunya ada 2 PNS, satu kepala sekolah dan satunya lagi adalah pak Rasyid, guru yang kemarin bersama kami dari Waingapu. Guru bantu ada tiga orang tetapi yang seorang sedang kuliah di Waingapu sehingga praktis tidak pernah mengajar. 

Jangan bicara tentang perpustakaan, laboratorium, ekstrakurikuler, dan hal-hal lain yang semuanya itu seolah jauh api dari panggang. Mungkin bagi kita yang telah terbiasa melihat pendidikan di kota dan memiliki kepedulian, akan merasa teriris melihat lemari (bukan perpustakaan) mereka yang lapuk, selapuk buku-buku yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Miris.

Menurut salah seorang guru, sejak SD inpres berdiri tahun 1982, kepala dinas PPO datang waktu peresmian itu. Namun setelah itu, sampai saat ini, kepala dinas tidak pernah lagi datang. Satu-satunya yang pernah datang adalah pengawas, mungkin tiga-empat kali sejak tahun 1984. Namun sejak beberapa tahun belakangan, tidak ada lagi pengawas yang datang karena pengawas itu sudah pensiun.

Sementara itu, SMP baru saja berdiri pada tahun 2011 yang lalu.  SMP ini  bahkan belum ada gurunya sama sekali, hanya kepala sekolah yang baru akan bertugas tahun ajaran baru nanti. Padahal saat ini sekolah itu sudah memiliki tiga belas siswa. Jadilah Heri dan kawan-kawan mengangkat diri mereka sendiri menjadi kepala sekolah dan berbagi tugas siapa mengajar apa. 

Hari ini kami mengunjungi SD-SMP Satap itu. Saya membawakan kamus bahasa Inggris untuk kelas 5 SD, sesuai pesanan Heri. Jadilah kami belajar Bahasa Inggris pagi itu. Seumur-umur, anak-anak itu baru kali ini melihat kamus. Kami semua turun gunung mengajari mereka bagaimana menggunakan kamus. Kami menyebutkan beberapa kosa kata, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia, dan berkeliling mengajari mereka bagaimana mencarinya di kamus dengan cepat. Rona wajah mereka seperti menemukan segenggam berlian setiap kali mereka berhasil menemukan kata-kata itu di kamus. Terasa teriris hati saya menyaksikan semua itu.

Saya memasuki semua kelas yang ada. Berdialog dengan guru-guru dan pada anak-anak itu. Membagikan coklat, biskuit, dan kue-kue yang lain. Sejumlah buku bacaan dan buku tulis saya titipkan pada Heri dan kawan-kawan untuk dibagikan pada mereka. 

Coklat, biskuit, buku-buku, sebenarnya hanyalah alasan saya saja untuk menghibur diri sendiri. Menutupi perasaan bersalah, menyadari bahwa saya belum bisa berbuat banyak untuk mereka.

Pulau Salura, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 10.00 WITA.


Wassalam,
LN

Sumba Timur (5): Bersama Anak-Anak Pantai

Salura di sore hari. Penuh dengan nelayan di pantai yang sedang menyiapkan perahu untuk mencari cumi malam nanti. Suaranya ramai ditingkahi dengan deburan ombak yang bersusulan. 

Menurut Heri dan kawan-kawan, pada bulan-bulan ketika laut tenang (mulai April-Desember), ratusan perahu akan memenuhi laut. Mereka kebanyakan adalah para nelayan dari Lombok. Perahu-perahu besar yang menjadi pengepul, parkir agak ke tengah. Perahu-perahu besar itu juga milik nelayan dari Lombok.

Bila musimnya, cumi memang sangat berlimpah di laut ini. Setiap nelayan bisa memperoleh ratusan kilogram cumi setiap hari. Laut akan diterangi cahaya lampu petromak dari ratusan kapal. Cumi memang peka pada cahaya, sehingga secara naluriah rombongan hewan laut berdaging lunak itu akan berebut mendekati cahaya. Para nelayan berlomba menangkapnya.

