Pages

Jumat, 19 Juli 2013

Menulis Bagi Saya... (1)

Saya agak lupa, entah sejak kapan saya mulai menulis. Seingat saya, saya mulai menulis sejak SD. 

Waktu itu, saya yang pada dasarnya suka membaca, terdorong untuk bisa juga menulis. Saya pembaca setia majalah Bobo dan Kawanku saat masih di SD, meningkat membaca Kuncup dan Kuncung ketika SMP, juga majalah Joyoboyo dan Penjebar Semangat. Saya juga membaca MPA (seingat saya kepanjangan dari Media Pendidikan Agama). MPA merupakan satu-satunya majalah langganan kami sekeluarga, karena bapak saya adalah guru madrasah tsanawiyah, jadi setiap bulan beliau mendapatkan kiriman majalah MPA. 

Majalah Bobo dan Kawanku, meskipun tidak berlangganan, tapi entah dari mana saya sering mendapatkannya. Seingat saya, di rumah selalu ada. Kadang-kadang dibawakan paklik dan bulik saya, kadang diberi saudara-saudara saya. Kisah Deni si Manusia Ikan, Oki dan Nirmala, adalah dua serial yang sampai saat ini masih lekat dalam ingatan saya. 

Untuk majalah Kuncup dan Kuncung, saya lebih sering meminjam di perpustakaan sekolah. Sekolah saya, di SDN Jenggolo, Jenu, Kabupaten Tuban, meskipun sekolah di desa, tapi punya perpustakaan kecil. Sedangkan Joyoboyo dan Penjebar Semangat saya baca bila saya bermain di rumah teman saya, putri seorang polisi, yang ibunya berlangganan kedua majalah berbahasa Jawa itu. Kebetulan rumah kami berhadapan dengan kantor polisi, sehingga bergaul dengan para polisi dan keluarganya mewarnai kehidupan masa kecil dan remaja saya (sampai pernah juga 'dilamar' sama polisi....haha).

Dari perpustakaan sekolah, saya membaca buku-buku karya sastra, seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan lain-lain. Saya juga membaca buku cerita Sepatu Cinderella, Putri Salju, Hercules, David and Golliath, Ali Baba, Lampu Alladin, dan sebagainya. Juga membaca banyak buku cerita rakyat yang saya ingat di antaranya Bawang Merah Bawang Putih, Keong Mas, Roro Jonggrang, Jaka Tarub, Sangkuriang, Malin Kundang, Si Pitung, Pak Sakerah, dan lain-lain. 

Sebagian besar cerita rakyat yang saya baca itu sudah pernah saya dengar ceritanya dari ibu saya, yang selalu mendongeng sebelum tidur. Ibu saya adalah seorang wanita yang cerdas, aktivis organisasi muslimah, beliau juga mengajar sebagai guru honorer di tempat bapak mengajar. Sempat juga menjadi anggota DPR di Kabupaten Tuban, sambil terus menekuni kegiatannya berdakwah (beliau mubalighoh sejak masih gadis, dan bercita-cita anak perempuannya akan jadi mubalighoh juga seperti beliau....sayang belum kesampaian, mudah-mudahan nanti cucunya ada yang mewujudkan cita-cita ibu). Namun di antara kesibukannya yang begitu padat, ibu selalu memastikan kami mengaji selepas maghrib, belajar, dan kemudian menghadiahi kami dongeng sebelum tidur. Dongengannya tidak hanya cerita rakyat seperti yang saya sebut di atas, namun, terutama, adalah kisah para nabi. 

Kebiasaan mendongeng itu sampai saat ini masih dilakukan ibu, tentu saja untuk cucu-cucunya, termasuk untuk Arga kecil dulu. Beruntunglah untuk para cucu yang kebetulan tinggal serumah, di rumah kami yang besar itu, atau yang tinggal satu kompleks dengan rumah induk itu. Saya sering terkenang masa kecil saya, saat menyaksikan ibu mendongeng, dan para cucu 'kemriyek' di kiri kanan ibu. Mereka mendengarkan ibu bercerita dengan penuh perhatian (karena ibu membawakan dongengannya dengan sangat menarik),  kadang membuat mereka tertawa berderai, kadang terpana dengan mulut 'mlongo' dan mata bulat 'plolang-plolong' (kami memang keluarga dengan salah satu ciri khas adalah bermata 'plolong', sudah dari sononya..hehe).

Kembali ke cerita tentang saya. Oya, saya juga suka membaca buku-buku biografi. Saya  membaca buku Raden Ajeng Kartini, Tjut Nya' Dien, Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Ki Hajar Dewantara, Dewi Sartika, yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah.

Mungkin karena memang koleksi perpustakaan kecil di sekolah saya terbatas, sepertinya semua buku yang ada di perpustakaan itu sudah pernah saya baca. Maka saya menggasak bacaan apa saja di sekitar saya. Komik Donald Duck, Tin Tin Tin, Asterix dan Obelix, adalah beberapa yang saya baca dengan meminjam dari saudara-saudara saya. Bulik saya punya koleksi Khoo Ping Ho, tumpukannya sampai tinggi sekali, tapi sayang sekali saya tidak terlalu tertarik. Menghafalkan nama-nama pemerannya saja susah. Juga serial Api di Bukit Menoreh, hanya saya lahap beberapa buku. Entah kenapa saya tidak terlalu suka. Mungkin pada saat itu, buku-buku tersebut masih terlalu berat bagi saya yang memang masih SD.  

Selain itu, saya juga membaca kisah para nabi. Sebuah buku tebal, milik bapak, judulnya Rangkaian Kisah dalam Al Quran, saya 'keloni' setiap pulang sekolah, dan saya membacanya mulai dari halaman pertama sampai terakhir nyaris tanpa ada satu huruf pun yang terlewat. Mulai Nabi Adam sampai Muhammad.  

