Pages

Jumat, 01 Februari 2013

Aceh Singkil 3: Ke Pulau Banyak

Laut tenang sekali ketika saya menatapnya dari teras hotel pagi ini. Tapi suara deburan ombak terdengar sangat jelas. Membuncah menghempas pantai. Laut hanya berjarak sekitar 75 meter di depan hotel. Setumpuk awan yang menggumpal di kaki langit seperti lukisan alam yang begitu indah. Pagi hari di Singkil, dan mentari mengintip di balik setangkup mendung.

Setelah menyelesaikan sesi pemotretan di pantai dan sarapan dengan menu yang sama seperti kemarin, kami diangkut pak Dasir ke jembatan tempat mangkalnya speed boat. Lengkap dengan pelampung kami. Speed boat yang kami sewa adalah speed boat polisi air. Berkapasitas sepuluh orang, beratap dan berjendela, serta bersirine. Ada dua tempat tidur di badan depan,  enam tempat duduk di badan tengah termasuk kursi untuk tekong dan kotekong (pengemudi dan asistennya), dan satu kursi panjang di badan belakang yang tidak beratap. Ketika kami datang di pangkalan, speed boat masih dibersihkan. Dua orang polisi air menyapa kami dengan ramah, dan menyilakan kami memasuki speed boat begitu speed boat telah siap.

Untuk menyeberang ke Pulau                                                                                                Banyak, ada tiga jenis transportasi yang tersedia. Kapal feri, seminggu dua kali beroperasi, itu pun bergantung cuaca, dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Boat, berkapasitas dua puluh orang, beroperasi setiap hari, waktu tempuh sekitar tiga jam. Feri maupun boat ongkosnya sama, dua puluh lima ribu seorang. Selanjutnya speed boat, yang ini harus sewa, sejuta sampai sejuta limaratus ribu sekali jalan, berkapasitas delapan orang, jarak tempuh satu jam. Kami tidak menggunakan ketiganya, melainkan menyewa speed boat polisi air (polair), demi keamanan dan kenyamanan. Memang ongkos sewanya sedikit lebih mahal, tapi seimbang dengan 'ketenangan batin' kami. Bagaimana pun, kami memerlukan ekstra kekuatan mental untuk menempuh perjalanan air ini. 

Di luar perkiraan kami, ternyata di dalam speed boat  polair sudah tersedia pelampung. Belum memasuki badannya saja, warna oranye menyala itu begitu saja menyadarkan kami, betapa tololnya kami. Tanpa pikir panjang, pelampung yang sudah kami tenteng langsung kami lemparkan kembali ke mobil. Wah, firasat saya mungkin benar, pelampung yang kami bawa jauh-jauh dari Surabaya itu mungkin hanya akan kami gunakan untuk 'ciblon' di Danau Toba. Ha ha....

Maka speed boat pun bergerak. Tenang. Beberapa bangunan rumah dan bangunan besar berbentuk silinder bekas pabrik CPO, yang kami lewati, terlihat merana. Sebuah kenangan dari peristiwa tsunami. Ya. Pada beberapa meter bagian tepi laut, dahulunya adalah daratan, banyak rumah penduduk, ada pabrik CPO, dan tsunami telah memporak-porandakan semuanya.

Menaiki speed boat polair, serunya tidak seperti naik speed boat biasa. Pengalaman saya naik speed boat di beberapa tempat wisata, juga ketika menyeberang dari Talaud ke Pulau Lairung, tidak saya dapatkan di sini. Tidak ada goncangan yang sangat keras seperti naik oto di jalan makadam serta tidak ada acara berbasah-basah. Speed boat polair ini memang bergoncang-goncang, berglodak-glodak, tapi karena ukurannya lebih besar dan tinggi, goncangannya tidak sampai membuat perut kami mulas. Seorang polisi memegang kemudi, dan saya duduk di sebelahnya, sambil memperhatikan polisi yang lain berdiri gagah di palka untuk memastikan laju dan arah speed boat.

