Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (4): Mengarungi Samudra Hindia

Pada sekitar pukul 13.00, akhirnya kami tiba di tempat ini, Desa Katundu, Kecamatan Karera. Setelah menempuh lebih dari lima jam perjalanan dari Waingapu. Lima jam yang diliputi gerimis, kabut dan mendung tebal. Membuat wiper mobil nyaris tidak berhenti bergerak sepanjang perjalanan. Juga membuat perasaan jadi agak ciut karena khawatir cuaca tersebut akan berpengaruh pada  kondisi laut.  

Dari desa ini kami akan menyeberang menuju Salura. Kami berhenti dulu di sebuah rumah singgah di tepi pantai. Rumah singgah yang hanya seperti warung kecil semi permanen. Terasnya disekat dan diberi alas tikar. Di situlah orang-orang singgah sambil menunggu perahu. Minum kopi dan main kartu untuk membunuh waktu. 

Pada hari-hari biasa, perahu beroperasi setiap hari Selasa, bertepatan dengan hari pasar. Sejak pagi pukul 07.00 perahu-perahu bertolak dari Salura, membawa para penumpang yang akan menjual hasil tangkapan ikannya atau orang-orang yang akan berbelanja ke Katundu. Pukul 10.00, perahu bergerak pulang ke Salura, membawa orang-orang itu juga. 

Rutinitas itu bisa terjadi bila laut bersahabat. Bila tidak, mereka harus menunggu satu dua hari sampai seminggu untuk bisa kembali ke Salura. Heri dan teman-temannya pernah berangkat belanja berbagai kebutuhan bahan makanan, termasuk sayur-sayuran. Bertolak pada hari Selasa pagi dari Salura menuju pasar di Katundu. Sesampainya di Katundu, ternyata laut tiba-tiba bergejolak dan perahu baru berani menyeberang seminggu kemudian. Jadilah sayur-sayuran yang dibeli Heri layu dan terbuang percuma.

Begitu Oscar menghentikan mobil di depan rumah singgah itu, kami semua turun. Acara pertama adalah makan siang. Menunya nasi dan ayam goreng lalap yang kami beli dari Mr Cafe tadi pagi. Sebetulnya saya sudah menambahkan porsi melebihi jumlah penumpang mobil. Heri dan Andi yang menjemput kami di Katundu sudah saya perhitungkan. Namun ternyata di situ ada lima orang, termasuk murid Heri, yang juga sedang menjemput kami. Untunglah Heri dan Andi sudah memasak mi instan rebus, sehingga bekal yang ada disantap bersama-sama dengan mi rebus itu. 

Saya sendiri, seperti biasa setiap waktu makan, sibuk mencari recycle bin. Porsi nasi dan ayam yang terlalu besar tidak mungkin saya bereskan. Maka berpindahlah separo porsi saya ke piring Zia.

Gerimis ternyata semakin rapat, namun kami harus terus bersiap. Pak Rahman sudah berganti mengenakan kaus dan celana pendek. Semua tas sudah dibungkus plastik. Anak-anak sibuk mengganti sepatunya dengan sandal jepit.  Pak Rahman memastikan saya mengenakan jas hujan. Semua bawaan saya dicek, apakah sudah aman atau belum. Sebuah tas plastik besar ditutupkannya di ransel saya dan ditentengnya ransel itu.

Kami berarak menuju dua perahu yang kami sewa, yang sudah menunggu di bibir pantai. Satu perahu ternyata milik pak Rasyid, dan satu perahu milik Heri. Ya, Heri telah merintis usaha dengan menyewakan perahunya, baik untuk transportasi maupun untuk mencari cumi.  

Perahu. Bukan kapal. Pantas saja Heri dan kawan-kawan selalu meralat kalau saya bilang kapal. 'Perahu, Ibu, bukan kapal', begitu katanya. Ternyata memang kendaraan laut kecil itu benar-benar perahu. Perahu nelayan yang menggunakan motor. Yang terbuka tanpa atap sama sekali. Dengan suara mesin yang meraung-raung. Asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan membuat hidung terasa berjelaga. Itulah kendaraan yang akan kami gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura. 

Entah kenapa, pada akhirnya saya memutuskan untuk menempuh perjalanan berisiko ini. Salura merupakan satu-satunya desa pulau di Sumba Timur dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Beberapa waktu yang lalu, Heri mengirim kabar via FB kalau sekolah di Salura terancam tutup karena tidak ada gurunya. Saat ini Salura yang sudah pernah mengancam untuk bergabung dengan Australia ini,  digunakan sebagai tempat penugasan peserta SM-3T untuk yang kedua kalinya. Hal-hal itulah yang mendorong saya akhirnya berada di sini. Tidak sekedar demi menunaikan tugas melakukan monev, tapi yang lebih penting adalah demi sebuah silaturahim. Juga, senyampang laut sedang relatif tenang.

Perjalanan berperahu mengarungi Samudra Hindia dari Katundu menuju Salura itu memerlukan waktu sekitar satu jam. Hampir separo perjalanan kami lalui di bawah guyuran gerimis yang rapat. Airnya asin. Ombak laut yang berwarna hitam seperti bekerjaran berlomba mendatangi kapal. Seolah siap menggulung. Ya, kami sedang berperahu melawan arus. Kapal menerjangnya, membuat kapal terhempas, oleng sebentar ke kanan dan ke kiri, dan ombak memercik menerpa wajah-wajah kami. 

Saya seperti tidak percaya, saya sedang berada di atas Samudra Hindia, berlayar dengan perahu nelayan. Tidak jauh di depan sana adalah laut lepas. Pulau Salura, Pulau Kambing dan Pulau Mengkudu nampak seperti gundukan bukit berwarna kecoklatan. Di seberang Pulau Mengkudu adalah Australia. Menurut Tamam, seorang peserta yang bertugas di Salura, bila kita menaiki bukit di malam hari, lampu-lampu di Benua Kanguru itu terlihat dari kejauhan.

Pada separo perjalanan berikutnya, gerimis reda. Meski matahari tak menampakkan diri sama sekali, dan kabut serta mendung tebal terus menyelimuti, tapi setidaknya kami tidak terus-menerus diguyur air hujan yang rasanya sangat asin itu.

Semakin dekat dengan Salura, ombak semakin tinggi dan disertai angin. Saya sangat merasakan goyangannya dan tiupan angin. Perahu terpaksa agak memutar untuk menghindari ombak besar menjelang merapat ke pantai. 

Setiap kali saya merasa agak cemas, saya melihat wajah-wajah di perahu itu, terutama dua orang awaknya. Mereka bergantian menjaga mesin dan membuang air di bagian dasar kapal dengan sebuah timba. Meski ombak menghempas-hempaskan perahu dengan cukup keras, wajah-wajah mereka sangat tenang. So, tidak ada alasan bagi saya untuk merasa cemas dan panik. Namun begitu, doa yang diajarkan ibu saat saya berlayar dengan Kapal Marsela di atas Laut Banda terus saya gumamkan. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.  

Akhirnya....saya pun tercengang penuh takjub. Subhanallah....indahnya. Salura ternyata begitu eksotis. Puluhan perahu nelayan berjajar di bagian tepi laut. Garis pantai yang putih bersih membentang dari arah kiri ke arah kanan saya. Pohon-pohon kelapa berjajar, dan di bawah pepohonan itulah rumah-rumah nelayan bersisian. Juga puluhan tenda-tenda.

Tenda-tenda itu adalah milik para nelayan yang eksodus dari Lombok untuk mencari cumi di laut ini. Tenda, pantai, perahu dan laut. Tempat ini menjadi begitu eksotis bukan hanya karena laut birunya dan gundukan bukit-bukit yang mengitarinya. Puluhan bahkan mungkin ratusan perahu yang sedang parkir di tepian laut itu membuatnya menjadi semakin eksotis. 

