Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Bingkai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bingkai. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Februari 2014

Direkso Gusti Allah

Pagi kemarin, sekitar pukul 05.10, saya membuka pintu dapur, bermaksud membuang sampah keluar rumah. Aktivitas menyiapkan makan pagi untuk keluarga yang saya mulai sejak usai solat subuh telah selesai, dan saatnya untuk bersih-bersih. Tapi saya kaget ketika melihat ada gerimis, namun halaman rumah tidak basah. Saya mempertajam pandangan saya pada gerimis itu dan tiba-tiba saya rasakan mata saya pedih sekali. Masih belum menyadari dengan apa yang terjadi, saya terkaget karena melihat mobil kecil yang terparkir di halaman rumah penuh dengan debu. Oh Tuhan, saya baru ngeh. Inilah hujan abu. Semalam sebelum tidur, saya sempat membaca status FB seorang teman yang menulis "malam ini, akhirnya Kelud meletus". Tidak menyangka, imbasnya sampai di sini. Gerimis abu akibat letusan Gunung Kelud itu ternyata sampai di sini.

Saya lantas membangunkan mas Ayik. 
"Mas, ada hujan abu." 
Mas Ayik membuka mata, malas. Dia memang sedang sakit. Semalam saya membawanya ke dokter karena sore sepulang kantor dia batuk dan badannya panas. Ternyata selain flu, tensi mas Ayik juga tinggi, 200/100.  Semalaman, meski sudah minum obat dari dokter, badannya menggigil dan suhu tubuh tidak juga turun. 

"Kelud meletus tadi malam, mas."
"Hh...?"
Mas Ayik bangkit, turun dari tempat tidur, berjalan sempoyongan, keluar rumah.

Tiba-tiba SMS masuk ke ponsel saya. Dari mas Nardi, petugas tiket kami. "Info penerbangan garuda dan airasia di terminal 2 dan hr ini smua penerbangan mundur smua". 

"Apa penerbangan aman mas, hujan abu begini?" Saya balas SMS mas Nardi. Saya pikir, mundurnya waktu penerbangan pesawat karena pindah ke terminal 2 itu. 
"Bu Luthfi, justeru karena hujan abu, maka penerbangan mundur semua."
"Oke, mas. Aku tunggu kabarnya"

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu bersemangat untuk berangkat ke Jakarta pagi itu. Kondisi mas Ayik membuat saya tidak tega untuk meninggalkannya. Meski pun mas Ayik meyakinkan saya dia akan baik-baik saja dan menyarankan saya berangkat ke Jakarta sesuai schedule. Seperti pucuk dicinta ulam tiba, tiba-tiba ada hujan abu dan penerbangan ditunda, sehingga saya punya waktu lebih lama untuk menemani mas Ayik.

Saya berangkat ke kampus, mengajar. Rencana semula saya akan mengajar sampai pukul 09.00, lanjut langsung ke Bandara Juanda, terbang ke Jakarta. Tapi karena penerbangan ditunda, saya memutuskan untuk pulang dulu usai mengajar, sambil menunggu perkembangan.

Mas Ayik, meski badannya panas, pergi ke kantor juga. Dia bilang, dia akan mengisi daftar hadir saja, terus minta izin pulang karena sakit. Saya wanti-wanti dia, "bener lho, mas, habis absen terus pulang. Aku juga cuma jam sembilan kok."

Sepulang mengajar, mas Nardi telepon. "Ibu belum tentu bisa terbang hari ini, sampai jam segini, tidak ada satu pun pesawat yang datang dan pesawat yang berangkat."

"Oke mas, saya tunggu kabar saja".

Tak berapa lama, ibu Tuban menelepon. "Kowe ning ngendi?"
"Wonten nggriyo, bu."
"Mas Ayik piye?"
"Taksih benter, bu, tapi tindhak kantor, ngisi daftar hadir, lajeng izin."
"Kowe sidho ning Jakarta?"
Belum sempat menjawab, ibu sudah menyambung. "Kowe ojo ning ngendi-ngendi. Ojo budhal ning Jakarta. Ning omah wae. Mas Ayik gerah. Luwih wajib olehmu ngopeni mas Ayik tinimbang budhal Jakarta. Opo maneh iki udan awu. Penerbangan gak aman".

"Inggih, bu."

Tak berapa lama, mas Ayik pulang dari kantor. Wajahnya pucat, badannya panas.

"Aku nggak berangkat ke Jakarta, mas."
"Berangkat aja, nggak papa."
"Nggak."
"Wong wis tuku tiket ngono kok."
"Tiket-e lho berlaku sampai enam bulan ke depan". 
"Gak popo tah?"
"Gak. Wong mas Ayik gerah ngono. Apa lagi penerbangan gak jelas."
"Yo ngko lek penerbangan sudah ada, kamu berangkat aja."
"Nggak. Sakno mas Ayik".
"Gak popo."
"Emoh. Gak pareng ibu."
Mas Ayik diam. Kalau sudah keluar 'sabdo pandito ratu', dia juga nggak berkutik. Tidak berani melanggar.

Tapi bener, saya seperti punya alasan untuk tidak berangkat ke Jakarta. Alasan yang sangat kuat: tidak ada penerbangan karena abu vulkanik Gunung Kelud. Dengan alasan itulah saya mengirim SMS ke panitia, meminta izin untuk tidak bisa bergabung pada acara penyusunan kurikulum PPG di Hotel Millenium Jakarta. Bukan karena suami sakit atau karena dilarang ibu. Alasan karena tidak ada penerbangan adalah alasan yang sangat masuk akal. Toh semua tahu benar memang tidak ada penerbangan dari dan ke Surabaya dalam waktu yang belum bisa ditentukan.

Jujur sejujur-jujurnya, saya seperti mendapat hikmah dari meletusnya Gunung Kelud. Saya sudah lama tidak libur akhir pekan, karena terus menerus ada kegiatan di luar kota. Kondisi sakitnya mas Ayik sebenarnya sudah membuat saya tidak berniat berangkat ke Jakarta, apa lagi ditambah dengan titah ibu.

Ibu telepon lagi.
"Piye? Ora budhal Jakarta to?"
"Mboten, bu."
"Juanda ditutup, gak onok penerbangan. Dadi kowe ora iso budhal. Opo maneh mas Ayik gerah. Dadi kabeh ki wis direkso karo Gusti Allah. Kowe ora sidho budhal Jakarta ki ben kowe iso ngopeni mas Ayik..."

"Inggih, bu..."

"Aku wingi kudune budhal ning Yogya. Ora sidho mergo sirahku ngelu. Perikso dokter tiba'a tensiku dhuwur. Iki mau arep budhal, kok ragu-ragu mergo udan awu. Untunge gak sidho budhal. Lek budhal mendahheyo repote....udan awu peteng dhedet koyo ngono. Subhanallah. Wis direkso karo Gusti Allah, ibu diparingi loro ben ora sidho budhal Yogya...."

"Inggih, bu, alhamdulilah." Jawab saya. Ibu memang berencana ke Yogya, ke rumah saudara, sekaligus berobat, sehari sebelumnya. Tidak jadi berangkat karena tiba-tiba kepala ibu terasa sakit, yang ternyata disebabkan tekanan darahnya tinggi.

Siang ini, saya baru saja selesai mengajar di S3 Teknologi Pembelajaran. Mulai pukul 09.00-13.30. 'Ngrapel' dua kali pertemuan yang tidak bisa saya isi dua kali hari Sabtu pada minggu-minggu yang lalu. Pagi tadi, Prof. Muchlas, partner mengajar, sudah SMS. "Saya masih tertahan di Jakarta karena tidak ada penerbangan. Mohon kuliah ditangani."

Semua sudah direkso sama Gusti Allah. Prof. Muchlas tertahan di Jakarta, saya tidak bisa ke Jakarta. Dengan demikian saya bisa ngajar, sekaligus nyahur utang ngajar. Bisa menemani mas Ayik yang lagi sakit. Bisa menyiapkan sarapan pagi, bersih-bersih rumah, bersih-bersih tanaman, dan lain-lain...  

