Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 14 Juli 2013

Puisi Buka Puasa untuk Bapak Ibu

Bapak Ibu,
Ini kami sedang melaju
Kami bertiga: anak lanangmu, diriku, dan cucumu
Di sore sebelum senja jatuh
Saat jalan cukup lengang dan teduh
untuk membawa kami kepadamu

Tidak perlu repot-repot, Bapak Ibu
Sengaja tak kukabarkan kepadamu
Tentang rencana bertandang ke rumahmu
Untuk menikmati buka bersama hari ini
Karena, seperti biasa
Kau akan menyiapkan semuanya
Masak besar untuk kami
Menyediakan semua makanan kesukaan kami
Dan itu akan membuatmu sibuk
Akan membuatmu lelah
Kami tidak ingin Bapak Ibu lelah

Tidak, Bapak Ibu, tidak perlu
Ini sudah kubawakan semuanya untuk kita berbuka nanti
Nasi putih, urap sayur, kothokan tahu tempe, ayam bumbu rujak, dan rempeyek kacang dan ebi
Juga ada pie susu dan roti bolu
Ada juga jadah kesukaanmu... 

Nasi putihnya masih panas
Kumasak sendiri sore ini
Urap sayur, kothokan tahu tempe, dan ayam bumbu rujak
Kumasak siang tadi dibantu Iyah

Iyah juga yang pagi tadi pergi ke pasar untuk berbelanja
Sementara mesin cuci berputar dan meja seterika sudah disiapkannya
Anak itu, memang luar biasa
Belasan tahun bersama kita
Apa pun akan dilakukannya untuk kita
Tak terbayangkan jika tak kumiliki dia....

Sambil menunggu Iyah datang dari pasar
Saya sempatkan potong rambut dan facial
Di rumah saja
Dengan beautician langganan 
Haha, tentu saja bukan untuk acara buka bersama ini
Semata karena itu sudah lama tak kulakukan
Karena didera oleh berbagai aktivitas dan kesibukan
Saat ini, mumpung ada kesempatan

Bapak Ibu,
Tadi siang tiba-tiba tetangga sebelah memberi sekotak pie susu
Ya, sepasang muda suami istri yang rupawan dan baik hati itu
Katanya, oleh-oleh dari Bali
Bukankah itu kue kesukaanmu
Bentuk tipis tartelette dengan isi susu kering itu legitnya menggigit
Padat gizi, dan tentu saja, empuk
Sangat cocok untuk kau nikmati berdua
Sambil duduk di beranda menunggu waktu tarawih tiba

Bapak Ibu, ini kami sudah mau sampai
Pasti kalian terkejut sekaligus senang bukan kepalang
Anak, mantu dan cucu tersayang tiba-tiba datang
Mencium tanganmu dan memberi pelukan sayang
Pasti rasanya seperti mendapatkan segenggam berlian

Bapak Ibu
Cukup kau buatkan kami teh manis saja
Rasanya itulah yang kami rindukan sejak lama
Oya, jangan terlalu banyak gula
Kasih dan sayangmu telah cukup untuk melepas dahaga...

Otw Tanggulangin, 14 Juli 2013. 16.20 WIB.

Wassalam,
LN

Minggu, 07 Juli 2013

Akhir Pekan Ini....

Akhir pekan ini menjadi hari-hari yang lumayan sibuk bagi saya. Sabtu pagi kemarin, setelah mengajar di pasca sampai pukul 10.00, saya meluncur ke Kampus PPPG di Lidah Wetan. Ada petugas dari Dikti yang akan membagikan uang transpor bagi para mahasiswa PPPG. Kami semua, direktur, pembantu direktur, staf PUMK, dan beberapa staf yang lain, musti mengawal kegiatan itu. Kalau sudah menyangkut 'perduitan', ada banyak hal yang musti diantisipasi dan diperjelas, supaya tidak sampai terjadi salah hitung dan salah paham.

