Pages

Jumat, 20 September 2013

Mamberamo (9): Bersama Pilatus Membelah Angkasa

Pagi hari, pukul 07.30, kami meninggalkan rumah dinas Bapak Isak Torobi, Kepala Dinas Dikpora. Setelah menikmati makan pagi nasi putih dan mi instan rebus. Selama dua hari dua malam kami tinggal di rumah papan berukuran sekitar 7 x 13 meter itu. Rumah itu letaknya berhadapan dengan kantor dinas dikpora, hanya di seberang jalan saja.

Rumah dinas pak kadis itu memiliki satu ruang tamu, dua kamar, sebuah ruang makan, dapur dan kamar mandi. Tanpa televisi, tanpa lemari es, tanpa AC. Tidak ada mobil dinas atau mobil pribadi. Jangan bayangkan sofa besar di ruang tamu, atau meja makan besar di ruang makan. Juga jangan bayangkan kompor gas dan kitchen set di dapurnya. Itu semua tidak ada. Kecuali perabot dan peralatan yang sederhana. Tempat tidur pun berupa kasur busa yang langsung digelar di atas karpet plastik. Kendaraan satu-satunya adalah sebuah sepeda motor yang tidak lagi baru.

Itulah profil kepala dinas pendidikan di Mamberamo Raya. Tidak bergelimang harta dan barang-barang mewah. Kepala sekolah, guru, sama. Bahkan saat kami baru turun dari speedboat kemarin sore, para kepala sekolah ikut menjemput kami dengan sepeda motornya, dan membantu mengangkat barang-barang kami. Tak terfikir bahwa mereka adalah para kepala sekolah, saking sederhana dan 'mau soro'nya mereka.

Di rumah pak kadis, saya dan Ferry tidur di kamar belakang. Dua kasur busa dihamparkan di kedua sisinya. Sedangkan mas Rukin, mas Joko, pak Julianto, bergabung jadi satu dengan pak kadis di kamar depan. Semua tidur di bawah, ditemani sebuah kipas angin untuk menghalau panas dan nyamuk.
Anak-anak kami para peserta SM-3T, sementara ditampung di sebuah bangunan dalam kompleks kantor diknas, sebelum mereka dijemput kepala sekolah masing-masing untuk dibawa ke tempat tugas. Sebuah rumah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan teras. Tanpa perabot. Bahkan selembar tikar pun tidak ada. Latihan awal untuk hidup serba kekurangan, sebelum mereka mencapai tempat tugas yang mungkin kondisinya akan jauh lebih memprihatinkan.

Para peserta SM-3T nantinya ditugaskan di beberapa distrik. Dari sembilan distrik, hampir semua menjadi tempat tugas. Tempat tugas terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso, tempat yang kemarin kami kunjungi, termasuk distrik Maberamo Hilir. Hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 10 menit dengan speedboat. Tempat tugas yang lain, tersebar di distrik Rufaer, Benuki, Sawai, Iwaso, Mamberamo Hulu, dan Mamberamo Tengah Timur serta Waropen Atas. 

Tidak ada yang mudah untuk mencapai tempat-tempat itu. Hampir semua tempat mengandung risiko untuk mencapainya. Semua harus menumpang speedboat. Di beberapa tempat, speedboat harus melintasi jeram-jeram berbahaya dengan tingkat kemiringan 60 derajat. Saya sesungguhnya ketir-ketir dan ngeri dengan kondisi tersebut. Tapi bismillah, saya harus yakin Allah SWT akan melindungi perjalanan mereka dan memudahkan mereka dalam melaksankan tugas pengabdian mulia itu.
Mamberamo Raya terkenal dengan nyamuk malarianya yang ganas-ganas. Oleh sebab itu, selain obat malaria, para peserta juga kami bekali dengan kelambu. Selain itu, banjir juga menjadi langganan tahunan. Sekali hujan, seluruh negeri tergenang, begitulah kata pak kadis. Maka para peserta juga kami bekali dengan sepatu boot untuk mengantisipasi medan dan banjir.