Begitu turun dari perahu, saya pun spontan membongkar tas saya untuk mencari apa pun yang bisa saya gunakan untuk mengabadikan pemadangan alam yang luar biasa ini. Sejak naik ke perahu tadi, tak ada seorang pun yang memotret karena semua barang elektronik diamankan dalam tas plastik untuk menghindari air hujan yang mengandung garam. Hanya saya saja yang nekad mengeluarkan BB dan sempat mengabadikan momen menjelang menaiki kapal. Saat ini, saya mengabadikan semua yang menghampar di depan saya dengan kamera pocket saya dan BB. Anak-anak pantai yang berlarian di atas pasir. Para nelayan yang sedang menyiapkan perahu-perahu. Dan laut, pantai, kabut, mendung tebal, pulau-pulau...semuanya telah saya rekam. Ya, meski hasil rekamannya tidaklah sebagus hasil jepretan fotografer profesional, tapi setidaknya, saya tidak terlalu banyak kehilangan momen.

Salura
Akhirnya
Kesentuh nadimu
Kuhirup aromamu
Kucumbui keindahanmu


Pulau Salura, Karera, Sumba Timur, 9 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN 

Minggu, 09 Juni 2013

Sumba Timur (3): Kawin Adat Sumba

Salah satu pengantin khas Sumba.
Setelah berjalan sekitar empat jam, kami mencapai Kananggar. Mobil berhenti. Oscar membuka kap depan mobil dan mengeceknya. Dia bilang, mobil masuk angin karena kemarin telat mengisi solar.

Di tempat kami berhenti, ada beberapa warung kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman. Mi instan, biskuit, wafer, air mineral, permen, dan beberapa jenis makanan kecil yang lain. 

Di sebelah warung itu, ada kantor koramil yang sekaligus menjadi rumah danramilnya. Bangunan yang sangat sederhana untuk disebut kantor. Satu-satunya tanda yang menunjukkan kalau bangunan itu kantor adalah papan nama terbuat dari kayu yang juga sangat-sangat sederhana. Juga bendera merah putih yang jahitan tepinya sudah koyak dan menjuntai. Seorang perempuan tengah menurunkan bendera itu dan mengibarkannya setengah tiang. Bela sungkawa untuk Taufiq Kiemas.

Sembari menunggu teman-teman di toilet kantor koramil, saya mengobrol dengan Oscar dan pak Rasyid. Salah satu bahan obrolan adalah tentang nikah adat Sumba. Obrolan itu terus berlanjut di perjalanan menuju Selura karena ternyata yang tertarik untuk mengetahui adat yang unik itu tidak hanya saya, tetapi juga pak Rahman dan anak-anak. 

Menurut dua narasumber saya ini, sampai saat ini, seorang pemuda Sumba yang ingin melamar seorang gadis Sumba, harus menyediakan sejumlah kuda sebagai belis (mas kawin). Jumlah kuda berkisar dari satu ekor sampai ratusan, sangat bergantung dari status sosial laki-laki dan perempuannya. Semakin tinggi tingkat status sosial seseorang, semakin banyak kuda dan harta (anahita atau kalung Sumba dan kain-kain Sumba) yang harus disediakan. Namun kuda-kuda itu tidak dibayar putus. Artinya, dibayar secara bertahap, sesuai dengan aturan adat.

Bila sebuah keluarga sudah menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan seorang laki-laki, maka keluarga perempuan tersebut akan mengundang keluarga besarnya untuk menyampaikan bahwa ada laki-laki yang menginkan anak perempuan mereka. Bila keluarga besar pihak perempuan sudah menyetujui, maka pihak laki-laki mulai mempersiapkan diri. 

Persiapan dari pihak laki-laki berupa sedikitnya dua ekor kuda, satu jantan dan satu betina. Selain itu juga mamoli (bandul kalung, di sini disebut mainan) dan luluamah (tali yg dianyam dari kawat monel, perlambang tali kuda).

Keluarga perempuan akan mengutus seorang wunang (juru bicara) dari pihak perempuan ke pihak laki-laki. Wunang dari pihak perempuan akan bertemu dengan wunang pihak laki-laki. Bila kedua wunang sudah bersepakat, keduanya akan merundingkan waktu untuk berkenalan.  

Pada tahap perkenalan, pihak laki-laki akan datang kepada pihak perempuan. Pada saat itu, kuda harus sudah dibawa, juga maloli dan luluamah. Inilah tahap awal pihak lelaki harus mulai menyerahkan hewan sebagai belis. Pada tahap ini pula, kedua pihak sudah mulai 'bicara adat'. Pembicaraan bisa cepat bisa lama, bisa mulai pagi sampai tengah malam. Bergantung dari 'nego-nego' dan tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Bila sudah tercapai kesepakatan, laki-laki akan diterima oleh pihak keluarga perempuan. Konon, pada acara tersebut, makanan tidak akan disuguhkan sebelum kesepakatan tercapai. 

Selanjutnya, beberapa waktu berikutnya, pihak laki-laki akan datang lagi kepada pihak keluarga perempuan untuk menyatakan bahwa dia punya tanggung jawab. Pada tahap ini, pihak laki-laki membawa hewan lagi. Sedikitnya delapan ekor kuda untuk kalangan biasa. Untuk kalangan bangsawan bisa mencapai puluhan, misalnya dua puluh atau tiga puluh. 

Bila pihak perempuan sudah bisa menerima, kedua sejoli ini sudah boleh tinggal bersama, punya anak, tetapi belum menikah. Tahap ini bisa terjadi bertahun-tahun sampai kedua belah pihak siap untuk menuju jenjang adat berikutnya. 

Bila mereka mau menikah di gereja, kedua keluarga pihak laki-laki dan perempuan, harus bertemu lagi. Lagi-lagi, pihak keluarga laki-laki harus membawa hewan lagi. Uniknya, meskipun mereka sudah menikah sah di gereja,  perempuan belum menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Masih ada satu tahap lagi bila laki-laki ingin si perempuan tersebut menjadi hak dia sepenuhnya. 

Tahap itu adalah tahap di mana laki-laki meminta hak sepenuhnya atas perempuan tersebut untuk dibawa ke rumah keluarganya. Lagi-lagi, dia harus bawa hewan lagi. Sekitar dua puluh ekor minimal utk orang biasa, dan enam puluh ekor untuk kalangan bangsawan. Bila tahap ini sudah dipenuhi, barulah si perempuan bisa dibawa dan menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Pada tahap ini, bila jumlah total hewan yang diserahkan oleh pihak laki-kaki sampai mencapai seratus ekor, yang dibawanya tidak hanya perempuan istrinya itu, namun juga dua-tiga orang pembantu istrinya. Selesailah nikah adat. 

Waktu yang diperlukan mulai dari perkenalan sampai tuntas nikah adat, bisa mencapai puluhan tahun. Seringkali sampai kedua sejoli telah bercucu. Oscar, yang saat ini sudah memiliki anak berusia sembilan tahun, belum selesai nikah adatnya. Dua tahun yang lalu dia baru melaksanakan nikah gereja. Meski mereka sudah memiliki rumah sendiri, namun, istilah Oscar, istrinya masih dalam kawasan keluarga besarnya.

Unik. Begitulah.

Karera, Sumba Timur. 9 Juni 2013. 12.05 WITA.

Wassalam,
LN

Sabtu, 08 Juni 2013

Sumba Timur (2): Menuju Selura

Salah satu kondisi alam; anak-anak harus menyeberangi
sungai yang berbahaya bagi keselamatan mereka.
Selura. Nama pulau ini begitu memenuhi benak saya. Konon, adalah pulau yang indah. Termasuk dalam wilayah Kecamatan Karera. Bagian selatan Sumba Timur. Selama dua angkatan program SM-3T, kami belum pernah ke Selura. Mencocokkan waktu monev dengan kondisi laut tidaklah terlalu mudah. 