Maturnuwun, ya Allah Gusti, ingkang Moho Ngrekso....

Surabaya, 15 Februari 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 07 Desember 2013

Suatu Siang, tentang Kurikulum 2013

Suatu siang, saat saya sedang menunggu waktu untuk menguji tesis mahasiswa di ruang sidang Pascasarjana, dering telepon seluler saya berbunyi. 

"Halo..."
"Assalamualaikum, bu prof..." Suara di seberang.
"Waalaikum salam. Apa kabar pak?"
"Kabar baik, bu prof. Nyuwun sewu, bu prof, kami mau konsultasi lagi. Kami mau mengadakan kegiatan workshop. Mohon arahan, bu, kira-kira kegiatan workshopnya nopo nggih?"

Ini adalah telepon dari seseorang, sebut saja namanya Ngabdul, yang merupakan aktivis di sebuah LSM. Nama LSM-nya keren. Berkaitan dengan pendidikan.

Pertanyaan seperti ini, bukan yang pertama. Seingat saya, ini sudah yang keempat. Hampir setiap tahun sejak tiga tahun ini, dia melontarkan pertanyaan yang sama. 

Awal mulanya, waktu itu, saya ditugasi pak Rektor untuk menggantikan beliau menjadi narasumber di sebuah acara seminar pendidikan. Temanya tentang peningkatan kompetensi guru. Nah, sejak itulah, saya hampir setiap tahun diundang untuk menjadi narasumber seminar yang diselenggarakan oleh LSM tersebut. Pernah ditandemkan dengan Ketua PGRI Jawa Timur, pernah juga dengan Kepala Dinas Provinsi Jawa Timur dan pakar pendidikan dari perguruan tinggi lain.

"Saat ini kan sedang hangat diperbincangkan Kurikulum 2013, pak. Menurut saya, temanya tentang Kurikulum 2013 itu saja...." Saya memberi saran. 

"Lha tapi ini kan tahun 2013 sudah mau habis, bu prof...."
"Maksudnya?"
"Kan sudah mau masuk tahun 2014, bu prof. Apa tidak kadaluwarsa nanti kalau kita mengangkat topik Kurikulum 2013?"

Apa? Saya keheranan.
"Kadaluwarsa gimana, pak?"

"Gini lho, bu prof. Ini kan sudah mau akhir tahun 2013. Lha kalau kita mengangkat topik Kurikulum 2013, apa masih sesuai, wong tahunnya sudah mau habis."

Alamakkkk.

"Pak, sekarang ini, kurikulum yang dipakai kan Kurikulum 2013. Sudah disosialisasikan terus-menerus dan bahkan sudah diimplementasikan di banyak sekolah mulai dari SD, SMP, dan SMA. Namanya memang Kurikulum 2013. Tapi berlakunya kan sampai 2014 dan seterusnya..."

"Woo....ngoten, prof..."

"Sebelumnya kan pakai KTSP. Itu kurikulum sejak tahun 2006. Dipakai terus dan baru tahun 2013 ini dipakai kurikulum baru. Itu pun belum semua sekolah menerapkan."

"Wooo.....ngoten nggih, prof."

"Meskipun sudah disosialisasikan di mana-mana, tapi masih banyak guru yang belum paham. Jadi masih sesuai kalau akan disosialisasikan. Atau kalau tidak, ya topik yang lebih spesifik, misalnya pengembangan perangkat pembelajaran dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Gitu pak."

Woo....ngoten nggih, prof. Nggih nggih menawi ngoten, prof." Dia seperti kegirangan karena sudah mulai ngeh. 

"Prof, dados topiknya nopo, prof?"

"Pengembangan perangkat pembelajaran dalam rangka Implementasi Kurikulum 2013."

"Nggih nggih, prof. Kulo catet rumiyin, prof." Dia nampaknya mulai mencatat. "Prof, menawi topiknya menyusun RPP mawon dospundi, prof?"

Halahhhh.....

"Lha iya to pak.... Perangkat itu kan ya salah satunya RPP itu.... Termasuk juga media pembelajaran, modul, LKS, penilaian dan asesmennya..."

"Wooo... nggih, nggih, prof."

"Inggah-inggih ngertos saestu to pak?"
"Inggih, prof.....insyaallah ngertos prof..." Suaranya ragu-ragu.
"Nggih pun...monggo didiskusikan sama teman-temannya sana." Lanjut saya.
"Nggih, prof, nggih. Maturnuwun nggih, prof. Nyuwun pangapunten sudah mengganggu, prof..." Dia menutup teleponnya setelah bersalam.

"Ada apa, bu...kok njenengan koyok jengkel gitu..." Tanya pak Suparji, teman sesama tim penguji. Dia ternyata nguping pembicaraan saya barusan.

"Iki lho pak....LSM pendidikan nduwe duit, lagi bingung nggawe kegiatan." Jawab saya.

"Hehe..." Pak parji tergelak. "Uwakeh bu LSM sing koyo ngono kuwi. LSM pendidikan tapi ra paham pendidikan..."

Nah kan....

Dan tibalah waktunya untuk menguji...

Surabaya, 7 Desember 2013

Wassalam,
LN 
(otw Pacet, ngguyubi warga RT 04 RW 07 Kelurahan Karah).

Rabu, 23 Oktober 2013

Theresia Taur dan PLPG

Perawakannya tinggi besar, kulit coklat, rambut ikal, mata bulat, garis wajah keras, semuanya khas NTT. Wanita 54 tahun itu adalah guru SMP  Katolik San Karlos Habi, Maumere. Tergolong wanita mahal senyum. Wajahnya lebih banyak seperti menyimpan beban, hal itu nampak juga dari sorot matanya yang terlindung kaca mata.

Ini kali kedua saya bertemu dengannya. Dalam momen yang sama, yaitu PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Ya, setahun yang lalu, dia sudah mengikuti program sertifikasi guru ini. Karena belum lulus, dia diberi kesempatan lagi untuk ikut pada tahun ini.

Saya bisa merasakan betapa beratnya beban ini bagi dia. Selama sepuluh hari terkurung dalam ruangan, mulai pagi sampai sore. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, kerabat dan teman-teman. Malamnya masih harus mengerjakan tugas-tugas, atau minimal, membaca modul. Lebih-lebih bila saat kegiatan peer teaching, dia harus menyiapkan RPP dan kelengkapannya. Besoknya, melakukan praktik mengajar di bawah bimbingan dosen. 

Di bawah bimbingan dosen, baginya, mungkin lebih tepatnya adalah di bawah pengawasan dosen. Pengalaman gagal tahun lalu mungkin telah membuatnya begitu trauma sehingga sebuah bimbingan pun bahkan dia anggap lebih seperti pengawasan. Aktivitas untuk mencari-cari kesalahan. Mungkin. Meski pada kenyataannya, tidaklah seperti itu.

Belum lagi beban mental yang memenuhi pikirannya, kemungkinan tidak lulus lagi dalam PLPG kedua ini. Bila itu yang terjadi, maka 'habislah' dia sebagai guru. Dia akan dikembalikan ke Dinas Pendidikan di kabupatennya sana, dan entahlah, jadi apa dia nanti....

Saya melihat wanita itu sudah begitu lelah. Dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi dalam PLPG. Dia duduk menghadapi modul dan kertas-kertas. Kadang matanya memejam sekejap, kepalanya terangguk-angguk, lantas geragapan melihat ke saya yang sedang menjelaskan, mencoba sekuat tenaga mencurahkan perhatiannya pada penjelasan saya. Tidak selalu berhasil memang. Tak lama kemudian, kejadian yang sama berulang lagi. Mata memejam, kepala terangguk....dan seterusnya. 

