Dalam pengantarnya, Rektor UNJ yang menjadi moderator menyampaikan, Habibie adalah salah satu sosok yang tak akan bisa dilupakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Kiprahnya untuk negara ini begitu berarti, dan bahkan sampai saat ini pun, beliau tidak pernah berhenti memikirkan pengembangan sumber daya manusia.
Terkait dengan generasi 2045, Habibie menekankan pentingnya memikirkan berbagai persoalan saat ini. Karena bila tidak, maka apa yang akan terjadi pada tahun 2045 nanti, bisa jadi tanpa kita. Bukan tanpa kita sebagai manusia, tetapi tanpa kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Habibie, dalam era globalisasi dan informasi, peran SDM dengan jaringan yang dimiliki akan sangat menentukan kualitas kehidupan masyarakat di mana yang bersangkutan berakar dan bergerak. Karena pada akhirnya daya saing dan produktivitas SDM tersebut yang menentukan keunggulannya dalam masyarakat lokal, nasional, regional dan global.
Produktivitas SDM mencerminkan kemampuannya menghasilkan produk apa saja yang dinilai oleh masyarakat berkualitas tinggi dengan harga rendah dan dapat diselesaikan tepat waktu. Untuk mencapai produktivitas ini, SDM harus terampil, berdisiplin, dan pandai memanfaatkan prasarana dan sarana teknologi tepat guna yang tersedia.
Dengan produktivitas yang tinggi, SDM dapat meningkatkan nilai suatu produk melalui suatu proses nilai tambah (PNT), yang dilanjutkan melalui suatu proses biaya tambah (PBT), untuk pada akhirnya ditawarkan di pasar, baik pasar lokal, nasional, regional maupun global, dengan harga hasil PNT (yang maksimal) dan PBT (yang minimal). Baik untuk memperoleh PNT maupun PBT dibutuhkan teknologi yang tepat guna, prasarana, sarana dan SDM yang terampil, berdisiplin dan produktif. Prasarana ekonomi yang baik akan membantu PNT industri apa pun di Indonesia, yang akan menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar domestik, nasional, regional dan global.
Rektor Unesa foto bersama BJ. Habibie. |
Habibie juga menambahkan, dengan disertai banyak contoh di lapangan, betapa tanpa disadari kita melanjutkan tradisi penjajah yang datang tidak untuk mengembangkan SDM namun untuk mengambil SDA. Penjajah mengkondisikan agar kita mengutamakan ekspor SDA dari hasil agroindustri dan industri pertambangan. Kemudian setelah mereka olah dengan PNT yang tinggi akan menghasilkan produk yang berkualitas yang akan mereka ekspor antara lain ke negeri yang dijajah. Mereka dapat mengembangkan produk yang bekualitas dan berdaya saing karena memiliki SDM yang unggul, yang dibina dan dikembangkan antara lain dibiayai oleh kita yang dijajah, karena kita membeli produk PNT dan PBT melalui impor.
Untuk mengimpor produk penjajah--baik yang terjadi pada masa kolonial dahulu, maupun dalam rangka proses globalisasi sekarang ini--kita kembangkan berbagai kriteria pragmatis, seperti harga paling rendah, diserahkan tepat waktu, purna jual baik, rendah biayanya, sesuai teknik yang telah ditentukan, dan sistem pembayaran yang paling menguntungkan Indonesia.
Akibat impor produk apa pun dari masyarakat lain tersebut, menurut Habibie, di dalamnya terselubung 'jam kerja' yang kita biayai untuk mengembangkan teknologi, proses pendidikan dan proses pembudayaan masyarakat negara lain tersebut. Mereka menyediakan prasarana dan sarana pendidikan dan pembudayaan yang memadai sehingga masyarakat mereka menjadi semakin terampil, produktif, dan unggul, yang dibiayai oleh kita melalu ekspor SDA dan impor produk hasil produksi SDM mereka. Dengan demikian, mereka terus berkembang keterampilannya, produktivitasnya, daya saingnya, serta ketentraman dan kualitas hidupnya. Sementara masyarakat kita tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang karena tidak memperoleh pembinaan yang dibutuhkan. Akibatnya daya saing dan kualitas hidup masyarakat kita akan tetap rendah dan tidak berkembang.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut inilah maka Habibie menyebut era globalisasi ini adalah 'VOC Baru' bagi Indonesia.
Empat puluh tahun yang lalu Habibie telah memberikan dasar filsafah strategi proses industrialisasi yang berkelanjutan. Lima filsafah itu adalah: (1) mulai pada akhir dan berakhir pada awal; yang berarti kita memproduksi produk yang segera dibutuhkan pasar, dan setelah itu secara bertahap mengembangkannya sampai kita dapat menguasai teknologi, sehingga memungkinkan hampir semua produk yang kita butuhkan dapat dikembangkan dan dibuat di dalam negeri; (2) menyadari bahwa dua puluh lima tahun yang akan datang bagi proses industrialisasi adalah hari ini, berarti pendidikan, pembudayaan dan peningkatan keterampilan dan keunggulan SDM membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 25 tahun; (3) transformasi dan perkembangan proses industrialisasi harus dibiayai dari hasil ekspor SDA dan energi dan tidak menggantungkan diri pada dana luar negeri yang diperoleh dari pinjaman dengan persyaratan yang menguntungkan 'neraca pembayaran' dan merugikan 'neraca jam kerja'; (4) tiap kebijakan, baik yang diputuskan di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif, wajib memprioritaskan 'jam kerja' nasional; dan (5) usaha dan investasi pada bidang ilmu terapan dan teknologi tepat guna untuk produksi produk yang dibutuhkan di pasar nasional saja yang dibiayai dari hasil ekspor SDA dan energi.