Pagi ini ada dua armada. Satu armada, dengan mobil double gardan, menuju Pinupahar, kecamatan terjauh di Sumba Timur. Bapak Rektor sudah pernah mencapai tempat itu pada monev tahun lalu. Armada ini terdiri dari Dr. Suyatno, Kahumas Unesa dan Dr. Suryanti, PD2 P3G Unesa. Dua pejabat itu didampingi (lebih tepatnya 'ditunuti') oleh tujuh peserta SM-3T. Mereka adalah para peserta dari Tabundung dan Pinupahar. Anak-anak itu merapat ke kota Waingapu beberapa hari ini dalam rangka seminar pendidikan yang kemarin telah sukses diselenggarakan. 

Armada yang lain adalah mobil panther touring dengan driver setianya, Oscar Adiyiwa, 'koordinator transportasi' kami di Sumba Timur. Saya bersama Drs. Abdurrahman Tuasikal, M.Pd ada di armada ini. Mantan dekan FIK itu begitu membuat kami kagum. Dalam kondisi apa pun, puasa daudnya terus bertahan. Hari ini beliau juga puasa, tak peduli sejauh dan seberat apa pun medan yang akan kami tempuh.

Oya, selain kami berdua, ada bapak Rasyid, guru SD Inpres Pulau Selura. Usianya 53 tahun. Mengajar di Selura sudah 37 tahun, sejak 1984. Aslinya dari Alor. Beliau kemarin turun ke kota dalam rangka mengikuti seminar. Menumpang perahu nelayan dari Selura ke Katundu dengan jarak tempuh sekitar satu jam, lanjut menumpang oto menuju Waingapu dengan jarak tempuh sekitar tujuh jam. Demi menimba pengetahuan dan wawasan.

Dengan pak Rahman dan pak Rasyid.
Selain Bapak Rasyid, ada Tamam, datang khusus untuk memandu kami menuju Selura. Dia memang ditugaskan di Selura. Juga ada Zia Zatul, lurah SM-3T. Yang lain adalah Lukman dan Sigit.

Kami berangkat dari Hotel Elvin pada 06.30 WITA. Baru kali ini kami melakukan monev dengan mobil penuh penumpang. Di rute Pinupahar ada sepuluh orang, sedang yang ke Selura ada delapan orang. Yang ke Pinupahar, lima peserta yang kebanyakan perempuan, terpaksa duduk di bak belakang, karena tempat duduk tentu saja tidak cukup. Namun bagaimana pun, itu masih jauh lebih nyaman, daripada naik oto. 

Cuaca tidak terlalu bagus hari ini. Heri yang di Selura mengabarkan Selura hujan deras dan dia berharap Waingapu tidak hujan. Karena kalau Waingapu hujan deras, sungai di Gongi bisa banjir dan itu artinya, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Selura. 

Sebagaimana kondisi alam Sumba pada umumnya, bukit-bukit, padang sabana, hutan, lembah dan ngarai, mewarnai perjalanan kami. Gerombolan kuda yang sedang merumput dan berlarian di bukit-bukit. Sawah-sawah yang padinya mulai menguning menghampar indah di bawah sana. 

Namun gerimis yang rapat dan kabut tebal mengaburkan puncak-puncak bukit. Menyembunyikan kontur lembah-lembah. Dan, sejujurnya, memunculkan kegelisahan di hati kami. Kami hanya bisa berharap, Tuhan cukup mengirimkan gerimis, mendung dan kabut saja. Namun tidak sampai mengirimkan hujan deras apalagi sampai meluapkan air sungai Gongi. 

Izinkan kami mencapai Selura, ya Allah. Dengan sepenuh perlindungan dan ridho-Mu. Amin YRA.

Bersambung...

Tanarara, Matawai Lapau, Sumba Timur, 9 Juni, 2013. 09.30 WITA. 


Wassalam,
LN

Jumat, 07 Juni 2013

Sumba Timur (1): Seminar Pendidikan yang Membanggakan

Keharuan saya tumpah pagi ini begitu memasuki ruangan Gedung Nasional. Semua kursi di ruang itu penuh. Ada backdrop cukup besar terpampang di depan yang menjadi pusat perhatian. Ada banner besar di sisi kiri, warnanya merah muda. Dua layar LCD di sisi kanan kiri backdrop yang di depannya tertata meja panjang dan kursi-kursi.

Saya benar-benar terharu. Ternyata peserta seminar ini begitu banyak. Padahal tadi malam, ketika berkoordinasi dengan para panitia, peserta yang sudah memberikan konfirmasi kehadiran baru 49 orang. Tapi saya membesarkan hati panitia. Optimis saja. Empat puluh sembilan itu sudah bagus. Prediksi kasarnya, kalau 49 sudah positif, maka kemungkinan besar yang hadir lebih dari 49. Biasanya jumlah peserta seminar akan membludak justeru pada hari H. 

Mereka, para peserta seminar itu, adalah kepala sekolah dan guru dari seluruh pelosok Sumba Timur. Beberapa wajah saya kenal dengan sangat baik karena saya pernah berkunjung ke sekolah-sekolah. Mereka datang dari Pinupahar, Tabundung, Mahu, Matawai Lapau, Pahunga Lodu, dan dari kecamatan lainnya. Tidak tangung-tanggung, dua belas jam perjalanan mereka tempuh dengan menumpang oto (bus kayu/truk). Karena jauh dan sulit medan yang harus ditempuh, mereka berangkat kemarin. 

Pagi ini mereka semua ada di sini. Sekitar 250 orang. Semua kursi berpenghuni. Hebat. Luar biasa. Ini bukti mereka begitu haus akan informasi. Juga bukti bahwa publikasi panitia kegiatan berhasil dengan sukses. Membanggakan sekali.  
Semalam, sebenarnya saya agak pesimis acara bisa dimulai tepat waktu. Saya pikir akan molor barang setengah atau satu jam. Ternyata tiga puluh menit sebelum pukul 09.00 WITA, saya sudah ditelepon oleh panitia, kalau acara sudah siap, dan peserta sudah banyak yang datang. 

Tema seminar adalah 'Mendidik dengan Karakter untuk Meningkatkan Potensi Peserta Didik'. Pelaksanaannya di Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi (biasa disebut Gedung Nasional), Waingapu.
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Peserta SM-3T Unesa, Program PPG Unesa, dan Dinas PPO Kabupaten Sumba Timur. Disponsori oleh Telkomsel dan Aquamor.

Perfect. Saya katakan, acara ini sangat sukses. Melampaui ekpektasi saya. Semalam, mereka konsultasi tentang bagaimana mengemas diskusi, apa peran moderator, apa yang harus dilaporkan oleh ketua panitia, dan sebagainya. Hari ini mereka melakukan semuanya dengan sangat baik. 
Acara demi acara pun berjalan dengan sangat lancar. Dimulai dengan menyanyikan lagi Indonesia Raya, pembacaan doa, sambutan dan pembukaan, acara inti, dan hiburan-hiburan. Sound system-nya sempurna. Perpindahan dari satu acara ke acara lainnya mengalir. Tidak ada jeda waktu yang terbuang.

Oya, ada yang unik. Pada saat mengantarkan acara, pembawa acara menyampaikan supaya selama acara berlangsung, peserta seminar tidak diperkenankan merokok atau mengunyah sirih pinang. Himbauan yang sangat khas dalam pertemuan-pertemuan formal di daerah NTT.

Acara dibuka oleh Kepala Dinas PPO, mewakili bupati yang tidak bisa hadir karena ada pejabat dari pusat. Sebelum sambutan kepala dinas, tari remo dibawakan dengan gemulai oleh salah seorang peserta SM-3T. Hiburan lainnya adalah pantomim dan paduan suara. Bagus, menarik, rancak.
Sangat menghibur dan mengundang kekaguman. Aplaus panjang seringkali mewarnai rangkaian acara tersebut. 
  