Saya membiarkan semuanya itu tanpa mencoba untuk mengganggunya. Suara saya mungkin cukup lembut untuk meninabobokan wanita itu. Saya meneruskan saja diskusi dengan 16  peserta PLPG yang lain. Tiga di antaranya adalah mahasiswa saya dulu ketika S1. Selebihnya lulusan dari berbagai perguruan tinggi. Juga ada yang lulusan SMA. Termasuk wanita itu. 

Wanita yang bergaris wajah keras, namun bermata sayu itu, bernama Theresia Taur. Di antara para peserta PLPG Tata Boga, nampaknya dialah yang paling senior. Meski nampaknya dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi, namun keberadaan dia di sini membuktikan, sesungguhnya dia menyimpan  semangat terpendam. 

Ya, selain bu Theresia, begitu saya memanggilnya, sebenarnya ada dua temannya yang lain yang tahun lalu tidak tulus PLPG Tata Boga, serta belasan yang lain di bidang lainnya. Tapi beberapa di antara mereka, tidak mau menempuh kembali PLPG-nya. Sudah kapok, dengan berbagai alasan. Biaya yang harus dikeluarkan dari tempatnya yang nun jauh di sana, atau karena sudah pesimis duluan, atau sudah 'nggak butuh', acuh, apatis, masa bodoh.

Ibu Theresia, tidak termasuk golongan itu. Dia, meski dengan tubuh dan pikirannya yang lelah, hadir di ruang ini. Duduk menghadapi modul dan berkas-berkasnya. Kadang-kadang sambil terkantuk-kantuk. Tanpa senyum.

******

Tapi itu hari kemarin. Hari ini, saya melihat wajah lelah di depan saya itu banyak tersenyum. Saat mereka sedang melakukan diskusi kelompok untuk melakukan analisis kurikulum 2013, saya bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain. Lantas memutuskan berhenti di kelompok ibu Theresia. Berhenti di situ. Mengobrol ringan untuk mencairkan kebekuan, di antara aktivitas diskusi mereka.

Dan saya menikmati senyum tulus dari wajah yang sudah mulai menua itu. Mata bulatnya yang indah, seperti kemarin, nampak lelah. Namun bibirnya beberapa kali menyunggingkan senyum manis. 

Tiga puluh tahun dia mengajar. Cukup dengan ijazah SMA. Saat ini, golongannya III-C. Bukan PNS, tapi guru tetap yayasan. Oleh karena masa kerjanya sudah lebih dari dua puluh tahun, dia memenuhi syarat untuk mengikuti PLPG.

Lulus PLPG, saat ini, baginya, bukanlah melulu demi tunjangan profesi pendidik (TPP). Pendapatan dari suaminya yang guru PNS, dan anak sulungnya yang sudah bekerja di kapal, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Lulus PLPG, bagi dia, lebih pada kebutuhan untuk pencitraan diri. Pertaruhan akan nama baik dan harga diri. Mungkin tidak seekstrim itu....mungkin. Namun lulus PLPG, apa lagi dia sudah menempuhnya untuk yang kedua kalinya ini...adalah amat sangat penting. Pertaruhan akan profesinya sebagai guru. Lulus, berarti dia layak disebut sebagai guru profesional. Tidak lulus, berarti....dia tidak layak untuk menjadi guru.

Tidak layak menjadi guru. Adakah sebutan yang lebih menyedihkan dari seorang guru yang sudah mengabdi lebih dari tiga puluh tahun?

*****

Bagi saya, tidak terlalu mudah mengajar peserta PLPG. Usia mereka yang sebagian besar sudah tidak muda lagi, bahkan ada banyak yang jauh di atas usia saya, dengan motivasi belajar yang tidak bagus-bagus amat, dan kelelahan fisik dan mental karena stres. Ditambah lagi dengan pengetahuan mereka yang pada umumnya sudah out of date, sudah aus, akibat tidak pernah di-upgrade. Belum lagi materi PLPG yang padat berisi. Mulai dari materi Kebijakan Peningkatan Profesi Guru, Kurikulum 2013, Pembelajaran, Asesmen, Penelitian Tindakan Kelas, dan seterusnya....

Kalau hanya berorintasi pada ketuntasan materi, gampang. Kalau cuma transfer of knowledge, mudah. Tapi tentu saja bukan itu tugas kita sebagai instruktur. Memahamkan mereka, memastikan mereka memegang kata-kata kunci, intisari dari tiap materi, kemanfaatan materi dan penerapannya untuk peningkatan kinerja mereka sebagai guru, itulah yang penting. Membawakan materi dengan menarik, mempertahankan perhatian mereka untuk terus bertahan pada materi, jauh lebih berat dibandingkan mengajarkan materi itu sendiri.

Maka saya pun lebih senang mengajar dengan cara sebisa mungkin menghindari ceramah. Kalau pun ada ceramah, itu hanya penjelasan singkat. Itu pun, meski singkat, sudah cukup berhasil membuat satu dua dari mereka terangguk-angguk kepalanya karena mengantuk. 

Selanjutnya adalah mereka akan bekerja sendiri. Bisa secara individual, bisa kelompok. Kemarin, saya meminta mereka untuk mebuat peta konsep saat belajar tentang model-model pembelajaran. Saya memberi contoh bagaimana membuat peta konsep yang baik. Saya pastikan juga, peta konsep yang baik, hanya dihasilkan oleh orang yang memiliki pemahaman yang baik pada materi yang dipetakonsepkan. Maka mereka pun terpaksa membaca modul. 

Begitu juga ketika membahas asesmen. Satu per satu mereka saya minta membaca alinea demi alinea. Sambil mendiskusikannya. Lantas saya minta mereka menggarisbawahi ide-ide pokok, kata-kata kunci, dan kalimat-kalimat yang dianggap penting. Yang saya tayangkan dengan powerpoint, adalah contoh-contoh bentuk asesmen langsung dalam bidang boga. Seperti apa lembar pengamatan dalam pembelajaran tata boga, lembar penilaian kinerja, lembar penilaian proyek, portofolio, dan penilaian diri.

Siang ini, saat membahas PTK, saya minta mereka langsung bekerja secara kelompok. Mengerjakan soal-soal latihan yang ada di modul. Potong kompas. Untuk bisa menjawab, toh mereka harus membaca modul. Ya, waktu pertemuan yang hanya dua jam tatap muka, sungguh tidak memadai untuk menjelaskan PTK sampai mereka paham. Jadi yang terpenting, mereka tidak mengantuk, semua aktif, dan tetap bersemangat membaca. Saat setiap kelompok menampilkan hasil diskusinya dalam menjawab soal-soal, saya baru memberikan penekanan-penekanan pada kata-kata kunci, hal-hal yang penting, dan memberikan gambaran utuh tentang apa itu PTK.

****

Sore ini, adalah sesi terakhir saya bersama mereka. Besok sampai hari minggu, mereka akan bersama dengan instruktur yang lain, kawan-kawan saya. Saya ingin mengakhiri sesi saya dengan manis, memastikan mereka akan terus bersemangat. Selalu menjadi 'a learning person', supaya pengetahuan dan keterampilan mereka terus terasah. Berusaha sebaik mungkin. Urusan lulus dan tidak, biarlah Tuhan yang memutuskan. Apa pun keputusan-Nya, yakinlah, bahwa itu pilihan terbaik.

Dan mata lelah itu berbinar-binar saat saya menghadiahinya buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur'. Meski bukan orang Jawa Timur, dia sangat bersuka cita dengan buku itu. Menghadiahkan buku untuk ibu Theresia Taur, bukanlah tanpa alasan. Dialah peserta PLPG paling senior di kelas ini, yang datang dari tempat yang paling jauh, dan keberadaannya di tempat ini tidak mungkin terjadi tanpa semangat dan keinginannya untuk terus maju. 

