Pages

Senin, 22 Juli 2019

Menikmati Gojek (1)

Pagi ini, saya mendarat di Husein Sastranegara, Bandung, sekitar pukul 09.45. Teman-teman kolega, Bu Any Sutiadiningsih, dik Nugrahani Astuti, dan dik Sri Handajani, sudah menunggu di dekat pengambilan bagasi. Mereka tiba lebih dulu karena naik Nam Air. Saya sendiri naik Wings Air karena lagi malas bangun pagi. Hehe. Tapi mereka berkenan menunggu saya supaya bisa bersama-sama menuju tempat kegiatan.

Kami nge-grab dari bandara ke Hotel Hemangini. Menghadiri kegiatan asosiasi profesi. Diskusi tentang kurikulum prodi pendidikan tata boga Indonesia. Bersama perwakilan teman-teman dosen tata boga seluruh Indonesia. Mencoba bersepakat untuk merumuskan kurikulum nasional prodi.

Pukul 17.30, saya pamit geser ke Hotel Ibis Trans Studio. Tapi dengan janji, saya akan balik lagi besok selesai kegiatan di Ibis. Bu Ai Nurhayati, sekretaris asosiasi, menyarankan saya naik grab, tapi pasti akan terjebak macet, katanya.

Karena tidak ingin terjebak macet, saya memilih naik gojek motor. Sore begini jalanan pasti padat. Dan saya tidak ingin lebih lama terlambat. Sekitar dua jam yang lalu rapat di Ibis mestinya sudah dimulai. Sekarang mungkin lagi break. Saat rapat dimulai lagi setelah makan malam nanti, saya harus sudah berada di sana. Kalau saya naik grab, bisa-bisa saya masih bergelut dengan macet sampai selepas isya.

Naik gojek itu asyik. Apa lagi senja mulai jatuh dan lampu-lampu kota mulai menyala. Romantis. Si Abang Gojek yang kecil langsing itu, namanya Basir, ramah, baik, tapi motornya butut. Meski butut, larinya kenceng. Juga lihai meliuk-liuk, benar-benar meliuk-liuk, di antara mobil-mobil yang jalannya tersendat-sendat karena macet. Udara dingin sekali, namun masih cukup bersahabat bagi saya karena saya sudah mengantisipasi  dengan jasket.

Menikmati gojek termasuk langka bagi saya. Tubuh yang mulai menua ini tidak terlalu tahan dengan terpaan angin dan debu. Namun kadang saya ingin menikmati gojek. Tidak sekadar untuk menghemat waktu. Tapi untuk menikmati sensasinya. Berkendara di bawah terik matahari, meliuk-liuk di antara mobil-mobil, ngebut di jalan yang agak lengang, asyik juga. 

Suatu ketika saya pernah nggojek di Semarang. Naik dari depan Hotel Patra Jasa menuju Museum 3-D. Karena saya sendirian, seorang petugas museum menemani saya dan membantu saya motret-motret. Dari situ, saya nggojek lagi ke Lawang Sewu. Karena saya juga sendirian, seorang guide mendampingi saya dan menjelaskan setiap sudut Lawang Sewu. Setelah puas, saya baru balik ke hotel. Lagi-lagi, nggojek.

Grab, Uber, gojek dengan segala layanannya mulai dari antar jemput, pesan antar makanan sampai pijat dan bersih-bersih rumah, sungguh luar biasa memudahkan. Membuat hidup jadi lebih praktis dan lebih banyak pilihan. Kita tidak harus naik taksi bandara yang, mohon maaf, drivernya kadang-kadang tidak jujur dan penuh dengan modus. Ada grab di beberapa bandara. Resmi. Dengan harga yang mungkin tidak terlalu jauh selisihnya dibanding taksi konvensional, namun kita tak perlu khawatir akan diputer-puter sama Abang Driver. 

Saat berkegiatan di luar kota, beberapa kali saya terpaksa pindah hotel dalam satu hari. Dengan hitungan waktu yang tidak terlalu leluasa untuk dibagi. Nah, pada saat itulah saya akan memilih apakah saya naik grab, go car, atau gojek. Beberapa kali saya mengalami dikecewakan oleh taksi konvensional. Meskipun saya sudah pernah mengadukan kekecewaan saya pada customer service dan pengaduan saya direspon dengan sangat simpatik, tapi yang namanya sudah terlanjur kecewa, apa lagi ada pilhan lain, maka jadilah saya sering berpaling, berpindah ke lain hati. Hehe.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...