Pages

Senin, 04 September 2017

Nunukan 3: Menjelajah Pulau Sebatik

Siang yang terik tak menghalangi saya dan Mas Febry untuk mewujudkan niat menjelajah Nunukan. Sejak kedatangan kami siang hari kemarin, Nunukan terlalu biasa, dan kami yakin, pasti ada sisi-sisinya yang menarik. Memang benar, begitulah kata Bu Rus. Tapi tempat-tempat itu ada di pulau-pulau seberang, dan kita perlu berjam-jam untuk menjangkaunya. Tapi ada pulau yang terdekat yang masih mungkin dijangkau, yaitu Pulau Sebatik.

Selesai acara di kabupaten, berkat fasilitasi dari Pak Ridwan, Kabid Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nunukan, yang sejak kemarin memantau kehadiran kami, kami mengunjungi Pulau Sebatik. Namun sebelum menyeberang, kami mengunjungi Islamic Center yang megah dengan pemandangan alam laut dan Pulau Sebatik di depannya. Megah dan indah, meski untuk mencapainya, jalan yang dilalui bukan jalan beraspal. Di sinilah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-2 tingkat Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), tanggal 12-18 Mei 2017 yang lalu diselenggarakan. Kalau kita berdiri memandang sampai pada batas kaki langit di depan, di sisi kiri adalah wilayah Malaysia, dan di sini kanan adalah wilayah Indonesia.

Tidak berlama-lama di Islamic Center, mengingat hari sudah semakin siang, kami segera menuju Pelabuhan Penyeberangan Sei Jepun, Kecamatan Nunukan Selatan, menuju ke Dermaga Rakyat Desa Binalawan Kecamatan Sebatik Barat. Hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit dengan kapal motor. Di sana, Camat Sebatik Barat, Bapak Akhmad, S. IP, M. Si, telah menunggu. Lengkap dengan staf yang akan menjadi driver dan mobil double cabin.

Saya dan Mas Febry duduk di jok tengah, di depan ada Pak Achmad dan stafnya yang memegang setir. Di belakang, di bak terbuka itu, ada tiga orang peserta SM-3T yang ikut mendampingi. Kami berkendara mengelilingi Pulau Sebatik. Bila terus berkendara, kami memerlukan waktu sekitar dua jam, dengan menempuh perjalanan sekitar 60 kilometer. Dimulai dari Sebatik Barat, Sebatik Induk, Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik Tengah. Di sepanjang perjalanan, kami menikmati deretan kebun kelapa, kakao, dan juga pisang. Pisang Sebatik sangat bagus mutunya dan umumnya dijual ke Brunei. Oleh karena berdekatan dengan Tawau, Malaysia, penduduk Sebatik juga banyak yang memilih melakukan aktivitas jual beli ke Tawau daripada ke Nunukan. Mata uang ringgit beredar juga di Nunukan karenanya.

Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Sebatik, yaitu kecamatan paling timur di kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Pulau ini memang terbagi dua. Belahan utara merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia, sedangkan belahan selatan merupakan wilayah Indonesia. Dengan letak wilayah seperti ini, Sebatik bisa dikatakan sebagai daerah terdepan dan terluar, dan rentan dari sisi pertahanan dan keamanannya bila tidak diurus dengan baik. Kekalahan Indonesia dalam mempertahankan Sipadan dan Ligitan salah satunya adalah karena Malaysia bisa menunjukkan fakta pada Mahkamah Internasional bahwa dialah yang selama ini mengurus pulau tersebut dan masyarakatnya, sementara Indonesia hanya bisa memberikan fakta berdasarkan penetapan wilayah.

