Laut tenang sekali ketika saya menatapnya dari teras hotel pagi ini.
Tapi suara deburan ombak terdengar sangat jelas. Membuncah menghempas
pantai. Laut hanya berjarak sekitar 75 meter di depan hotel. Setumpuk
awan yang menggumpal di kaki langit seperti lukisan alam yang begitu
indah. Pagi hari di Singkil, dan mentari mengintip di balik setangkup
mendung.
Setelah menyelesaikan sesi pemotretan di pantai dan
sarapan dengan menu yang sama seperti kemarin, kami diangkut pak Dasir
ke jembatan tempat mangkalnya speed boat. Lengkap dengan pelampung kami.
Speed boat yang kami sewa adalah speed boat polisi air. Berkapasitas
sepuluh orang, beratap dan berjendela, serta bersirine. Ada dua tempat
tidur di badan depan, enam tempat duduk di badan tengah termasuk kursi
untuk tekong dan kotekong (pengemudi dan asistennya), dan satu kursi
panjang di badan belakang yang tidak beratap. Ketika kami datang di
pangkalan, speed boat masih dibersihkan. Dua orang polisi air menyapa
kami dengan ramah, dan menyilakan kami memasuki speed boat begitu speed
boat telah siap.
Untuk menyeberang ke Pulau
Banyak, ada tiga jenis transportasi yang tersedia. Kapal feri,
seminggu dua kali beroperasi, itu pun bergantung cuaca, dengan waktu
tempuh sekitar empat jam. Boat, berkapasitas dua puluh orang, beroperasi
setiap hari, waktu tempuh sekitar tiga jam. Feri maupun boat ongkosnya
sama, dua puluh lima ribu seorang. Selanjutnya speed boat, yang ini
harus sewa, sejuta sampai sejuta limaratus ribu sekali jalan,
berkapasitas delapan orang, jarak tempuh satu jam. Kami tidak
menggunakan ketiganya, melainkan menyewa speed boat polisi air (polair),
demi keamanan dan kenyamanan. Memang ongkos sewanya sedikit lebih
mahal, tapi seimbang dengan 'ketenangan batin' kami. Bagaimana pun, kami
memerlukan ekstra kekuatan mental untuk menempuh perjalanan air ini.
Di
luar perkiraan kami, ternyata di dalam speed boat polair sudah
tersedia pelampung. Belum memasuki badannya saja, warna oranye menyala
itu begitu saja menyadarkan kami, betapa tololnya kami. Tanpa pikir
panjang, pelampung yang sudah kami tenteng langsung kami lemparkan
kembali ke mobil. Wah, firasat saya mungkin benar, pelampung yang kami
bawa jauh-jauh dari Surabaya itu mungkin hanya akan kami gunakan untuk
'ciblon' di Danau Toba. Ha ha....
Maka speed boat pun bergerak.
Tenang. Beberapa bangunan rumah dan bangunan besar berbentuk silinder
bekas pabrik CPO, yang kami lewati, terlihat merana. Sebuah kenangan
dari peristiwa tsunami. Ya. Pada beberapa meter bagian tepi laut,
dahulunya adalah daratan, banyak rumah penduduk, ada pabrik CPO, dan
tsunami telah memporak-porandakan semuanya.
Menaiki speed boat
polair, serunya tidak seperti naik speed boat biasa. Pengalaman saya
naik speed boat di beberapa tempat wisata, juga ketika menyeberang dari
Talaud ke Pulau Lairung, tidak saya dapatkan di sini. Tidak ada
goncangan yang sangat keras seperti naik oto di jalan makadam serta
tidak ada acara berbasah-basah. Speed boat polair ini memang
bergoncang-goncang, berglodak-glodak, tapi karena ukurannya lebih besar
dan tinggi, goncangannya tidak sampai membuat perut kami mulas. Seorang
polisi memegang kemudi, dan saya duduk di sebelahnya, sambil
memperhatikan polisi yang lain berdiri gagah di palka untuk memastikan
laju dan arah speed boat.