Pak Kadis juga bilang, nyamuk di Mamberamo Raya adalah teman cerita yang setia. Saking setianya, waktu kita sedang menikmati makan pun, mereka maunya ikut menikmati, sehingga suatu ketika kita harus makan di dalam kelambu. 

Selain malaria, penyakit kaki gajah juga menjadi ancaman serius. Maka kemarin para peserta sudah ke puskesmas setempat untuk mendapatkan vaksin filaria. Gratis, tidak bayar. Keberadaan puskesmas pembantu di setiap distrik sangat menolong masyarakat dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit, termasuk malaria dan kaki gajah yang merupakan penyakit endemik. Sayang kesadaran mereka untuk memanfaatkan keberadaan puskesmas belum optimal. Ditambah lagi dengan kebiasaan hidup dan kebersihan lingkungan yang masih jauh dari standar kesehatan, membuat malaria dan kaki gajah, juga penyakit kulit, seperti menjadi penyakit langganan. 

Adat-istiadat di Mamberamo Raya masih sangat kuat. Adat kematian, disebut kon, merupakan tradisi penduduk asli, yaitu menanam mayat anggota keluarganya di para-para, di atas panggung rumah khusus. Mayat itu akan diletakkan di situ selama sekitar 4-6 bulan, sampai dagingnya hilang. Sementara itu, pihak keluarga akan mengumpulkan biaya untuk melaksanakan prosesi penguburannya. Setelah penguburan, pesta kematian (kon) akan diselenggarakan dengan acara pokok makan dan berdansa selama dua malam, dengan diiringi alat musik tifa dan suling.  

Adat yang lain adalah pesta adat perkawinan (henem). Pada pesta adat henem, keluarga perempuan mengantar makanan seperti sagu, babi dan makanan lain yang biasa dimakan. Makanan ini dinikmati dalam pesta lajang, dilengkapi dengan dansa, sebagai tanda perpisahan dengan teman-teman yang lajang. Saatnya untuk memenuhi kewajiban, berbakti pada keluarga.

Masih banyak adat istiadat yang lain, termasuk kawin tukar dan kawin masuk. Apa pun, setiap pendatang, termasuk para guru SM-3T, harus menyesuaikan diri. Tidak harus larut dalam tradisi yang menurut pandangan mereka kurang baik, namun pepatah 'di mana bumi dipijak, langit dijunjung', harus mereka maknai sebijaksana mungkin.

Air juga tidak tersedia dengan mudah. Tentu saja tidak ada air PAM. Mereka menampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap hari, Papua nyaris tidak pernah tidak hujan. Air itulah yang mereka manfaatkan, selain air sungai yang dijernihkan. 

Ada ungkapan khas di Mamberamo Raya: 'hujan sungguh mati, panas sungguh mati'. Menandakan hujan yang tak pernah absen setiap hari dan bahkan hampir selalu mengakibatkan banjir tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas batubara, maka panasnya luar biasa. Pagi sekitar pukul 07.00 sudah membuat orang berkeringat kepanasan.

Bank hanya ada di Kasonaweja, itu pun hanya Bank Papua. Jadi para peserta SM-3T mau tidak mau harus membawa sejumlah uang dalam bentuk tunai, karena di tempat mereka ditugaskan tidak ada bank atau ATM. 

Harapan kami, para guru muda itu mampu bertahan hidup dalam kondisi serba kekurangan. Seperti kata pak kadis sewaktu presentasi di Kodikmar: "nikmati apa yang ada dengan segenap hati. Kalau sudah sampai di medan, pasti kalian bisa. Bukankah kalian datang untuk mencerdaskan orang lain? Kalau kalian mau orang lain cerdas, kenapa kalian tidak bisa membahagiakan diri sendiri?" Beliau juga mengatakan: "sebagai seorang guru, keberhasilan siswa akan menjadi kebanggaan kita seumur hidup. Jadi jangan takut susah. Lagi pula, siapa suruh kalian jadi guru?"