Keynote speaker pada seminar ini adalah Ruben Nggulindima, S.Sos., M.Pd, Sekretaris Dinas PPO Sumba Timur. Materinya adalah kebijakan Dinas PPO dalam pengembangan karakter melalui pendidikan. Saya sendiri menyampaikan materi hakekat guru, dan Dr. Suryanti (PD 2 Program PPG) memberikan materi inmplementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.  
Peserta mengikuti materi demi materi dengan begitu penuh perhatian. Mengingat siapa audience, saya mempresentasikan banyak gambar dalam tayangan saya. Foto anak-anak sekolah di Sumba Timur dengan berbagai aktivitas mereka (mengambil air, mencari sayuran di kebun, bermain di sekolah, dan sebagainya), kondisi sekolah, aktivitas guru-guru (baik guru asli Sumba Timur maupun guru-guru SM-3T), kondisi alam dan masyarakat Sumba Timur, dan seterusnya. Saya juga menayangkan foto-foto yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dan betapa jauh ketertinggalan Sumba Timur dengan dunia luar. Oleh sebab itu, Sumba Timur, terutama dalam bidang pendidikannya harus memacu diri supaya tidak semakin jauh tertinggal. Guru-guru merupakan ujung tombak dalam mengejar ketertinggalan itu. Maka guru harus memiliki pengetahuan, keterampilan, jejaring, dan di atas semua itu, guru harus berkarakter. Saya tampilkan berbagai bukti hasil penelitian dan survey, betapa karakter menjadi tuntutan dan faktor utama agar mampu bertahan dalam perkembangan dunia seperti apa pun. 

Setelah sesi saya, bu Yanti menyampaikan materinya dengan cara yang tak kalah menarik. Dia memperagakan dengan sangat gamblang bagaimana karakter diintegrasikan dalam pembelajaran. Dia mendemonstrasikan pembelajaran yang mengaktifkan siswa dengan media kertas, botol air mineral, gelas, dan beberapa alat yang ada di sekitarnya. Beberapa guru dipanggilnya untuk memperagakan percobaan-percobaan sederhana seolah mereka adalah siswa sekolah. Menyenangkan dan sangat mencerahkan sekali.

Pada sesi tanya jawab, tidak terduga, guru-guru dari pedalaman itu begitu antusias mengangkat tangannya untuk mengambil kesempatan tersebut. Namun karena waktu sangat terbatas, hanya lima orang saja yang diberi kesempatan bertanya. Beberapa buku kami serahkan sebagai apresiasi pada mereka yang telah bertanya dan memperagakan percobaan, termasuk buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', buku hasil tulisan para peserta SM-3T, yang dikompilasi oleh wartawan senior Jawa Pos, Rukin Firda.

Hari ini begitu menyenangkan. Bukan hanya karena suksesnya acara seminar. Namun nilai-nilai yang terbangun di balik kesuksesan itu. Ini adalah bukti kerja keras dan kerja cerdas dari anak-anak kami ini. Mereka telah menorehkan satu catatan indah di benak para guru di Sumba Timur. Mereka telah melakukan tindakan nyata untuk membawa mereka pada peradaban yang lebih terbuka, saling menghargai, dan menempatkan pendidikan dan anak didik sebagai titik sentral pembangunan di semua bidang. 

Gedung Nasional, Waingapu, Sumba Timur. 8 Juni 2013.

Wassalam,
LN

Selasa, 09 April 2013

Ke Talaud Lagi (5): Bertemu Bupati

Pukul 07.30. Kami sudah siap di teras Hotel Meysan (sebenarnya bukan hotel, tapi homestay). Pak Rektor, Pak Sulaiman dan pak Yoyok sedang menikmati kopi dan sepotong roti. Saya dan bu Trisaksi menikmati teh manis. 

Tak berapa lama Dani dan Abner datang bersama mobil mereka. Kami pun bersiap. Dani dan Abner membantu memasukkan bagasi kami ke mobil. Pak Sulaiman membereskan pembayaran hotel.

Beo masih sepi ketika kami keluar dari halaman hotel Meysan. Belum ada warung buka. Keinginan kami untuk sarapan nasi kuning harus tertunda. Pagi ini kami diagendakan bertemu bupati. Maka kami pun meluncur langsung ke Melongwane, dalam guyuran gerimis yang rapat.

Di tengah perjalanan, bu Suzan mengabari bahwa bupati ada tamu mendadak dari Kejati. Terpaksa pertemuan kami tertunda beberapa saat karena bupati menginginkan bisa bertemu pak Rektor secara khusus di rumah dinas beliau. Tentu saja setelah acara dengan Kejati. Kami akhirnya mampir di rumah Ibu Yeti, sekdinas, di sana hanya sebentar, kemudian lanjut ke rumah makan Panorama di pinggir pantai. Sarapan. Menunya ikan bakar, ca sayur dan, tentu saja, dabu-dabu. Karena memang lagi lapar-laparnya, semua hidangan di atas meja habis. Apalagi pantai yang penuh perahu dan speedboat menjadi pemandangan cantik yang menemani makan pagi kami. Perut lapar, makanan enak, dan pemandangan laut yang indah. Lengkap.

Baru beberapa menit kami menyelesaikan makan pagi kami ditelepon bu Suzan kalau kami ditunggu di rumah ibu Yeti untuk makan pagi. Waduh. Undangan makan yang tidak terlalu pas waktunya, karena perut kami sudah penuh semua. Tapi supaya tidak mengecewakan, kami tetap memenuhi undangan bu Yeti, hitung-hitung sambil menunggu kedatangan bupati. Pak Yoyok menyediakan diri untuk meluncur ke bandara, check in, karena siang ini kami akan terbang ke Menado lanjut ke Surabaya. Kami khawatir kalau kami tidak check in dulu, seat kami tidak aman. Pengalaman kami, di kota kecil, dengan penerbangan yang sangat terbatas, main serobot untuk mendapatkan seat di pesawat adalah hal yang lazim, maka lebih cepat check in lebih baik. 

Dari rumah ibu Yeti yang indah, kami menuju rumah dinas bupati. Ternyata bupati belum tiba. Kami disilakan duduk di ruang tamunya yang luas dan bersih. 

Tak berapa lama, terdengarlah deru mobil di luar. Sosok itu muncul. Berbusana T-shirt kuning, bercelana jeans, berkaca mata hitam. Posturnya tidak terlalu tinggi, badannya tegap. Itulah Drs. Costantine Ganggali, MM, bupati Kepulauan Talaud. Beliau mengulurkan tangan, menyapa kami ramah, menyilakan kami kembali duduk, sementara beliau pamit masuk ke dalam rumah dulu sebentar, diikuti ajudannya. Sejurus kemudian beliau keluar lagi, masih dengan busana yang sama, hanya sudah tidak berkaca mata hitam lagi.

Dialog antara bupati, rektor, kami semua pun, berjalan dengan gayeng. Ada beberapa hal penting yang kemudian disepakati untuk ditindaklanjuti. Selain tentang keberlanjutan program SM-3T di Talaud, juga tentang kerja sama program untuk 'ngopeni' siswa-siswa yang berprestasi tapi tidak mampu. Secara teknis, pak Rektor menyerahkannya ke saya dan teman-teman untuk mewujudkan kerja sama tersebut.

Akhirnya kami pamit setelah pak Rektor menyerahkan sejumlah buku dan cindera mata untuk bupati. Pak Yoyok sudah mengabarkan dari bandara kalau check in sudah beres. Hari ini kami akan terbang dengan Wings Air menuju Menado. Transit sekitar tiga jam, kemudian terbang lagi menuju Surabaya. Diperkirakan jam 19.00 WIB nanti kami akan tiba di Surabaya.

Semoga lancar perjalanan...
Amin YRA.

