Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 28 Juli 2013

Menulis Bagi Saya (2)

Tidak mudah menembus Anita Cemerlang. Cerpen saya yang akhirnya dimuat itu, entah itu cerpen yang ke berapa, saya sampai tidak ingat. Meskipun ditolak berkali-kali, saya tidak mau menyerah. Apa lagi redaksi Anita selalu memberikan komentar dan motivasinya untuk cerpen-cerpen yang kita kirim namun belum bisa dimuat. Dengan begitu kita jadi tahu di bagian mana yang musti kita perbaiki, serta tetap terdorong untuk menulis.

Setelah tulisan pertama saya berhasil dimuat di Anita Cemerlang, sejak itu, cerpen saya bisa dimuat rutin hampir setiap bulan. Ya, kunci masuk sudah saya pegang. Saya, yang di Anita menggunakan nama Lutfi Az,  sudah tahu seperti apa cerpen-cerpen yang dimaui Anita. Adalah cerpen remaja yang mendayu-dayu, mengharu-biru, tentang cinta, tentang perjuangan, namun tetap mengandung pesan. Seperti itulah belasan atau puluhan cerpen-cerpen saya.

Saya juga menulis di koran Solo (saya lupa nama korannya). Saya mengenal koran itu dari kakak laki-laki saya yang kuliah di sana. Lumayan, untuk tulisan-tulisan pendek, waktu itu diberi honorarium Rp. 5.000,- -Rp. 10.000,-. Sementara nasi bungkus masih seharga seribuan (tahun 1985-1986).  Saat itu saya masih kuliah di kampus Pecindilan. Menulis benar-benar membantu saya, tidak sekedar menuangkan pikiran-pikiran, namun juga membantu keuangan saya sebagai mahasiswa kost, yang uang sakunya hampir selalu pas-pasan. Setidaknya uang dari menulis itu bisa saya gunakan untuk membeli jas hujan, senter, mi instan, dan juga membayar urunan naik gunung bersama teman-teman Himapala; tanpa mengganggu dana untuk praktek dan bayar kost.

Selain cerpen, saya juga menulis laporan perjalanan dalam bentuk feature. Feature saya beberapa kali dimuat di beberapa media, termasuk di Anita Cemerlang. Karena kegemaran saya menulis feature itu, saya sering ditugasi Gema, koran IKIP Surabaya waktu itu, untuk meliput berbagai kegiatan di lingkup kampus dan sekitarnya. Waktu itu, saya masih ingat, sering mengikuti rapat bersama Pak Leo Idra Adriana (almarhum), mas Wawan Setiawan, mas Djoko Pitono, mas Jusuf (sekarang menjadi guru), dan beberapa nama lain yang saya sudah agak lupa. 'Jabatan' saya waktu itu adalah sebagai reporter lepas. Masa-masa yang saya begitu menikmatinya sebagai wartawan amatir.

Hobi ternyata seperti sebuah tanaman. Dia perlu rabuk. Seperti itulah menulis. Saya sempat meninggalkan kebiasaan menulis itu bertahun-tahun, dan sengaja tidak mau melakukannya. Kecuali menulis di buku harian. 
Ceritanya begini. Saya sempat mengalami masa-masa di mana saya seperti mengidap insomnia ketika saya begitu getol-getolnya menulis fiksi. Saya biasa tidak tidur semalaman atau tidur menjelang pagi karena saya lebih memilih cetak-cetok dengan mesin tik. Hal itu membuat tubuh saya lemas dan tidak berenergi di siang harinya. Seperti orang yang masuk angin berat.

Otak saya sering dijejali dengan berbagai macam ide untuk ditulis, khususnya cerita fiksi. Namanya fiksi. Meskipun saya belum pernah naik gunung, saya bisa menulis cerita tentang petualangan di gunung. Ketika saya belum pernah datang ke suatu kota, saya bisa saja bercerita dengan latar kota tersebut. Mengandalkan imajinasi. Imajinasi itulah yang membuat pikiran saya menjadi berat. 

Maka penyakit susah tidur pun menghinggapi saya. Sampai akhirnya bapak dan ibu saya menyarankan supaya saya berhenti menulis. Jeda dulu. Kembali kepada kehidupan yang normal. 

Namun sebenarnya saya tidak pernah sama sekali berhenti menulis. Sebagai pengganti menulis cerpen dan feature, saya menulis puisi. Ada sebuah buku saya yang penuh dengan puisi-puisi yang saya tulis, untuk mengabdikan momen-momen dalam hidup saya. Terutama, sebagaimana remaja pada umumnya, adalah tentang cinta dan cita-cita. Puisi-puisi yang melankolis, cenderung cengeng, namun tetap penuh semangat mengejar cita-cita.

Begitu menjadi dosen, kegemaran saya menulis fiksi berubah menjadi kegemaran menulis proposal penelitian dan artikel ilmiah. Berbagai skim penelitian dan pengabdian masyarakat saya raih setiap tahunnya, baik yang bertaraf lokal dari IKIP Surabaya/Unesa maupun secara nasional. Juga berbagai penelitian kerja sama dengan beberapa instansi. Begitu juga dengan artikel ilmiah, saya menulisnya baik untuk presentasi dalam sebuah forum ilmiah lokal/nasional/regional, maupun untuk publikasi di jurnal imiah nasional maupun internasional.

Keterampilan menulis membuat saya nyaris tidak pernah mengalami kekurangan kredit point untuk pengusulan kenaikan pangkat. Menulis bagi saya sendiri bukanlah semata-mata untuk mengejar credit point. Saya menulis karena saya merasa harus menulis. Apakah itu nanti terpakai atau tidak untuk naik pangkat, tidak menjadi pertimbangan utama. Sehingga saya biasa terpaksa 'membuang' beberapa tulisan saya karena sudah melebihi credit point. 

Ternyata kegemaran menulis itulah yang mengantarkan saya menjadi guru besar pada usia 43 tahun (sebenarnya 42 tahun, tahun kelahiran saya di ijazah 'dituakan' setahun dari tahun kelahiran yang sebenarnya). Kegemaran menulis itu juga yang mengantarkan saya pernah mendapatkan kenaikan pangkat istimewa, yaitu dari III-C ke IV-A, tanpa melalui III-D. Pangkat istimewa saya peroleh karena dalam waktu dua tahun, saya berhasil memuatkan dua artikel saya di jurnal ilmiah terakreditasi. 

Pangkat istimewa dan guru besar, seperti sebuah kebetulan saja bagi saya. Artikel yang dimuat di dua jurnal ilmiah terakreditasi waktu itu adalah artikel tugas kuliah saya di program Doktor Teknologi Pembelajaran UM. Dosen saya, Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng menjanjikan mahasiswa akan memperoleh nilai A kalau tugas artikelnya berhasil dimuat di jurnal ilmiah terakrteditasi. Kemudian Dr. Waras, asisten beliau, yang membaca artikel saya, meminta saya untuk 'menggemukkan' salah satu tugas artikel saya. Beliau yang notabene adalah penyunting di sebuah jurnal imiah terakreditasi di UM, menyampaikan kalau artikel saya layak muat. 

Begitulah. Pangkat saya pun 'melompat'. Itu pun setelah diingatkan teman saya. Saya yang tidak terlalu mau repot mencermati peraturan kepangkatan, diingatkan oleh pak Asrul Bahar, teman saya, kalau saya bisa naik pangkat istimewa.

