Siang yang terik tak menghalangi saya dan
Mas Febry untuk mewujudkan niat menjelajah Nunukan. Sejak kedatangan kami siang
hari kemarin, Nunukan terlalu biasa, dan kami yakin, pasti ada sisi-sisinya
yang menarik. Memang benar, begitulah kata Bu Rus. Tapi tempat-tempat itu ada
di pulau-pulau seberang, dan kita perlu berjam-jam untuk menjangkaunya. Tapi
ada pulau yang terdekat yang masih mungkin dijangkau, yaitu Pulau Sebatik.
Selesai acara di kabupaten, berkat
fasilitasi dari Pak Ridwan, Kabid Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Nunukan, yang sejak kemarin memantau kehadiran kami, kami mengunjungi Pulau
Sebatik. Namun sebelum menyeberang, kami mengunjungi Islamic Center yang megah
dengan pemandangan alam laut dan Pulau Sebatik di depannya. Megah dan indah,
meski untuk mencapainya, jalan yang dilalui bukan jalan beraspal. Di sinilah
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-2 tingkat Provinsi Kalimantan Utara
(Kaltara), tanggal 12-18 Mei 2017 yang lalu diselenggarakan. Kalau kita berdiri
memandang sampai pada batas kaki langit di depan, di sisi kiri adalah wilayah
Malaysia, dan di sini kanan adalah wilayah Indonesia.
Tidak berlama-lama di Islamic Center,
mengingat hari sudah semakin siang, kami segera menuju Pelabuhan Penyeberangan
Sei Jepun, Kecamatan Nunukan Selatan, menuju ke Dermaga Rakyat Desa Binalawan
Kecamatan Sebatik Barat. Hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit dengan
kapal motor. Di sana, Camat Sebatik Barat, Bapak Akhmad, S. IP, M. Si, telah
menunggu. Lengkap dengan staf yang akan menjadi driver dan mobil double cabin.
Saya dan Mas Febry duduk di jok tengah, di
depan ada Pak Achmad dan stafnya yang memegang setir. Di belakang, di bak
terbuka itu, ada tiga orang peserta SM-3T yang ikut mendampingi. Kami berkendara
mengelilingi Pulau Sebatik. Bila terus berkendara, kami memerlukan waktu
sekitar dua jam, dengan menempuh perjalanan sekitar 60 kilometer. Dimulai dari
Sebatik Barat, Sebatik Induk, Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik Tengah.
Di sepanjang perjalanan, kami menikmati deretan kebun kelapa, kakao, dan juga
pisang. Pisang Sebatik sangat bagus mutunya dan umumnya dijual ke Brunei. Oleh
karena berdekatan dengan Tawau, Malaysia, penduduk Sebatik juga banyak yang
memilih melakukan aktivitas jual beli ke Tawau daripada ke Nunukan. Mata uang
ringgit beredar juga di Nunukan karenanya.
Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah
administratif Kecamatan Sebatik, yaitu kecamatan paling timur di kabupaten
Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Pulau ini memang terbagi dua. Belahan utara
merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia, sedangkan belahan selatan
merupakan wilayah Indonesia. Dengan letak wilayah seperti ini, Sebatik bisa
dikatakan sebagai daerah terdepan dan terluar, dan rentan dari sisi pertahanan
dan keamanannya bila tidak diurus dengan baik. Kekalahan Indonesia dalam
mempertahankan Sipadan dan Ligitan salah satunya adalah karena Malaysia bisa menunjukkan
fakta pada Mahkamah Internasional bahwa dialah yang selama ini mengurus pulau
tersebut dan masyarakatnya, sementara Indonesia hanya bisa memberikan fakta
berdasarkan penetapan wilayah.