Buku kedua juga saya serahkan pada peserta termuda, namanya Siti Fatimah, guru dari Madura. Saya selalu menggoda dan memintanya tersenyum, karena wajahnya yang selalu sedih itu sebenarnya sangat manis dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dengan penuh suka cita dia menerima buku itu, dan mencium tangan saya dengan penuh haru.

Tiga buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', saya hadiahkan juga untuk tiga guru dari NTT yang lain. Kisah-kisah inspiratif para peserta SM-3T saat mengabdi di Sumba Timur, NTT, yang tertuang di buku itu, saya harapkan bisa memacu semangat dan motivasi mereka untuk lebih meningkatkan kompetensinya sebagai guru, demi membagun pendidikan di NTT ke arah yang lebih baik.
  
Bagi dua belas peserta yang lain, yang sore ini belum kebagian buku, saya janjikan, tetap akan saya beri buku masing-masing satu, besok atau besoknya. Buku yang akan saya hadiahkan itu adalah 'Berbagi di Ujung Negeri'. Ya, baru besok, buku itu dikirim kepada saya. 

Semoga buku-buku itu menjadi kenangan yang manis untuk mereka.  Sebentuk bukti persahabatan dan pertemanan, yang tidak hanya dibatasi oleh empat dinding kelas bernama kelas PLPG.


Gedung PPPG, 22 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 06 Oktober 2013

Kelebihan Iman

Pagi, pukul 07.00. Saya memencet bel rumah di jalan Kutisari 5A itu. Seketika saya njomblak. Gonggongan anjing membalas dering bel yang saya pencet tadi. bersahut-sahutan. Saya membayangkan ada lebih dari seekor anjing yang sedang meraung-raung di dalam. Meski pintu rumah yang mirip toko itu tertutup rapat-rapat dan anjing nggak bakalan mencolot keluar, saya beringsut menarik kaki menjauh, sambil tetap menatap pintu. Berharap seseorang menenangkan gonggongan anjing dan membuka pintu bercat biru itu.

Karena tidak kunjung ada tanda-tanda penyambutan, saya mengangkat telepon. Seseorang meresponnya. 'Halo...' Suara tua itu terdengar ramah. 'Ya, bapak. Saya ada di depan rumah bapak.' Kata saya. 'O...ya ya....saya buka'i....". Sejurus kemudian gonggongan anjing itu hilang lenyap, berganti suara klotek-klotek di pintu. 

Dan laki-laki tua itu, pak Wahyudi, keluar dengan T-shirt merah tua bertuliskan 'Saigon'. Di belakangnya, seorang perempuan, cantikkk sekali, adalah istrinya. Tentu saja namanya bu Wahyudi. Hehe.

Saya betul-betul tidak menyangka, mereka berdua China. Waktu bertelepon dengan bu Wahyudi tadi, logat beliau sama sekali gak mambu Cino blas. Malah cenderung seperti bahasa orang kulonan. Dengan selingan kromo inggil di sana-sini.

Ceritanya, beberapa hari yang lalu, bulik saya, bulik Muchsinah, minta tolong saya dan mas Ayik untuk mencarikan alamat rumah pak Wahyudi. Bulik saya itu, pak Wahyudi menyebutnya Ibu Nyai Cholil Bisri, adalah pasien pak Wahyudi. Nanti siang bulik akan rawuh dari Rembang ke rumah saya, dan besok pagi akan ke tempat pak Wahyudi. Bisa di rumahnya di jalan Kutisari, atau di Klinik Bethany Care di Nginden Intan. Maka, supaya kami besok tidak pakai golek-golek sewaktu nderekke bulik, pagi ini kami survei tempatnya dulu, sambil bikin janji untuk besok.

Saya sebenarnya agak heran juga, kok bulik berobat ke Bethany Care, klinik yang sekompleks dengan gereja Bethany itu. Gak salah tah? Sempat terpikir juga, opo wis gak onok tabib liyane tah? 

Saya dan mas Ayik disilakan duduk di ruang kerja pak Wahyudi. Sebuah ruang yang penuh dengan barang-barang untuk terapi. Termasuk kursi listrik, bed untuk periksa, dan juga buku-buku. Di antara buku-buku itu, ada banyak buku untuk pelayanan umat Kristen, Al-Kitab, dan juga....Al-Qur'an.

Akhirnya saya jadi paham kenapa bulik saya itu, yang notabene adalah istrinya pak kyai, berobat pada pak Wahyudi, yang seratus persen nonmuslim. Orang itu, pak Wahyudi, mengisi hidupnya dengan pelayanan dan pelayanan. Kebahagiaannya adalah melayani. Kepuasannya adalah ketika orang lain sehat dan bahagia karena bantuannya. Dia membagi-bagikan obat-obatan asli Cina untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit. Dia membawa kursi listrik ke mana pun untuk membantu orang-orang sakit. 

Perkenalan bulik dengan pak Wahyudi itu, adalah juga saat pak Wahyudi melakukan pelayanan di Rembang. Ternyata ada banyak kyai yang jadi langganan pak Wahyudi. Di ruang kerjanya, saya melihat foto pak Wahyudi dan bu Wahyudi, semeja dengan Gus Mus (Musthofa Bisri) dan istrinya. Kata pak Wahyudi, itu foto dari Gus Mus, beliau memberikannya saat pak Wahyudi berulang tahun. Pak Wahyudi juga langganannya bu Nyai Masyhuri Rembang, serta beberapa kyai dan bu nyai yang lain. Kata pak Wahyudi, melayani kyai baginya seperti kewajiban. Karena kyai adalah milik ummat. Kalau pak kyai sakit, kasihan ummatnya. Maka kyai harus sehat, supaya bisa menyehatkan ummatnya. 

Kami jadi terlibat dalam obrolan yang lumayan gayeng pagi itu. Pak Wahyudi bertanya, "apa sebenarnya tujuan orang beragama? Saya jawab, "ya.....intinya, untuk kebagahagiaan di dunia dan akhirat". Beliau mengejar lagi, "di mana sih kebahagiaan itu? Di mana tempatnya?" Saya berfikir, diam sebentar, terus dengan pasti saya menjawab. "Di hati". Beliau langsung mengacungkan jempolnya. "Bagus. Di sinilah...." Beliau menjelaskan panjang lebar, kenapa kebahagiaan itu tempatnya ada di hati. 

Terus beliau bicara tentang surga. "Surga itu ada di langit ke tujuh menurut Islam, dan ada di langit ke tiga menurut Kristen. Menurut ibu, surga di dunia ini, ada di mana?" Saya spontan menjawab, "di rumah." Sekali lagi beliau menyodorkan jempolnya. "Ya. Baiti jannati." Katanya, hampir bersamaan dengan istrinya.

Selain bersahabat dengan banyak kyai, pak Wahyudi ternyata juga memiliki pengalaman-pengalaman buruk dengan para kyai yang menurut istilahnya adalah kyai yang kelebihan iman. "Orang itu harus beriman. Tapi iman jangan membuatnya sombong, egois, dan merasa paling benar. Apa lagi sampai menganggap orang yang tidak seagama itu najis." Beliau bercerita kalau beliau pernah diusir-usir bahkan diancam akan dibunuh oleh kyai tertentu. "Itulah kalau kelebihan iman. Padahal surat Al Hujurat ayat 10 sudah jelas. Tentang kerukunan ummat. Rahmat Allah tidak akan datang pada kaum yang tidak rukun". Tambahnya. "Saya datang menawarkan kebaikan. Saya tidak sedang mengajak orang untuk masuk ke agama saya, meskipun kalau mau, saya bisa lakukan itu. Tidak baik berprasangka. Islam sudah menjelaskan, lakum diinukum waliyadiin." 

Pak Wahyudi mengistilahkan apa yang sedang dilakukannya adalah jihad. "Saya berjihad dengan harta saya, dengan tenaga saya". Beliau mendedikasikan hidupnya untuk melayani, terutama melayani orang miskin. Lantas dia bertanya, "apa jihad yang paling berat? Adalah jihad memerangi hawa nafsu..." Dijawabnya sendiri pertanyaannya. 

