Pages

Kamis, 08 Mei 2014

Sorong 3: We Love Papua

Pagi ini, pukul 09.00 WIT, kami semua sudah siap di lobi. Direktur Diktendik, Prof. Supriadi Rustad, sudah hadir bersama para direktur selingkung Dikti yang lain, yaitu Direktur Litabmas dan Lemkerma. Direktur Belmawa, Dr. Illah Saillah, tidak hadir karena sedang berkunjung ke China. 

Ada beberapa mobil yang sudah disiapkan untuk kami semua. Enam mobil di antaranya disediakan oleh Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS). UMS merupakan salah satu PT swasta yang cukup diminati di Sorong, saat ini mahasiswanya sebanyak lima ribu lebih. Selain UMS, ada juga STKIP Muhammadiyah serta Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), satu-satunya PTN di Sorong. Universitas swasta yang lain adalah Universitas Victory, Universitas Kristen Papua (UKIP), Poltek Saint Paul, IKIP Kristen Papua, dan sebagainya.

Kami bergerak menjemput rombongan Mendikbud di Hotel Royal Mamberamo. Tepatnya bukan menjemput, tapi bergabung. Bertemu dengan para pejabat kemdikbud yang lain. Juga bertemu Dr. Sukemi, staf ahli Mendikbud. Beramah-tamah sekedarnya, sebelum akhirnya konvoi bergerak menuju SD-SNP Satap Ninjemor 1, Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong. Salah satu SD yang menjadi tempat mengajar para peserta SM-3T. Jaraknya sekitar 60 km, dua jam dari Kota Sorong.

Jalan menuju Kabupaten Sorong kebanyakan adalah jalan beraspal, cukup baik, dan beberapa bagian adalah jalur yang ramai. Sebagian lagi jalan berkelok-kelok, naik turun, berhutan, berbukit. Batas kota dan kabupaten, adalah Taman Wisata Alam (TWA), yang sampai saat ini konon masih menjadi sengketa, apakah TWA itu milik kota atau kabupaten. Di sepanjang jalan ditemui para penjual manggis, langsap, dan buah-buahan lain. Langsap merupakan buah asli Sorong, juga matoa dan durian. Sayang sekali saat ini sedang tidak musim matoa dan durian. Kalau durian bisa didapatkan di mana pun, tapi matoa bukanlah buah yang mudah diperoleh. Buah yang berwarna coklat tua, berkulit tebal, rasa dagingnya mirip kelengkeng itu, baru saya nikmati dua kali saja, saat seorang teman pulang dari Papua. Matoa, adalah hasil bumi khas Papua, selain buah merah, sarang semut dan daun gatal.

Mobil kami melaju cepat. Berlomba dengan mendung tipis yang menggantung di langit. Sorong, bila tidak sedang hujan, suhunya panas sekali. Kata seorang teman dari Dikti, panasnya Makassar digabung Surabaya belum dapat Sorong. Syukurlah hari ini agak mendung, membantu mengurangi panas yang biasanya sangat menyengat.

Jalan antara kota dan kabupaten dulunya merupakan jalan yang rawan dengan tindak kekerasan pemalakan. Para pemalak kebanyakan adalah penduduk asli yang tinggal di hutan-hutan. Mabuk juga menjadi 'budaya', yang sering menimbulkan banyak kericuhan. Beberapa waktu yang lalu, gara-gara ulah orang mabuk yang memukul imam masjid, sempat menimbulkan pertikaian sengit yang menjurus ke SARA.  

Kabupaten Sorong merupakan daerah transmigrasi, mayoritas penduduknya adalah orang Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur). Para transmigran itu datang sejak tahun 1980-an. Yang membuat kabupaten Sorong ramai pada awalnya adalah para transmigran ini. Saat ini, masyarakatnya sudah sangat heterogen, Jawa, Ambon, Sulawesi, China, dan penduduk asli (suku Moi), Ayamaru dan dari suku yang lain. Selain suku Moi, semua suku di sini dianggap sebagai pendatang.  

Jalan mulus hanya sekitar tiga puluh menit saja, sisanya adalah jalan-jalan rusak. SP1, SP2, SP3 dan seterusnya adalah lebih popules untuk menyebut wilayah daripada nama desa. SP singkatan dari satuan pemukiman. Di wilayah SP3, ada sejunlah rumah yang bentuk dan ukurannya seragam, dibangun oleh departemen sosial untuk para penduduk asli. Namun rumah-rumah itu tidak semua ditempati, melainkan disewakan pada orang lain, dan mereka kembali hidup di hutan-hutan.

Memasuki kawasan SP4, barisan anak sekolah dan guru-guru berjejer di sepanjang jalan, mereka bernyanyi sambil melambai-lambaikan bendera. Menyambut para pejabat negara yang hanya lewat di depan mereka sekejap saja. Sekedar melambai terus berlalu. Mengharukan, hanya karena jalan dan sekolah mereka dilewati konvoi mobil pejabat, mereka rela memasang ratusan bendera dan berbaris berpanas-panas di pinggir jalan. 

Saya sedang membayangkan menjadi mereka. Membayangkan bermimpi melihat wajah menteri. Begitu raungan sirine terdengar, tegopoh merapikan barisan, dan bersiap melemparkan senyum termanis. Dalam balutan seragam sekolah, keringat yang mengucur deras, haus dan mungkin lapar, tapi betapa puas karena sudah melambai pada belasan mobil yang lampunya terus berkelip-kelip itu. Di manakah pak Menteri? Pasti di mobil yang terdepan. Sudah berlalu. Mungkin yang tadi tangannya keluar melambai-lambai. Puas sekali rasanya bisa menyambut orang besar itu.  