Melongwane, 10 April 2013

Wassalam,
LN

Ke Talaud Lagi (4): Lagi, Disambut dengan Upacara Adat

Sebuah sekolah di kaki bukit nan indah...
Perjalanan monev kami mulai lagi. Start dari hotel Meysan di Beo, kami berangkat menyusur sisi timur. Waktu menunjukkan pukul 07.15 ketika kami mencapai Kecamatan Rainis, hanya sekitar 15 menit dari Beo. Hanya sekitar 15 menit itu juga kami menikmati jalan beraspal yang relatif mulus. Setelah itu jalan tetap beraspal, namun kondisinya yang rusak di mana-mana lagi-lagi membuat tubuh kami kembali terkocok-kocok di dalam mobil.

Di mobil kami ada pak Rektor, saya, bu Suzan, serta Dani yang mengemudikan mobil. Pak Yoyok bergabung di mobil satunya, bersama bu Trisakti dan pak Sulaiman. Bu Suzan adalah Kasi SD dan SMP Dinas Dikpora, hari ini perempuan cantik dan gesit itu bisa mendampingi kami untuk melakukan perjalanan monev. 

Kemarin, laut yang indah ada  di sisi kiri kami karena kami menyusur sisi barat Talaud. Hari ini, laut yang indah ada di sisi kanan kami. Kadang kilaunya tertutup oleh barisan pohon kelapa, pohon pisang dan hutan jati yang rapat. Meski semalaman hujan deras, bahkan sampai pukul 05.00 pagi tadi, nampaknya matahari yang pagi ini bersinar terang menjanjikan kecerahan. Mudah-mudahan benar-benar cerah sepanjang hari, karena ada beberapa penggal perjalanan yang tidak bisa kami tempuh dengan mobil, tapi dengan bersepeda motor. 

Di Kabupaten Kepulauan Talaud ada 115 SD, 40 SMP, 16 SMA/SMK, dan 91 TK. Tersebar di 19 kecamatan, yang terdiri dari 142 desa dan 12 kelurahan. Jumlah guru seluruhnya sekitar 2000 orang namun pada tahun ini akan segera berkurang sekitar 200 orang karena pensiun. Sebagian besar guru sudah memenuhi kualifikasi S1/D4, tidak lebih dari dua persen yang belum memenuhi. 

Sekolah yang pertama kali kami kunjungi adalah SMP Satap 1 Rainis. Ada dua peserta SM-3T yang ditugaskan di sekolah tersebut, Fatim dan Anis. Selain mereka berdua, ada juga Ririn, yang sebenarnya bertugas di SDN Inpres Pulutan. Namun karena rute ke Pulutan terlalu jauh dan sangat beda arah, maka Ririn merapat ke Rainis supaya kami bisa bertemu. Ketiga anak manis itu cerah-cerah wajahnya, lebih cantik dari saat pertama kami melihatnya dulu. Ketika kami menanyakan apa ada masalah yang mereka ingin sampaikan, dengan yakin mereka menjawab, 'tidak, ibu. Kami semua baik-baik saja di sini. Kami su krasan, su gemuk semua...'.

Agak lama juga kami berada di sekolah itu. Saya lebih banyak mendampingi pak Rektor berdialog dengan kepala sekolah, guru-guru dan peserta SM-3T. Pak Yoyok, bu Trisakti dan pak Sulaeman lebih banyak memanfaatkan waktu berdialog dengan para siswa, masuk ke kelas-kelas mereka, bercanda, bernyanyi-nyanyi. Saya sempat sebentar bergabung bersama mereka namun segera kembali ke ruang kepala sekolah menemani pak Rektor.

Sekitar pukul 08.45 kami melanjutkan perjalanan lagi setelah menikmati kue-kue sederhana khas Rainis, juga sepotong dua potong buah pepaya. Hanya sekitar lima belas menit kemudian kami sudah mencapai desa Tuabatu. Sebuah desa yang indah, dengan rumah-rumah sederhana yang pekarangannya penuh dengan tanaman, terutama pohon jeruk limau (di sini disebut 'bosa). Gereja-gereja adalah bangunan yang sangat menonjol di antara rumah-rumah yang bersih itu.

Kami tiba di SDK Sion Tuabatu pada sekitar pukul 09.30. Bertemu dengan dua peserta SM-3T yang manis-manis, Yuni dan Tetta. Dua makhluk mungil itu basah matanya ketika saya memeluknya. Mereka tidak ada masalah apa pun dengan sekolah, dengan masyarakat. Mereka hanya kangen pada rumah. Kangen pada ayah ibu, dengan saudara-saudara, teman-teman. Kangen makan masakan ibu. Kangen makan bakso. 

Setelah berdialog dengan ibu kepala sekolah dan guru-guru, kami menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Meski perut kenyang, tapi pantang menolak. Herannya, meski perut kenyang, kami makan banyak juga: kupat, cakalang masak santan, ikan goreng bumbu, oseng kangkung campur indomie, kue cucur, kue mangkuk dan teh manis.

SMP 3 Rainis kami kunjungi setengah jam kemudian, dengan mengendarai motor, karena kami harus melanggar sungai dengan menaiki rakit. Enam motor tersebut milik para guru dan masyarakat setempat, pengendaranya juga mereka semua. Mobil kami parkir di SDK Sion. Di SMP 3 Rainis, kami bertemu Venta. Cowok ngganteng dari prodi Pendidikan Jasmani itu menyambut kami dengan senyum cerahnya. Baju olah raganya mengesankan dia sedang mengajar dan betapa dia menikmatinya.

TK-SDN Satap Binalang kami kunjungi pada pukul 10.45. Tentu saja dengan mengendarai sepeda motor. Juga menyeberang sungai dengan menaiki rakit. Rakitnya ditarik oleh dua orang tenaga manusia, bapak-bapak, dan hanya bisa mengangkut sebuah sepeda motor plus tiga orang sekali jalan. Lebih dari itu sudah overload. Sebenarnya waktu tempuhnya tidak lebih dari lima menit, namun karena rakit harus bolak-balik menjemput dan mengantar kami, maka waktu yang diperlukan lumayan juga. Sekitar tiga puluh menit. 

Peserta SM-3T yang bertugas di sekolah ini adalah Yogi Sumarsono, dari prodi PKn. Wajah manisnya nampak bahagia dan tidak menyimpan masalah. Kata kepala sekolah dan guru-guru, dia sangat rajin, tidak pernah membolos, dan sudah pernah masuk ke semua kelas. Kepala sekolah dan guru-guru berharap tahun depan tetap ada guru SM-3T yang ditugaskan di sekolah tersebut.

Selanjutnya kami mengunjungi SMPN 4 Rainis di Dapalan, setelah melewati pantai yang panjang dan beberapa kali harus turun karena pantai terpotong oleh aliran muara. Sepeda motor yang kami tumpangi juga beberapa kali oleng karena terjerembab oleh pasir pantai yang tebal. Perjalanan di pantai yang sesekali diselingi dengan perjalanan di antara kebun-kebun kelapa, dengan kondisi jalan yang banyak genangan air yang dalam, licin, becek, kami tempuh selama sekitar satu jam. Jembatan-jembatan kecil di atas sungai yang dibuat dari papan-papan pohon kelapa juga beberapa kali membuat hati kami was-was. Tahun lalu saya sudah pernah jatuh ke dalam salah satu jembatan itu dan 'nyemplung' ke sungai bersama sepeda motor dan pengendaranya.

Sebelum masuk SMP 4 Rainis, kami disambut dengan tarian adat. Sekelompok siswa SMP yang semuanya laki-laki, berbusana adat kuning gading,  menari dengan tombak dan iringan musik tambur yang rancak. Lebih dari seratus anak sekolah berseragam SD dan SMP berbaris memanjang, panjang sekali sampai ke pintu gerbang sekolah. Kami mengikuti pak Rektor berjalan di tengah barisan yang menyemut itu, menyapa mereka yang semuanya berwajah cerah dan menyungging senyum manis yang tulus. Di ujung barisan adalah pintu gerbang sekolah, dan para guru sudah berdiri berjajar untuk menyambut kami. Ada Kepala UPTD Kecamatan Dapalan juga yang sejak tadi menemani perjalanan kami, beberapa kepala sekolah di kecamatan Dapalan, dan juga masyarakat setempat.  