Saya jadi ingat sahabat-sahabat nonmuslim saya. Orang-orang baik yang bertebaran di sekitar saya. Juga para pemuka gereja dan pendeta di Maluku dan Papua yang sering mengundang kami untuk makan malam di rumahnya. Di mana-mana, saat semangat saling menghargai dan menghormati itu dikibarkan, kedamaian senantiasa ada di sekitar kita.


Kami berpamit untuk mengakhiri diskusi yang bernas pagi ini. Tiba-tiba saya ingat harus pergi ke pasar, karena siang nanti tamu saya dari Rembang rawuh. Bulik Muchsinah, dua putra-putrinya, dua santrinya, dan ibu saya tercinta. Sayur asam, dadar jagung, pepes, sambal trasi, dan es garbis, kayaknya cocok.

Surabaya, 6 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 29 September 2013

Tentang Toilet Dan Standar Kebersihan

Sewaktu saya lulus dari S2 pada akhir tahun 1995 dulu, awal 1996 saya ditugasi untuk menjadi sekretaris Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) IKIP Surabaya (waktu itu belum berubah menjadi Unesa). Berlangsung selama satu periode (4 tahun), dan kemudian pada tahun 2000, saya ditugasi sebagai Kepala PKMT Unesa. Saat itu saya sempat merangkap jabatan sebagai sekretaris jurusan PKK. Saya berhenti tidak menjabat saat tahun 2003, karena saya mengambil program S3. Sepulang dari S3 pada akhir 2007, saya diamanahi untuk menjadi sekretaris Pusat Jaminan Mutu (PJM) Unesa. Sampai 2012, tiga amanah sempat saya emban secara berbarengan, karena selain sebagai sekretaris PJM, saya juga sebagai Kepala Program Studi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) dan sebagai Ketua PPG Unesa. 

Begitu memasuki tahun 2013, saya hanya ditugasi untuk mengurus PPG, yang waktu itu sudah harus menempati gedung PPPG, di Kampus Lidah Wetan. Gedung berlantai sembilan, dengan kondisi yang luar biasa amburadul. Belum siap dihuni. Di mana-mana bekakas pating blesah. Debu menjadi aroma yang mendominasi. Perabot belum mapan pada tempat yang seharusnya. Hanya saya, bu Yanti dan pak Sulaiman. Staf belum ada, maka pasukan bodrek pun akhirnya mesti kami himpun sendiri. 

Dalam posisi apa pun, menjabat atau tidak, standar kebersihan menjadi prioritas bagi saya, tentu saja di samping prioritas yang lain terkait dengan tupoksi saya. Front office menjadi tolok ukur pertama. Karena orang harus jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah itu, ruang kerja adalah prioritas yang utama, karena orang yang kerja di situ harus merasa nyaman dan betah. Kemudian, ruang kelas, ruang baca, koridor, hall, menjadi prioritas pertama, karena itu semua adalah pusat layanan pada mahasiswa dan dosen pengajar. Proritas pertama yang lain adalah urusan makan, karena di PPG ini jauh dari mana-mana, maka makan siang, meski dengan menu sederhana, musti disediakan, supaya pimpinan, staf, dan dosen, konsentrasi pada tugas dan tidak perlu dirisaukan dengan urusan makan siang. 

Bagaimana dengan toilet? Dari semua yang prioritas itu, maka toilet adalah urusan yang sangat amat prioritas sekali.

Di PPPG, ada 20 orang tenaga cleaning service yang kami openi. Setiap lantai harus ada dua orang. Selebihnya mengurus taman, baik di dalam gedung maupun di halaman. Sehari mereka minimal bekerja tiga kali, pagi, siang, dan sore. Kalau ada kegiatan insidental yang melibatkan banyak orang, seperti yang sekarang digunakan untuk PLPG dan KKT, maka petugas cleaning service harus sepanjang hari berjaga selama kegiatan berlangsung. Entah gimana ngaturnya mereka, yang jelas, sepanjang hari itu toilet harus dipastikan dalam keadaan bersih. 

Saya sering sengaja masuk ke toilet di luar ruangan saya, hanya untuk memastikan, toilet terjaga kebersihannya. Kalau ada tisu kotor ketinggalan di dalam toilet, atau closet yang tidak bersih, saya akan segera tahu. Petugas cleaning service-pun harus terpaksa menjaga terus kebersihannya.

Ya, semuanya harus bersih. Lantai, jendela, kaca-kaca, meja-meja, tangga, semuanya....terutama....toilet. 
Dan tahukah Anda? Minggu yang lalu, saat saya pulang dari Papua, bu Suryanti, Pembantu Direktur 2 PPG, mengabari, ada tagihan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk membayar cleaning service. Untuk layanan setahun ini (2013). Glek. Duit dari mana lagi?

Maka Jumat yang lalu, kami, direktur PPPG, PD 1, PD 2, kabag keuangan dan staf, kabag perlengkapan, rapat di ruang PR 2, atas undangan PR 2. Agendanya adalah untuk membahas pengelolaan PPPG, supaya PPPG bisa menghidupi diri sendiri dan menjadi income generating unit bagi Unesa. Termasuk mengatasi tingginya dana kebersihan dan perawatan.

Pucuk dicinta ulam tiba. Kesempatan dipanggil untuk diajak rapat seperti ini, sudah saya tunggu sejak lama. Selama ini, sejak saya ditugasi untuk ngurusi PPPG, saya hanya lapor saja untuk berbagai persoalan, baik fisik maupun nonfisik. Laporan dalam bentuk lesan, sms, surat, semua sudah. Dikirim ke rektor, ditembuskan ke PR 2, ke kabag perlengkapan, dan ke UPT ULP. Semua yang bisa kami atasi, kami atasi langsung. Plavon jebol, saluran air bocor, lantai retak, lift ngadat, wifi, telepon, dan banyak sekali urusan lain, sepanjang kami bisa, kami atasi sendiri, dan kami tinggal laporkan kepada pimpinan.

Belum lagi urusan asrama untuk menampung mahasiswa PPG. Bo abboohh... Tak terbayangkan oleh saya sebelumnya, saya dan tim akan menangani begitu banyak warisan ketidakberesan. Tahu nggak yang namanya Asrama PGSD? Ampuuuuun. Saya melihatnya bukan seperti asrama. Dengan penampungan TKW aja mungkin lebih baik (waks....maaf, kalau yang ini berlebihan kayaknya). 

Baru memasuki halamannya saja, bau selokan sudah naudzubillah, tanda saluran tidak beres. Masuk ke lantai satu dan dua, ke kamar-kamar, walahhh.... Saya gedek-gedek tok, tak bisa komentar. Kasur-kasur mblegadus, sofa koyak dan jebol, bed pada sengkleh, tembok berwarna-warni mangkak di sana-sini. 

Belum lagi toiletnya. Saya tak habis pikir. Lihat toilet seperti itu kok yo tegaaa gitu. Ya mahasiswanya, ya pengelolanya (maaf, mudah-mudahan tidak menyinggung siapa pun). Toilet yang kotor, pintu banyak yang semplah, bau... Dan halaman di sekitar toilet, rumput-rumput tumbuh sak karepe dewe, tanaman tak terurus, ada tempat yang seharusnya menjadi tempat mahasiswa belajar, malah jadi gudang, penuh dengan tumpukan kayu-kayu dan jemuran-jemuran. Bo abboohh....

Padahal, di PPG SM-3T ini, mahasiswanya dari seluruh Indonesia, tidak hanya dari Unesa tok. Dari UNG, Unima, UNP, Undiksha, UM, UNY, dll.  Mereka ditampung di asrama, karena memang judulnya adalah PPG berasrama-berbeasiswa. 