Selesai S3, saya bermaksud mengajukan kenaikan pangkat ke IV-B. Saya menyetorkan berkas-berkas saya ke bagian kepegawaian Unesa. Tahukah apa yang terjadi? Saya dipanggil kabag kepegawaian, pak Yakup, dan beliau mengatakan bahwa credit point saya sudah cukup untuk pengusulan ke Guru Besar. Apa? Guru Besar? Profesor? 

Saya belum siap untuk menjadi guru besar. Terlalu cepat. Maka saya tarik berkas saya dari pak Yakup, saya simpan selama satu semester. Sampai saya harus dua kali dipanggil Dekan FT, dan diminta untuk menyetorkan berkas saya, serta membiarkan kepegawaian memroses usulan guru besar saya. Beliau tekankan ke saya, supaya tidak egois. Lembaga butuh guru besar. Dan menahan berkas usulan berarti tidak memikirkan lembaga.

Skak mat. Kalau sudah masalah integritas, dedikasi dan loyalitas yang dipertaruhkan, saya tidak bisa berkutik. Maka tergopoh-gopohlah saya menghadap pak Setyohadi (sekarang sudah almarhum, dosen senior yang saya sering meminta pertimbangannya untuk keputusan-keputusan penting dalam hidup saya), untuk meminta pendapat beliau. Ternyata pendapat pak Setyo, begitu saya memanggil beliau, sama dengan pendapat dekan, sama juga dengan pendapat mas Ayik, suami saya. 

Akhirnya, saya menjadi guru besar pada Mei 2009, sekitar satu setengah tahun setelah saya mendapatkan gelar Doktor. Kemudian tepat pada tanggal 7 Januari 2010, dua minggu setibanya kami menjalankan ibadah haji, saya dikukuhkan sebagai Guru Besar Unesa ke-43, dalam bidang Pendidikan Ilmu Kesejahteraan Keluarga (Home Economics Education), pada usia saya yang ke 43.

Menulis, ternyata membawa kita pada keajaiban-keajaiban yang tak kita sangka-sangka sebelumnya. Maka menulislah, dan kau akan menemukan keajaiban-keajaiban itu...

Bersambung.....

Tanggulangin, 28 Juli 2013. 13.40 WIB.

Wassalam,
LN

Kamis, 25 Juli 2013

Berkah Ramadhan: Buku itu Akhirnya Dicetak

Ramadhan memang penuh berkah. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik, selalu diliputi berkah. Nafas kita, detak jantung kita, udara yang kita hirup, bahkan debu dan berbagai macam polusi yang memapar kita setiap detiknya, semua adalah berkah. Tentu saja bila kita mampu memaknai semua itu sebagai berkah. Hanya orang-orang yang pandai bersyukur sajalah yang bisa menerima semua yang datang dan pergi, semua yang baik dan buruk, sehat dan sakit, suka dan duka, sebagai berkah. Insyaallah kita semua termasuk golongan orang-orang yang pandai bersyukur.

Dalam Ramadhan ini, saya dan keluarga tidak melakukan persiapan khusus. Cukup persiapan sekadarnya saja. Baik lahir maupun batin.

Untuk persiapan lahir, kami melengkapu logistik bulanan kami dengan kurma. Kurma memang menjadi menu wajib dalam buka puasa kami. Bapak saya selalu mengawali buka puasa dengan sebutir kurma, dan itu menjadi kebiasaan kami sampai saat ini. Bedanya, kalau bapak saya hanya makan sebutir kurma, kami makan berbutir-butir.

Kurma ada yang kami beli dalam bentuk kemasan kecil-kecil, ada yang kami beli dalam bentuk kemasan satu dos besar. Kemasan kecil-kecil sudah kami bagikan pada ibu bapak dan saudara-saudara sebelum Ramadhan tiba. Plus beberapa item yang lain, seperti susu, cereal, nata de coco, sirup, roti dan macam-macam selai serta makanan instan. Mengingat ibu bapak hanya berdua, dan hanya ibu yang puasa, maka semua item itu sangat penting keberadaannya. Jaga-jaga kalau ibu malas dahar nasi saat sahur, setidaknya ada cereal dan susu. Begitu juga dengan bapak, yang baru tahun ini terpaksa tidak puasa karena stroke sejak setahun ini, setidaknya ada susu,  cereal dan roti untuk persediaan dahar pagi atau saat malas dahar nasi.

Kurma yang kami beli adalah kurma yang masih lengkap dengan tangkainya. Teksturnya padat, 'keset', tidak lembek, dan tidak terlalu manis. Kami membeli satu dos besar tentu saja bukan untuk konsumsi kami sendiri. Kami membagi-bagikan kurma itu untuk siapa saja yang kami ingin membaginya. Biasanya kami mengisi beberapa kotak plastik dengan kurma-kurma bertangkai itu, dan memberikannya pada sahabat dan saudara. Kami berharap, setidaknya dalam setiap butir kurma yang dinikmati sahabat dan saudara kami saat berbuka puasa, ada rasa syukur karena mereka telah menjalani sehari puasa dengan baik.

Untuk persiapan batin, saya dan keluarga meniatkan diri untuk tidak absen shalat tarawih dan shalat malam yang lain, juga mengaji setiap hari. Ya, untuk melakukan ibadah itu, niat mesti ditata dan dikuatkan. Dalam kondisi yang begitu padat aktivitas di siang hari, seringkali malam sudah terasa lelah dan malas untuk melakukan yang lain. Maka niat dan komitmen harus dibangun lagi agar dua hal itu bisa rutin kita lakukan, dan terus kita lakukan meskipun Ramadhan sudah meninggalkan kita nanti. 

Khusus untuk anak kami, Arga, berkali-kali kami tekankan, sesibuk apa pun, tarawih dan mengaji tidak boleh dikalahkan. Prioritas. Begitu juga shalat malam saat bangun sahur, 'ra ketang' dua-empat rakaat, harus dilakukan. Artinya, tuntutan itu tentu saja tidak hanya berlaku untuk anak kami. Kami juga sedang menuntut diri sendiri. 

Seperti pada hari-hari biasa, aktivitas kami di tempat kerja juga tidak ada berkurangnya dalam Ramadhan ini. Dalam beberapa hal malah lebih sibuk. Minggu kemarin kami melaksanakan tes online untuk dua ratus lebih calon peserta SM-3T angkatan ketiga. Tes itu dihelat selama tiga hari, dan bertempat di Lab Komputer Teknik Elektro FT Unesa. Untunglah kami semua telah sangat terbiasa bekerja maraton, dengan tanpa memperdulikan 'saya dapat berapa', sehingga pekerjaan yang musti 'direwangi lembur-lembur' itu kami lakukan dengan sungguh-sungguh, dalam suasana penuh keikhlasan dan rasa kebersamaan yang menyenangkan.

Beberapa hari ini pun kami juga menyiapkan Program Jatim Mengajar, sebuah program pengiriman guru-guru di pelosok Jawa Timur. Merupakan program kerja sama antara Unesa dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al-Falah). Siang sampai sore tadi, tes TPA, tes bidang studi, dan tes wawancara, sedang berlangsung di lantai 3 Gedung PPPG. Ada banyak teman yang terlibat, termasuk teman-teman kami yang nonmuslim. Pak Yoyok dan bu Lusi membantu menjadi pengawas di tes bidang studi. Ya, meski program ini mengandung muatan dakwah Islam, tapi teman-teman kami yang nonmuslim pun siap sedia membantu di bagian-bagian yang mereka bisa membantu. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Sebuah kebersamaan yang indah.