Belum selesai acara yang digelar di lantai 9 PPPG itu, saya sudah ditelepon seorang teman. Teman saya itu, Anik namanya, adalah teman sekamar saya waktu kost di Semut Baru, di awal-awal saya kuliah di IKIP Surabaya dulu. Saya sempat satu semester merasakan kuliah di Kampus Pecindilan yang hiruk dan nge-kost di jalan Semut Baru yang pikuk, sebelum berpindah ke kampus Ketintang.

Anik datang bersama anak keduanya, Afif. Afif akan menempuh tes masuk di ATKP (Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan), dan perlu tempat untuk menumpang selama tes. Anik, yang guru di sebuah SMP negeri di Kediri, akan menemani anaknya selama sehari dua hari. 

Saya pun beranjak dari PPPG sekitar pukul 13.00, meluncur pulang, setelah memastikan segala sesuatunya running well (keminggris...), dan memastikan pak Sulaiman (Pembantu Direktur I PPPG) serta staf yang lain akan mengawal kegiatan itu sampai selesai. Sebelum melajukan mobil, saya sempatkan untuk telepon Iyah, penunggu rumah kami, agar menyiapkan makan siang untuk tamu-tamu saya.

Sepanjang siang sampai malam kemarin saya habiskan waktu untuk berkangen-kangenan dengan Anik. Alumnus Bimbingan Konseling IKIP Surabaya angkatan 85 itu, di mata saya, tidak banyak berubah. Tubuhnya yang kecil mungil, sama, ya seperti itulah dulu dia. Wajahnya, meski sudah seusia saya, tetap imut, dengan tahi lalat di atas bibirnya, melengkapi kecantikannya. 

Setelah puas bernostalgia dan saling mengejek karena kekonyolan-kekonyolan kami di masa lalu, kami berjalan-jalan ke Royal. Makan malam sekaligus (window) shopping. Mas Ayik menjadi driver sekaligus bos yang mentraktir makan malam kami. Kebetulan di Royal juga sedang ada pagelaran rancangan busana pengantin, maka acara itu pun menjadi acara selingan kami. Afif juga sempat ditemani mas Ayik untuk belanja keperluan ujiannya, sementara saya dan Anik ngobrol berlama-lama di Quali.

Minggu pagi ini, Afif menempuh tes kesehatan di ATKP (Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan). Jam 06.30 dia sudah rapi, sudah siap sarapan. 

Oya, mereka berdua tidur di rumah lama kami, rumah yang memang kami sediakan untuk siapa saja yang perlu singgah atau transit. Sehari sebelumnya, paklik saya dan temannya juga baru pulang kembali ke Rembang, setelah selama tiga hari menginap di rumah kami. Iyah sekeluarga, penunggu rumah lama itu, berperan sebagai nyonya rumah sekaligus seksi konsumsi dan seksi kebersihan.

Setelah melepas Afif berangkat ke tempat tesnya, kami bertiga bersiap nggowes ke car freeday di Taman Bungkul. Anik, yang dulu adalah anggota Pramuka ketika kuliah, sangat menikmati bersepeda. Meski dia gobyos, dia nampak gembira. 

Sampai sekitar pukul 08.00 kami berada di Taman Bungkul. Kalau ingin melihat 'tandak bedes' datanglah ke Taman Bungkul pada Minggu pagi seperti ini. Tontonan itu ada di beberapa titik, setidaknya pagi ini ada di tiga titik. Dengan atraksi dan kostum yang berbeda. Berbusana seperti badut, lengkap dengan topeng dan rambut palsunya; berbusana seperti laki-laki perlente yang sedang bersepeda motor dan memegang handphone; atau yang berbusana minimalis dengan membawa tabung plastik mondar-mandir untuk menerima rupiah dari para penonton. 