Waktu menunjukkan pukul 08.59 ketika
kami sudah berjalan sekitar setengah jam. Sejauh mata memandang adalah
hamparan laut yang airnya berkilauan bak mutiara karena tertimpa sinar
matahari. Badan speed boat yang memecah ombak menyemburatkan warna putih
berpendar-pendar dari bagian sisi-sisinya. Belasan burung camar
berterbangan di depan mata. Beberapa saat yang lalu, kami meninggalkan
pangkalan, meninggalkan belasan perahu yang masih tertambat. Saat ini
hanya kamilah satu-satunya yang ada di tengah samudra yang luas ini, tak
ada kapal lain. Ketika saya tanyakan ke bapak polisi yang sedang
memegang kemudi, kenapa hanya kita yang ada di tengah laut, dia jelaskan
kalau saat ini sedang musim angin dan tidak banyak perahu yang
berlayar.
Pukul 09.21. Nampaklah pulau indah itu. Dengan
hamparan nyiur yang melambai-lambai. Puluhan perahu nelayan bersandar.
Rumah-rumah nelayan berbaris. Warna-warni dan aroma kehidupan pantai
tersaji indah. Kami berdiri menatap semuanya dengan riang. Dua orang
peserta SM-3T, Jihad dan Nasrul, menyambut kami, mengulurkan tangan
membantu kami keluar dari speed boat. Kepala Sekolah SMP 1 Pulau Banyak
juga ada. Tinggi kurus, berkopiah, wajah tuanya tirus dan ramah.
Dermaga
ini mirip pasar. Ya, banyak toko, warung, dan lorong-lorong yang di
kanan kirinya adalah penjual sayur dan berbagai macam kebutuhan
sehari-hari. Sayur di sini mahal. Sawi yang di Jawa seharga dua ribu
rupiah, di sini bisa sepuluh ribu. Sebaliknya, kelapa sangat murah,
seribu rupiah sebutir.
Disebut Pulau Banyak karena wilayah ini
terdiri dari banyak pulau, pulau besar maupun kecil, konon hampir
seratus pulau, ada yang berpenghuni dan tidak. Yang berpenghuni adalah
Pulau Balai, Pulau Tuangku dan Teluk Nibung. Di tiga pulau inilah para
peserta SM-3T ditugaskan.
Di SMP 1 Pulau Banyak sudah menunggu
belasan peserta SM-3T. Mereka yang dari berbagai pulau itu memang
sengaja diminta bergabung di sini. Ada yang datang dari desa Ujung
Sialit dan Sukamakmur, keduanya ada di Pulau Tuangku. Kepala sekolah SMA
1 Pulau Banyak dan SMP 1 Teluk Nibung juga hadir. Maka terjadilah
silaturahim yang akrab dan menyenangkan pada pagi menjelang siang pagi
ini.
SMP 1 Pulau Banyak memiliki empat guru PNS dan sembilan
guru honorer. Ada 202 siswa yang terbagi dalam tujuh rombel. Di antara
empat guru PNS tersebut, hanya satu yang sudah tersertifikasi, yaitu
Kepala Sekolah, bapak Amrin T, S. Pd. Beliau yang menjemput kami di
dermaga tadi. Di sekolah ini ditugaskan satu peserta SM-3T, yaitu
Nasrul.
Selanjutnya di SMP Satap Teluk Nibung, sekolah yang
tempatnya berada di pulau yang lain, hanya ada dua guru PNS, salah
satunya adalah kepala sekolah, yaitu bapak Ramli. Beliau lulusan D2.
Guru honorer ada empat orang. Di tempat ini ditugaskan empat guru SM-3T.
Sekolah ini terdiri dari tiga rombel, dan jumlah siswa seluruhnya hanya
52. Sekolah baru, baru meluluskan satu kali (17 siswa), dengan tingkat
kelulusan UN 100 persen.
Tepat pukul 11.10 kami pamit.