Entah karena juga berkah Ramadhan, mahasiswa banyak yang minta ujian pada minggu-minggu di bulan ini. Mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. Ujian proposal, komprehensif, maupun tesis. Hampir tiap hari selalu ada jadwal menguji. Kadang-kadang sampai 'numpuk' empat kali nguji dalam sehari. Luar biasa. 

Yang luar biasa lagi adalah mengalirnya makanan di rumah kami. Bagaimana tidak. Setiap kali menguji, kami yang biasanya mendapatkan sekotak makan siang, sekotak kue, kadang-kadang dilengkapi sepiring buah; dalam bulan puasa ini, kami mendapatkan kotak-kotak besar berisi makanan kering, semacam parcel mini. Biskuit, sirup, minuman instan, roti, bandeng asap, bandeng presto, krupuk, macam-macam makanan yang lain, termasuk......kurma. 

Ya, kurma. Sebenarnya bukan sesuatu yang 'ajaib' bila kita selalu mendapatkan kembali 'barang' kita setelah kita memberikannya pada seseorang. Mungkin kita sering mengalamai kejadian, baru saja kita mengeluarkan sejumlah uang untuk masjid, menyantuni anak yatim, membelanjakan untuk orang miskin, dan sebagainya; tiba-tiba kita mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka datangnya, seolah-olah itu adalah rezeki dari Allah untuk mengganti uang yang sudah kita sedekahkan tadi. Seringkali 'sak kal'. Tidak usah besok-besok atau 'mbesok-mbesok'. Saya sering istilahkan, Allah menggantinya dengan kontan.

Nah, seperti itulah yang terjadi pada kurma-kurma kami. Suatu ketika, saya membawakan sekotak kurma untuk sahabat kami, mas Rukin Firda, untuk bekal dia berbuka puasa di Jawa Pos, tempat kerjanya. Besoknya, ketika saya menguji tesis, di antara beberapa jenis makanan bingkisan mahasiswa, ada sekotak kurma. 

Beberapa hari kemudian, sahabat saya yang lain, mas Abdur Rohman, main ke rumah dengan putra-putrinya, Alif dan Olif. Malam-malam selepas tarawih, kami 'jagongan' sambil membahas rencana penerbitan buku saya. Ternyata kedua anak manis itu suka kurma. Maka saya bawakan sekotak kurma untuk mereka bawa pulang. Esoknya, setelah menguji, di antara makanan-makanan bingkisan mahasiswa, ternyata ada sekotak kurma juga. Lagi.

Tentu saja itu hanya contoh kecil dari berkah Ramadhan. Kecil sekali. Berkah lain yang luar biasa, masih banyak, tak terhitung.

Berkah lain yang luar biasa itu, salah satunya adalah tentang buku kuliner saya. Buku itu sudah sejak setahun yang lalu saya persiapkan dengan seorang teman dosen, dibantu, seperti biasa, mas Rohman. Saya juga mengerahkan beberapa mahasiswa dan teman-teman laboran untuk memasak dan menata. Mas Rohman yang memotret, menghimpun, dan me-layout. 

Mas Rohman, wartawan kuliner itu,  entah bagaimana saya musti berterima kasih padanya. Entah apa jadinya hidup saya tanpa dia (haha....lebay poll). Tapi benar, tanpa bantuanya, motivasinya, mungkin buku kuliner itu tak pernah jadi. 

Ternyata cukup melelahkan dan menguras energi juga membuat buku yang berjudul 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur' itu. Tiga kali mencetaknya dalam bentuk dummy, selalu saja ada yang perlu dilengkapi atau direvisi. Tapi begitu jadi, saya cukup puas. Buku itu begitu cantik luar dalam. 

Tapi ketika menghitung ongkos cetaknya, wow, saya agak 'lemes'. Empat puluh juta lebih. Itu sudah harga yang termurah untuk seribu eksemplar. Wah, 'mikir-mikir' juga ya. 

Tapi saya tetap optimis buku itu bisa dicetak. Beberapa teman seperti mas Eko Prasetyo dan mas Rohman sudah mencarikan berbagai alternatif supaya buku itu bisa dicetak tanpa harus saya tanggung sepenuhnya. Saya sendiri mencoba mencari percetakan yang lain, untuk mendapatkan harga termurah. Kebetulan jurusan kami, PKK, punya langganan percetakan, karena setiap tahun kami mengadakan seminar nasional secara rutin, dan prosiding seminar selalu dicetak di tempat itu. Percetakan itulah yang saya minta untuk menghitung biaya cetak buku saya, sebagai perbandingan.

Suatu siang, minggu yang lalu, saat saya sedang rapat di lantai dua Rektorat, saya 'nyambi-nyambi' rundingan sama orang percetakan. Pak Rektor kebetulan tahu, terus bertanya, 'mau nyetak buku apa, Luth?' 'Buku kuliner itu, Bapak', jawab saya. 'Lho, biar kita bantu saja nyetaknya. Itu kan aku yang minta kamu nulis.'

Hah? Saya nyaris 'mlongo'. Kaget dengan kata-kata pak Rektor. 'Benarkah, Bapak?' Beliau mengangguk memastikan. 'Biar nanti saya rundingkan dengan PR 1', kata beliau.

Benar. Tidak pakai lama. Besoknya saya menemui ibu Kisyani, PR 1, dan saya menyerahkan contoh buku kepada beliau, sekaligus daftar harga dari percetakan. Besoknya lagi, saya ditelepon pak Purwohandoko, PR 2, bahwa beliau menyetujui untuk mengalokasikan dana biaya cetak buku itu. Besok, dana sudah siap, dan buku bisa segera dicetak. 

Ya, buku itu akan dicetak.  Seribu eksemplar. Nampaknya pak Rektor, Ibu PR 1, dan pak PR 2, terkesan dengan buku cantik itu. Buku setebal 286 halaman, full color, lengkap dengan logo Unesa dan kata pengantar dari pak Rektor dan ibu PR 1, insyaallah akan menjadi satu di antara buku-buku lain yang telah dihasilkan oleh Unesa. Buku-buku yang akan menjadi souveneer bagi tamu dan para mitra Unesa. 

Tentu saja saya senang sekali buku itu akhirnya bisa dicetak dan dibaca orang secara luas. Sebuah bentuk apresiasi yang sangat membanggakan. Benar-benar berkah Ramadhan. Semoga berkah ini menjadi berkah untuk semua. 


Surabaya, 25 Juli 2013
(Otw, usai acara bukber bersama IKA-Unesa, di rumah pak Rektor)

Wassalam,
LN

Selasa, 23 Juli 2013

Kabar dari MBD (2)

Malam ini, saya kembali membaca surat dari Romlah. Surat yang diemailkan oleh adik Romlah kemarin malam. Entah kenapa, Romlah tidak langsung mengirimnya ke saya, tapi melalui adiknya.

Romlah merupakan salah satu peserta SM-3T yang bertugas di Romkisar (Nanda, rekan Romlah yang bertugas di Sermata, Mdona Hyera, menyebutnya Rumkisar). Sebuah wilayah yang disebut-sebut Nanda sebagai tempat yang lain daripada yang lain. Berada di ujung pulau, dalam kondisi apa pun lautnya selalu bergelombang, akses ke sana harus menembus hutan yang 'samun', dan unsur magic yang masih terasa sangat kuat melingkupi desa beserta masyarakatnya.