Waktu menunjukkan pukul 08.59 ketika kami sudah berjalan sekitar setengah jam.  Sejauh mata memandang adalah hamparan laut yang airnya berkilauan bak mutiara karena tertimpa sinar matahari. Badan speed boat yang memecah ombak menyemburatkan warna putih berpendar-pendar dari bagian sisi-sisinya. Belasan burung camar berterbangan di depan mata. Beberapa saat yang lalu, kami meninggalkan pangkalan, meninggalkan belasan perahu yang masih tertambat. Saat ini hanya kamilah satu-satunya yang ada di tengah samudra yang luas ini, tak ada kapal lain. Ketika saya tanyakan ke bapak polisi yang sedang memegang kemudi, kenapa hanya kita yang ada di tengah laut, dia jelaskan kalau saat ini sedang musim angin dan tidak banyak perahu yang berlayar.

Pukul 09.21. Nampaklah pulau indah itu. Dengan hamparan nyiur yang melambai-lambai. Puluhan perahu nelayan bersandar. Rumah-rumah nelayan berbaris. Warna-warni dan aroma kehidupan pantai tersaji indah. Kami berdiri menatap semuanya dengan riang. Dua orang peserta SM-3T, Jihad dan Nasrul, menyambut kami, mengulurkan tangan membantu kami keluar dari speed boat. Kepala Sekolah SMP 1 Pulau Banyak juga ada. Tinggi kurus, berkopiah, wajah tuanya tirus dan ramah.

Dermaga ini mirip pasar. Ya, banyak toko, warung, dan lorong-lorong yang di kanan kirinya adalah penjual sayur dan berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Sayur di sini mahal. Sawi yang di Jawa seharga dua ribu rupiah, di sini bisa sepuluh ribu. Sebaliknya, kelapa sangat murah, seribu rupiah sebutir.

Disebut Pulau Banyak karena wilayah ini terdiri dari banyak pulau, pulau besar maupun kecil, konon hampir seratus pulau, ada yang berpenghuni dan tidak. Yang berpenghuni adalah Pulau Balai, Pulau Tuangku dan Teluk Nibung. Di tiga pulau inilah para peserta SM-3T ditugaskan. 

Di SMP 1 Pulau Banyak sudah menunggu belasan peserta SM-3T. Mereka yang dari berbagai pulau itu memang sengaja diminta bergabung di sini. Ada yang datang dari desa Ujung Sialit dan Sukamakmur, keduanya ada di Pulau Tuangku. Kepala sekolah SMA 1 Pulau Banyak dan SMP 1 Teluk Nibung juga hadir. Maka terjadilah silaturahim yang akrab dan menyenangkan pada pagi menjelang siang pagi ini.

SMP 1 Pulau Banyak memiliki empat guru PNS dan sembilan  guru honorer. Ada 202 siswa yang terbagi dalam tujuh rombel. Di antara empat guru PNS tersebut, hanya satu yang sudah tersertifikasi, yaitu Kepala Sekolah, bapak Amrin T, S. Pd. Beliau yang menjemput kami di dermaga tadi. Di sekolah ini ditugaskan satu peserta SM-3T, yaitu Nasrul.

Selanjutnya di SMP Satap Teluk Nibung, sekolah yang tempatnya berada di pulau yang lain, hanya ada dua guru PNS, salah satunya adalah kepala sekolah, yaitu bapak Ramli. Beliau lulusan D2. Guru honorer ada empat orang. Di tempat ini ditugaskan empat guru SM-3T. Sekolah ini terdiri dari tiga rombel, dan jumlah siswa seluruhnya hanya 52. Sekolah baru, baru meluluskan satu kali (17 siswa), dengan tingkat kelulusan UN 100 persen.
 