Anda akan terpingkal-pingkal sampai perut Anda sakit melihat atraksinya. Kecuali kalau Anda menyadari, bahwa dalam tontonan itu kental dengan unsur 'tidak berperi kebinatangan', memaksa para monyet tak berdaya itu untuk melawan kodratnya demi mendapatkan sesuap nasi (atau sepotong pisang dan segenggam kacang?) dari majikannya; tontonan itu akan membuat hati Anda teriris-iris. Pedih. Seperti itulah yang saya rasakan.

Di Taman Bungkul, kita juga bisa memilih mengikuti senam pagi dengan berbagai irama. Ndangdut ada. Reggae juga ada. Rock-ndut juga tersedia. Mulai dari gerakan dan goyangan yang super keras sampai yang sangat kalem, khusus untuk para manula. Tinggal pilih. Termasuk memilih instruktur yang macho, yang bahenol, atau yang singset langsing tapi belahan dadanya nampak dan, kelihatannya, sengaja dinampakkan....hehe.

Mau menikmati live music juga tersedia di beberapa titik. Dimainkan oleh sekelompok anak muda atau sekelompok laki-laki yang sudah mature. Dari musik yang keras sampai yang lembut. Semua tinggal pilih sesuai selera.

Kami bertiga menikmati semuanya sambil lalu. Kerumunan di mana-mana. Anak-anak bermain bola, badminton, skateboard. Penjual macam-macam makanan, mainan, perlengkapan bersepeda, koran, juga baju dan aksesoris, bertebaran di mana-mana. Namun, seperti biasa, kebiasaan saya sekeluarga bila nggowes di Taman Bungkul, selalu mengakirinya dengan satu dua buah lumpia Semarang sebelum beranjak pulang meninggalkan kegaduhan di tempat itu.

Pukul 10.00, saya meninggalkan Anik di rumah. Kebetulan karena dia suka membaca, dia melahap banyak buku di perpustakaan pribadi saya. Saya juga menghadiahinya tiga buah buku saya, dan dia sangat senang sekali menerimanya. Apalagi saya membubuhkan tanda tangan saya di buku-buku itu, dengan tulisan: buat sahabatku Anik. Semoga suka, semoga bermanfaat.

Saya pamit ke Anik kalau kami akan memenuhi undangan sunatan dari senior Himapala, mas Ahli Budi (biasanya dipanggil mas Dukun). Saya pesankan ke dia, jangan lupa makan siang, karena makanan sudah disiapkan di atas meja.

Akhirnya siang ini, saya dan mas Ayik berada di antara para senior Himapala. Benar-benar para senior, karena di Aula SMK 3, tempat acara itu dilaksankan, kami bertemu dengan mas Mulyono (biasa dipanggil mas Ambon), mas Zainal Arifin, dan mas Rudi (biasa dipanggil mas Embun). Beliau bertiga itulah beberapa di antara para pendiri Himapala, orang-orang pertama yang menancapkan bendera Himapala di puncak gunung Welirang puluhan tahun yang lalu. Bertemu mereka, bahagianya bukan kepalang. Dalam usianya yang pasti sudah tidak muda lagi, kehangatan, kebersamaan, dan semangat berjuang ternyata tak juga lekang.

Tentu saja juga ada para senior yang lain. Mbak Ninis (istri mas Ambon), mas Philip dan Mbak Ida (yang ini suami istri, anaknya saat ini menjadi mahasiswa saya di Tata Boga), dan banyak lagi yang saya tidak mungkin sebut semua namanya. Dasar himapala, kalau sudah ngumpul, yang ada adalah ger-geran, saling gojlok, foto-foto, menyedot perhatian banyak tamu yang lain.

Dari tempat sunatan, kami langsung menuju Tanggulangin, menengok bapak dan ibu. Kami sudah niatkan sehari ini akan menemani bapak ibu, dan baru nanti malam pulang. Arga akan menyusul sore nanti karena dia sangat tahu, eyang uti dan akungnya pasti menunggu-nunggu dia. 

