Pages

Senin, 08 April 2013

Ke Talaud Lagi (3): disambut Upacara Adat

Tim Monev menyeberangi sungai menggunakan rakit.
Pukul 13.30 WITA. Perjalanan monev dimulai. Start dari kantor Dinas PPO Kabupaten Kepulauan Talaud, setelah bertemu dengan bu Suzan dan bu Jeti, dua perempuan pejabat Kantor Dinas PPO yang cantik-cantik dan supel, kami berkendara dengan dua mobil. Pak Rektor, pak Yoyok dan saya ada di satu mobil bersama Dani, driver yang tahun lalu juga kami sewa untuk mengantar kami ketika mengantarkan para peserta SM-3T. Pak Sulaiman dan bu Trisakti bersama Abner, driver di mobil mereka. Meskipun sebenarnya dengan satu mobil cukup, tapi medan yang berat membuat kami memutuskan menyewa dua mobil. Kasihan penumpang yang duduk di jok belakang, bisa 'mabuk kepayang'. Kursi jok belakang sengaja dilipat untuk bagasi-bagasi kami.

Kami menyusur sisi barat. Dari Melongwane, ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud, menuju Beo, Essang dan Bulude. Sebenarnya masih ada dua kecamatan lagi di sisi barat ini, yaitu Mamahan dan Gemeh, namun karena waktunya tidak memungkinkan, maka kami berhenti di Bulude. Semua peserta SM-3T yang bertugas di sisi barat berkumpul di Bulude. Hari ini kami rencanakan untuk bertemu dengan para peserta saja, tidak memungkinkan untuk mengunjungi sekolah-sekolah karena waktunya sudah terlalu siang atau sore.

Di sepanjang perjalanan, laut yang indah ada di sebelah kiri kami. Pohon kelapa dan cengkeh yang rapat memenuhi sisi kanan dan kiri di sepanjang jalan. Pak Rektor bertanya: 'apa jalannya cukup bagus?'. Saya menjawab bahwa jalan cukup bagus. Yang saya maksud bagus adalah beraspal, meski lubang-lubang menganga di mana-mana dan berkelok-kelok naik turun. Setidaknya, untuk beberapa jam ke depan,  jalannya beraspal.

Pukul 14.30-an kami mencapai Beo. Hujan gerimis dan mendung tebal. Dani dan Abner berputar-putar mencari solar. Di beberapa tempat penjualan, solar habis. Akhirnya dapat solar di salah satu kios di dekat hotel tempat kami menginap nanti, harganya Rp. 8.000,-/liter. Pak Yoyok memanfaatkan waktu mampir ke hotel, mengamankan beberapa kunci kamar hotel. Semua hotel di Melongwane penuh karena ada kegiatan besar dari Dinas Perikanan, maka kami terpaksa menginap di Beo. Di hotel yang ada di Beo ini, hanya tersedia sepuluh kamar. Kalau kunci tidak kami amankan, bisa-bisa kami tidak dapat kamar untuk menginap nanti malam. Hotel di Melongwane atau Beo, jangan bayangkan seperti hotel-hotel di Jawa atau di kota-kota besar. Kamar-kamar hotel di sini yang penting cukuplah untuk tidur dan mandi.

Satu-satunya masjid untuk sholat jumat di  Bawunian, Lobo.
Sekitar satu jam setelah Beo, kami mampir di kampung muslim. Namanya desa Bawunian, kecamatan Lobo. Menunaikan sholat di masjid yang tak bernama. Masjid yang sederhana, terlalu sederhana dibandingkan dengan bangunan gereja-gereja di sepanjang jalan yang kami lalui. Di Talaud ini, muslim menjadi kelompok minoritas, pada umumnya mereka pendatang dari Sangir. Namun mereka semua hidup berdampingan dengan damai bersama para pemeluk agama Kristen Protestan dan Katolik, dua agama yang dominan di Talaud. 

Sekitar sepuluh menit kemudian, jalan beraspal terputus karena longsor. Potongan jalan disambung dengan tanah. Ngeri juga saat melewatinya karena persis di sisi kirinya adalah sungai. Beberapa kilometer setelahnya, jalan beraspal tidak kami temukan lagi. Yang ada adalah jalan-jalan makadam yang membuat kami seperti dikocok-kocok dalam mobil. Jembatan-jembatan kayu beberapa kali kami lewati dengan perasaan was-was. Beberapa kali driver dan pak Yoyok harus turun untuk menata kayu-kayu jembatan yang sudah tidak pada posisi semula. Hujan memperparah kondisi jalan dan jembatan yang memang pada dasarnya sudah rusak berat ini.  

'Brenti jo bagate'. Tulisan itu ada di sebuah pinggir jalan menjelang masuk Kecamatan Essang. Artinya, berhenti, jangan minum-minum. Minuman keras memang sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Talaud. Di hampir setiap momen, terutama pada acara pesta-pesta, termasuk perayaan keagamaan seperti natal dan paskah.

Medan yang kami lalu sangat berat...
Empat jam lebih kami dihajar oleh jalan yang berlubang-lubang, hujan dan dingin. Ada baiknya juga kami tidak makan siang di Melongwane tadi. Dalam kondisi medan yang seperti ini, dengan perut yang terus  dikocok-kocok, perut penuh akan memancing mual dan muntah. Mabuk darat. Beberapa potong wafer dan roti cukuplah sekedar untuk mengganjal perut selama perjalanan. 