"Sebelumnya saya mohon maaf bu atas kedatangan surat ini. Ini saya Romlah bu. Saya ketik surat ini di Mahaleta (kebetulan listrik dari jenset lebih memadai daripada di Romkisar). Keberadaan saya di Mahaleta bukan kebetulan bu. Kami bertiga (saya, Mbak Yuni dan Mbak Vina) sengaja dilarikan ke Mahaleta untuk kebutuhan pengobatan. Saya dan Yuni membutuhkan medis untuk membantu kami yang ternyata positif terkena malaria valcivarum karena di Romkisar (desa tempat kami ditugaskan) tidak ada tenaga medis sama sekali. Alhamdulilah keadaan kami sedikit lebih baik setelah mendapat penanganan para mantri, semoga kesembuhan dan kesehatan selalu menyertai kami, amien."

Itulah alinea pembuka surat Romlah. Sosok manis berjilbab yang ramah itu terbayang di mata saya. Beberapa waktu yang lalu, di awal-awal penugasannya, dia pernah menelepon saya dari Ambon. Waktu itu, dia dan beberapa temannya sengaja menumpang kapal ke Ambon untuk mengambil beasiswa di rekeningnya, serta berbelanja berbagai keperluan untuk bekal selama di Romkisar. Saat itu kami juga sedang melakukan pengiriman pelampung, sehingga keberadaan Romlah dkk di Ambon sangat membantu kami. Pelampung kami kirimkan ke Ambon, dan Romlah dkk membawanya menyeberang Laut Banda menuju tempatnya bertugas,  untuk dibagikan kepada semua rekannya di MBD.

Dalam suratnya, Romlah tak hendak bercerita tentang sakit yang dideritanya. Dia ingin bercerita tentang kondisi pendidikan di Romkisar. Dia dan kedua temannya ditugaskan di SDN Romkisar. Di sekolah itu, hanya ada dua guru PNS, yaitu kepala sekolah dan guru agama. Kepala sekolah sering ada urusan dinas atau keperluan kuliah, sedangkan guru agama juga sering izin tidak masuk. Bahkan baru-baru ini, guru agama izin melahirkan sejak bulan Februari, dan sampai sekolah sudah masuk libur semester dua, dia belum kembali.

"Kami sangat menyayangi murid-murid kami yang menurut kami kemampuannya tidak kalah dibanding anak-anak di kota. Mereka cukup cepat menangkap apa yang kami sampaikan, apalagi ketika kami beri mereka pelajaran dengan bermain dan bernyanyi. Mereka semangat sekali bu. Mereka tidak kekurangan fasilitas, saya rasa perlengkapan sekolah yang orang tua mereka berikan berkategori cukup jika dibanding kondisi anak-anak Sumba yang pernah ibu ceritakan waktu prakondisi. Hanya saja ibu, mereka masih kurang kesadaran untuk belajar. Mereka harus dipaksa untuk sekedar datang les (sungguh keadaannya tidak sejalan dengan cerita yang saya baca di buku "Ibu guru, saya ingin membaca", Sumba Timur). Tpi bu, justru itu kami sangat 'mengemani' itu.

Romlah mengaku, dia dkk sangat khawatir dengan 'ancaman' kepala sekolah kepada murid-murid, bahwa beliau akan keluar dari SDN Romkisar bila guru-guru SM-3T habis masa kontraknya. Ibu guru agama pun kabarnya juga akan pindah tempat mengajar. "Terus nanti siapa yang akan mengajar murid-murid kami?" Begitu tanya Romlah.

Saya jadi ingat persoalan yang sama yang terjadi di Pulau Salura, Sumba Timur. Di SMP Satap, waktu kami melakukan monev Juni yang lalu, tidak ada satu pun guru yang bertugas di sana. Maka para peserta SM-3T itulah yang 'ngurusi' sekolah itu. Sama halnya dengan Romlah, Heri dkk di Salura juga mengkhawatirkan sekolah itu akan tutup karena tidak ada gurunya, selepas kepergian mereka karena masa tugasnya telah berakhir. 

Romlah dkk memohon agar Romkisar tetap digunakan sebagai tempat tugas peserta SM-3T angkatan ketiga nanti, agar anak-anak ada yang mengajar. Seperti itu jugalah yang diminta Heri dkk di Salura.

Kondisi Romkisar persis seperti apa yang diceritakan Nanda dalam SMS-SMS-nya. Romlah menggambarkan, desa kecil yang dihuni oleh sekitar 64 KK dan hanya memiliki satu-satunya sekolah, yaitu SD itu, memiliki laut yang ombaknya....'masa ampun, bu, besar dan kencang sekali...', begitu katanya. 

"Kami tidak punya akses untuk berlayar ke desa sebelah, apalagi speed milik desa sedang rusak. Jalan darat yang menghubungkan desa Romkisar dengan Elo (tempat tugas Rio dkk) dan Romkisar dengan Lelang (tempat tugas Eko dkk) juga tidak dekat dan tidak mudah. Jarak ke Elo sekitar 7 km, dan jarak ke Lelang sekitar 13 km.  Perjalanan pun cukup melelahkan dan membahayakan karena harus menerobos padang ilalang dan menyeberang sungai, dan saya sudah merasakannya."

"Malaria juga menguji kami bertiga. Saya sudah mengalami rasanya sembuh-kambuh karena malaria sejak Maret hingga kali ini, bulan Juli 2013. Menyusuri kebun berkilo-kilo untuk sekedar mewujudkan hasrat membuat perkedel jantung pisang pun sudah kami lakukan...."

Romlah sekali lagi memohon supaya kami mengirimkan guru SM-3T ke Romkisar sebagai pengganti dia dkk. Bahkan kalau bisa lebih banyak lagi. Dia juga minta supaya kami juga mengirimkan guru-guru ke Pulau Marsela. 

"Saya tak bisa lupa raut wajah kepsek SD Kristen Nurah saat hendak menjemput kami yang awalnya ditempatkan di Pulau Marsela (namun tidak jadi), menjelang tengah malam pada bulan Oktober yang lalu. Tapi rombongan beliau harus kembali dengan tangan kosong dan kecewa..."

Kalimat Romlah mengingatkan saya pada sosok itu, Kepala Sekolah SD Kristen Nurah, yang kami temui di Letwurung, Pulau Babar, beberapa waktu yang lalu. Saya beserta tim (mas Heru Siswanto dan mas Rukin Firda) sedang berkunjung ke UPTD saat itu. Oleh karena masa-masa itu adalah masa UN, maka banyak kepala sekolah dari berbagai penjuru pulau, datang ke UPTD untuk mengambil dan menyerahkan soal UN.  

Sama seperti Romlah, saya tidak bisa melupakan wajah itu. Wajah yang memohon, dengan mata yang merah berkaca-kaca, meminta dengan sangat supaya kami mengirimkan guru ke Pulau Marsela. Saat itu, saat ada pengiriman guru SM-3T, beliau mendapat kabar kalau akan ada seorang guru yang ditugaskan di sana, yaitu Romlah. Maka dengan speed beliau dan rombongan menyeberang laut, datang ke UPTD, bermaksud menjemput Romlah. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Romlah tidak jadi ditugaskan di sana. Kendala transportasi dan komunikasi menyebabkan beliau tidak mengetahui kalau ada perubahan itu. 