Jalan Perbatasan di Nunukan.
Kami juga sempat menikmati makan siang di Rumah Makan Cahaya Pare di Desa Sei Nyamuk. Saya pikir pemiliknya dari Jawa, karena menu yang disediakan adalah menu Jawa: rawon, penyet ayam, soto, dan sebagainya. Tapi ternyata pemiliknya adalah orang Sebatik, entah dari mana dia berasal. Oya, Pak Camat Sebatik adalah orang asli Bojonegoro, dan terdampar di Nunukan sejak tahun 1990. Karir awalnya adalah sebagai guru sekaligus staf tata usaha SMPN 1 Nunukan. Kemudian pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Dinas Pendidikan (Kasubag Disdik) Nunukan. Beliau juga pernah menjabat di Dinas Perhubungan, Dinas Pertambangan, dan jabatan terakhir sebelum menjadi camat adalah Sekretaris Disdik Kabupaten Nunukan. Makan siang kami di sini adalah atas ‘traktiran’ Bapak Camat yang ramah dan baik hati ini.


Jembatan Perbatasan Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara
Kami juga berhenti di Jembatan Perbatasan Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara. Jembatan tersebut panjangnya 2000 meter. Beberapa waktu yang lalu, di tempat ini, diselenggarakan acara memecahkan rekor Muri dengan pengibaran bendera merah putih terbanyak. Kami bertemu dengan dua orang penjaga dari TNI AL. Salah seorang dari mereka dari Jawa juga, tapi saya lupa persisnya dari Jawa bagian mana. Di tempat jaga mereka, tertulis: POS TNI AL SEI PANCANG, TEGAR MENJAGA PERBATASAN. Di sisi dinding yang lain, terpampang poster Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI. Ada juga poster tentang Kekuatan Unsur Lawan. Di tengah laut yang begitu luas dan sepi, dua abdi negara itu berjaga siang dan malam, tentu saja bergantian dengan rekan-rekannya yang lain. Sedangkan sejauh mata memandang, adalah kaki langit, dengan wilayah Tawau, Malaysia di sebelah kiri, dan Wilayah Sebatik, Indonesia, di sebelah kanan. Benar-benar membuat saya takjub.

Ketakjuban kami tidak hanya sampai di situ. Saat kami berhenti di patok perbatasan 3 di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, kami bisa menjadi orang sakti mandraguna. Betapa tidak. Pada detik yang sama, satu kaki kita bisa berada di Wilayah Indonesia, dan satu kaki yang lain berada di Wilayah Malaysia. Ya. Kami berdiri persis di bendera penanda patok perbatasan. Di dekat bendera merah putih kecil itu, berdiri tugu kecil dengan tulisan: Kokohkan MERAH PUTIH di Tapal Batas. Tugu itu diresmikan pada 17 Agustus 2009, dan ditandatangani oleh tokoh masyarakat Sebatik dan Danramil Sebatik. Begitulah masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, bisa jadi ruang tamu rumah mereka ada di wilayah Indonesia, sementara ruang dapurnya ada di wilayah Malaysia. Bahkan jalan kecil yang ada di depan patok perbatasan itu pun namanya adalah Jalan Perbatasan.

Kekecewaan saya pada Nunukan sirnalah sudah. Meski tidak saya temukan barang-barang etnik di Kota Nunukan, saya menemukan tempat-tempat yang sangat bersejarah dan bermakna. Selain itu, kami juga menemukan durian Sebatik yang meskipun ukurannya tidak terlalu besar, tapi manis dan legitnya….wow.

Kami kembali ke Nunukan melewati Desa Sei Limau Kecamatan Sebatik tengah. Sei, artinya sungai. Di Nunukan, banyak tempat yang awal katanya Sei, karena di sana banyak sungai. Kami menyeberang lewat Dermaga Rakyat Desa Bambangan. Di sinilah keprihatinan saya kembali menyeruak. Wilayah yang katanya rutin mendapatkan kunjungan dari para pejabat daerah dan pusat ini, kondisi lingkungannya sungguh-sungguh memprihatinkan. Sampah yang memenuhi selokan-selokan dan perairan-perairan yang di atasnya padat dengan rumah-rumah penduduk. Aroma busuk air mampat bercampur dengan sampah sangat mengganggu indera penciuman. Entah bagaimana orang bisa betah hidup bertahun-tahun dalam kondisi kotor dan bau seperti ini. Perlu edukasi, perlu intervensi, perlu contoh nyata, dari para pemuka wilayah dan tokoh masyarakat.


Sebatik, 21 Agustus 2017

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...