Akhir pekan yang sibuk dan menyenangkan. Saatnya nge-charge rohani dengan melupakan semua beban rutinitas. 

Mohon maaf lahir dan batin.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga Allah SWT memudahkan ibadah kita demi meraih ridho-Nya. Amin YRA.

Tanggulangin, 7 Juli 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 05 Juli 2013

HUJAN DI SOETTA

Gerimis rapat 
Mendung gelap
Mengaburkan pandangan
Kaca bening tak tembus
Semuanya nampak tak berwujud

Pepohonan diam 
Deretan kotak-kotak putih 
Benda-benda hilir mudik 
Barisan besi-besi bersayap
Tak jelas bentuknya

Hanya genangan air
Jalan yang basah berkilauan
Lapangan rumput merawa
Berpadu dengan awan tebal
Menggantung
Menutupi keceriaan langit
Menelan keriangan mentari

Kenapa Jakarta hujan lagi? 

Garuda Lounge, Soetta, 4 Juli 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 30 Juni 2013

Gairah Hidup Prof. Djodjok Soepardjo

Pagi ini, saat sedang berdiri di barisan prosesi Senat Unesa, bersiap-siap untuk memasuki ruang wisuda, Prof. Djodjok Soepardjo, mengulurkan sebuah buku ke arah saya. 'Mau dibaca sekarang?' Tanyanya. Saya spontan mengangguk. Menerima buku mungil itu dan berucap terimakasih.

Buku itu berjudul Gairah Hidup. Buku mungil setebal 243 halaman. Diterbitkan oleh Penerbit Bintang Surabaya. Buku yang terbagi dalam 5 bab: Kita Harus Berpegang pada Apa atau Siapa?; Suara Hati Nurani dan Keberanian; Kewajiban Saling Mencintai; Hidup itu Perjuangan; dan Memahami Arti Kehidupan.

Buku ini, meski mungil, begitu kaya hikmah. Sepanjang membacanya, saya sambil membayangkan profil penulisnya. Prof. Djodjok yang tampan, berkulit bersih, ramah, hangat, humoris, kadang-kadang terkesan 'slengekan', ternyata menyimpan ribuan amunisi di dalam jiwa dan pikirannya.

Buku mungil ini mempresentasikan bagaimana dia menyikapi hidup dan kehidupan. 'Adakah yang lebih penting dalam hidup ini selain dari 'kehidupan?' Begitu tanyanya di awal tulisan. Kemudian untaian kalimat demi kalimat indahnya mengalir. Mulai dari hal yang sederhana tapi rumit: bagaimana mengatasi semburan tsunami hawa nafsu (hal 3-8). Di banyak bagian, Djodjok mengutip hadist dan ayat-ayat dalam Al-Quran. Namun dia juga melengkapinya dengan berbagai referensi, misalnya buku karangan Richard Lloyd Parry (2008) yang berjudul Zaman Edan, juga banyak referensi yang lain. Khas akademisi yang religius.

Sebagai guru besar bidang Linguistik (Jepang), serta cukup lama memperoleh pendidikan di Jepang baik dengan beasiswa dari The Japan Foundation dan Mombukagakusho, Djodjok banyak memberikan warna Jepang dalam tulisannya, terlihat dari referensi dan juga isi tulisan. Belajar dari Mushashi dalam menetapkan tujuan hidup, merupakan salah satu yang dia rekomendasikan. Menurutnya, contoh yang ditunjukkan Miyamoto Mushashi dalam kegiatan latihannya sebelum mencapai usia tiga belas tahun adalah salah satu cerita yang paling luar biasa dalam sejarah kelas samurai terkenal Jepang. Dia katakan, kisah tersebut masih sangat pantas ditiru sekali pun oleh orang-orang yang hidup di dunia modern sekarang ini (hal 49).