Ya, memang, atas masukan tim pendamping (Dr. Nanik dkk) saat melepas para peserta di Pelabuhan Galala, Ambon, dan juga berdasarkan hasil pembicaraan dengan pejabat Dinas PPO MBD, maka kami memutuskan supaya rentang tempat tugas peserta SM-3T tidak terlalu tersebar. Mengingat kondisi MBD yang begitu 'lain dari pada yang lain', kami jadi 'ngeri' sendiri untuk menugaskan anak-anak kami ke pulau-pulau kecil. Saya sendiri harus mempertimbangkan keamanan dan keselamatan mereka. Mungkin sebagai seorang ibu, saya harus mempertimbangkan juga, bagaimana sedihnya bila keluarga mereka nanti tidak bisa berkomunikasi dengan mereka, untuk sekadar memastikan keadaan mereka (Meskipun ternyata saat ini, seperti itulah yang terjadi....).

Kepala Sekolah SD di Pulau Marsela waktu itu menjelaskan pada kami, bahwa mereka sudah mengeluarkan 2,5 juta untuk menyewa speed, dalam rangka menjemput ibu guru Romlah. Begitu tahu bahwa Romlah tidak jadi ditugaskan di sana, tidak terbayangkan oleh saya, betapa kecewa dan sedihnya beliau. Kekecewaan dan kesedihan itu beliau tumpahkan saat bertemu kami di UPTD itu. Saat itu, saya berjanji, untuk angkatan 2013, kami akan mengupayakan ada guru yang bisa kami kirimkan ke Pulau Marsela.

"Ibu, mungkin begitu saja unek-unek yang ingin saya sampaikan. Mohon maaf jika terdapat hal yang kurang berkenan.... Semoga program SM-3T mampu mengirimkan sarjana-sarjana yang dapat membantu anak-anak negeri di daerah 3T menuju kenyataan terindah tunas bangsa, yakni cita-cita mulia yang mereka patri dalam hati..."

"Salam rindu dari saya dan teman-teman dari Bumi Kalwedo, untuk ibu kami tercinta..."

Saya, seperti biasa, selalu diliputi rasa haru, sedih dan bangga. Mata saya selalu menjadi kabur setiap kali membaca surat-surat dari anak-anak SM-3T. Ketegaran dan kerelaan mereka berjuang, benar-benar meruntuhkan hati saya. Mereka ada di sana, di titik-titik terpencil yang bahkan tak akan mudah dicari dengan google map di mana titik koordinatnya. Bertarung melawan segala macam rintangan dan rasa sakit yang benar-benar sakit. Merelakan diri untuk menjadi pelita-pelita dalam kegelapan yang tak jelas di mana titik terangnya. Dalam kondisi fisiknya yang digerogoti malaria dan berbagai sakit yang lainnya pun, bahkan yang mereka pikirkan adalah, bagaimana sekolah setelah mereka pergi, meninggalkan tempat tugas. Siapa yang akan mengurus murid-murid yang mereka sayangi itu?

Siang hari kemarin, saya juga berlama-lama bertelepon dengan Rico dan Leni. Keduanya yang bertugas di Mdona Hyera itu sedang ada di Pulau Kisar. Setelah tujuh bulan tidak pernah bertemu sinyal, mereka memuaskan diri untuk curhat. Bukan sakit, bukan keluhan karena keterbatasan dalam segala hal yang mereka sampaikan. Mereka hanya ingin memastikan, Mdona Hyera akan mendapat kiriman guru lagi, karena sekolah tempat mereka bertugas, hanya punya satu guru PNS, yaitu kepala sekolah. Bahkan kepala sekolah akan menelepon sendiri ke saya, agar kami mengirimkan lagi guru ke sana sebagai pengganti Rico dkk. Usai bertelepon, seperti biasa, saya mengambil tisu, menghapus air mata yang meleleh. Pak Sulaiman yang melihat itu, hanya tersenyum maklum, tanpa komentar sepatah pun. Tentu saja dia sangat tahu apa yang saya rasakan. Dalam segala ketegaran saya sebagai koordinator SM-3T, saya hanyalah seorang ibu yang selalu diliputi kekhawatiran tentang keselamatan dan keamanan anak-anak kami. Meski pikiran positif terus-menerus yang selalu kami kembangkan, namun, tak ayal, pada saat-saat tertentu, air mata menjadi saksi betapa saya sangat merindukan mereka semua selalu dalam keadaan terbaik yang bisa mereka dapatkan....

Surabaya, 23 Juli 2014

Wassalam,
LN

Senin, 22 Juli 2013

Kabar dari MBD

Ramadhan ini benar-benar berkah bagi para peserta SM-3T. Bersamaan dengan libur sekolah, karena ujian sekolah dan pembagian rapor sudah selesai, mereka memiliki waktu yang bebas untuk melakukan apa saja. Bahkan ketika sekolah sudah masuk lagi sejak tanggal 17 Juli yang lalu, aktivitas juga tidak terlalu padat, dan minggu berikutnya bahkan sudah diisi dengan kegiatan pondok Ramadhan. 

Sebagian besar peserta memanfaatkan waktu libur tersebut untuk melanglang dari satu pulau ke pulau yang lain. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan kondisi laut. Kesempatan untuk melakukan petualangan dan menjelajah di seluruh pelosok kabupaten tempat tugas, belum tentu akan ada lagi pada waktu-waktu yang akan datang. September mereka sudah harus ditarik dari tempat tugas, dan libur sekolah yang panjang hanya mereka miliki pada saat ini.

Beberapa waktu yang lalu, Nanda, peserta yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), mengirim SMS kalau dia dan beberapa temannya sedang berada di Kupang. Senyampang ada kapal berlayar dari Mdona Hyera menuju Kupang. Mereka mengambil beasiswa di rekening mereka atau sekedar mengecek (maklum, di Mdona Hyera tidak ada bank, apalagi ATM). Mereka juga berbelanja keperluan sehari-hari. Dan tentu saja, juga sekalian 'refreshing', cuci mata, mencari selingan setelah berbulan-bulan hanya bergelut dengan sekolah, laut, pantai, daun singkong, dan ikan laut.

Nanda juga menanyakan, kapan kira-kira peserta SM-3T MBD akan ditarik dari tempat tugas. Sehari sebelumnya, kami memang kedatangan tamu dari Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (PPO) MBD. Maksud kedatangan beliau selain untuk menandatangani MoU untuk penyelenggaraan Program SM-3T, juga untuk membahas rencana penarikan dan pengiriman peserta SM-3T yang ditugaskan di MBD. Nanda dan teman-temannya tahu akan hal itu, dan oleh sebab itu, dia menanyakan seperti apa hasil pertemuan tersebut.

Saya katakan ke Nanda, kalau menurut pak Kadis, untuk penarikan nanti, kita bisa menggunakan kapal Marsela (kapal tersebut milik Pemda MBD). Berangkat untuk mengantar peserta baru, dua minggu kemudian, menjemput peserta yang lama.

Tidak saya duga, balasan Nanda di luar dugaan. "Apa??? Hakakak... Ibu berarti kita pulang bukan sept bu... kalo angkatan 2013 berangkat nya kapan bu..? Kita pulang sendiri aja ya bu.. hakakaa". 