Di SMP dan SMA, saya mulai menjadi pelanggan sebuah perpustakaan yang ada di dekat sekolah saya. Perpustakaan mungil yang dikelola oleh seorang bapak sepuh (saya lupa namanya), saya membayangkan beliau adalah orang yang sangat mencintai buku. Hampir tiap dua atau tiga hari sekali saya mengunjungi perpustakaan itu, untuk meminjam dan mengembalikan buku. Saya membaca serial detektif Lima Sekawan (kalau tidak salah ingat, penulisnya Enid Blyton) dan banyak sekali buku dan novel, termasuk Motinggo Busye dan Marga T. Saya juga tidak kesulitan untuk mendapatkan majalah remaja seperti Anita Cemerlang, Gadis dan Hai. Saya sangat menyukai serial 'Kiki and Her Gang', yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Cerita yang konyol, kocak, lekat sekali dengan kehidupan remaja. Kelak, saya mulai membaca buku tentang bagaimana menulis, juga dari bukunya Arswendo, yang berjudul Menulis itu Gampang. Sebuah buku yang dihadiahkan kakak saya, mas Zen; rupanya dia tahu saya suka menulis dan dia melihat saya memiliki potensi untuk menjadi penulis. Meski bukan penulis 'beneran'.

Apa saja saya baca. Membaca menjadi hiburan paling menarik bagi saya. Saking menariknya, saya betah berjam-jam di dalam kamar, tak menghiraukan kegaduhan di luar kamar atau di luar rumah. Efek negatifnya, saya sering menarik diri dari obrolan orang-orang di sekitar saya yang saya anggap tidak menarik, dengan menenggelamkan diri dalam buku-buku bacaan. Sampai-sampai saya bolak-balik ditegur ibu saya supaya saya tidak membaca terus dan 'srawung' sama saudara-saudara.

Saya tumbuh dewasa dengan majalah-majalah wanita seperti Kartini, Femina dan Wanita; majalah-majalah ini saya pinjam dari bulik saya. Juga majalah Intisari, seingat saya sejak saya lahir, majalah itu sudah ada. Saya juga mengumpulkan majalah sastra seperti Horizon (sampai saat ini saya masih menyimpannya). Oya, dari majalah Tempo, saya sangat menyukai Goenawan Mohammad dengan Catatan Pinggir-nya, sampai saya meng-kliping-nya. Emha Ainun Nadjib, Musthofa Bisri, Budi Darma, Pramudya Ananta Toer, Kahlil Gibran, dan banyak penulis yang lain, saya kenal tentu saja dari membaca buku-bukunya. 

Kembali lagi ke awal mula saya menulis. Di majalah MPA ada satu kolom cerpen anak-anak. Ceritanya tentu saja berkisar tentang kehidupan anak-anak, dengan pesan moral dan agama yang kental. Salah satu teman saya, namanya Uswatun Hasanah, putri seorang guru agama yang notabene adalah teman bapak saya dan juga guru saya, namanya pak Hafash, beberapa kali mengirimkan cerpennya dan dimuat di MPA. Saya ingiiiinnn sekali bisa membuat cerpen seperti dia. Apa lagi kalau bisa dimuat di majalah seperti itu.

Teman saya itulah yang menginspirasi saya untuk mulai menulis. Maka cerpen pertama saya, saya masih ingat betul, judulnya 'Sebatang Kara', berkisah tentang seorang anak yang ditinggal mati oleh ayahnya, kemudian ibunya, dan dia membantu tetangganya untuk berjualan kue. Sebuah cerpen yang tidak pernah saya kirim ke mana-mana. Tidak pede. Saya simpan saja. Tapi setidaknya itulah cerpen pertama yang telah berhasil saya tulis dengan tuntas. Karena ada banyak cerita lain yang saya tulis, namun ceritanya tidak pernah tuntas.

Saya juga memiliki diary dan rajin berinteraksi dengan buku kecil itu. Sampai sekarang, diary masa kecil saya masih saya simpan, dan sesekali, saya suka membacanya (seringkali sambil senyum-senyum sendiri, kadang terharu, kadang bahkan bisa menangis). Diary, mungkin merupakan salah satu 'sosok' yang paling berjasa dalam melatih kemampuan saya menulis.

Saya mulai mengenal mesin tik sejak kelas 6 SD. Saya mengetik apa saja. Jadwal pelajaran, puisi, ringkasan pelajaran. Saya hobi 'cetak-cetok' sampai larut malam. 'Mbrebegi' bapak ibu dan kelima saudara saya. Mengenyahkan keheningan di setiap sudut rumah kami yang besar. Malam-malam, bapak sering menengok saya di kamar, meminta saya berhenti mengetik dan segera berangkat tidur.

Tapi ketika cerpen pertama saya dimuat di Anita Cemerlang (saya lupa apa judulnya), waktu itu saya kelas 1 SMA, bapak malah sering menemani saya 'melek' sampai larut malam. Beliau akan mengganti lampu petromax dengan lampu teplok besar dan didekatkan di meja tempat saya mengetik. Kemudian bapak duduk di kursi di ruang tamu, menunggui saya, sampai beliau tertidur (kenangan masa kecil yang begitu manis. Ya Allah, berikan tempat terbaik bagi bapak tercinta di sisi-Mu. Amin).

Bersambung......

Tanggulangin, 16 Juni 2013. 14.32 WIB (Di rumah Ibu Bapak, sepulang dari Workshop Kurikulum Jurusan PKK di Surya Hotel, Batu).

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...