Djojok juga menyelipkan beberapa tulisan terkat dengan pemahaman lintas budaya, dua di antaranya adalah: 'Jangan Berhenti Belajar' dan 'Hari Ini Lebih Baik dari Hari Kemarin'. 

Pada tulisan pertama, Djodjok menyajikan 'malu' sebagai salah satu kekuatan budaya yang dimiliki bangsa Jepang. Sebuah konsep yang sering dikontraskan dengan budaya bangsa Amerika yaitu 'merasa bersalah' atau 'merasa berdosa'. Menurutnya, semua konsep tersebut dengan mudah dapat disembunyikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tetapi, rasa takut atau malu, bagi bangsa Jepang, lebih dari apa pun.

Bangsa Jepang secara konstan selalu menuju jalan 'hanseikai' atau instropeksi diri sebagai upaya belajar dari kesalahan mereka. Semua itu dilakukan untuk menghindari rasa malu yang merupakan intisari obsesi orang Jepang yang terdapat dalam konsep 'kaizen' (perbaikan terus-menerus). Kaizen akan diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan bangsa Jepang (hal 36).

Buku ini, seperti yang saya katakan, begitu kaya hikmah. Sangat layak dibaca. Buah pikiran yang ditulis 'ketika gelembung di aliran sungai meletup', begitu kata penulisnya; untuk menunjukkan kalau buku ini tidak ditulis secara terus-menerus. Meski begitu, sebagai buku keempat (setelah Jepang Masa Kini/1999, Frendly/2005, Linguistik Jepang/2013), sosok Djodjok bisa menjadi pemicu untuk terus menggelorakan semangat literasi. 


GOR Kampus Unesa Lidah Wetan, 30 Juni 2013.

Wassalam,
LN

Sabtu, 29 Juni 2013

Kampanye Literasi

Prof Budi Darma tandatangani buku peserta.
Sabtu, 29 Juni 2013. Bertempat di Auditorium PPPG, lantai 9 Gedung Wiyata Mandala Unesa (ini nama Gedung PPPG, sesuai dengan hasil rapim Unesa dan yang tertulis di prasasti yang ditandatangani Mendikbud pada saat peresmian 22 Juni yang lalu), telah berlangsung Kampanye Literasi yang bertajuk: "Membangun Budaya Baca di Kelas, Resep Jitu Menarik Minat Siswa dalam Literasi."  

Kegiatan tersebut merupakan kegiatan kerja sama antara PPPG Unesa dan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Selain untuk menularkan virus-virus literasi, kegiatan ini juga dibarengkan dengan peluncuran buku SM-3T kedua yang berjudul 'Jangan Tinggalkan Kami' dan buku kumpulan cerpen pendidikan yang diterbitkan oleh IGI yang berjudul 'Adam Panjalu'.

Acara ini dihadiri oleh sekitar 350 peserta, terdiri dari mahasiswa PPG SM-3T dan para guru dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sekitarnya. Di antara para peserta, hadir juga Ibu Thea (mantan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Unesa yang saat ini sedang menyusun buku biografinya), Prof. Dr. Lies Amin Lestari (dosen Pendidikan Bahasa Inggris, juga sedang menulis sebuah buku), Wahju Chairat (Ketua Indonesia Menulis), Djoko Pitono (penulis, editor, mantan wartawan), dan beberapa ketua program studi serta para dosen Unesa.

Dalam 'welcome speech'-nya, Direktur PPPG, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd., menyampaikan, tujuan kegiatan ini merupakan upaya pengembangan budaya literasi baik di kalangan guru dan para mahasiswa PPG Unesa, yang notabene adalah calon guru. Sebagaimana diketahui, budaya literasi sangat penting dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Guru dan para calon guru memegang peran sentral dalam pengembangan budaya literasi ini. 