Dengan kondisi asrama yang seperti itu? Mati awak.... Ini urusan pencitraan... Tidak main-main.... Citra Unesa dipertaruhkan di sini, di asrama ini, juga di gedung PPPG ini.

Maka setelah hitung sana hitung sini, dengan menerapkan sistem pengelolaan keuangan biaya pendidikan sesuai dengan aturan Unesa, serta fleksibilitas penggunaan dana kehidupan berasrama, kami bekerja cepat. Pengadaan untuk bed, kasur, ngecat tembok, rehab toilet, benahi saluran, dan buwanyak lagi... 

Maka saat rapat, ketika bapak PR 2 menanyakan seperti apa kami mengelola PPG dan asrama, beliau malah mengucapkan terima kasih, karena pimpinan telah diringankan pekerjaannya. Tahukah, berapa dana yang sudah kami keluarkan untuk asrama dan perbaikan fisik gedung PPPG (ya, gedung yang masih baru itu, ternyata plavonnya banyak yang jebol, toiletnya banyak yang salurannya tidak beres, lantainya banyak yang mengkap, dan lift-nya ngadat melulu). Lebih dari Rp. 800.000.000,- belum yang ngrentil kecil-kecil... Bisa-bisa tembus 1M....

Maka, biaya cleaning service yang Rp. 400.000.000,- itu pun akhirnya ditangani oleh PR 2, karena setelah dihitung-hitung, pemasukan PPPG ke Unesa dari pemotongan biaya pendidikan, sudah lebih dari cukup untuk membayar cleaning service. Ya, baru nanti di tahun-tahun yang akan datang, biaya itu akan ditangani oleh PPPG sendiri, setelah persoalan-persoalan yang prioritas seperti tahun pertama ini, sudah teratasi semua.

Begitulah saudara-saudara. Ngopeni cleaning service, dengan tuntutan standar kebersihan yang sesuai dengan keinginan kita, ternyata tidak murah. Kalau cuma asal ada petugas saja sih gampang. Tapi ya itu, pagi dibersihkan, nanti sore lagi. Sepanjang hari, kita yang musti jaga kebersihan itu.

Ya, kita. 

Di industri, kita mengenal ada prinsip 5R. Singkatan dari Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin. Itu konsep aslinya dari Jepang, 5S: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke. 

Singkatnya, Seiri adalah pengorganisasian. Terorganisir berarti menjaga barang yang diperlukan serta memisahkan barang yang tidak diperlukan dalam pekerjaan. Seiton adalah kerapian. Kerapian menentukan secepat apa kita meletakkan barang dan mendapatkannya kembali pada saat diperlukan. Seiso berarti resik. Kebersihan harus dilaksanakan dan dibiasakan oleh setiap orang, dari pimpinan sampai staf terendah. Seiketsu adalah standar. Kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan 3S yang pertama harus distandarisasi. S yang terakhir adalah Shitsuke, yang diartikan sebagai disiplin. Dimaksudkan untuk menerapkan kemampuan melakukan sesuatu dengan yang seharusnya. Kebiasaan buruk dapat dihilangkan dengan mengajari staf mengenai apa yang seharusnya dilakukan, dan membiasakan mereka untuk melakukan hal-hal baik.

Kalau disingkat, 5S bermuara pada: 1) ringkas biaya/cost, 2) rapi proses dan delivery-nya, 3) resik dalam hal kualitas dan keamanannya, 4) terawat sistem dan standarnya, serta 5) rajin budaya dan sikapnya.

Namun, tentu saja,  pelaksanaan 5S tanpa disertai komitmen dapat menyebabkan 5S tidak efektif, mungkin hanya bertahan beberapa hari atau minggu, atau bulan saja, kemudian lingkungan kerja kembali pada kondisi seperti sebelumnya.

Maka, apa yang terpenting untuk menjaga kebersihan? Nomor satu, komitmen. Nomor dua, komitmen. Nomor tiga, komitmen.

Komitmen siapa? Komitmen kita semua.

Catatan: kalau teman-teman masih menemukan toilet yang kotor dan tidak layak di Gedung PPPG, langsung beri tahu saya ya? Hitung-hitung, ikut membantu menjaga kebersihan. Itu kan tanggung jawab kita semua. Komitmen bersama. Oke? Oke?


Surabaya, 29 September 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 22 September 2013

Selamat Jalan, Syahrul...

Siang ini, pukul 14.10, SMS itu saya terima dari Nanda. 

"Assalamualaikum. Ibu saya sekarang dengan mas Zia,menuju BOJONEGORO. Baru ada kabar mas syahrul pgsd sm3t sumba 2012 kecelakaan. Menurut info dari teman2, mas Syahrul meninggal."

Saya tentu saja terkejut sekali. Berharap kabar itu tidak benar. Meski dalam hati kecil, saya yakin. Karena tidak mungkin Nanda ber-SMS seperti itu kalau dia sendiri belum yakin tentang kabar duka itu.

SMS-SMS berikutnya semakin meyakinkan saya. "Assalamuallaikum
Prof. Ada peserta dari SM3T 2012 a.n. syahrur romadhon meninggal dunia karena kecelakaan dari bojonegoro ke mojokerto." Ini SMS dari Juliar, staf SM-3T. Disusul SMS dari Ela Oktavianti, rekan Syahrul di Sumba. "Assalamualaikum..
Innalillahi wainnalillahi roji'un..
Telah berpulang kehadirat Allah SWT. Teman, rekan, saudara, keluarga kami tercinta di sm3t.. Mas syahruL Romadhon pgsd, telah berpulang ke Rahmatullah td pagi karena lakalantas, atas segala kerendahan hati, mohon dimaafkan atas segala kesalahan, smoga dilapangkan jalannya.."

Maka saya pun langsung berkoordinasi secepatnya dengan teman-teman tim. Juga dengan Nanda dan Ela. 

Dan sore ini, saya dan bu Lucia meluncur ke Bojonegoro, diantar Anang, driver PPPG. Meski sebenarnya kondisi kami berdua kurang fit, sama-sama flu, dan kelelahan setelah mengantar para peserta SM-3T belum juga tuntas, keinginan untuk bertemu keluarga Syahrul tak bisa dibendung. Semoga perjalanan kami lancar.

Syahrul, anak baik itu, sangat kami kenal. Waktu mahasiswa, dia adalah ketua BEM. Saat seminar nasional di Sumba kemarin, dialah motor kepanitiaannya. Saat memetakan distribusi sekolah untuk peserta SM-3T angkatan ketiga, dia juga yang termasuk motornya. Bahkan saat acara pelepasan dan penerimaan peserta SM-3T tempo hari, dia juga yang mengurus banyak hal, termasuk sebagian besar berkas-berkas laporan pertanggungjawaban.

Syahrul baru dua hari yang lalu pulang dari Sumba Timur, setelah selama setahun melaksanakan tugas pengabdiannya. Pagi tadi, dia berencana menghadiri undangan Erwan, rekan seperjuangannya di Sumba, yang mengadakan syukuran karena sudah kembali ke Jawa dengan selamat. Acara itu diadakan di rumah Erwan, di Mojokerto. Syahrul berangkat pagi dari rumahnya di Kalitidu, Bojonegoro, bermaksud mampir ke Surabaya dulu untuk menjemput temannya, namun saat di perjalanan, dia mengalami kecelakaan. Seperti apa kejadian kecelakaan itu, belum ada kejelasan.

Saat ini, kami dan para peserta SM-3T angkatan kedua, sedang bergerak menuju Kalitidu, Bojonegoro. Ada yang berangkat dari Mojokerto, Surabaya, Lamongan, dan beberapa tempat lain. Semuanya bertujuan sama. Memberi penghormatan terakhir bagi Syahrul Romadhon.

Ya Allah, ampuni semua dosa Syahrul Romadhon, berikan tenpat terbaik di sisi-Mu. Amin Ya Rabbal alamin.

Selamat jalan, Syahrul.....

