Pages

Kamis, 26 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (2): Rote Ndao, Sang Penjaga Kedaulatan NKRI

Sabtu pagi, sekitar pukul 08.00-10.00, kami berlayar menuju Rote dengan menumpang kapal cepat. Menteri desa dan ibu, wamen dan ibu, sekjen, semua pejabat eselon 1 dan 2, tim protokol, ajudan, dan pendamping, memenuhi kapal. Cuaca cerah, air laut tenang, hanya sesekali ada gelombang yang menggoyangkan kapal, mengayun-ayun, dan membuat kebanyakan kami tertidur pulas.

Saya duduk menatap keluar ke arah laut yang tak nampak lagi garis pantainya. Pikiran saya melayang pada hampir semua pengalaman melaut yang pernah saya alami. Saya pernah menaiki kapal cepat semacam ini dari Sorong menuju Raja Ampat. Waktu tempuhnya juga hampir sama, sekitar dua jam. Pernah menumpang Pangrango selama delapan-sembilan jam dari Saumlaki ke Pulau Babar, Maluku Barat Daya (MBD). Kembali dari Pulau Babar menuju Ambon, saya menumpang Feri Marseila selama sekitar sembilan belas jam. Terombang-ambing di atas Laut Banda yang airnya hitam kelam dengan ombak yang bergulung-gulung. 

Saya pernah juga menumpang speedboat dari Sarmi menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya, Papua, selama tujuh jam mengarungi Sungai Mamberamo. Tujuh jam berada di atas speedboat yang lajunya menghentak-hentak keras, yang sesekali harus bermanuver untuk menghindari kayu-kayu besar yang merintangi. Pengalaman lain menaiki speedboat adalah saat mengarungi Pulau Banyak di Aceh Singkil, dan speedboat kami yang dikemudikan oleh Polisi Perairan (Polair) harus tiba-tiba berhenti di tengah laut karena ombak dan angin menghantam dari segala arah.

Namun dari semua pengalaman saya membelah lautan, berperahu nelayan dari Katundu menuju Pulau Salura, Sumba Timur, adalah pengalaman paling mendebarkan. Bagaimana tidak. Dengan perahu kecil, kami melaut di laut lepas. Tanpa pelampung. Dengan ombak yang bergulung-gulung dan kondisi hujan. Saking kecilnya perahu, setiap kali ombak menerjang, air laut masuk ke badan perahu dan kami harus mengeluarkannya dengan timba plastik. Sudah begitu, perahu sempat terhenti karena kehabisan bahan bakar, dan di mana bahan bakar disimpan, kami masih mencari-cari. Lantas saat menjelang merapat ke pantai, ombak besar menghadang sehingga perahu harus agak memutar untuk menepi dengan lebih aman. 

Sungguh semua itu menjadi pengalaman yang mungkin tak akan terlupa sepanjang hidup saya. Semua kisah tersebut saya tuangkan dalam website pribadi saya, www.luthfiyah.com.

Kapal cepat menuju Rote yang kami tumpangi saat ini bagai ayunan bayi yang meninabobokan. Tak heran kalau sebagian besar dari kami memilih tidur, memanfaatkan waktu karena lelah sebenarnya mulai menyapa. Sejak perjalanan Surabaya-Kupang dan berlanjut dua hari penuh mengikuti raker serta seharian mengikuti international conference, membuat kami seperti kurang istirahat. Maka tidur di kapal yang bergoyang-goyang kecil adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Bahkan terdengar dengkuran-dengkuran para penumpang yang kelelahan, bersaing dengan deburan ombak dan deru mesin kapal.

Menjelang kapal mencapai pantai, serombongan perahu nelayan menyambut kami. Perahu-perahu itu penuh dengan hiasan warna-warni. Pak Menteri dan kami semua melambai-lambai pada para pengemudi dan penumpang perahu-perahu kecil itu yang juga tengah melambai-lambai sambal memamerkan senyum ramahnya. 

Salah satu perahu yang paling kecil mengingatkan saya pada Salura, sebuah wilayah perbatasan antara Indonesia dan Australia. Perahu nelayan yang menggunakan motor, dengan suara mesin yang meraung-raung, serta asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan yang membuat hidung terasa berjelaga. Seperti itulah perahu yang saya gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura beberapa tahun yang lalu.