Selain untuk tujuan tersebut, kegiatan kampanye literasi juga dimaksudkan untuk lebih mendekatkan para calon guru, yaitu mahasiswa PPG SM-3T Unesa, kepada komunitasnya, salah satunya adalah IGI. Juga untuk mengenalkan keberadaan PPPG Unesa kepada masyarakat, khususnya para guru. 

PPPG selain menyelenggarakan Program PPG bagi 279 mahasiswa alumni Program SM-3T, saat ini juga melayani sekitar 200 peserta Program S1 KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan). PPPG  juga menyelenggarakan program Jatim Mengajar, kerja sama antara Unesa dengan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Program ini mirip dengan program SM-3T, namun lingkup sasarannya adalah wilayah pelosok Jawa Timur. 

Prof. Dr. Budi Darma, yang diundang sebagai 'keynote speaker' menyampaikan berbagai ilustrasi tentang pentingnya literasi. Seorang yang 'literate', menurut bagawan sastra dari Unesa tersebut, berarti bisa membaca. Kebalikan dari 'iliterate', tidak bisa membaca. Membaca dalam pengertian ini tentu saja dalam arti luas, termasuk membaca lingkungan, membaca momentun, membaca kesempatan, harus kritis, mampu memecahkan masalah, dan kemampuan yang lain.

Literasi juga sangat berkaitan dengan bagaimana mengekspresikan pikiran, yaitu menulis. Pikiran seseorang akan lebih tertata bila diekspresikan dalam bentuk tulisan. Orang yang pandai menulis biasanya lebih kritis, karena dia harus banyak membaca untuk bisa menulis dengan baik. 

Budi Darma, yang pekan ini mendapatkan penghargaan sebagai cendekiawan berdedikasi dari harian Kompas, seperti membius para peserta dengan paparannya yang tidak lebih dari tiga puluh menit. Suaranya yang datar, nyaris tanpa intonasi, namun padat berisi, begitu memukau. Penulis novel Olenka yang memperoleh berbagai penghargaan skala nasional maupun internasional itu, memberikan motivasinya kepada para peserta dengan memastikan betapa sebuah tulisan mampu menentukan sebuah peradaban. Beliau menyebut naskah karangan Diponegoro dan Nagara Kertagama yang diakui Unesco sebagai Memory of The World. Bayangkan jika Diponegoro tidak pernah menulis. Sejarah kita mungkin berbeda. Begitu juga dengan apa yang sudah dilakukan oleh Plato, Aristoteles, Socrates, Napoleon Bonaparte, dan banyak tokoh yang lain. Pikiran-pikiran mereka tetap hidup sampai berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun kemudian, dipelajari, dikembangkan, diuji, dan sebagainya, karena mereka menuliskannya.

Para narasumber dan moderator. Dari kiri: Ali As'ari, Moch Khoiri, Satria Dharma, dan Eko Prasetyo.
Selain peluncuran buku yang secara simbolis dilakukan dengan penyerahan buku oleh Prof. Budi Darma, Direktur PPPG, para editor, kepada para penulis, acara juga diselingi dengan prakata dari para editor. Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, menyampaikan prakatanya untuk dua buah buku SM3T: 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami'. Sedangkan Eko Prasetyo, memberikan prakatanya untuk buku 'Adam Panjalu'. Kedua editor tersebut menceritakan suka dukanya menyunting naskah para penulis. Seberat apa pun, pekerjaan mengedit tulisan, bagi mereka tetaplah menyenangkan, semua kendala bisa diatasi dengan baik. Rukin Firda bahkan harus ikut 'blusukan' ke pelosok Sumba Timur untuk menggali data yang diperlukan serta untuk lebih menghayati latar tulisan-tulisan para peserta SM-3T. 