OTW ke Kalitidu, Bojonegoro, 22 September 2013

Wassalam,
LN  

Rabu, 11 September 2013

Malam Ini, Pertemuan Itu...

Ada yang sudah sepuuuhh sekali. Badannya sudah bungkuk. Jalannya dituntun kiri kanan. Tapi ada juga yang masih bayi, terlelap dalam gendongan. Semua tumplek blek di sini. Di Gedung Bapra, salah satu gedung di kompleks Kodikmar ini. Tua muda, laki perempuan. Ratusan orang itu memenuhi kursi-kursi, dan para peserta SM-3T, anak-anak mereka, berdiri di belakang mereka.

Mereka adalah orang tua, adik, kakak, kerabat para peserta SM-3T. Sengaja disediakan waktu malam ini, selama dua jam, mulai jam 19.00-21.00, untuk mereka bisa bersemuka dengan para peserta SM-3T. Menukar pakaian dan barang-barang mereka untuk dibawa pulang, dan diganti dengan pakaian dan barang-barang untuk dibawa pergi ke tempat tugas. Melampiaskan rasa rindu mereka, pesan-pesan, doa-doa, karena setahun ke depan, mungkin mereka tak akan bersua.

Tidak ada pertemuan lagi setelah ini. Sebagian besar dari 190 peserta itu, akan diberangkatkan ke lokasi penugasan pada tanggal 13 September dini hari. Berangkat dari Kodikmar pada pukul 03.00, menuju Bandara Juanda, dan pesawat akan membawa mereka ke berbagai tujuan pada sekitar pukul 06.00. 

Sumba Timur, Aceh Singkil, Talaud, Maluku Barat Daya (MBD), Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, adalah daerah-daerah tujuan mereka. Setahun mengemban tugas pengabdian sebagai guru di sekolah-sekolah terpencil. Meninggalkan orang tua dan orang-orang tercinta. Mempersembahkan tenaga dan pikiran mereka, berperan serta dalam percepatan pembangunan pendidikan di titik-titik terdepan, terluar dan tertinggal, di NKRI tercinta.

Tidak ada yang tahu seperti apa daerah tempat tugas mereka. Kecuali hanya mengandalkan pada cerita-cerita dari angkatan sebelumnya, atau browsing di internet, atau informasi yang dibawa oleh para pejabat kabupaten yang memang didatangkan khusus untuk memberikan informasi tentang daerah itu. Selebihnya hanya mengandalkan pada tekad, niat tulus untuk mengabdi, doa restu orang tua dan kerabat, serta perlindungan Tuhan Yang Maha Melindungi.

Malam ini Kodikmar tiba-tiba seperti pasar tumpah. Keramaian itu sudah nampak mulai sore. Mereka berteduh di bawah pohon-pohon, berkerumun di masjid dan teras-teras. Puluhan bahkan ratusan mobil memadati hampir sepanjang jalan sejak dari depan kolam renang, memenuhi halaman, memanjang ke arah selatan, ke arah timur, sepanjang ratusan meter. Tiba-tiba saja, entah dari mana, para penjual makanan juga berjajar. Rombong-rombong mereka ada di mana-mana. Mungkin dengan mempertimbangkan kondisi para keluarga yang datang dari jauh itu, Kodikmar memperbolehkan para penjual itu untuk menggelar dagangan mereka, guna memenuhi kebutuhan makan dan minum para tamu itu.

Doa, dukungan, dan semangat, adalah harapan yang diharapkan dari para orang tua dan kerabat. Tugas berat yang harus  diemban oleh para guru pengabdi itu hanya membutuhkan itu semua dari mereka. Juga pikiran positif. Juga kepercayaan dan keyakinan bahwa Allah SWT akan melindungi dan menjaga mereka dalam menjalankan tugas negara itu.

Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Terutama untuk sebuah perpisahan. Apa lagi kalau dalam waktu setahun itu, mereka tidak bisa saling berkabar, karena ketiadaan signal telepon seluler atau sambungan telepon satelit. Apa lagi yang bisa diandalkan, kecuali doa, keyakinan, dan pikiran baik pada perlindungan Tuhan?

Malam ini, adalah malam pertemuan itu. Saat di mana mereka bisa saling berdekatan, bertatap muka, berkangen-kangenan, sebelum berpisah untuk setahun ke depan. 

Kami adalah saksi, atas air mata yang tumpah, doa-doa yang berhamburan, dan pelukan-pelukan penuh keharuan. Kami adalah saksi, atas keteguhan tekad, kebulatan semangat, dan kerelaan untuk mengabdi. Demi masa depan anak-anak bangsa. Demi keutuhan NKRI tercinta.

Kodikmar, 11 September 2013. 20.30.

Wassalam,
LN

Kamis, 05 September 2013

Pernikahan Intan Soekisman Dan Harini: Sebuah Buku Tanda Bakti

Saya menerima buku ini saat halal bi halal Unesa pada 14 Agustus yang lalu. Prof. Dr. Kisyani, Pembantu Rektor I Unesa, yang memberi. Sebuah buku yang ditulisnya sendiri, untuk menandai pernikahan intan bapak dan ibunya. 

Ya, pernikahan intan. Enam puluh tahun. Subhanallah. Siapa sih yang tidak ingin mencapai usia pernikahan selanggeng itu, dalam keadaan yang relatif sehat dan sejahtera?

Bisa dipastikan semua pasangan suami istri menginginkannya. Tapi tentu saja tidak semua bisa meraihnya, entah karena pernikahan yang tidak langgeng, atau karena panggilan Illahi. Begitulah tulis Kisyani. Maka tidaklah berlebihan kalau peristiwa itu sangat layak untuk disyukuri, baik bagi pasangan yang bersangkutan, maupun bagi keluarganya.

Tentang pernikahan intan, Kisyani memaknainya dari sifat-sifat intan atau berlian, sebagai benda yang sangat bernilai. Sebagaimana emas, berlian dapat merujuk pada prestise seseorang. Usia 60 tahun pernikahan identik dengan intan yang sifatnya keras, sebagai simbol pernikahan yang telah ditempa dengan pengalaman hidup yang kerasnya luar biasa sehingga berhasil lulus dengan bentuk yang cemerlang, bercahaya, bermutu, berharga, dan berprestise.

Ada yang sangat menarik dan inspiratif dalam kehidupan Harini, ibunda Kisyani. Wanita kelahiran 8 Agustus 1935 di Boyolali itu, selalu mencatat setiap kejadian dalam hidupnya dalam sebuah buku harian. Setiap hari, dia selalu meluangkan waktu sekitar 10-15 menit untuk mencatat. Sampai sekarang buku hariannya sudah bertumpuk. Ada atau tidak ada peristiwa khusus, dia selalu mencatatnya setiap hari. Ya, setiap hari. Kisyani melampirkan sebagian catatan harian ibundanya pada buku ini, perjalanan hidup beliau saat menunaikan ibadah umrah. Harini, di mata Kisyani, begitu luar biasa dengan semangat menulisnya itu, bahkan sampai saat ini. Sayangnya tidak semua anak cucunya mewarisi ketelatenan menulis tersebut.

Yang unik, kehidupan Harini selalu diwarnai dengan angka 8. Meski beliau tidak mengkultuskan angka itu, namun itulah angka terindah bagi Harini. "Saya lahir pada tanggal 8 bulan 8 tahun 1935, menikah pada bulan 8, tahun pernikahan 53 jika dijumlah menjadi angka 8, anak saya 8, menantu saya 8, cucu saya 8 belas, tinggal di rumah nomor 88". Begitulah pernyataan Harini di tahun 2003, saat melaksanakan syukuran untuk pernikahan emas.

(Mengingatkan saya pada angka 7. Saya dikukuhkan menjadi guru besar pada tanggal 7 Januari 2010, pada usia saya ke 43, dan sebagai guru besar Unesa yang ke-43. Mudah untuk mengingatnya, karena 4 ditambah 3 sama dengan 7).