Jalan Perbatasan di Nunukan. |
Kami juga sempat menikmati makan siang di
Rumah Makan Cahaya Pare di Desa Sei Nyamuk. Saya pikir pemiliknya dari Jawa,
karena menu yang disediakan adalah menu Jawa: rawon, penyet ayam, soto, dan
sebagainya. Tapi ternyata pemiliknya adalah orang Sebatik, entah dari mana dia
berasal. Oya, Pak Camat Sebatik adalah orang asli Bojonegoro, dan terdampar di
Nunukan sejak tahun 1990. Karir awalnya adalah sebagai guru sekaligus staf tata
usaha SMPN 1 Nunukan. Kemudian pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Dinas
Pendidikan (Kasubag Disdik) Nunukan. Beliau juga pernah menjabat di Dinas
Perhubungan, Dinas Pertambangan, dan jabatan terakhir sebelum menjadi camat
adalah Sekretaris Disdik Kabupaten Nunukan. Makan siang kami di sini adalah
atas ‘traktiran’ Bapak Camat yang ramah dan baik hati ini.
Jembatan Perbatasan Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara |
Kami juga berhenti di Jembatan Perbatasan
Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara. Jembatan tersebut panjangnya 2000
meter. Beberapa waktu yang lalu, di tempat ini, diselenggarakan acara
memecahkan rekor Muri dengan pengibaran bendera merah putih terbanyak. Kami
bertemu dengan dua orang penjaga dari TNI AL. Salah seorang dari mereka dari
Jawa juga, tapi saya lupa persisnya dari Jawa bagian mana. Di tempat jaga
mereka, tertulis: POS TNI AL SEI PANCANG, TEGAR MENJAGA PERBATASAN. Di sisi
dinding yang lain, terpampang poster Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan
Wajib TNI. Ada juga poster tentang Kekuatan Unsur Lawan. Di tengah laut yang
begitu luas dan sepi, dua abdi negara itu berjaga siang dan malam, tentu saja
bergantian dengan rekan-rekannya yang lain. Sedangkan sejauh mata memandang,
adalah kaki langit, dengan wilayah Tawau, Malaysia di sebelah kiri, dan Wilayah
Sebatik, Indonesia, di sebelah kanan. Benar-benar membuat saya takjub.
Ketakjuban kami tidak hanya sampai di situ.
Saat kami berhenti di patok perbatasan 3 di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik
Tengah, kami bisa menjadi orang sakti mandraguna. Betapa tidak. Pada detik yang
sama, satu kaki kita bisa berada di Wilayah Indonesia, dan satu kaki yang lain
berada di Wilayah Malaysia. Ya. Kami berdiri persis di bendera penanda patok
perbatasan. Di dekat bendera merah putih kecil itu, berdiri tugu kecil dengan
tulisan: Kokohkan MERAH PUTIH di Tapal Batas. Tugu itu diresmikan pada 17
Agustus 2009, dan ditandatangani oleh tokoh masyarakat Sebatik dan Danramil
Sebatik. Begitulah masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, bisa jadi ruang
tamu rumah mereka ada di wilayah Indonesia, sementara ruang dapurnya ada di
wilayah Malaysia. Bahkan jalan kecil yang ada di depan patok perbatasan itu pun
namanya adalah Jalan Perbatasan.
Kekecewaan saya pada Nunukan sirnalah
sudah. Meski tidak saya temukan barang-barang etnik di Kota Nunukan, saya
menemukan tempat-tempat yang sangat bersejarah dan bermakna. Selain itu, kami
juga menemukan durian Sebatik yang meskipun ukurannya tidak terlalu besar, tapi
manis dan legitnya….wow.
Kami kembali ke Nunukan melewati Desa Sei
Limau Kecamatan Sebatik tengah. Sei, artinya sungai. Di Nunukan, banyak tempat
yang awal katanya Sei, karena di sana banyak sungai. Kami menyeberang lewat
Dermaga Rakyat Desa Bambangan. Di sinilah keprihatinan saya kembali menyeruak.
Wilayah yang katanya rutin mendapatkan kunjungan dari para pejabat daerah dan
pusat ini, kondisi lingkungannya sungguh-sungguh memprihatinkan. Sampah yang
memenuhi selokan-selokan dan perairan-perairan yang di atasnya padat dengan
rumah-rumah penduduk. Aroma busuk air mampat bercampur dengan sampah sangat
mengganggu indera penciuman. Entah bagaimana orang bisa betah hidup
bertahun-tahun dalam kondisi kotor dan bau seperti ini. Perlu edukasi, perlu
intervensi, perlu contoh nyata, dari para pemuka wilayah dan tokoh masyarakat.
Sebatik, 21 Agustus 2017
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...