Ketika saya mendampingi pak Rektor beramah-tamah dengan kepala sekolah, di halaman sekolah ramai sekali. Para siswa menyanyi dipandu oleh seorang guru. Ada juga sesi pengambilan gambar saat seorang guru memberikan semacam testimoni tentang kesan dan harapan mereka pada keberadaan guru-guru SM-3T. Wah, ramai dan meriah sekali.

Setelah itu kami dibawa menuju ruang makan, memasuki sebuah ruang kelas besar. Di sini kami harus bilang 'wow' (andaikata bisa koprol, mungkin sambil koprol he he). Betapa tidak. Tak terbayangkan kami akan disambut dengan puluhan jenis hidangan yang sudah tertata di atas empat meja panjang. Belasan ibu berdiri di sepanjang sisi-sisi meja itu sambil mengibas-ngibaskan serbet, menjaga supaya makanan itu tidak dihinggapi lalat. Ada beberapa makanan pokok yang dihidangkan: nasi bungkus, kupat, nasi kuning, nasi beras ladang, ubi bentul, ubi kayu, ubi jalar dan sagu. Lauk nabatinya: oseng kangkung campur mie, sayur daun belinjo dan labu kuning, daun gedi, daun singkong, daun pakis, terong, yang hampir semuanya dimasak santan. Lauk hewaninya; belasan jenis ikan mulai dari yang kecil sampai yang besarnya selengan orang dewasa, yang dimasak menjadi bermacam-macam hidangan. Cakalang masak santan juga tidak ketinggalan, jenis hidangan ini memang sangat populer di Talaud dan di Menado. Hidangan dari ayam, telur dan tahu juga tidak ketinggalan. Ada lagi puding dan bolu serta buah pisang yang ranum-ranum. Kami yang terpana dengan semua makanan itu sibuk potret sana-sini sampai dipaksa-paksa para ibu supaya segera makan dan tidak sibuk memotet saja.

Saya jadi teringat tentang ketahanan pangan nasional. Setiap tahun saya terlibat dalam berbagai kegiatan sosialisasi dan pelatihan dalam upaya percepatan ketahanan pangan nasional, bersama Badan Ketahanan Pangan (BKP)  Provinsi dan BKP kabupaten/kota se-Jawa Timur. Salah satu tujuan sosialisasi ketahanan pangan adalah mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras sebagai satu-satunya bahan makanan pokok. Sudah lebih dari dua dekade program pemerintah ini diluncurkan, namun keberhasilannya belum signifikan. Di Talaud ini, di ujung NKRI yang paling utara, masyarakat tidak hanya mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok. Berbagai macam umbi-umbian, juga pisang dan sagu, menjadi bagian tak terpisahkan dari menu sehari-hari mereka.  

Setelah acara makan-makan, kami pindah ke ruang kelas yang lain untuk mengikuti pertemuan dengan kepala UPTD, kepala sekolah, guru-guru dan juga para peserta SM-3T. Di antara acara sambutan dari rektor dan kepala sekolah, juga diselingi paduan suara. Untuk yang kedua kalinya sejak monev kemarin, kami menikmati lagu 'Kami Peduli' yang dinyanyikan siswa. Kami juga menikmati lagu yang berjudul 'Keliling Karakela' yang dinyanyikan oleh para peserta SM-3T. Lagu ini merupakan lagu khas Talaud, yang menceriterakan nama-nama desa di seluruh Kabupaten Kepulauan Talaud. Sony dan kawan-kawan menyanyikannya dengan cukup apik. Kata bapak kepala UPTD, anak-anak SM-3T itu sudah sangat mahir berbahasa Talaud dengan logat yang 'sangat Talaud'.

Kami pamit setelah sesi dialog khusus dengan peserta SM3T yang kami lakukan di mess tempat peserta tersebut tinggal. Hujan deras. Ya, ternyata matahari yang pagi tadi bersinar cerah tidak seperti dugaan kami ketika siang. Hujan turun sejak pukul 12.00, dan tak kunjung berhenti sampai akhirnya kami memutuskan pulang sambil berhujan-hujan. Semakin sore semakin repot nanti, mengingat jalan yang sangat licin dan banyak bagian-bagiannya yang membahayakan.

Karena tidak ada jas hujan, kami menutupi semua kepala kami dengan tas plastik yang dibelikan anak-anak di warung dekat sekolah. Tas plastik itu berwarna merah. Selain kepala, ransel dan tas-tas juga kami bungkus dengan tas kresek yang sama warnanya. Maka kami pun seperti mengenakan kostum yang aneh. Antara backpacker dan kura-kura ninja. Ha ha. Meski geli dengan busana perang kami, kami pamit pada kepala sekolah dan guru-guru dengan gagah berani.

Kami meninggalkan Dapalan pada sekitar 15.30. Di tengah gerimis yang awalnya rapat, namun tak berapa lama agak mereda. Alhamdulilah. Laut sedang pasang sehingga kami tidak bisa lagi melewati pantai seperti saat berangkat tadi. Sebagai gantinya adalah kami terus melewati kebun kelapa, menyelinap di antara pepohonan jangkung itu mengikuti jalan setapak, dengan kondisi jalan yang basah, penuh genangan, penuh lumpur, dan tentu saja sangat licin. Kondisi ini membuat perjalanan pulang menjadi jauh lebih berat dibanding berangkat tadi. Berkali-kali kami harus turun dari boncengan sepeda motor, berjalan beberapa meter, karena jalan yang kami lalui sangat membahayakan, penuh lumpur. Meski begitu, tidak ada satu pun dari kami yang mengeluh. Pak Rektor pun terkesan sangat menikmati perjalanan meski di bawah gerimis tipis dan senja beranjak turun.

Akhirnya kami sampai pada sungai terakhir. Kami menaiki rakit lagi. Air sungai yang keruh dan mengandung lumpur menggerakkan rakit yang kami tumpangi, dikendalikan oleh dua orang bapak. Meski menaiki rakit, sepatu dan celana bagian bawah kami basah kuyup dan tak mungkin menghindar karena rakit memang tidak sepenuhnya mengambang di atas air. Arus deras dari laut mengirimkan riak-riaknya sampai mencapai rakit dan sedikit menenggelamkannya.

Sore ini tuntas sudah tugas kami. Sebanyak 29 peserta SM-3T yang ditugaskan di Talaud sudah kami temui semua. Mereka dalam keadaan baik dan tetap bersemangat melanjutkan tugas pengabdiannya sampai saatnya nanti mereka harus ditarik dan masuk ke pendidikan profesi. Wajah-wajah optimis mereka membanggakan dan menenangkan kami.

Selamat bertugas, kawan, doa kami selalu menyertai....

Beo, Talaud, 9 April 2013

Wassalam,
LN

Senin, 08 April 2013

Ke Talaud Lagi (3): disambut Upacara Adat

Tim Monev menyeberangi sungai menggunakan rakit.
Pukul 13.30 WITA. Perjalanan monev dimulai. Start dari kantor Dinas PPO Kabupaten Kepulauan Talaud, setelah bertemu dengan bu Suzan dan bu Jeti, dua perempuan pejabat Kantor Dinas PPO yang cantik-cantik dan supel, kami berkendara dengan dua mobil. Pak Rektor, pak Yoyok dan saya ada di satu mobil bersama Dani, driver yang tahun lalu juga kami sewa untuk mengantar kami ketika mengantarkan para peserta SM-3T. Pak Sulaiman dan bu Trisakti bersama Abner, driver di mobil mereka. Meskipun sebenarnya dengan satu mobil cukup, tapi medan yang berat membuat kami memutuskan menyewa dua mobil. Kasihan penumpang yang duduk di jok belakang, bisa 'mabuk kepayang'. Kursi jok belakang sengaja dilipat untuk bagasi-bagasi kami.