Saya kaget membaca respon Nanda. Sampai saya bertanya-tanya, apa salah ya SMS saya tadi. Maka saya segera meralatnya: "Alternatif lainnya, mengantar peserta baru, sambil menjemput peserta yang lama. Hayo....jok ngakak ya...".

"Maaf, bu. Itu tadi bukan saya yang jawab. Sudah deal seperti itu ya bu? Untuk jadwal penarikan berarti kita tergantung pemberangkatan angkatan 2013 bu?" Lanjut Nanda. Saya tidak menjawab pertanyaannya, malah balik bertanya: "Emangnya tadi siapa yang njawab? Nggak sopan....." Dalam pikiran saya, jawaban spontan yang dengan ngakak tadi bukan dari Nanda.

Ternyata Nanda malah telepon. Meminta maaf untuk SMS yang tidak sopan tadi. Dia bilang, yang menjawab tadi 'Nandut', bukan Nanda. Oh, ternyata dia ingin meralat jawaban tidak sopan tadi, yang ternyata itu jawaban spontan dia sendiri, dan dia merasa sangat kurang ajar, makanya merasa harus menelepon dan meminta maaf.

Saya sendiri rileks saja menanggapi permintaan maaf Nanda. Saya sangat memahami situasi hatinya. Kerinduannya untuk pulang, kejenuhannya setelah berbulan-bulan bergulat dengan rutinitas yang mungkin tak memberinya banyak pilihan, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa TV, tanpa hiburan apa pun; kecuali masyarakat dan alam Mdona Hyera yang musti diakrabinya sepanjang waktu yang dimilikinya. Nanda nampak tenang setelah saya pastikan ke dia, tidak ada yang perlu saya maafkan, karena saya sangat memahami perasaan dia dan teman-teman.

Tiga hari setelah itu (14 Juli 2013), SMS nanda masuk berdesak-desakan. Inilah SMS-SMS itu:

"Assalamualaikum Wr. Wb. Ibu, sebelum saya kembali ke Sermata, saya sempatkan sms bu Luthfi mengenai penarikan. Mungkin memang tidak bisa dipungkiri kalau saya dan teman-teman sudah rindu pada keluarga dan semua yang ada di Jawa. Tapi untuk saya pribadi, setelah mengingat, menimbang dan memutuskan sayang jika tidak ada pertemuan antara peserta lama dengan peserta baru. Mengapa?
1. Kalau tidak ada pertemuan dan sharing sama saja kita mulai dari Nol lagi. Alias babat alas lagi.... jadi program kita mulai dari awal, mbangun pondasi baru lagi. 
2. Ada banyak hal yang kita alami yang sebelumnya juga tidak pernah terpikirkan ada menghadapi beberapa problem ini. Meskipun sepele namun jg cukup menghambat, dan jika ada sharing paling tidak bisa di hindari atau diminimalisir oleh teman-teman peserta baru. 
3. Perlunya tukar pikiran antara peserta lama dan baru tentang hal-hal yang perlu di perhatikan di tempat tgs. 
4. Membekali teman-teman peserta baru ttg pengalaman kami selama d tempat tgas. Segala hal tentang lingkungan setempat, karakter masyarakat dll...
5. Mungkin paling tidak kalau kita pulang ke Jawa saat sudah ada teman-teman baru yang siap meneruskan langkah kami, kami bisa lebih lilo ninggal anak-anak kami... biar gak terlalu sedih buuuu...hiks hiks. Maaf, ibu, smsnya puanjaangg sekali."

"Oke, Nanda. Sdh kuterima semua sms-mu. Aku perhatikan. Kapan kembali ke Sermata?" (Sermata adalah desa tempat Nanda bertugas, ada di Pulau Mdona Hyera).

"Enggeh bu, sayang nya saya tidak bisa menghubungi yang ada di sermata, karena mas noval dan mbak risna juga masih tertahan di sermata dari awal liburan bu, belum ada kapal.... 
Mungkin seperti itu ibu secara garis besarnya. Namun kalau bisa, agar sama2 'enak',  mohon diperhatikan masalah jadwal pengiriman teman-teman peserta baru yang bertugas di  MBD.. mungkin diusahakan bisa lebih awal atau tepat waktu, agar penarikan peserta lama juga tidak terlalu molor bu. InsyaAllah seperti itu bu untuk sementara yang ingin saya sampaikan... terimakasih ibu luthfi: )"

Saya pikir, itu adalah SMS Nanda yang terakhir sebelum dia dan kawan-kawannya bertolak kembali ke Sermata. Ternyata kapal tak kunjung berlayar, dan besoknya (15 Juli 2013), Nanda memenuhi ponsel saya dengan SMS-SMS-nya lagi. 

"Assalamualaikum. Ibu ada beberapa hal lagi yang mungkin menjadi masukan saya mewakili teman-teman khususnya yang ada di Mdona Hyera mengenai penempatan teman-teman peserta baru... (sebentar ibu smsnya panjang)". 

"Bercermin pada pengalaman angkatan saya, ada beberapa hal sepele tapi penting yang perlu diperhatikan. Kalau boleh saya tahu untuk daerah mdona hyera ada sekolah mana saja yang menjadi sasaran bu?"

"Sekedar masukan ibu...
1. Untuk keamanan dan keselamatan, mohon diusahakan untuk setiap penempatan ada laki-laki (jika memungkinkan).
2. Untuk desa Rumkisar, jika ada yang ditempatkan disana mungkin lebih dikhususkan lagi kareka karakter daerahnya yang 'lebih' dari pada lainnya. Mungkin jika memang harus ada yang ditempatkan di sana, paling tidak ada 3, harus ada laki-laki, atau lebih baik perbandingan laki-laki lebih banyak dari perempuan, misalnya 2:1".

"Tapi kapan hari saya bertemu dengan salah satu bapak pengawas, beliau bilang ke saya katanya, jikalau tahun ini rumkisar dapat guru sm3t lagi, maka kemungkinan besar akan dipindah ke desa lain. Yang jadi alasan Rumkisar 'istimewa':
- Ujung pulau
- Musim teduh atau gelombang, Rumkisar tetap akan gelombang.
- Jangkauan ke desa sebelah via darat medan susah dan masuk hutan (samun)
- Jangkauan via laut juga tidak mudah karena selalu gelombang. 
- Speed satu-satunya di rumkisar rusak.
- Hal-hal magic menurut penduduk pulau yg saya sendiri kurang paham.
Bahkan warga sebelah desa pun banyak yang dr kecil sampai tua belum pernah ke rumkisar karena beberapa alasan td".

"Jadi saya sendiri salut dengan perjuangan 3 saudara saya yang bertugas disana ibu, Romlah, Yuni dan mbak Vina... mereka sering sakit... 
Tapi mereka bersikeras untuk tahun ini harus ada penerus..kalau tidak sekolah tutup.
Karena selama ini saja jika ada guru yang asli dari sermata mendapat SK di rumkisar, baru 2 minggu mereka sudah pulang ke desanya dan tidak mau kembali lagi... tapi teman-teman saya ini bertahan demi kewajiban tugas dan anak-anak. Singkat cerita tentang rumkisar seperti itu ibu.... mungkin bisa jadi tambahan informasi dan semoga sedikit membantu. Berikutnya Luang...."