Perjalanan akan kami lanjutkan ke Pulau Tuangku. Ada tambahan muatan
karena lima orang peserta SM-3T turut serta bersama kami. Dua dari
mereka memang bertugas di Ujung Sialit, di Pulau Tuangku. Kepala sekolah
SMP 1 Pulau Banyak juga mendampingi kami. Selebihnya adalah peserta
dari Pulau Balai, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk berkunjung ke
Ujung Sialit, mumpung ada tumpangan gratis. Hehe....
Ujung
Sialit merupakan desa yang mayoritas penduduknya berasal dari Nias.
Hampir seratus persen nonmuslim. Meski di kampung nelayan, kulit mereka
putih dengan mata sipit serta rambut pirang. Nama-nama mereka juga khas,
antara lain: Boy, Roy, Fanes, David, Beki. Ada satu SD dan satu SMP di
desa itu. Tidak memerlukan waktu lama untuk mengitari desa Ujung Sialit
dari satu ujung ke ujung lainnya. Selama sekitar satu jam, kami
menghabiskan waktu di SD Ujung Sialit, berjalan-jalan di antara
lorong-lorong kampung yang beraroma khas pantai, menyapa para orang tua
dan anak-anak yang sedang sibuk dengan berbagai aktivitas; di bawah
terik matahari yang sedang panas-panasnya.
Oleh karena ini hari
Jumat, kami harus segera kembali ke Pulau Balai. Tidak ada masjid di
sini. Para peserta SM-3T yang bertugas di Ujung Sialit selalu mencari
tumpangan untuk menyeberang ke Pulau Balai agar mereka bisa menunaikan
sholat Jumat di masjid. Ujung Sialit, yang hanya berjarak tempuh tiga
puluh menit dari Pulau Balai, memiliki kultur dan agama yang sama sekali
berbeda. Betapa kayanya Indonesia.
Begitu sampai di Pulai Balai,
sementara para pria menunaikan sholat jumat jamaah di masjid, kami para
ibu menikmati makan siang yang dijamu oleh Kepala Sekolah SMP 1 Pulau
Banyak, di sebuah tempat makan di kampung nelayan. Menunya terdiri dari
nasi putih, gulai ikan tongkol, balado ikan buncilak (sejenis tongkol
tapi kecil-kecil) dan sayur campur. Sayur campurnya sangat segar.
Terbuat dari daun singkong muda, leuncak, terong kecil, dan kacang
panjang, berkuah bening dengan sedikit irisan cabe merah. Benar-benar
cocok untuk hidangan di siang yang terik ini.
Kami meninggalkan
desa Pulau Balai di Pulau Banyak ini pada pukul 14.22. Saat kami
kembali memasuki speed boat, barisan para peserta SM-3T melambai
mengiringi perjalanan kami. Mata mereka bercahaya dan senyum mereka
merekah cerah. Entah kenapa, tiba-tiba saja saya diliputi rasa haru. Di
tempat ini, mereka berjuang. Jauh dari segala yang mereka cintai di
tempat asal. Kehangatan keluarga, makanan enak, lampu-lampu kota, bahkan
mungkin belahan jiwa. Bergulat dengan berbagai tantangan, di antara
tajamnya perbedaan kultur dan mungkin agama. Namun ketegaran mereka
meluluhkan hati saya. Saya bangga pada mereka semua, para guru pengabdi
itu. Sebongkah doa saya panjatkan, semoga Allah SWT senantiasa
meringankan jalan mereka dalam mengemban tugas pengabdiannya. Amin YRA.
Siang semakin terik
Panas membakar
Ombak membuncah
Berpendar memecah pantai
Meletup-letupkan jiwa
Wahai para guru pengabdi,
Mari melukis cakrawala
Mengukir angkasa
Tumpahkan segala mimpi dan asa
Demi masa depan negeri tercinta
Pulau Banyak, 1 Januari 2013
Wassalam,
LN
Jumat, 01 Februari 2013
Aceh Singkil 3: Ke Pulau Banyak
Label:
SM-3T »
SM-3T 2012
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Jumat, Februari 01, 2013
1 komentar
trima kasih telah mengunjungi daerah aceh singkil. yang pendidikannya masih jauh dari harapan. semoga SM-3T dapat meningkatkan mutu pendidikan di aceh singkil khusnya. amin
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...