Mobil terus melaju di jalan yang sangat berdebu. Anak-anak sekolah dan guru-guru terus berbaris dan tertepa debu-debu itu. Pohon-pohon sagu berbaris di kanan-kiri jalan. Menurut Mas Lestari, driver UMS yang bersama kami, ulat sagu disukai penduduk setempat. Dijual juga di pasar-pasar tradisonal. Saya jadi ingat, kemarin saya ke pasar Remu, untung tidak menemui ulat sagu. Tapi itu warning bagi saya, musti hati-hati dan waspada kalau berkunjung ke pasar tradisonal lagi, supaya saya tidak kaget dan lantas berteriak histeris saking ketakutannya. Ulat, apa pun jenisnya, adalah makhluk teraneh dan ter'nggilani' di mata saya. Saya lebih baik disuruh ngepel alun-alun daripada disuruh lihat ulat. Hehehe.

Gerimis menyambut kami saat mendekati Distrik Moisegen. Hanya sekejap. Berbaur dengan debu tebal dari jalan-jalan yang berbatu dan bertanah kering. Semakin mendekati tempat kegiatan, keramaian terlihat di mana-mana. Juga bunyi-bunyian dari alat-alat musik tradisional. 

Tari Yospan, tari penyambutan,  dibawakan oleh sekelompok anak sekolah. Dengan bertelanjang dada, dan tubuh dicat warna-warni, tarian itu rancak diiringi dengan bunyi-bunyian. 

Rombongan Mendikbud, Pemda Sorong, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Univesitas Negeri Makassar (UNM) masuk ke ruang SD yang sudah disiapkan. Lagu Indonesia Raya dibawakan oleh sekelompok anak SMP diikuti oleh semua yang hadir. Sambutan wakil peserta SM-3T UNM, Suwandi, mencairkan sekaligus membekukan suasana. Cerita tentang perjuangannya mengabdi di tempat terpencil, sulitnya medan, harapan anak didik dan masyarakat, serta kerinduannya pada keluarga, memancing applaus sekaligus air mata. 

Dalam dialog Mendikbud dengan siswa, beberapa kelucuan terjadi. Mendikbud merangkul seorang siswa SD dan bertanya. 
"Siapa namamu?"
"Anita."
"Kelas berapa?"
"Empat."
"Berapa usiamu?"
"Tidak apa-apa."
"Lho?"
"Umur, berapa umurmu?"
Anita diam.
"Ya sudah, tidak pakai umur tidak apa-apa, yang penting sekolah ya?"
Semua tertawa.

Seorang anak laki-laki, juga ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh Mendikbud. Saat ditanya tentang nama dan kelas, dia bisa menjawab. Tapi begitu ditanya umur, dia bingung lalu menjawab: "Dua bulan." Tentu saja jawaban itu mengundang tawa. Giliran ditanya, "di mana rumahmu?", dia menjawab: "di belakang."

Meski mungkin terdengar lucu, tapi hati saya justeru menangis mendengar jawaban siswa itu. Betapa terbelakangnya mereka. Betapa tertinggalnya. Seperti itu, tentulah tidak hanya di tempat ini. Seperti itu, tersebar di ratusan bahkan ribuan tempat di berbagai pelosok Tanah Air.

Perjuangan para peserta SM-3T, bukan sekedar kisah pengabdian pada dunia pendidikan, namun kisah pengabdian untuk kemanusiaan. Lihatlah anak-anak itu, para orang tua itu. Mereka kotor, kurus kering, miskin. Mereka bisa jadi tidak peduli dengan pendidikan bukan karena tidak butuh.  Mereka hanya perlu hidup. Kebutuhan dasar mereka yang tidak pernah tercukupi memerlukan perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan itu sendiri. Belajar bagi mereka tidak hanya baca tulis hitung. Menggembala ternak, mencari kayu bakar, menanam ubi, mencari air, adalah bagian dari belajar itu sendiri, dan dengan itu semua mereka bisa bertahan hidup. 

Guru-guru SM-3T itu, mempunyai tugas berat untuk kedua-duanya. Memastikan mereka tetap bisa bertahan dalam kondisi serba kekurangan, sembari meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan, kesehatan dan kecintaan pada Tanah Air. Memastikan di dada mereka tetaplah merah putih, meyakinkan bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, dan NKRI itu menghampar dari Sabang sampai Merauke.

Pendidikan di Papua harus bangkit. Tugas kita adalah menyentuh mereka, mengantarkan mereka, agar mereka bisa bangun, keluar dari matarantai ketidaktahuan, kemiskinan, menuju dunia terang-benderang. Salah besar jika kita, sebagai bangsa dan negara, tidak memberikan perhatian pada mereka.

Berapa banyak energi, berapa lama waktu, yang dibutuhkan untuk membuat Papua sejajar, atau setidaknya tidak ketinggalan terlalu jauh dengan saudara-saudaranya di belahan lain di Indonesia? Itu PR besar bagi negera besar bernama Indonesia. Tugas berat bagi siapa pun pemimpin negeri kaya raya tapi miskin ini. Namun, kebijakan apa pun yang diambil oleh para pemimpin negeri, pendidikan harus menjadi prioritas. Pendidikan telah terbukti mampu memangkas matarantai kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan memberikan multiplier effect terhadap peningkatan kesehatan dan ekonomi, yang pada akhirnya mampu meningkatkan mutu SDM seutuhnya. 

Di akhir dialognya, Mendikbud mengatakan: "Kami bangga Papua, Kami cinta Papua. We love Papua, we love Indonesia". 

Sorong, 8 Mei 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...