Kami menyusur sisi barat. Dari Melongwane, ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud, menuju Beo, Essang dan Bulude. Sebenarnya masih ada dua kecamatan lagi di sisi barat ini, yaitu Mamahan dan Gemeh, namun karena waktunya tidak memungkinkan, maka kami berhenti di Bulude. Semua peserta SM-3T yang bertugas di sisi barat berkumpul di Bulude. Hari ini kami rencanakan untuk bertemu dengan para peserta saja, tidak memungkinkan untuk mengunjungi sekolah-sekolah karena waktunya sudah terlalu siang atau sore.

Di sepanjang perjalanan, laut yang indah ada di sebelah kiri kami. Pohon kelapa dan cengkeh yang rapat memenuhi sisi kanan dan kiri di sepanjang jalan. Pak Rektor bertanya: 'apa jalannya cukup bagus?'. Saya menjawab bahwa jalan cukup bagus. Yang saya maksud bagus adalah beraspal, meski lubang-lubang menganga di mana-mana dan berkelok-kelok naik turun. Setidaknya, untuk beberapa jam ke depan,  jalannya beraspal.

Pukul 14.30-an kami mencapai Beo. Hujan gerimis dan mendung tebal. Dani dan Abner berputar-putar mencari solar. Di beberapa tempat penjualan, solar habis. Akhirnya dapat solar di salah satu kios di dekat hotel tempat kami menginap nanti, harganya Rp. 8.000,-/liter. Pak Yoyok memanfaatkan waktu mampir ke hotel, mengamankan beberapa kunci kamar hotel. Semua hotel di Melongwane penuh karena ada kegiatan besar dari Dinas Perikanan, maka kami terpaksa menginap di Beo. Di hotel yang ada di Beo ini, hanya tersedia sepuluh kamar. Kalau kunci tidak kami amankan, bisa-bisa kami tidak dapat kamar untuk menginap nanti malam. Hotel di Melongwane atau Beo, jangan bayangkan seperti hotel-hotel di Jawa atau di kota-kota besar. Kamar-kamar hotel di sini yang penting cukuplah untuk tidur dan mandi.

Satu-satunya masjid untuk sholat jumat di  Bawunian, Lobo.
Sekitar satu jam setelah Beo, kami mampir di kampung muslim. Namanya desa Bawunian, kecamatan Lobo. Menunaikan sholat di masjid yang tak bernama. Masjid yang sederhana, terlalu sederhana dibandingkan dengan bangunan gereja-gereja di sepanjang jalan yang kami lalui. Di Talaud ini, muslim menjadi kelompok minoritas, pada umumnya mereka pendatang dari Sangir. Namun mereka semua hidup berdampingan dengan damai bersama para pemeluk agama Kristen Protestan dan Katolik, dua agama yang dominan di Talaud. 

Sekitar sepuluh menit kemudian, jalan beraspal terputus karena longsor. Potongan jalan disambung dengan tanah. Ngeri juga saat melewatinya karena persis di sisi kirinya adalah sungai. Beberapa kilometer setelahnya, jalan beraspal tidak kami temukan lagi. Yang ada adalah jalan-jalan makadam yang membuat kami seperti dikocok-kocok dalam mobil. Jembatan-jembatan kayu beberapa kali kami lewati dengan perasaan was-was. Beberapa kali driver dan pak Yoyok harus turun untuk menata kayu-kayu jembatan yang sudah tidak pada posisi semula. Hujan memperparah kondisi jalan dan jembatan yang memang pada dasarnya sudah rusak berat ini.  

'Brenti jo bagate'. Tulisan itu ada di sebuah pinggir jalan menjelang masuk Kecamatan Essang. Artinya, berhenti, jangan minum-minum. Minuman keras memang sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Talaud. Di hampir setiap momen, terutama pada acara pesta-pesta, termasuk perayaan keagamaan seperti natal dan paskah.

Medan yang kami lalu sangat berat...
Empat jam lebih kami dihajar oleh jalan yang berlubang-lubang, hujan dan dingin. Ada baiknya juga kami tidak makan siang di Melongwane tadi. Dalam kondisi medan yang seperti ini, dengan perut yang terus  dikocok-kocok, perut penuh akan memancing mual dan muntah. Mabuk darat. Beberapa potong wafer dan roti cukuplah sekedar untuk mengganjal perut selama perjalanan. 

Akhirnya sampailah kami di Bulude. Luar biasa. Ternyata kami disambut secara besar-besaran. Setidaknya di luar dugaan kami. Tenda yang besar, meski tenda terpal, sekelilingnya dipasang rumbai-rumbai dari janur, dan puluhan kursi penuh dengan siswa berseragam SD dan SMP, serta guru-guru. Lampu-lampu menyala terang, dan makanan berjajar di meja panjang di sisi halaman. Kami juga disambut dengan ucapan selamat datang dengan bahasa setempat, dengan seorang penerjemah. Intinya, adalah ucapan selamat datang dan rasa bahagia karena kehadiran pak Rektor beserta rombongan. Sebuah rangkaian bunga disematkan di jasket pak Rektor oleh seorang siswa yang mengenakan pakaian adat.  

Tarian yang dilakukan anak-anak menyambut kedatangan kami.
Setelah kami semua duduk, welcome dance dibawakan oleh tiga pasang siswa SMP Negeri Satap Essang di Bulude. Dilanjutkan dengan tarian adat dari siswa SDK Nazari Bulude, namanya tari tempurung. Tariannya unik. Dibawakan oleh tujuh siswa, saya perkirakan masih SD, diiringi dengan lagu yang dinyanyikan langsung dari gurunya. Tanpa alat musik. 

"Mari menari....
Menarilah....
Tari tempurung...
Tempurung piringan adat...
Suku Talaud.
Tetap dikenang.... Selamanya....". 

Suara ibu Eni Lambuaso, ibu guru itu, indah mengalun, mengiringi gerakan tarian yang gemulai dan tepukan-tepukan suara tempurung kelapa yang dimainkan oleh para penari.

Suasana kebersamaan tim monev, peserta, dan peserta didik.
Selanjutnya adalah sambutan selamat datang oleh ketua Komite Sekolah SMP Essang. Dalam sambutannya, bapak John Tumbal, begitu namanya, menjelaskan bahwa desa Bulude terdiri dari dua desa. Bulude Induk dan Bulude Selatan, dengan dua kepala desa. Masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan sekaligus petani. Mungkin tertinggal secara ekonomi, tapi masyarakat tidak merasa kekurangan. Bahan makanan seperti padi, ubi, bentul, pisang dan sayur-sayuran ditanam sendiri, segala macam ikan tinggal mengambil di laut.

Kehadiran guru-guru SM-3T menurut pak John sangatlah berarti, sangat membantu memecahkan msalah kekurangan guru serta meningkatkan mutu pembelajaran. Mereka juga sangat bertanggung jawab, bersahabat, bergaul dengan baik dengan masyarakat. Oleh sebab itu, tahun depan, mudah-mudahan Bulude tetap menjadi tempat penugasan guru-guru SM-3T, begitulah harapan pak John mewakili sekolah-sekolah dan msayarakat di desa Bulude.

Sambutan Rektor disampaikan setelah penampilan paduan suara dari siswa-siswa SMP Satap, yang membawakan lagu Hymne Guru dan Mimpi-nya Nidji. Menurut Prof. Muchlas, program SM-3T selain untuk mempersiapkan para peserta untuk menjadi guru yang profesional, juga supaya mereka mengenal 'inilah Indonesia'. Inilah saudara-saudara kita yang bertempat tinggal di wilayah terluar dan terdepan. Juga supaya ketika mereka nanti sudah menjadi orang, mereka tidak lupa pada wilayah terluar di Indonesia ini dan di bagian yang lain, yang selalu membutuhkan kehadiran mereka.    

'Kami peduli' menutup acara sambutan dan hiburan. Lagu ciptaan pak Yoyok itu dinyanyikan oleh para peserta SM-3T beserta beberapa siswa. Dilanjutkan dengan pembacaan doa, kemudian acara ramah-tamah. Menikmati hidangan yang sudah disiapkan. 

