Pages

Rabu, 17 April 2013

MBD (4): Tepa yang Ramah

Berjalan di kampung Tepa.
Kapal Pangrango akhirnya merapat di dermaga pada sekitar pukul 19.00. Tidak terlalu meleset dari perkiraan sebelumnya. Kami bersiap turun. Membagi beban bagasi untuk bertujuh. Bersiap di depan pintu keluar, berdiri mematung bersama para penumpang lain dengan bagasi kami masing-masing.

Begitu kami menghambur keluar kapal, sebuah gerobak menyambut kami. Oo, ternyata bagasi kami akan diangkut dengan gerobak. Noval dan Risna memanggil-manggil seorang perempuan dengan sebutan kakak. Tangan mereka saling melambai. Si kakak, yang ternyata ibu Mirna Tabalubun, guru SMA 1 Tepa tempat Risna dan Noval bertugas, sengaja datang menjemput kami dan menyiapkan ojek-ojek untuk kami.

Malam ini kami bertamu ke rumah ketua klasis (ketua kelompok gereja), bapak Ampi, untuk 'kulonuwun'. Seorang yang sangat santun, ramah, rendah hati. Ibu Ampi, seorang guru di SMA 1 Tepa, tidak kalah santun dan ramahnya. Rumahnya yang bersih dan rapi seperti memberikan kehangatan dan ketulusan. Kebetulan ketika kami datang, pak Ampi sedang ada tiga orang tamu juga, yang datang dari Ambon. Mereka satu kapal dengan kami. 

Kami dijamu makan malam di rumah pak Ampi, dan menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi dengan pak Ampi dan ketiga tamunya. Orang-orang yang cerdas, kritis, sangat argumentatif, namun tetap rendah hati.  Kami berdiskusi tentang kondisi MBD sebagai wilayah yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste dengan segala tantangannya. Kami juga menggali informasi tentang keberadaan Tiakur sebagai ibu kota kabupaten MBD yang baru serta potensi adanya upaya pemekaran Kisar dan beberapa wilayah di sekitarnya menjadi  kabupaten baru lagi. Berbagai hal terkait dengan kebijakan pemerintah pusat dan daerah menyangkut bidang pendidikan juga tak luput menjadi bahan diskusi kami malam itu. 

Ketiga tamu pak Ampi itu datang dari Ambon karena akan menghadiri sidang klasis dan peresmian klasis baru di Letwurung. Bupati akan hadir pada acara itu, sekaligus peresmian kecamatan baru. 

Di wilayah ini pada awalnya hanya ada satu kecamatan, yaitu kecamatan Pulau-Pulau Babar. Kemudian berkembang menjadi tiga kecamatan, Babar Barat, Babar Timur dan Mdona Hyera. Mekar lagi menjadi enam kecamatan setelah ditambah Marsella, Dawelor dan Wetang. Kemudian berkembang lagi menjadi delapan kecamatan, dan saat ini sudah mekar menjadi tujuh belas kecamatan.  Alasan pemekaran tersebut adalah pertimbangan rentang kendali (span of control). Karena MBD merupakan wilayah kepulauan, dan laut adalah satu-satunya sarana transportasi, maka komunikasi, koordinasi dan pengendalian antar pulau menemui banyak kendala. Lebih-lebih bila laut sedang bergelora, maka komunikasi dengan dunia luar bisa terputus selama berbulan-bulan. Tidak ada satu pun kapal yang berani berlayar atau merapat dari dan menuju pulau-pulau tersebut. Komunikasi lewat telepon juga tidak memungkinkan karena belum ada fasilitas untuk itu. Satu-satunya komunikasi adalah melalui surat, itu pun kalau ada kapal bersandar dan surat bisa dititipkan pada kapal. Para peserta SM-3T di Mdona Hyera mempunyai kenalan orang kapal, sehingga bila kapal merapat, mereka bisa menitipkannya untuk diposkan di kota tujuan. Beberapa waktu yang lalu, Nanda yang tinggal di Mdona Hyera mengirimkan suratnya untuk kami dengan cara seperti itu, dan sekitar dua bulan kemudian surat baru kami terima. Pada saat itu laut sedang bergelora dan kapal tidak berlayar sampai beberapa waktu.

Meski baru semalam, kami sudah bisa merasakan betapa ramahnya masyarakat Tepa. Dalam perkampungan kecil yang cukup rapi dan padat, dengan jalan-jalan tanahnya yang lumayan lebar, di mana-mana nampak teduh oleh pepohonan. Laut dan pantai melengkapi keindahan kampung yang hampir seratus persen penduduknya adalah Kristen Protestan itu. Di sepanjang jalan, setiap kami berpapasan dengan orang-orang setempat, mereka menyapa kami dengan ramah, 'selamat malam, ibu, bapak....'. Sambil mengangguk dan tersenyum. Bila mereka sedang asyik bermain kartu atau mengobrol, mereka menghentikan aktivitas  sejenak untuk sekedar menyapa kami. Meski di mana-mana terpasang salib, termasuk di pohon-pohon kelapa, di dinding-dinding, di atas genteng, azan berkumandang merdu setiap tiba waktu sholat. Penginapan yang kami tempati pun begitu 'homy', bersih dan ramah.

Tepa, meski untuk mencapainya memerlukan waktu berhari-hari dari Ambon dan Kupang, namun pada dasarnya wilayah ini bukanlah wilayah yang serba kekurangan. Kondisi SDM, sarana prasarana pendidikan, dan juga kesuburan tanahnya masih jauh lebih baik daripada Sumba Timur. Sekolah-sekolah yang ada juga tidak terlalu kekurangan guru. Lebih dari 50 persen lulusan SMA dan SMK di Tepa, menurut bapak Ampi, meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Mereka memilih Ambon, Surabaya atau Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sebagian besar penduduknya adalah petani, namun pegawai dan pedagang juga cukup banyak. Penduduk Tepa juga banyak yang memiliki hewan ternak, terutama sapi, kerbau dan babi. Air melimpah, hasil bumi seperti padi, jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran tumbuh subur. Laut menyediakan ikan yang luar biasa banyak, tidak salah kalau Maluku dijuluki lumbung ikan. 

Problem utama wilayah ini adalah infrastruktur, baik untuk jalan, komunikasi maupun listrik. Sinyal ponsel lebih banyak off-nya daripada on, dan listrik hanya tersedia di malam hari. Untuk mencapai Tepa juga hanya bisa melalui laut, baik dengan kapal-kapal perintis atau dengan kapal PELNI semacam Pangrango dan Marsella.

Noval dan Risna sangat beruntung mendapatkan tugas di tempat ini. Mereka berdua tinggal di sebuah rumah di dekat rumah bapak klasis, dengan bapak dan ibu piara yang sangat baik. Tempat tinggal mereka sangat representatif dibandingkan dengan tempat para peserta yang bertugas di Sumba Timur dan Aceh Singkil.  Saya katakan ke mereka, bahwa mereka ibarat pindah tidur saja dari Surabaya ke Tepa.

Tepa, Pulau Babar, MBD, 16 April 2013 
      

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...