Pages

Senin, 15 April 2013

MBD (2): Tiba di Saumlaki

Sesaat setelah turun di Saumlaki menggunakan pesawat perintis.
Menunggu di Bandara Pattimura sekitar 3 jam. Express Air yang seharusnya terbang pukul 7.00 WIT ditunda keberangkatannya sampai nanti pukul 11.00 lebih. Check in baru dibuka sekitar pukul 10.00. Kami memilih duduk-duduk saja di teras bandara. Sementara itu, Noval dan Mudho, dua peserta SM-3T dari MBD, terus memantau keberadaan kami. Mereka, bersama Risna dan Nanda, dua peserta yang lain, sudah menunggu dan siap menjemput kami di bandara Saumlaki. Mereka sudah menyewa angkot untuk penjemputan itu.

Sekitar pukul 10.30, kami check in. Kalau kemarin ketika check in di Surabaya kami tidak kena tambahan biaya untuk bagasi, hari ini kami kena kelebihan 17 kilogram. Per kilogramnya Rp. 30.000,-. Maka kami membayar Rp. 510.000,- untuk buku-buku dan sambal pecel untuk oleh-oleh. Apa boleh buat. Free bagage untuk pesawat kecil ini hanya 10 kilogram. Dos-dos kami saja satu dosnya ada yang beratnya 18 kilogram. Padahal ada empat dos, plus dua koper milik saya dan mas Heru.

Ternyata kami masih harus menunggu cukup lama lagi. Pesawat dikabarkan baru akan tiba di bandara pada 11.48. Ya sudah, 'ngleset' lagi aja...

Sekitar pukul 12.50, akhirnya saat boarding tiba. Kami bersiap menaiki pesawat. Petugas bandara menyediakan payung-payung besar dan kami berjalan cepat di bawah guyuran gerimis yang rapat, menuju ke arah Express Air yang sedang menunggu. Pesawat perintis itu nampak begitu mungil di antara Lion Air dan Wings Air yang juga sedang menunggu penumpang. 

Akhirnya Express Air pun membelah angkasa, bersama 16 penumpangnya dan empat awak pesawat. Mendung pekat membuat badan pesawat bergetar-getar saat menerobos gumpalannya. Tapi hanya sebentar. Selebihnya, tenang. Sampai akhirnya, setelah terbang hampir satu jam,  kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indah, sesaat sebelum pesawat mendarat. Daratan yang nampak hijau rata. Tersebar di mana-mana. Seperti onggokan-onggokan bukit yang dijatuhkan dari langit begitu saja. Semakin mendekat, hijaunya berubah menjadi sebuah gradasi, hijau tua, hijau muda, hijau kekuningan. Itulah pulau-pulau. Laksana melihat peta saja saya memandanginya dengan penuh takjub. Di antara pulau-pulau itu, adalah samudera luas yang biru, berkilau-kilau. Di tengah sebuah pulau yang besar, saya perkirakan itulah Saumlaki, sebuah garis membelah tumpukan pepohonan. Jalan yang panjang berkelok-kelok. Hanya satu-satunya jalan, yang di bagian ujungnya ada semacam kerumunan, pasti kerumunan rumah.

Saumlaki. Akhirnya kami menginjakkan kaki di ibu kota Maluku Tenggara Barat (MTB) ini. Cuaca cerah. Saya yakin anak-anak kami sudah menunggu di depan pintu kedatangan bandara. Saya pun tidak sabar untuk segera bertemu mereka.

Dan benar. Keempat anak muda itu sudah berdiri di depan pintu keluar ruang kedatangan yang sempit. Sempit ruangannya, sempit juga pintunya. Noval, Mudho, Nanda dan Risna. Wajah mereka yang ceria dan menyungging senyum mencerahkan hati kami. 

Sesuai janji, mereka sudah menyiapkan angkot untuk menjemput kami. Semua bagasi masuk. Saya duduk di depan. Yang lain di belakang. Angkot bergerak meninggalkan halaman bandara, mengikuti jalan-jalan yang beraspal yang tidak terlalu lebar, naik turun. Saumlaki adalah sebuah kota kecil yang cukup ramai, ada angkot, ada banyak kendaraan bermotor. Ada beberapa penginapan yang lumayan bagus. Ada plaza juga, namanya Satos (Saumlaki Town Square), meski bangunan dan isinya jauh dari Sutos di Surabaya atau Matos di Malang. Banyak rumah di sepanjang jalan, juga tempat-tempat makan. Menurut Mudho dan kawan-kawan, di sini banyak orang Jawa. Merekalah yang banyak membuka warung-warung makan itu. Siang ini pun ketika kami menikmati makan siang yang sudah telat (pukul 15.00), pemilik warung berasal dari Lumajang. Mereka sudah tiga tahun merantau di Saumlaki ini, dan tahun ini sudah bisa pergi haji. 

Hari ini kami habiskan waktu untuk berdialog dengan keempat peserta SM-3T. Kami duduk-duduk di selasar lantai dua penginapan Kharisma, tempat kami transit sebelum berangkat ke Tepa besok pagi. Menggali berbagai persoalan yang mereka hadapi. Memastikan segala sesuatunya berjalan dengan seharusnya. Bertanya tentang keberadaan sekolah, murid-murid, guru-guru, masyarakat, dan aktivitas mereka. Cerita tentang sulitnya akses jalan, terbatasnya sarana prasarana, minimnya daya dukung sekolah dan masyarakat, minimnya guru, sampai ke keterbatasan sinyal dan listrik, ibarat cerita pengantar tidur saking seringnya kami dengar. Kami membesarkan hati mereka,  memberikan banyak masukan, dan juga mengatakan, 'karena itulah kalian semua ditugaskan di tempat ini...'

Saumlaki, 15 April 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...