"Untuk luang, meskipun merupakan pulau kecil yang terpisah dari ibu kota kecamatan, namun sarana komunikasi masih lancar... masih ada telepon satelit. Dan ada kapal yang singgah di luang. Ikan banyak, tapi air tawar yang bisa dikatakan tidak ada... saya kurang info masalah luang dari pada tempat lainnya. Namun yang saya tahu relatif lebih nyaman dari desa yang sebelumnya. Karena jarang ada keluhan... tapi kalau bisa tetap ada laki-laki bu, meskipun satu.."

"Sementara itu ibu... sebenarnya saya ingin mengirim cerita lagi tentang gambaran dan karakter tempat di mdona hyera. Mungkin bisa memberi sedikit info untuk angkatan berikut. Cuma sayangnya FD saya sudah terkirim ke Jawa semua. Jadi disini sudah tidak pegang FD lagi bu..  untuk lelang, mahaleta dan elo relatif aman... meakipun ada masalah insyaAllah masih bisa diatasi... hehehe.. nggeh mpun bu... terima kasih.... wassalamualaikum".

Perasaan saya diliputi rasa bangga dan haru membaca SMS-SMS Nanda. Terbayang semuanya tentang dia dan teman-temannya. Ketegarannya, ketulusannya mengabdi, dan juga kekonyolannya. Anak manis itu telah merebut hati saya sejak surat pertama yang dikirimkannya beberapa waktu yang lalu. Surat yang dikirimnya dari Mdona Hyera, yang baru tiga bulan kemudian saya terima. 

Dan hati saya semakin terpikat pada kepribadiannya setelah selama seminggu saya bersamanya, sewaktu monev April yang lalu. Betapa pandainya Nanda, dan juga teman-temannya, menikmati keadaan mereka di tempat tugas. Semua keterbatasan yang ada menjadi sarana bagi mereka untuk selalu banyak bersyukur dan bersyukur. Juga semakin membulatkan tekad mereka untuk mengabdi, memberikan yang terbaik yang bisa mereka lakukan selama menjalankan tugas.

Semoga semangat juang dan jiwa penuh pengabdian itu tak lekang oleh zaman....

Surabaya, 22 Juli 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 19 Juli 2013

Menulis Bagi Saya... (1)

Saya agak lupa, entah sejak kapan saya mulai menulis. Seingat saya, saya mulai menulis sejak SD. 

Waktu itu, saya yang pada dasarnya suka membaca, terdorong untuk bisa juga menulis. Saya pembaca setia majalah Bobo dan Kawanku saat masih di SD, meningkat membaca Kuncup dan Kuncung ketika SMP, juga majalah Joyoboyo dan Penjebar Semangat. Saya juga membaca MPA (seingat saya kepanjangan dari Media Pendidikan Agama). MPA merupakan satu-satunya majalah langganan kami sekeluarga, karena bapak saya adalah guru madrasah tsanawiyah, jadi setiap bulan beliau mendapatkan kiriman majalah MPA. 

Majalah Bobo dan Kawanku, meskipun tidak berlangganan, tapi entah dari mana saya sering mendapatkannya. Seingat saya, di rumah selalu ada. Kadang-kadang dibawakan paklik dan bulik saya, kadang diberi saudara-saudara saya. Kisah Deni si Manusia Ikan, Oki dan Nirmala, adalah dua serial yang sampai saat ini masih lekat dalam ingatan saya. 

Untuk majalah Kuncup dan Kuncung, saya lebih sering meminjam di perpustakaan sekolah. Sekolah saya, di SDN Jenggolo, Jenu, Kabupaten Tuban, meskipun sekolah di desa, tapi punya perpustakaan kecil. Sedangkan Joyoboyo dan Penjebar Semangat saya baca bila saya bermain di rumah teman saya, putri seorang polisi, yang ibunya berlangganan kedua majalah berbahasa Jawa itu. Kebetulan rumah kami berhadapan dengan kantor polisi, sehingga bergaul dengan para polisi dan keluarganya mewarnai kehidupan masa kecil dan remaja saya (sampai pernah juga 'dilamar' sama polisi....haha).

Dari perpustakaan sekolah, saya membaca buku-buku karya sastra, seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan lain-lain. Saya juga membaca buku cerita Sepatu Cinderella, Putri Salju, Hercules, David and Golliath, Ali Baba, Lampu Alladin, dan sebagainya. Juga membaca banyak buku cerita rakyat yang saya ingat di antaranya Bawang Merah Bawang Putih, Keong Mas, Roro Jonggrang, Jaka Tarub, Sangkuriang, Malin Kundang, Si Pitung, Pak Sakerah, dan lain-lain. 

Sebagian besar cerita rakyat yang saya baca itu sudah pernah saya dengar ceritanya dari ibu saya, yang selalu mendongeng sebelum tidur. Ibu saya adalah seorang wanita yang cerdas, aktivis organisasi muslimah, beliau juga mengajar sebagai guru honorer di tempat bapak mengajar. Sempat juga menjadi anggota DPR di Kabupaten Tuban, sambil terus menekuni kegiatannya berdakwah (beliau mubalighoh sejak masih gadis, dan bercita-cita anak perempuannya akan jadi mubalighoh juga seperti beliau....sayang belum kesampaian, mudah-mudahan nanti cucunya ada yang mewujudkan cita-cita ibu). Namun di antara kesibukannya yang begitu padat, ibu selalu memastikan kami mengaji selepas maghrib, belajar, dan kemudian menghadiahi kami dongeng sebelum tidur. Dongengannya tidak hanya cerita rakyat seperti yang saya sebut di atas, namun, terutama, adalah kisah para nabi. 

Kebiasaan mendongeng itu sampai saat ini masih dilakukan ibu, tentu saja untuk cucu-cucunya, termasuk untuk Arga kecil dulu. Beruntunglah untuk para cucu yang kebetulan tinggal serumah, di rumah kami yang besar itu, atau yang tinggal satu kompleks dengan rumah induk itu. Saya sering terkenang masa kecil saya, saat menyaksikan ibu mendongeng, dan para cucu 'kemriyek' di kiri kanan ibu. Mereka mendengarkan ibu bercerita dengan penuh perhatian (karena ibu membawakan dongengannya dengan sangat menarik),  kadang membuat mereka tertawa berderai, kadang terpana dengan mulut 'mlongo' dan mata bulat 'plolang-plolong' (kami memang keluarga dengan salah satu ciri khas adalah bermata 'plolong', sudah dari sononya..hehe).

Kembali ke cerita tentang saya. Oya, saya juga suka membaca buku-buku biografi. Saya  membaca buku Raden Ajeng Kartini, Tjut Nya' Dien, Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Ki Hajar Dewantara, Dewi Sartika, yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah.

Mungkin karena memang koleksi perpustakaan kecil di sekolah saya terbatas, sepertinya semua buku yang ada di perpustakaan itu sudah pernah saya baca. Maka saya menggasak bacaan apa saja di sekitar saya. Komik Donald Duck, Tin Tin Tin, Asterix dan Obelix, adalah beberapa yang saya baca dengan meminjam dari saudara-saudara saya. Bulik saya punya koleksi Khoo Ping Ho, tumpukannya sampai tinggi sekali, tapi sayang sekali saya tidak terlalu tertarik. Menghafalkan nama-nama pemerannya saja susah. Juga serial Api di Bukit Menoreh, hanya saya lahap beberapa buku. Entah kenapa saya tidak terlalu suka. Mungkin pada saat itu, buku-buku tersebut masih terlalu berat bagi saya yang memang masih SD.  