Akhirnya sampailah kami di Bulude. Luar biasa. Ternyata kami disambut secara besar-besaran. Setidaknya di luar dugaan kami. Tenda yang besar, meski tenda terpal, sekelilingnya dipasang rumbai-rumbai dari janur, dan puluhan kursi penuh dengan siswa berseragam SD dan SMP, serta guru-guru. Lampu-lampu menyala terang, dan makanan berjajar di meja panjang di sisi halaman. Kami juga disambut dengan ucapan selamat datang dengan bahasa setempat, dengan seorang penerjemah. Intinya, adalah ucapan selamat datang dan rasa bahagia karena kehadiran pak Rektor beserta rombongan. Sebuah rangkaian bunga disematkan di jasket pak Rektor oleh seorang siswa yang mengenakan pakaian adat.  

Tarian yang dilakukan anak-anak menyambut kedatangan kami.
Setelah kami semua duduk, welcome dance dibawakan oleh tiga pasang siswa SMP Negeri Satap Essang di Bulude. Dilanjutkan dengan tarian adat dari siswa SDK Nazari Bulude, namanya tari tempurung. Tariannya unik. Dibawakan oleh tujuh siswa, saya perkirakan masih SD, diiringi dengan lagu yang dinyanyikan langsung dari gurunya. Tanpa alat musik. 

"Mari menari....
Menarilah....
Tari tempurung...
Tempurung piringan adat...
Suku Talaud.
Tetap dikenang.... Selamanya....". 

Suara ibu Eni Lambuaso, ibu guru itu, indah mengalun, mengiringi gerakan tarian yang gemulai dan tepukan-tepukan suara tempurung kelapa yang dimainkan oleh para penari.

Suasana kebersamaan tim monev, peserta, dan peserta didik.
Selanjutnya adalah sambutan selamat datang oleh ketua Komite Sekolah SMP Essang. Dalam sambutannya, bapak John Tumbal, begitu namanya, menjelaskan bahwa desa Bulude terdiri dari dua desa. Bulude Induk dan Bulude Selatan, dengan dua kepala desa. Masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan sekaligus petani. Mungkin tertinggal secara ekonomi, tapi masyarakat tidak merasa kekurangan. Bahan makanan seperti padi, ubi, bentul, pisang dan sayur-sayuran ditanam sendiri, segala macam ikan tinggal mengambil di laut.

Kehadiran guru-guru SM-3T menurut pak John sangatlah berarti, sangat membantu memecahkan msalah kekurangan guru serta meningkatkan mutu pembelajaran. Mereka juga sangat bertanggung jawab, bersahabat, bergaul dengan baik dengan masyarakat. Oleh sebab itu, tahun depan, mudah-mudahan Bulude tetap menjadi tempat penugasan guru-guru SM-3T, begitulah harapan pak John mewakili sekolah-sekolah dan msayarakat di desa Bulude.

Sambutan Rektor disampaikan setelah penampilan paduan suara dari siswa-siswa SMP Satap, yang membawakan lagu Hymne Guru dan Mimpi-nya Nidji. Menurut Prof. Muchlas, program SM-3T selain untuk mempersiapkan para peserta untuk menjadi guru yang profesional, juga supaya mereka mengenal 'inilah Indonesia'. Inilah saudara-saudara kita yang bertempat tinggal di wilayah terluar dan terdepan. Juga supaya ketika mereka nanti sudah menjadi orang, mereka tidak lupa pada wilayah terluar di Indonesia ini dan di bagian yang lain, yang selalu membutuhkan kehadiran mereka.    

'Kami peduli' menutup acara sambutan dan hiburan. Lagu ciptaan pak Yoyok itu dinyanyikan oleh para peserta SM-3T beserta beberapa siswa. Dilanjutkan dengan pembacaan doa, kemudian acara ramah-tamah. Menikmati hidangan yang sudah disiapkan. 

Hidangannya, wow, luar biasa. Ada lobster, kepiting kenari, berbagai macam ikan yang diolah menjadi berbagai macam hidangan. Sayur-sayuran dari daun singkong dan daun pepaya. Makanan pokoknya tidak hanya nasi bungkus, tapi juga kupat, singkong kukus, bentul kukus, dan pisang mentah yang dikukus. Sambalnya dabu-dabu, khas sekali. Pedas dan segar. Malam ini kami 'balas dendam', setelah sejak pagi tadi tidak ketemu nasi. 

Setelah puas makan dan beramah-tamah dengan bapak Danramil, komite sekolah, kepala sekolah, dan guru-guru, kami mulai melakukan dialog khusus dengan para peserta SM-3T. Ada sepuluh peserta. Saat ini mereka harus mengumpulkan laporan tengah tahun dan form isian monev. Mereka juga menyampaikan berbagai kendala yang mereka temui di lapangan, juga harapan-harapan mereka. Kami mendengarkan semua keluhan mereka, dan menawarkan berbagai solusi untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pada dasarnya, anak-anak muda ini kuat, dan keluhan mereka sebenarnya bukan seperti keluhan, namun lebih menyerupai 'curhat' seorang anak pada orang tuanya.

Pukul 21.15, kami pamit. Perjalanan panjang masih harus kami tempuh lagi untuk mencapai Beo, tempat kami menginap malam ini. Suara alam dan keheningan hutan menemani kami. Tubuh boleh lelah tapi semangat tak boleh surut. Kedua mobil kami pun terseok-seok menembus kegelapan..... 

Bulude, Essang, Talaud, 8 April 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...