Lima filsafah strategi tersebut menurut Habibie telah diterapkan selama 25 tahun dari tahun 1975 sampai 1999 dengan hasil nyata antara lain produk industri dirgantara, kelautan, dan angkutan darat di Indonesia berkembang. Namun sangat disayangkan karya-karya anak bangsa tersebut kita biarkan 'dihancurkan'. Sementara kita mengembangkan strategi membuka pintu selebar-lebarnya untuk impor barang jadi untuk prasarana dan sarana ekonomi seperti: pengangkutan, komunikasi, telekomunikasi, elektronik, energi dan yang lain, dan mengekspor bahan baku dan energi. Strategi tersebut memang sementara dapat menguntungkan 'neraca perdagangan' dan 'neraca pembayaran', namun sangat merugikan 'neraca jam kerja' yang berakibat proses pemerataan dalam segala bidang tidak berfungsi sesuai dengan cita-cita bangsa yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Kita bangga karena tunduk atas aturan main WTO serta lembaga internasional sejenis, dan ramai-ramai menari di atas irama pukulan gendang orang lain sampai kita lupa makna perjuangan rakyat kita sendiri.
Tentu saja ada banyak hal lagi yang diungkapkan oleh sosok yang luar biasa itu. Caranya berbicara, mimik mukanya, dan gerakan-gerakan tubuhnya yang sangat energik mengingatkan saya pada Mr. Pagsi, seorang 'passionate teacher' berusia 88 tahun, yang saya kenal ketika mengikuti forum SEAMEO INNOTECH di Manila, pada awal 2011 yang lalu. Di mata saya, Habibie adalah 'the outstanding teacher'. Beliau begitu menguasai materi dan tahu bagaimana cara menyampaikan materinya itu, memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa, sangat interaktif, sesekali sangat menggelikan, sesekali sangat mengharukan. Dua jam itu Habibie telah membuat kami semua terpukau, dan tak ayal, sesi itu dipenuhi dengan
wajah-wajah yang penuh perhatian, serius, namun juga ceria dan banyak tepuk tangan yang riuh rendah, bahkan tangis yang tertahan karena terharu. Seorang ibu di sebelah saya, Dr. Fatma dari UNG, saya lihat berkali-kali mengusap airmata keharuannya.
Habibie bercerita, suatu saat ketika dia menerima sebuah award di Jerman, seseorang bertanya, 'siapa guru Anda yang menjadikan Anda seperti ini?' Habibi menjawab, 'guru saya adalah 'my brain'. Dia menambahkan, kalau otak tidak berfungsi, maka nilai tambah pribadi akan terhenti. Beliau katakan bahwa penghargaan yang beliau terima bukanlah untuk dirinya, tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang ada saat ini, dan yang sudah mendahului, juga untuk masyarakat Indonesia yang belum dilahirkan. Karena sejatinya, apa yang dilakukannya saya ini tidak terlepas dari orang-orang yang telah berjuang sebelum ini, dan juga dipersembahkan bagi kejayaan generasi mendatang.
Di sela-sela presentasinya, dan juga menjelang akhir penampilannya, sisi Habibie yang romantis terasa begitu kentalnya. Beliau katakan, kalau ibu Ainun masih hidup, dialah yang paling sabar. Dia akan menunggui Habibie bekerja sampai larut malam dengan membaca Al-Quran. Sebelum ibu Ainun meninggal, Habibie merasa takut bila meninggal lebih dulu, karena beliau mengkhawatirkan siapa yang akan menjaga ibu Ainun. Namun sekarang, kata Habibie: 'Saya sudah kangen bergabung dengan ibu Ainun. Tapi sebelum bergabung, saya ingin memberikan kepada generasi selanjutnya, yaitu inspirasi. Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa berdiri di depan seperti ini, tapi ada 'lot of information' yang saya harus transform, yang harus saya share. Dan itu sebabnya saya terus bekerja demi anak-anak bangsa yang bahkan saat ini belum lahir.
Sesi dengan BJ Habibie ditutup dengan sangat manis oleh Rektor UNJ, Prof. Dr. Bedjo Sujanto. Ungkapan terima kasih dan doa untuk kesehatan Habibie dan perlindungan dari Allah SWT disampaikan dengan penuh ketulusan. Sebuah cindera mata dari panitia dan pelukan hangat antara Habibie dan Prof. Bedjo serta diiringi dengan 'standing applaus' yang panjang dan meriah dari kami semua mengakhiri dua jam yang sangat mengagumkan itu.
Yogyakarta, 1 November 2012
Wassalam,
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...