Selain itu, saya juga membaca kisah para nabi. Sebuah buku tebal, milik bapak, judulnya Rangkaian Kisah dalam Al Quran, saya 'keloni' setiap pulang sekolah, dan saya membacanya mulai dari halaman pertama sampai terakhir nyaris tanpa ada satu huruf pun yang terlewat. Mulai Nabi Adam sampai Muhammad.  

Di SMP dan SMA, saya mulai menjadi pelanggan sebuah perpustakaan yang ada di dekat sekolah saya. Perpustakaan mungil yang dikelola oleh seorang bapak sepuh (saya lupa namanya), saya membayangkan beliau adalah orang yang sangat mencintai buku. Hampir tiap dua atau tiga hari sekali saya mengunjungi perpustakaan itu, untuk meminjam dan mengembalikan buku. Saya membaca serial detektif Lima Sekawan (kalau tidak salah ingat, penulisnya Enid Blyton) dan banyak sekali buku dan novel, termasuk Motinggo Busye dan Marga T. Saya juga tidak kesulitan untuk mendapatkan majalah remaja seperti Anita Cemerlang, Gadis dan Hai. Saya sangat menyukai serial 'Kiki and Her Gang', yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Cerita yang konyol, kocak, lekat sekali dengan kehidupan remaja. Kelak, saya mulai membaca buku tentang bagaimana menulis, juga dari bukunya Arswendo, yang berjudul Menulis itu Gampang. Sebuah buku yang dihadiahkan kakak saya, mas Zen; rupanya dia tahu saya suka menulis dan dia melihat saya memiliki potensi untuk menjadi penulis. Meski bukan penulis 'beneran'.

Apa saja saya baca. Membaca menjadi hiburan paling menarik bagi saya. Saking menariknya, saya betah berjam-jam di dalam kamar, tak menghiraukan kegaduhan di luar kamar atau di luar rumah. Efek negatifnya, saya sering menarik diri dari obrolan orang-orang di sekitar saya yang saya anggap tidak menarik, dengan menenggelamkan diri dalam buku-buku bacaan. Sampai-sampai saya bolak-balik ditegur ibu saya supaya saya tidak membaca terus dan 'srawung' sama saudara-saudara.

Saya tumbuh dewasa dengan majalah-majalah wanita seperti Kartini, Femina dan Wanita; majalah-majalah ini saya pinjam dari bulik saya. Juga majalah Intisari, seingat saya sejak saya lahir, majalah itu sudah ada. Saya juga mengumpulkan majalah sastra seperti Horizon (sampai saat ini saya masih menyimpannya). Oya, dari majalah Tempo, saya sangat menyukai Goenawan Mohammad dengan Catatan Pinggir-nya, sampai saya meng-kliping-nya. Emha Ainun Nadjib, Musthofa Bisri, Budi Darma, Pramudya Ananta Toer, Kahlil Gibran, dan banyak penulis yang lain, saya kenal tentu saja dari membaca buku-bukunya. 

Kembali lagi ke awal mula saya menulis. Di majalah MPA ada satu kolom cerpen anak-anak. Ceritanya tentu saja berkisar tentang kehidupan anak-anak, dengan pesan moral dan agama yang kental. Salah satu teman saya, namanya Uswatun Hasanah, putri seorang guru agama yang notabene adalah teman bapak saya dan juga guru saya, namanya pak Hafash, beberapa kali mengirimkan cerpennya dan dimuat di MPA. Saya ingiiiinnn sekali bisa membuat cerpen seperti dia. Apa lagi kalau bisa dimuat di majalah seperti itu.

Teman saya itulah yang menginspirasi saya untuk mulai menulis. Maka cerpen pertama saya, saya masih ingat betul, judulnya 'Sebatang Kara', berkisah tentang seorang anak yang ditinggal mati oleh ayahnya, kemudian ibunya, dan dia membantu tetangganya untuk berjualan kue. Sebuah cerpen yang tidak pernah saya kirim ke mana-mana. Tidak pede. Saya simpan saja. Tapi setidaknya itulah cerpen pertama yang telah berhasil saya tulis dengan tuntas. Karena ada banyak cerita lain yang saya tulis, namun ceritanya tidak pernah tuntas.

Saya juga memiliki diary dan rajin berinteraksi dengan buku kecil itu. Sampai sekarang, diary masa kecil saya masih saya simpan, dan sesekali, saya suka membacanya (seringkali sambil senyum-senyum sendiri, kadang terharu, kadang bahkan bisa menangis). Diary, mungkin merupakan salah satu 'sosok' yang paling berjasa dalam melatih kemampuan saya menulis.

Saya mulai mengenal mesin tik sejak kelas 6 SD. Saya mengetik apa saja. Jadwal pelajaran, puisi, ringkasan pelajaran. Saya hobi 'cetak-cetok' sampai larut malam. 'Mbrebegi' bapak ibu dan kelima saudara saya. Mengenyahkan keheningan di setiap sudut rumah kami yang besar. Malam-malam, bapak sering menengok saya di kamar, meminta saya berhenti mengetik dan segera berangkat tidur.

Tapi ketika cerpen pertama saya dimuat di Anita Cemerlang (saya lupa apa judulnya), waktu itu saya kelas 1 SMA, bapak malah sering menemani saya 'melek' sampai larut malam. Beliau akan mengganti lampu petromax dengan lampu teplok besar dan didekatkan di meja tempat saya mengetik. Kemudian bapak duduk di kursi di ruang tamu, menunggui saya, sampai beliau tertidur (kenangan masa kecil yang begitu manis. Ya Allah, berikan tempat terbaik bagi bapak tercinta di sisi-Mu. Amin).

Bersambung......

Tanggulangin, 16 Juni 2013. 14.32 WIB (Di rumah Ibu Bapak, sepulang dari Workshop Kurikulum Jurusan PKK di Surya Hotel, Batu).

Wassalam,
LN

Rabu, 17 Juli 2013

Puisi: Dua Puluh Tiga Tahun Yang Lalu

Siang yang cerah
Langit bersih tanpa goresan awan
Wajah-wajah berhias senyum bahagia
Membaur dalam jalinan janur kuning dan pita aneka warna
Ditingkahi bunyi-bunyian musik rebana
Lengkap dengan beragam sajian sederhana nan mengundang selera

Sebuah pelaminan indah
Hasil karya para sahabat dan kerabat
Di situlah sepasang kekasih itu bersapa
Pada semua orang yang datang menghampirinya
Diapit ayah bunda tercinta
Mereka membagikan binar-binar penuh pesona
Peluk cium dan kehangatan sarat suka cita

Hari ini kurengkuh dirimu
Agar kita bisa saling memiliki
Saling memberi arti
Saling menjaga
Saling mencinta
Sampai kapan pun jua
Saat ajal memisahkan kita

Mari kita saling berbimbing tangan 
Bersama menuju satu tujuan
Merajut sejarah hidup dan kehidupan
Sekarang dan selamanya

Dua puluh tiga tahun yang lalu
Serasa baru kemarin
Saat kita saling menautkan hati
Berjanji untuk saling mengasihi
Semoga kan tetap abadi

Selamat ulang tahun, Sayang
Selamat ulang tahun untuk kita berdua

Surabaya, 17 Juli 2013

Wassalam,
LN