Tepat pukul 11.10 kami pamit. Perjalanan akan kami lanjutkan ke Pulau Tuangku. Ada tambahan muatan karena lima orang peserta SM-3T turut serta bersama kami. Dua dari mereka memang bertugas di Ujung Sialit, di Pulau Tuangku. Kepala sekolah SMP 1 Pulau Banyak juga mendampingi kami. Selebihnya adalah peserta dari Pulau Balai, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk berkunjung ke Ujung Sialit, mumpung ada tumpangan gratis. Hehe....

Ujung Sialit merupakan desa yang mayoritas penduduknya berasal dari Nias. Hampir seratus persen nonmuslim. Meski di kampung nelayan, kulit mereka putih dengan mata sipit serta rambut pirang. Nama-nama mereka juga khas, antara lain: Boy, Roy, Fanes, David, Beki.  Ada satu SD dan satu SMP di desa itu. Tidak memerlukan waktu lama untuk mengitari desa Ujung Sialit dari satu ujung ke ujung lainnya. Selama sekitar satu jam, kami menghabiskan waktu di SD Ujung Sialit, berjalan-jalan di antara lorong-lorong kampung yang beraroma khas pantai, menyapa para orang tua dan anak-anak yang sedang sibuk dengan berbagai aktivitas; di bawah terik matahari yang sedang panas-panasnya.

Oleh karena ini hari Jumat, kami harus segera kembali ke Pulau Balai. Tidak ada masjid di sini. Para peserta SM-3T yang bertugas di Ujung Sialit selalu mencari tumpangan untuk menyeberang ke Pulau Balai agar mereka bisa menunaikan sholat Jumat di masjid. Ujung Sialit, yang hanya berjarak tempuh tiga puluh menit dari Pulau Balai, memiliki kultur dan agama yang sama sekali berbeda. Betapa kayanya Indonesia.

Begitu sampai di Pulai Balai, sementara para pria menunaikan sholat jumat jamaah di masjid, kami para ibu menikmati makan siang yang dijamu oleh Kepala Sekolah SMP 1 Pulau Banyak, di sebuah tempat makan di kampung nelayan. Menunya terdiri dari nasi putih, gulai ikan tongkol, balado ikan buncilak (sejenis tongkol tapi kecil-kecil) dan sayur campur. Sayur campurnya sangat segar. Terbuat dari daun singkong muda, leuncak, terong kecil, dan kacang panjang, berkuah bening dengan sedikit irisan cabe merah. Benar-benar cocok untuk hidangan di siang yang terik ini.
 
Kami meninggalkan desa Pulau Balai di Pulau Banyak ini pada pukul 14.22. Saat kami kembali memasuki speed boat, barisan para peserta SM-3T melambai mengiringi perjalanan kami. Mata mereka bercahaya dan senyum mereka merekah cerah. Entah kenapa, tiba-tiba saja saya diliputi rasa haru. Di tempat ini, mereka berjuang. Jauh dari segala yang mereka cintai di tempat asal. Kehangatan keluarga, makanan enak, lampu-lampu kota, bahkan mungkin belahan jiwa. Bergulat dengan berbagai tantangan, di antara tajamnya perbedaan kultur dan mungkin agama. Namun ketegaran mereka meluluhkan hati saya. Saya bangga pada mereka semua, para guru pengabdi itu. Sebongkah doa saya panjatkan, semoga Allah SWT senantiasa meringankan jalan mereka dalam mengemban tugas pengabdiannya. Amin YRA. 

Siang semakin terik
Panas membakar
Ombak membuncah
Berpendar memecah pantai
Meletup-letupkan jiwa

Wahai para guru pengabdi,
Mari melukis cakrawala
Mengukir angkasa
Tumpahkan segala mimpi dan asa
Demi masa depan negeri tercinta

Pulau Banyak, 1 Januari 2013

Wassalam,
LN

1 komentar

Unknown 11 April 2014 pukul 10.39

trima kasih telah mengunjungi daerah aceh singkil. yang pendidikannya masih jauh dari harapan. semoga SM-3T dapat meningkatkan mutu pendidikan di aceh singkil khusnya. amin

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...