Yang menghibur hati dari sekian banyak 'kemalangan' adalah, Mamberamo Raya bukanlah wilayah yang rawan konflik. Tidak seperti di Timika. Kehadiran guru di sana sangat dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan. Guru, mendapat tempat khusus di hati masyarakat, karena mereka datang untuk mencerdaskan anak-anak Papua sebagai anak-anak bangsa.

Baiklah, kembali ke rencana pulang hari ini. Siang terik, panas sekali. Pukul 11.30. Saat pesawat kecil itu terbang rendah siap mendarat. Akhirnya, setelah menunggu sejak pukul 07.30, ada pesawat yang akan menerbangkan kami menuju Jayapura.

Sebenarnya kami dijadwalkan  menumpang Suzie air. Namun kabar yang diterima oleh pihak penerbangan, pesawat itu masih ada di Wamena, bersiap terbang ke Sentani, baru kemudian lanjut ke Kasonawaja. Wow, berapa lama lagi kami harus menunggu? Sementara tiket Garuda Jayapura-Surabaya kami sudah ok, dijadwalkan terbang pukul 14.20.

Kami tadi sudah kebat-kebit kalau pesawat kecil mungil itu tidak kunjung datang. Mas Nardi, petugas tiket kami mengabarkan, tiket dari Jayapura ke Surabaya untuk semua penerbangan sudah full-booked hari ini. Artinya, kalau kami ketinggalan Garuda siang ini, maka kami terpaksa harus pulang besok pagi.
Alhamdulilah, pada detik-detik kritis, pesawat kecil itu mendarat. Pesawat yang bernama Pilatus itu. Warna putih kombinasi biru. Saya belum pernah melihat pesawat yang lebih kecil daripada pesawat yang sekarang ada di depan mata saya ini, kecuali pesawat-pesawatan. Hehe...

Pilatus berpenumpang sepuluh orang plus seorang pilot. Dia memerlukan waktu sekitar 80 menit untuk mencapai Jayapura. Benar-benar pas waktunya. Begitu turun dari Pilatus nanti, kami musti bekerjaran dengan waktu untuk check in supaya tidak ketinggalan Garuda menuju Surabaya.

Beberapa jam sebelumnya, kami dan semua bagasi ditimbang sebelum naik pesawat. Mungkin karena kami dikawal terus dari dinas pendidikan, maka dengan pesawat apa pun, kami dijadwalkan terbang pertama. Maka menggeser-geser penumpang dan barang adalah pekerjaan yang memerlukan waktu cukup lama. 

Setelah semua barang ditata di bagian belakang badan pesawat dan di sayap-sayapnya, kami dipanggil satu per satu. Tempat duduk kami diatur sedemikian rupa supaya tetap menjaga keseimbangan pesawat selama terbang. Siapa duduk di mana, tidak bisa memilih tempat duduk. Pak Julianto, betapa beruntung dia, karena berat badannya paling berat, dia mendapat kehormatan duduk di sebelah pilot.

Siang itu, akhirnya, Pilatus mengudara. Membawa kami berlima bersama lima orang Papua. Aroma sirih pinang berbaur dengan dinginnya AC dalam pesawat. Melengkapi keindahan hutan belantara Papua dan sungai Mamberamo yang mengular, yang bisa kami nikmati dari atas. Papua memang luar biasa. Sebuah mutiara indah di ujung timur Nusantara. Tidak bisa tidak, apa pun harus dilakukan untuk tetap bisa memilikinya. 

Dan Pilatus pun terus membubung tinggi, membelah angkasa, melintasi mega-mega, menuju Jayapura. Membawa kami semua kembali kepada 'peradaban', kembali kepada rutinitas, kembali kepada perjuangan yang lain.....

Selesai...
Jayapura, 19 September 2013
Wassalam,

LN

2 komentar

Unknown 9 Oktober 2013 pukul 01.19

subhanallah, keren. edisi membramo 1-9 nya.

Unknown 9 Oktober 2013 pukul 01.25

subhanallah, keren. edisi membramo 1-9 nya.

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...