Cumi basah di sini dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kilogram. Bila dalam keadaan kering, harganya bisa mencapai Rp. 70.000,-. Cumi itu akan di bawa ke Lombok oleh para pengepul, untuk dilempar ke pasar yang lebih luas.

Bila musim angin tiba (bulan Januari-Maret), laut sepi. Nyaris tidak ada satu pun perahu yang parkir. Begitu juga tenda-tenda, bersih. Bahkan sebagian penduduk Salura juga eksodus ke tempat lain, untuk mencari laut yang lebih memberi harapan.

Sore itu selepas mandi dan sholat ashar, kami keluar dari tempat kami. Oya, saya disediakan tempat di mess ibu bidan. Kebetulan ibu bidan sedang mudik ke Melolo, sehingga kamarnya bisa saya pakai. Pak Rahman juga di situ, tapi di ruang kantornya. Sementara tempat tinggal anak-anak adalah di mess. Sebenarnya bukan mess. Itu adalah salah satu rumah dari sekitar tiga puluh rumah yang dibuatkan pemerintah untuk masyarakat Salura. Sebagai salah satu bentuk perhatian pemerintah pada wilayah terluar ini. Tapi entah kenapa, justeru orang Selura asli tidak banyak yang menempati tumah-rumah itu.

Kebetulan rumah-rumah itu ada di dekat sekolah. Jadilah rumah anak-anak itu merangkap sebagai kantor sekolah, karena di sekolah tidak ada kantornya. Bendera merah putih dipasang di dinding depan. Dinding berbahan dasar bambu kombinasi batu putih di bagian bawahnya. 

Sore itu kami ke masjid. Mengajar iqro dan Al Quran. Siswa TPA ada lebih dari 50 anak laki dan perempuan. Ramai sekali. Salura ternyata dipenuhi dengan anak-anak. Anak-anak berkulit hitam, kebanyakan berambut ikal. Khas anak pantai dari NTT. 

Sebelum ada peserta SM-3T, di Salura sudah pernah ada TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Namun itu sudah berhenti sekitar lima tahun yang lalu. Kehadiran Heri dan kawan-kawan menjadi oase bagi anak-anak dan orang tua, di tengah kelangkaan guru mengaji. Keempat anak itu kebetulan pandai mengaji, dan memiliki komitmen tinggi untuk meramaikan masjid, sehingga bisa menghidupkan kembali TPA setiap sore hari.

Dengan 138 KK dan 600-an jiwa, Salura yang luas wilayah berpenghuninya hanya sekitar dua kilometer persegi ini memang cukup ramai. Ramai dan agamis. Bila waktunya sholat, di mana-mana orang berkain sarung dan berkopiah. Adzan menggema dari masjid yang baru selesai dibangun, memanggil masyarakat sekitar untuk berjamaah. Berada di Salura, seperti sedang berada di desa santri. 

Setelah mengaji di masjid, kami beramai-ramai bermain di pantai, menunggu adzan maghrib. Senja yang berawan menyembunyikan sinar matahari yang siap tenggelam. Meski begitu, suasana syahdu tak pelak tetap terasa kental. Puluhan anak pantai, ratusan perahu, laut yang biru, senja yang temaram, dan bukit-bukit yang diliputi kabut, menyajikan keindahan yang tak terkatakan.

Begitu adzan maghrib, kami ke masjid. Listrik tidak menyala sejak tiga hari ini karena genset kehabisan minyak. Entah kapan minyak kiriman dari Waingapu akan tiba. Maka sholat berjamaah dilaksanakan dalam kegelapan. Di masjid yang cukup besar namun masih setengah jadi. Masjid yang halamannya dipenuhi dengan kambing dan kotorannya. 

Ya, kotoran kambing dan sapi memang ada di mana-mana di Salura ini. Mereka dibiarkan begitu saja di kebun-kebun, di jalan, di pekarangan-pekarangan. Bila musim hujan tiba, mereka berteduh di sekolah, di kantor desa, di teras-teras rumah. Maka aroma kotoran sapi menjadi aroma khas di Salura, berbaur dengan aroma pantai yang tertiup angin.