Soekisman (ayahanda Kisyani) bertemu dengan Harini di rumahnya karena Harini berstatus sebagai siswa SGB di Solo. Rajutan benang cinta mereka terjalin erat dan membawa mereka melangkah ke pelaminan. Pernikahan dilangsungkan di Boyolali pada tanggal 9 Agustus 1953.

Soekisman sendiri sebenarnya terlahir dengan nama Soenarto. Lahir di Solo, 9 Oktober 1927, dia memiliki masa kecil yang penuh dengan keceriaan, serta tergolong anak yang pemberani dan keras hati. Saking pemberaninya, saat usianya 11 tahun, dia terjatuh dari pohon jambu dan koma berhari-hari. Semua anggota keluarga sudah galau. Maka begitu dia sembuh, namanya diubah menjadi Soekisman.

Bagi Soekisman dan Harini, pendidikan adalah nomor satu. Pendidikan anak, cucu dan cicit, harus diutamakan karena pendidikan akan menjadi bekal kehidupan, baik di dunia maupun dalam pertanggungjawaban orang tua di akhirat kelak. Dengan pandangan hidupnya seperti itu, tidaklah heran kalau kedelapan putra-putri berkesempatan menikmati pendidikan tinggi dan berhasil dalam kehidupan mereka.

Anak pertama, Kisrini, dosen di FK-UNS. Anak kedua, Kismami, bekerja di BKKBN Jambi, juga mengajar di beberapa sekolah kebidanan dan perawat di Jambi. Anak ketiga, Kiswanto, bekerja sebagai kepala BPN Pontianak. Anak keempat, Kiswanti, ibu rumah tangga tapi sebelumnya bekerja du KLI Jakarta. Anak kelima, Kisyani, dosen di FBS Unesa, pernah menjabat sebagai Kepala UPBJJ-UT Surabaya dan sekarang menjabat PR 1 Unesa. Anak keenam, Kisyana, adalah guru SMA di Bekasi. Anak ketujuh, Kistini, bekerja di BKKBN Solo. Anak bungsu, Kistina, bekerja sebagai guru BK di MTs Negeri di Tenggarong, Kaltim. 

Masih ada banyak hal unik dan inspiratif di buku yang ditulis dengan runtut dan indah ini. Terasa betul kalau buku ini ditulis dengan penuh rasa cinta, dengan penuh rasa kasih. Cinta kasih seorang anak pada bapak ibunya. Berpadu dengan ungkapan syukur karena telah diberi kesempatan panjang bagi bapak ibu untuk mengarungi bahtera rumah tangga, serta berbahagia bersama anak, cucu dan cicit.

Kisyani, profesor cantik yang dikenal sangat suka berpantun itu, adalah sahabat, teman, ibu, kolega, kakak, yang baik dan sangat menyenangkan. Dia ramah pada siapa saja. Senyum dan sapanya membawa keceriaan. Ketegasan sekaligus kelembutannya menebarkan kesejukan. Seorang wanita yang cerdas, tangguh, sekaligus berhati kapas penuh persahabatan.

Tidak heran, karena dia lahir dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi pendidikan, menyandarkan diri pada ajaran agama sebagai pedoman, dan selalu mengajarkan arti saling menghargai dan mengasihi demi kebersamaan dan kerukunan. 

Hotel Millenium Jakarta, 5 September 2013.

Wassalam,
LN

Kamis, 29 Agustus 2013

Di Bandara Juanda Pagi Ini

Saya mencium tangan mas Ayik, mengucap salam, keluar dari mobil, dan mengambil tas koper oranye saya di jok tengah. Melambai, dan melangkah menjauh ke arah pintu masuk.

Pagi ini, pukul 07.40, saya akan bertolak ke Jakarta menumpang Garuda. Sore nanti, pukul 16.00, ada rapat koordinasi dengan para kepala dinas pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk persiapan penyelenggaraan SM-3T. Sebenarnya, jam segini, masih terlalu pagi untuk menghadiri rapat sore nanti. Tapi inilah jadwal penerbangan satu-satunya yang saya bisa dapatkan. Penerbangan setelahnya, full-booked sampai sore. Saya memang baru kemarin sore minta mas Nardi, petugas tiket kami, untuk membelikan tiket ke Jakarta. Sampai tadi malam mas Nardi masih berusahan untuk mendapatkan tiket yang lebih siang, tapi tidak berhasil.

Menjelang masuk ke bandara, mata saya tertumbuk pada pemandangan yang cukup menyentuh. Seorang suami, mencium istrinya dengan penuh perasaan. Perempuan itu lantas melambai menjauh dari suaminya menuju pintu masuk, menangis, mengusap air matanya. Tentu saja saya hanya melihatnya sambil lalu, dan tidak bermaksud untuk ikut larut dalam keharuan mereka.  

Namun, lagi-lagi, persis di depan pintu masuk, saya melihat pemandangan serupa. Seorang suami sedang memeluk dan mencium pipi istrinya. Yang membuat saya seperti ikut larut, adalah betapa jelas wajah penuh kekhawatiran sang suami. 

Saya berjalan di belakang perempuan itu saat masuk di ruang pemeriksaan. Rambutnya sudah dihiasi helaian-helaian putih. Suaminya, berdiri di pagar pembatas, terus mengikuti langkahnya. Saya menikmati pemandangan itu. Di usia mereka yang sudah tidak lagi muda, mereka terlihat begitu romantis. Begitu saling mengkhawatirkan, begitu berat untuk berpisah. Saya berbahagia untuk mereka, sehingga tanpa saya sadari, saya tersenyum sendiri.

Begitu mencapai ruang dalam, saya langsung menuju ke arah tangga/lift, ke arah ruang tunggu. Tidak perlu check in. Mas Nardi sudah melakukannya. 

Namun, lagi-lagi, mata saya tertumbuk pada pemandangan menarik. Seorang bocah perempuan, usianya saya perkirakan dua tahunan, berdiri persis di depan lift. Sepertinya dia siap naik ke atas. Bocah itu bergitu lucu, wajahnya bulat, baju merah membungkus tubuh mungilnya yang gempal. Sontak saya berjongkok di depannya. Tersenyum semanis mungkin, menyentuh pipi gembulnya.

"Mama mana?"
Dia menatap saya. Nggak ada takut-takutnya. Tapi bibir dia terkunci rapat. Lantas matanya beralih ke lift itu lagi. Rupanya senyum saya tidak lebih menarik dari lift itu.

"Mana mama, sayang? Atau papa?" Tanya saya lagi. "Atau...adik di sini sama siapa ya....?" Saya melihat-lihat ke sekeliling. Celingukan. Kebetulan bandara memang tidak terlalu ramai. Saya mencoba memancing bocah itu untuk juga melihat-lihat sekeliling, barangkali dia kemudian melihat mamanya, atau papanya, atau siapa pun  yang bersama dia.

Tapi, lagi-lagi, lift itu lebih menarik. Kakinya tidak beranjak secenti meter pun dari tempatnya berdiri. Bahkan senyum paling manis yang kulempar ke arahnya pun, tak dipedulikan.

Lantas datang seorang petugas. Rupanya dia melihat gerak-gerik saya. Saya masih menanyai anak itu tentang siapa mamanya, ketika petugas itu tiba di depan kami.

"Ibu bukan mamanya?" Tanyanya. Saya menggeleng. "Bukan".

"O ya?" Diraihnya anak kecil itu. "Ayo, dik. Sini, dik...." Anak itu terpaksa menurut. "Terima kasih, bu." Kata petugas itu.

Saya mengangguk, menaiki lift, dan melihatnya pergi dengan menggandeng gadis kecil lucu itu, mendekati kerumunan barisan orang-orang yang lagi check in. Saya tersenyum sendiri. Coba menculik itu tidak berdosa, anak kecil itu pasti sudah kubawa serta dari tadi....


Bandara Juanda, 29 Agustus 2013

LN