Rote, pulau paling selatan ini, yang sangat panas, menyambut kami dengan segala keramahannya. Namun belum ada waktu untuk menikmati keindahan pantainya atau sekadar beramah-tamah dengan orang-orangnya, karena kami para pejabat eselon 1 harus mendampingi Menteri dan Wakil Menteri menuju titik nol kilometer selatan Indonesia. Jarak tempuh hanya sekitar satu jam, namun sekitar sepertiga jalan yang kami tempuh adalah jalan berbatu-batu, naik turun dan berkelok-kelok, membuat perjalanan seolah lebih lama. Meski tak bisa dipungkiri, betapa pemandangan selama perjalanan begitu menakjubkan. Ditambah lagi dengan pasukan pawai kuda berhias yang mengiringi rombongan saat memulai perjalanan, sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengesankan. Pasukan berkuda itu mengenakan pakaian khas lengkap dengan ti’i langga, topi lebar khas Rote. 

Dan selalu, saya selalu merasa tergugah setiap kali berada di wilayah-wilayah perbatasan semacam ini. Berbagai macam perasaan berkecamuk, namun kecintaan pada negerilah yang menyeruak sangat kuat. Mata saya kabur saat menatap Sang Merah Putih berkibar-kibar di atas bukit karang, diantara bentangan laut dan pantai yang luar biasa indah. Keharuan dan kebanggan bercampur-aduk. Panas matahari yang sangat menyengat tak menyurutkan langkah kami untuk menaiki bukit dan mendekat. Menteri, Wakil Menteri, Pejabat Pemprov NTT, Pejabat Pemkab Rote, para pendamping desa, dan masyarakat setempat, memadati bukit berbatu-batu itu. Di tempat ini, Menteri Desa sempat membagikan buku untuk para siswa. Menteri Desa juga mendapatkan gelar adat, dan dalam prosesi pemberian gelar tersebut, Menteri Desa dan Wakil Menteri sempat berdialog dengan  kepala-kepala desa.

Setelah puas bercengkerama dengan titik nol, kami kembali berkendara. Kami menuju Kantor Bupati Rote Ndao, dan menikmati jamuan makan siang yang lezat. Dari semua hidangan yang disajikan, jagung bose merupakan hidangan yang sangat khas. Hidangan yang bahan pokoknya dari jagung dan kacang-kacangan serta dicampur dengan santan ini mempunyai rasa yang relatif netral, dan lazim digunakan sebagai makanan pokok. 

Sehari itu agenda padat sekali, berakhir sampai sekitar pukul 22.30. Pesta Rakyat yang digelar di Pelabuihan Ba’a dengan berbagai hiburan, termasuk penampilan Marion Jola, penyayi asli NTT, benar-benar menyedot ratusan atau bahkan ribuan masyarakat Rote Ndao dan sekitarnya. Pidato Peringatan 9 Tahun UU Desa yang disampaikan oleh Menteri Desa juga sangat menarik, karena dibawakan dalam bentuk monolog, dan dilengkapi dengan tayangan video dengan layar yang sangat lebar dan atraktif. Menarik dan mencerahkan. Pada saat-saat tertentu, kami yang duduk di kursi undangan, turun dan menuju panggung untuk menyanyi dan menari bersama. Kami semua mengenakan busana adat Rote, sehingga sangat menyatu dengan masyarakat dan alam Rote. Kegembiraan kami semua sangat terasa pada malam yang kebetulan juga sangat cerah itu.

Meski agenda sangat padat, saya sempat bertemu dengan beberapa guru yang merupakan alumni SM3T dan PPG Unesa, yang sudah sekitar delapan tahun bertugas di Rote Ndao. Mereka adalah anak-anak muda yang luar biasa, yang menjadi guru melalui rekrutmen guru garis depan, dan memilih Rote sebagai tempat pengabdian mereka. Tentu saja mereka semua sudah berkeluarga, sebagian besar sudah memiliki anak, sudah memiliki rumah, dan bahkan sudah ber-KTP Rote Ndao. 

Kami mengakhiri malam itu dengan semangkuk bakso yang kami nikmati di pusat jajanan yang berlokasi di seberang hotel New Ricky, hotel tempat kami menginap. Bersama seorang guru yang saya pernah mengajarnya saat dia menempuh PLPG, dan mengingat saya karena saya pernah memberinya sebuah buku hasil tulisan saya sendiri. Rote Ndao tetap saja terasa hangat meski malam sudah semakin larut, namun selepas tengah malam, hujan turun meski hanya sebentar. Setidaknya ada kesejukan yang mengantar istirahat kami malam ini. Besok pagi, kami akan kembali mengarungi lautan menumpang kapal cepat menuju Kupang, meninggalkan Pulau Rote, Sang Penjaga Kedaulatan di Gerbang Selatan Indonesia.


Rote Ndao, 14 Januari 2023

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...