Hidangannya, wow, luar biasa. Ada lobster, kepiting kenari, berbagai macam ikan yang diolah menjadi berbagai macam hidangan. Sayur-sayuran dari daun singkong dan daun pepaya. Makanan pokoknya tidak hanya nasi bungkus, tapi juga kupat, singkong kukus, bentul kukus, dan pisang mentah yang dikukus. Sambalnya dabu-dabu, khas sekali. Pedas dan segar. Malam ini kami 'balas dendam', setelah sejak pagi tadi tidak ketemu nasi. 

Setelah puas makan dan beramah-tamah dengan bapak Danramil, komite sekolah, kepala sekolah, dan guru-guru, kami mulai melakukan dialog khusus dengan para peserta SM-3T. Ada sepuluh peserta. Saat ini mereka harus mengumpulkan laporan tengah tahun dan form isian monev. Mereka juga menyampaikan berbagai kendala yang mereka temui di lapangan, juga harapan-harapan mereka. Kami mendengarkan semua keluhan mereka, dan menawarkan berbagai solusi untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pada dasarnya, anak-anak muda ini kuat, dan keluhan mereka sebenarnya bukan seperti keluhan, namun lebih menyerupai 'curhat' seorang anak pada orang tuanya.

Pukul 21.15, kami pamit. Perjalanan panjang masih harus kami tempuh lagi untuk mencapai Beo, tempat kami menginap malam ini. Suara alam dan keheningan hutan menemani kami. Tubuh boleh lelah tapi semangat tak boleh surut. Kedua mobil kami pun terseok-seok menembus kegelapan..... 

Bulude, Essang, Talaud, 8 April 2012

Wassalam,
LN

Minggu, 07 April 2013

Ke Talaud Lagi (2): Bubur Tinutuan

Pagi di Menado. Gerimis, mendung, dingin. Hotel kami namanya hotel Quint, berada di jalan Wakeke. Di sepanjang jalan Wakeke, ada banyak resto yang menjual makanan khas Menado. Bubur tinutuan, jagung rebus, perkedel jagung, pisang goreng kipas, mie cakalang, dan lain-lainnya, lengkap dengan sambalnya: sambal roa, sambal biasa dan sambal bakasang. 

Sekitar pukul 7 WITA, begitu gerimis jeda, kami bergerak menuju ke seberang jalan di depan hotel. Berdiri di halaman sebuah resto. Saya sms pak Rektor: 'Bapak, kami ada di depan hotel'. Beliau langsung membalas, 'oke, saya segera menyusul.'

Pergi bersama pak Rektor,        rileks tanpa ribet. Sejak dari Juanda kemarin, beliau sudah mengambil banyak peran: portir, waiter, bahkan jukir. Bagasi kami sebenarnya tidak terlalu banyak, namun karena ada beberapa laptop titipan keluarga peserta SM-3T, juga sambal pecel dan kawan-kawannya, juga berkas-berkas;  sehingga kami tetap harus bagi-bagi tugas untuk angkut barang yang tidak bisa dibagasikan. Pak Rektor, tanpa sungkan-sungkan, menjadi koordinator barang-barang itu, mendorong troli penuh muatan ke bagian check-in, sementara kami masih mengurus yang lain. Semalam, ketika makan malam, pak Rektor juga yang tiba-tiba sudah membawa baki penuh gelas isi minuman pesanan kami, karena tidak 'sronto' nunggu pelayan. Begitu juga dengan nasi goreng dan lain-lain, beliau juga yang menjemputnya dari meja penyajian, kalau yang ini mungkin karena sudah tidak 'tahan lapar'. Hehe. Pulang dari tempat makan, karena tidak ada juru parkir sementara jalan padat, maka beliau juga yang paling belakang masuk mobil karena membantu pak Yoyok mengambil haluan. Oya, selama di Menado ini, kami 'dipegangi' satu mobil oleh saudara pak Yoyok, tapi disupiri sendiri oleh pak Yoyok. 

Pak Rektor turun berbusana T-shirt, bercelana lapangan dan bersandal jepit. Kami memasuki resto. Nama restonya 'Dego-Dego', entah apa artinya. Kami berwawancara dulu dengan pelayannya yang manis sebelum menentukan pilihan menu. Dua bubur tinutuan, satu porsi pisang goreng, satu porsi jagung rebus, satu porsi perkedel jagung (di Surabaya disebut dadar jagung), dengan minumannya teh manis dan jeruk manis. 

Bubur tinutuan. Saya sudah beberapa kali menikmati bubur berbahan dasar jagung dan sayuran ini. Tapi yang ini begitu spesial. Warna kuningnya asli warna jagung, dengan butiran-butiran jagung manis yang sebagian masih utuh, dan sayur-sayuran yang warna hijaunya segar. Kangkung, bayam dan daun gedi, adalah sayur-sayuran yang umumnya digunakan untuk membuat bubur khas Menado ini. Dua jenis sayuran yang pertama sudah sangat umum kita jumpai. Daun gedi, nah ini yang jarang kita jumpai di Jawa, bentuknya mirip daun pepaya, bergetah, rasanya netral. Dia memberi cita rasa yang 'berat' pada bubur tinutuan, sehingga membuat makanan itu semakin cocok sebagai makanan utama.

Semua menu itu kita nikmati bersama. Meskipun pesannya berdasarkan selera kami masing-masing, tapi kami sudah memperkirakan porsi yang pasti tidak kecil. Dua porsi bubur tinutuan tidak mampu kami habiskan. Tapi perkedel jagung habis tandas. Jagung rebus dan pisang goreng kipas masih ada sisanya, dan karena itu bukan 'sisa', kami membungkusnya untuk dibawa sebagai bekal perjalanan ke Talaud.

Menado masih gerimis. Mendung masih menggayut. Jalan-jalan basah. Pukul 10.30 nanti kami akan terbang bersama Wings Air. Semoga lancar perjalanan, lancar dalam menunaikan tugas.

Boarding time.... 

Menado, 8 April 2013

Wassalam,
LN

Sabtu, 06 April 2013

Ke Talaud Lagi (1)

Pukul 17.00 WITA. Lion Air yang kami tumpangi mendarat dengan mulus. Bandara Sam Ratulangi muram. Landasan basah. Mendung gelap. Lampu-lampu di sepanjang landasan pacu sudah dinyalakan meski senja belum turun. 

Hujan deras sudah kami rasakan sejak sekitar tiga puluh menit sebelum kami mendarat tadi. Kaca pesawat dipenuhi dengan garis-garis air. Gumpalan awan seperti kapas tebal, putih berselang-seling kelabu. Menjelang pesawat turun, bukit-bukit, perkebunan kelapa, laut, gereja-gereja, rumah-rumah, dan jalan serta sungai kecil yang berkelok-kelok, menggantikan hamparan awan tebal itu. Meski begitu, barisan air di kaca jendela pesawat tidak juga hilang.

Sore ini rombongan kami adalah Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani; Pembantu Direktur I Program Pendidikan Profesi Guru (P3G) Unesa, Dr. Raden Sulaiman; Tim monev SM-3T, Dr. Trisakti dan Drs. Yoyok Yermiandhoko, M.Pd; dan saya sendiri. Malam ini kami hanya transit saja di Menado ini. Besok pagi, kami akan melanjutkan penerbangan ke Talaud, dan sampai hari Rabu, 10 April 2013, kami akan melaksanakan monev SM-3T.

Pada Oktober 2012 yang lalu, saya dan tim telah mengantarkan mereka, para peserta SM-3T,  untuk melaksanakan tugas pengabdian mereka. Lebih dari lima bulan sudah berlalu. Saatnya untuk bertemu mereka, melihat sekolah-sekolah, menyapa guru-guru dan masyarakat, dan memastikan semuanya baik-baik saja....


Menado, 7 April 2013

Wassalam,
LN