Tiga narasumber, Satria Darma (Ketua Umum IGI, penulis), M. Khoiri (Dosen FBS Unesa, penulis, penggiat literasi), dan Ali Asy'ari (mahasiswa PPG SM3T Unesa, penulis), saling melengkapi dalam memberikan dorongan dan kiat untuk mengembangkan budaya membaca dan menulis, baik di dalam keluarga, di kelas, dan di masyarakat. Dipandu moderator Eko Prasetyo (penulis, editor, penggiat literasi), diskusi itu begitu hangat karena kemasannya yang sama sekali jauh dari formal, diselingi tanya jawab dengan pemberian hadiah buku bagi para penanya, membuat diskusi seperti tak ada habisnya sampai pada batas waktu yang telah dijadwalkan.  

Sekitar pukul 12.15, talkshow ditutup oleh moderator dengan beberapa catatan. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Lebih jauh, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain.

Surabaya, 29 Juni 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 26 Juni 2013

Puisi Untuk Sahabat (2)

Adalah lembah ngarai dan bukit yang bertumpuk-tumpuk
Laut dan hamparan pantai yang indah memesona
Barisan hutan lebat yang rapat nyaris tanpa sela
Dan gerombolan kuda Sumba yang merumput di padang sabana

Betapa damainya
Namun
Damainya serasa tak lengkap
Tanpa hadirmu di sana

Tahukah 
Betapa semuanya begitu memukau 
Saat menatap mata polos bocah-bocah lugu
Meski wajah dan tubuh mereka lusuh
Bersapa lewat sepotong biskuit atau selembar buku
Mendengar celoteh mereka tentang sapi, anjing, babi
Tentang mata air, kayu bakar, ikan dan ubi

Lihatlah 
Sebuah parang terselip di bawah meja
Selepas sekolah hutan menjadi tumpuan
Pulanglah mereka dengan seonggok kayu bakar
Sekeranjang umbi-umbian dan rumput liar
Bapa mama di rumah menyambut riang
Juga babi dan semua hewan piaraan

Begitu lengkap 
Ada tangis, haru dan bahagia
Ada canda, tawa dan banyak cerita
Namun
Serasa tak lengkap tanpa hadirmu di sana

Ada saat aku ingin kau ada
Hadir dan ada
Menemaniku
Menjagaku
Saat-saat itu
Hanya pada saat-saat itu


Surabaya, 5 Juni 2013. 

Puisi untuk Sahabat (1)

Sahabat
Tak pernah aku bayangkan
Suatu hari kita akan bertemu lagi
Seperti saat ini
Bersama mengarungi samudra
Mendaki bukit menuruni lembah
Menembus kegelapan hutan belantara
Memenuhi setiap jengkalnya dengan jejak-jejak kaki kita

Dulu sekali
Bukankah itu yang selalu kita lakukan bersama?

Tapi ada yang berbeda saat ini
Wajah-wajah kita sudah tidak lagi muda
Garis-garis tipis adalah gurat-gurat usia
Serpihan putih di kepala bukti kita mulai menua

Tapi senyum kita tetap sama
Lepas, bebas
Langkah kita juga tidak berubah
Langkah yang ringan dan tegap
Meski kita harus lebih sering jeda
Mengatur nafas, menghimpun tenaga

Sahabat
Dan kau tak lekang oleh masa
Selalu siap mengulurkan tangan 
Memastikan kakiku berpijak pada bebatuan yang aman
Menemaniku kapan pun  aku butuhkan
Menjadi teman yang penuh perhatian dan menyenangkan

Kau bisa jadi apa saja
Jadi porter dan serpa
Jadi petugas pengumpul data
Jadi motivator yang pandai menguntai kata
Jadi pemusik penghalau duka
Jadi fotografer yang andal tiada dua
Jadi reporter yang cerdas tapi bersahaja
Jadi recycle bin yang siap sedia
Bahkan jadi tukang ojek yang selalu setia
Kau juga problem solver yang tanggap dan waskita 

Itulah kenapa
Berpetualan bersamamu
Adalah saat  yang selalu penuh suka cita

Terimakasih sudah menjadi sahabatku....

Palm Residence, 27 April 2013