Setelah sholat, kami dijamu makan malam di rumah bapak Rasyid. Menunya nasi putih, kare ayam dan oseng cumi. Kami semua makan dengan menyenangkan. Lahap. Makanan habis tandas.

Pohon signal di Katunda.
Selama melakukan semua aktivitas itu, HP saya gantung di dinding di rumah anak-anak.  Sinyal hanya ada di dinding itu, di atas pintu mess ibu bidan, dan di bawah sebuah pohon di pantai. Bila ingin mengirim sms, pesan kita tulis dulu, kemudian HP digantung. Menunggu sinyal sehingga sms kita terkirim dan sekaligus menunggu jawaban. Jadi percuma membawa-bawa HP, karena sinyal tidak tersebar di sembarang tempat. 

Kami semua juga heran dengan perilaku sinyal di Salura dan di wilayah-wayah 3T yang lain. Sinyal hanya ada di titik-titik tertentu, sehingga dikenal ada pohon sinyal, bukit sinyal, dan dinding sinyal. Ada juga sinyal yang munculnya ketika malam hari sampai pagi, seperti di MBD. Seringkali sinyal seolah penuh, namun tidak bisa digunakan untuk mengirim sms atau bertelepon. Hanya bisa menerima. 

Malam ini kami habiskan dengan berbagai aktivitas. Mengobrol dengan beberapa tokoh masyarakat dan mendengarkan harapan-harapan mereka. Salah satunya adalah supaya Salura tetap digunakan sebagai tempat penugasan program SM-3T. Kalau bisa, jumlah pesertanya ditambah, dan syarat yang khusus, pesertanya bisa mengaji seperti peserta yang sekarang ini.

Sementara itu, Zia dan kawan-kawan mencari jengkerik di sekitar mess. Berbaur dengan anak-anak kampung yang sedang melakukan aktivitas yang sama. 

Oya, Zia, Lukman dan Sigit, tadi sore sempat dikerjain oleh Heri dan kawan-kawan. Menurut Heri, siapa pun yang masuk ke Pulau Salura ini, kalau yang bersangkutan belum menikah, dia harus berjalan mundur mulai dari pantai sampai ke sumur alam. Entah karena takutnya pada isu swanggi di tempat ini, atau karena saking bodohnya, ketiga anak itu pun berjalan mundur. Tiba di sumur, mereka masih diharuskan mengitarinya sampai tujuh kali, kemudian membaca adzan.

Sebenarnya dari awal ketiga anak itu sudah ragu dan curiga mereka hanya dikerjain saja, namun nampaknya mereka memilih tetap melakukan karena ada rasa ragu juga, jangan-jangan memang inilah adat Salura yang harus mereka penuhi. Wajah Heri, Andi dan Tamam memang menunjukkan muka serius. Namun begitu pak Rasyid meminta mereka untuk mengambil kerikil dan melemparkannya mengarah ke sebuah dinding, tak pelak, tawa pun pecah karena  mereka sadar jelas-jelas sedang dikerjain.  

Menjelang tengah malam, saat saya masih juga belum lelap, Heri mengetuk pintu kamar saya dan membawakan teh panas. Rupanya dia mendengar saya batuk-batuk dan dia memastikan saya memerlukan minuman itu.

Debur ombak, desis angin, dan suara binatang malam meramaikan malam yang telah larut. Para lelaki ada di luar kamar yang saya tempati. Mereka semua sudah pulas. Dengkurannya bersahut-sahutan. 

Ternyata binatang malam tidak hanya ada di luar kamar, tapi juga ada di dalam kamar. Beberapa jengkerik dan binatang kecil menemani saya sepanjang malam itu.

Salura, Karera, 9 Juni 2013. 24.30 WITA.

Wassalam,
LN